Para duta besar jarang memiliki pengaruh penting pada era komunikasi seperti sekarang ini; ketika hampir semua kebijakan dibuat di ibu kota negara mereka sendiri, pekerjaan mereka lebih sebagai sebuah show, pertunjukan daripada seharusnya. Tetapi dalam sejumlah kesempatan, mereka masih juga memainkan peran kunci. Itulah yang menjadi nasib yang dialami William H. Sullivan selama dua tahun di Teheran dari 1977 hingga 1979. Ia menjadi tokoh kunci dalam revolusi Iran. Pertemuan yang kerap dilakukannya bersama Shah Mohammed Riza Pahlevi dan tanggung jawabnya atas 35.000 warga Amerika di Iran serta berbagai perdebatan politiknya yang terbuka dengan Gedung Putih membuat biografinya sebuah dokumen yang benar-benar berharga.
Memoar "Mission to Iran" (Misi Ke Iran) dibagi dalam tiga bagian: Yang pertama merupakan perkenalan, di mana Sulliwan mengisahkan bagaimana dia menerima jabatan Duta Besar Amerika Serikat ke Iran; kedua merupakan penjelasan atas situasi di sana saat dia tiba, termasuk diskusinya dengan Shah, pemerintah, persoalan ekonomi, militer, polisi rahasia dan Islam; bagian terakhir, yang terdiri dari dua pertiga buku, menjelaskan aktivitasnya sebagai duta besar.
Tujuan terpenting Sullivan memang bernada apologetik, membela diri. Sebagai orang yang berada di tempat kejadian, ketika sekutu penting Amerika Serikat mulai meratapi nasibnya, dia punya banyak hal yang bisa dijelaskan. Sepanjang bukunya, Sullivan mencoba membersihkan diri dengan memperlihatkan betapa tepatnya dia dan betapa salah arahnya saingannya di Washington. Sullivan berbeda pendapat dengan Pemerintahan Carter atas dua isu penting: Pertama, pendirian awalnya bahwa Shah Iran memang harus turun tahta dan kedua, militer Iran bakal hancur lebur sehingga tidak perlu lagi menembak para pendukung Ayatollah Khomeini. Menurut pendapat Sullivan, para pembuat kebijakan di Washington terlalu lama mendukung Shah sehingga saat dia turun, mereka berharap angkatan bersenjata melancarkan kudeta yang memaksa Khomeini tetap berada di luar kekuasaan.
Sang duta besar mungkin sudah menganalisa situasi jauh lebih tepat, namun dia mengurangi kekuatan kasusnya karena terlampau nyaring membenarkan diri dan menuliskan fakta yang salah. Terobsesi dengan upaya membenarkan pertimbangannya sendiri, Sullivan membuat terlampau banyak drama Iran mewarnai perannya. Sebagai contoh, dia menganggap dukungan setia Zbigniew Brzezinski terhadap Shah sesuai keinginannya bertujuan untuk membuktikan bahwa Sullivan bersalah: "Sejumlah laporan yang diterbitkan memperlihatkan bahwa guna menyanggah tesis saya bahwa Shah mungkin tidak bisa bertahan dalam kekuasaannya, [Brzezinski] dihimbau untuk mengambil setiap tindakan yang bertujuan untuk menjamin bahwa Shah bisa bertahan dan karena itu menghindarkan dia dari kegagalan sehingga presiden tetap diberitahu soal informasi seputar krisis mendatang."
Memperhatikan semua pertikaian birokratis, maka sulit membayangkan bahwa keinginan Brzezinski untuk mempertahankan Shah agar tetap menduduki tahtanya tidak ada kaitannya dengan keraguan Sullivan tentang masa depan Shah. Upaya mendistorsi tindakan Brzezinski memunculkan keraguan atas arti terdalam keputusan yang Sullivan harapkan bisa membersihkan diri. Lebih jauh lagi, "Mission to Iran" mengabaikan kegagalan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran yang sudah luas diketahui masyarakat, sama luar biasanya seperti dia tidak tahu penyakit kanker yang diidap Shah serta ketidakmampuannya bersaing dengan gerakan-gerakan pemberontak. Sikap Sullivan yang membanggakan diri dan caranya mementingkan diri membuat buku ini tidak menyenangkan.
Dia pun cenderung salah memahami fakta. Selain berbagai kesalahan seputar sejarah awal Iran, dia pun membuat kesalahan luar biasa ketika mendikusikan masa bhaktinya sendiri di negeri ini. Bagaimana bisa Raja Hussein dari Yordania mengunjungi Iran Desember 1977 untuk membahas hasil Perjanjian Camp David delapan bulan sebelum perjanjian itu sendiri diadakan. Sullivan juga salah menuliskan tanggal konflik politik pertama Khomeini dengan Shah. Dia juga dua kali salah menghubungkan kematian mendadak Ali Shariati, seorang intelektual kenamaan Iran sebagai akibat kanker.
