[N.B.: Judul yang diterbitkan dalam Commentary adalah "A New Strategy for Israeli Victory."]
***
DIPLOMASI ISRAEL-PALESTINA---- secara menyedihkan sesuai dengan penjelasan klasik tentang penyakit gila. "Melakukan suatu hal berulang-ulang namun mengharapkan hasil yang berbeda." Asumsinya sama dan tetap terjadi, tidak soal berapa kali mereka gagal melakukannya. Asumsinya, ada tanah untuk damai dan solusi dua negara dengan beban semata-mata pada Israel. Selama beberapa dekade terjadi proses yang oleh para pihak di dalam negeri disebut sebagai "proses perdamaian." Lamanya proses menyebabkan persoalan semakin memburuk dibanding ketika mereka memulainya. Meski demikian berbagai kekuatan adidaya tetap ngotot, mengirim satu demi satu diplomat ke Yerusalem dan Ramallah, dengan senantiasa berharap bahwa putaran negosiasi selanjutnya bakal mengarah kepada penyelesaian jalan pintas yang sulit dipahami.
Sudah saatnya diperlukan pendekatan baru, sebuah upaya untuk memikirkan kembali dasar persoalannya. Pendekatan ini berbasiskan strategi Israel yang berhasil seperti yang dijalankannya selama 45 tahun pertama pendiriannya. Diplomasi Israel–Palestina sejak 1993 yang gagal memperlihatkan adanya pendekatan alternatif ini --- dengan tekanan pada sikap Israel yang tegas untuk berjuang meraih kemenangan. Ini secara paradoksal barangkali menguntungkan Palestina sekaligus memperkuat dukungan dari Amerika.
I. Kompromi yang nyaris Mustahil
Sejak Deklarasi Balfour pada 1917, Palestina dan Israel mengejar tujuan yang statis namun saling bertentangan.
Peta khas berbahasa Arab ini memperlihatkan "Palestina Pengantinku" demi kehancuran Israel. |
Bertahun-tahun sebelum negara baru berdiri, Mufti Yerusalem, Amin al-Husseini, menekankan kebijakan untuk menolak (rejectionism) kaum Yahudi atau memusnakan setiap bekas kehadiran Yahudi dalam kawasan yang kini menjadi kawasan Israel[1]. Penolakan masih terjadi sekarang. Berbagai peta berbahasa Arab memperlihatkan sebuah "Palestina" yang menggantikan Israel menyimbolkan aspirasi yang terus berkembang ini. Penolakannya begitu mendalam sehingga bukan sekedar mendorong politik Palestina tetapi juga banyak masyarakatnya. Dengan konsisten, penuh energi dan tekun, mereka berjuang untuk terus menolak lewat tiga pendekatan utama: demoralisasi kaum Zionis lewat kekerasan politik, menghancurkan ekonomi Israel melalui boikot perdagangan serta memperlemah legitimasi Israel dengan berupaya mendapatkan dukungan luar negeri. Berbagai perbedaan antara faksi Palestina cenderung taktis: lebih berkaitan dengan soal apakah berbicara kepada Israel supaya bisa mendapatkan konsesi dari mereka atau bukan? Mahmoud Abbas merepresentasikan pandangan yang pertama, sedangkan Khaled Mashal memperlihatkan pandangan yang kedua.
Pada pihak Israel, nyaris semua orang menyepakati perlunya upaya agar diterima oleh warga Palestina (serta warga Arab dan Muslim lainnya). Jadi, sekali lagi, perbedaan hanya soal taktik. David Ben-Gurion menekankan satu pendekatan, yang memperlihatkan kepada warga Palestina apa saja yang bisa mereka dapatkan dari Zionisme. Vladimir Jabotinsky mengembangkan visi yang berbeda, memperlihatkan bahwa kaum Zionis tidak punya pilihan lain selain memecahkan keinginan warga Palestina yang keras kepala. Pendekatan-pendekatan dari saingan mereka tetap menjadi batu ujian bagi perdebatan kebijakan luar negeri Israel dengan Isaac Herzog pewaris dari Ben-Gurion dan Binyamin Netanyahu sebagai pewaris pemikiran-pemikiran Jabotinsky.
Ada dua hal yang hendak diraih --- penolakan dan penerimaan dari pihak lain (rejectionism and acceptance)--- pada dasarnya tetap tidak berubah selama satu abad. Otoritas Palestina, Hamas, Partai Buruh dan Likud yang kini ada merupakan turunan langsung dari Husseini, Ben-Gurion dan Jabotinsky. Berbagai ideologi, sasaran, taktik, strategi serta para pelakunya berarti bahwa detil-detilnya memang beragam, bahkan ketika hal-hal fundamentalnya secara mengagumkan tetap bertahan. Berbagai perang dan perjanjian muncul dan menghilang hanya mengarah kepada pergesekan-pergesekan kecil. Yang mengejutkan banyak putaran pertempuran berdampak tidak banyak atas tujuan-tujuan akhir, sementara berbagai perjanjian formal (seperti Perjanjian Oslo pada 1993) hanya meningkatkan rasa permusuhan terhadap eksistensi Israel, dan dengan demikian menjadi benar-benar kontraproduktif.