"Mission to Iran" punya kekurangannya sendiri. Sullivan memasukan data rinci tentang misi kontroversial ke Teheran yang dilakukan Dutch Huyser (diutus sebagai wakil khusus Presiden Carter pada Januari 1979 guna membantu menstabilkan angkatan bersenjata Iran), mengisahkan kembali pengambilan petama Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran sekaligus menjelaskan tindakan pencegahan aneh yang ditempuh menjamin kepergiannya yang aman keluar dari Iran. Yang paling menarik dari semuanya itu adalah berbagai vignettes, coretan-coretan lukisannya tentang Shah, sebuah pribadi yang hingga kini sulit dipahami dan dijelaskan secara memadai. Berikut ini, satu gambaran: Setelah berbincang-bincang secara pribadi sekian lama dengan Sullivan, Shah diberi tahu bahwa pertunjukan udara akan dimulai. "Dari seorang tuan rumah yang ramah, murah hati dan penuh senyum, yang baru saja berbincang-bincang dengan saya, dia mendadak berubah menjadi seorang aristokrat keras yang berjalan tegap," tulis Sullivan. "Tindak itu bukan saja soal menserasikan seragam serta mengenakan kacamata hitam, tetapi juga melambungkan dada, menaikan dagu serta mengatup bibir dibarengni dengan garis-garis wajah kaku." Jadi ini, cara seorang pemalu menjadi Raja Para Raja.
Pemikiran dasar buku Sullivan dibangun dari asumsi bahwa alternatif kebijakan terbuka bagi Shah dan Pemerintah Amerika Serikat selama dia bertugas menciptakan perbedaan penting. Nikki R. Keddie, seorang sejarahwan kenamaan Iran yang mengamati revolusi Iran dari jauh justru meyakini sebaliknya. "Tampak tidak mungkin bahwa perbedaan kebijakan Amerika selama 1978 – 1979 signifikan mengubah arah peristiwa," tulisnya. "Mungkin saja kerangka politik selama 25 tahun sebelumnya yang sangat berbeda memberikan hasil yang berbeda. Terkait perilaku Shah yang mudah bimbang; yang suka memberi hadiah sekaligus memberi ganjaran...Tidak ada bukti bahwa dengan perilaku yang berbeda pada 1978 ia bakal tetap mempertahankan tahtanya."
Pandangan sang duta besar yang intim berbeda dari pandangan Prof. Keddie. Wanita yang mengajar di Universitas Columbia di Los Angeles (U.C.L.A) itu menulis dari sudut pandang seorang ilmuwan. Dua poin pemikiran secara khusus dia tekankan; Ketika para pengamat politik luar negeri cenderung berpikir bahwa Iran belum pernah mengalami pergolakan politik yang sebanding dan bahwa para mullah terbiasa menikmati peran politik yang kuat, maka sebaliknya yang terjadi. Iran sudah melewat sejumlah pergolakan politik selama abad silam (khususnya, Revolusi Konstitusi 1905 – 11, naiknya Shah Riza ke puncak kekuasaan pada 1921 – 1925 dan masa pemerintahan Mossadeq pada 1951-53). Tetapi kala itu, pihak berwenang agama tidak pernah punya kekuasaan seperti yang mereka miliki sekarang. " Bentuk utama pemikiran sastra dan politik Iran abad silam berbeda secara radikal dari budaya yang paling banyak terlihat pada 1980," tulis Prof. Keddie. Untuk memahami perubahan cepat terhadap Islam selama tahun-tahun terakhir ini, "kita harus ingat dengan peningkatan despotisme ala Barat yang terjadi secara bersamaan, yang berkaitan dengan ketergantungan terhadap Barat, khususnya pada Amerika Serikat."
Ringkasnya, Professor Keddie menghubungkan revolusi Islam dengan "rasa tidak puas terhadap persoalan ekonomi, sosial dan politik [yang] berkembang selama beberapa dekade kemudian kembali bersatu lagi selama beberapa tahun lalu. Persoalan bertambah dengan adanya intepretasi baru agama yang membenarkan pemikian revolusionar yang tersebar luas dalam masyarakat yang ditambahkan pada identitas Islam utama yang dirasakan oleh mayoritas masyarakat."
Prof. Keddie menyajikan wacana sejarah Iran modern yang sangat kompeten dan nyaris standar mulai tahun 1.800 hingga sekarang. Bagaimanapun, terlepas dari judulnya, Roots of Revolution (Akar Revolusi) sedikit berbicara tentang latar belakang dan cita-cita revolusi Iran. Meski tidak banyak, buku itu menyinggung juga soal betapa ledakan minyak mengacaukan kehidupan di Iran, betapa fasilitas militer justru memperbesar perasaan dendam, bagaimana para penasehat asing mengganggu masyarakat Iran, betapa ketegangan sosial berkembang meluas, betapa kepribadian Shah menentukan kekuasaannya atau betapa oposisi relijius menjadi dominan. Hanya seperdelapan bagian buku berkaitan langsung dengan asal-muasal revolusi; sisanya hanya disinggung ala kadarnya.
Ada perbedaan menyolok antara judul buku dan teks. Dan kenyataan ini mengganggu pembaca ini. Bagaimanapun, saya terus mencari penjelasan yang tidak pernah ada. Dan saya tidak kuasa untuk terus berpikir bahwa judulnya memang dimaksudkan untuk menarik perhatian yang maksimal. Prof. Keddie sudah menulis buku yang padat bermanfaat. Dia tak perlu lagi memanfaatkan judul yang tidak tepat seperti itu.
Biografi Duta Besar Sullivan bakal menyita perhatian penuh orang-orang yang menyibukan diri dengan keinginan untuk mengetahui secara tepat apa yang terjadi selama revolusi Iran. Namun yang lain mungkin melihatnya penuh kata-kata muluk dengan kecenderungan tertentu. Kajian Prof. Keddie menyajikan suatu kerangka sejarah Iran modern yang dapat diandalkan, tetapi ia mengecewakan orang-orang yang berupaya untuk memahami revolusi Iran yang paling baru.