Penolakan Palestina atau kesediaannya untuk menerima Israel itu berpasangan: ya atau tidak, tidak ada yang berada di antara keduanya. Ini menyebabkan kompromi nyaris mustahil karena resolusi mempersyaratkan satu pihak benar-benar hendak meninggalkan tujuan-tujuannya. Entah warga Palestina menghentikan sikap penolakan mereka yang sudah berusia satu abad terhadap Negara Yahudi atau sebaliknya kaum Yahdi meninggalkan pencarian mereka selama 150 tahun atas tanah kelahiran mereka yang berdaulat. Apapun yang berbeda dari dua hasil ini menjadi penyelesaian yang tidak stabil yang sekedar sebagai premis bagi munculnya putaran konflik baru pada masa datang.
"Proses Perdamaian" Yang Gagal
Pembelaan diri (deterrence) adalah upaya untuk meyakinkan warga Palestina dan Negara-negara Arab demi eksistensi Israel lewat ancaman untuk melancarkan aksi balas dendam yang menyakitkan melatarbelakangi rekor mengagumkan dari visi strategis dan taktis Israel yang brilian selama periode 1948 hingga 1993. Selama masa itu, upaya untuk membela diri berperan sedemikian jauh agar negara-negara Arab musuh Israel melihat negeri itu berbeda hingga akhir periode itu. Pada 1948, serbuan pasukan Arab diharapkan hendak memberangus Negara Yahudi langsung pada saat baru saja berdiri. Tetapi, dengan melancarkan serangan pada 1993, Arafat tertantang untuk menandatangani sebuah perjanjian dengan Perdana Menteri Israel
Konon, upaya untuk melindungi diri, tidak bisa menyelesaikan persoalan. Karena, ketika warga Israel mendirikan sebuah negara modern, demokratis, makmur berkelimpahan dan kuat, ada fakta yang mengemuka. Fakta bahwa warga Palestina, Arab, Muslim serta (semakin meningkatnya) kaum kiri masih menolaknya sehingga menjadi sumber ganjalan rasa frustrasi. Israel menjadi tidak sabar; warga negaranya semakin mencemaskan kwalitas pembelaan diri yang tidak menarik, yang pada hakikatnya pasif, tidak langsung, kasar, lamban, membosankan, menjatuhkan martabat, reaktif dan berbiaya mahal. Juga secara internasional tidak popular.
Sikap tidak sabar ini mengarah kepada proses diplomatik yang berpuncak dengan jabatan tangan yang mengukuhkan penandatanganan Perjanjian Oslo di Halaman Gedung Putih, September 1993. Dalam waktu singkat "The Handshake" atau Acara Jabat Tangan (sebagaimana kala itu ditekankan) antara Pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berperan sebagai simbol mediasi yang berhasil. Sebuah mediasi yang memberikan masing-masing pihak apa yang paling diinginkan: martabat yang luhur serta otonomi bagi warga Palestina, pengakuan serta keamanan bagi warga Israel. Di antara banyak penghargaan yang diberikan, Arafat, Rabin dan Perdana Menteri Israel Shimon Peres memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Arafat, Peres dan Rabin dengan Hadiah Noberl bersama mereka, 1994. |
Bagaimanapun, perjanjian-perjanjian itu segera membuat kedua pihak kecewa. Memang, ketika Israel dan Palestina menyapakati hal kecil, mereka pun sepakat dengan suara nyaris bulat bahwa Perjanjian Oslo menjadi bencana bagi mereka.
Tatkala warga Palestina masih hidup langsung di bawah kendali Israel sebelum Perjanian Oslo, penerimaan terhadap Israel meningkat seiring dengan berjalannya waktu, karena kekerasan politik berkurang. Para pemukim Tepi Barat dan Jalur Gaza bisa bepergian di dalam negeri tanpa ada pos pemeriksaan dan punya akses untuk bisa mendapatkan pekerjaan di dalam kawasan Israel. Mereka menikmati keuntungan dari pemerintahan berdasarkan hukum serta ekonomi yang berkembang lebih dari empat kali lipat tanpa perlu bergantung pada bantuan asing. Sekolah berjalan sebagaimana mestinya dan rumah-rumah sakit berkembang. Demikian juga beberapa universitasnya.
Yasir Arafat lalu berjanji hendak mengubah Gaza menjadi "Singapore-nya Timur Tengah." Sayangnya, despotisme dan agresinya terhadap Israel justru mengubah tanah yang dikuasainya menjadi mimpi buruk, lebih mirip Kongo dibanding Singapura. Perjanjian Oslo kemudian diia mengeksploitasi untuk membangkitkan ekonomi yang mandiri, tirani, institusi yang gagal, korupsi, kaum radikal Islam serta kultus kematian atas warga Paletina, karena dia tidak ingin menyerah pada revolusi yang tetap serta ingin menjadi pemimpin yang biasa pada umumnya dari sebuah negara yang tidak jelas (obscure state).
Bagi Israel, Oslo tidak mengarah kepada apa yang diharapkan mengakhiri konflik, namun sebaliknya mengobarkan ambisi warga Palestina untuk menghapus tuntas Negara Yahudi. Seiring dengan memuncaknya kemarahan Palestina, lebih banyak lagi warga Israel terbunuh dalam 5 tahun pasca-Perjanjian Oslo dibandingkan dengan masa 15 tahun sebelumnya. Pidato pembangkit aksi kerusuhan dan kekerasan bergema--- dan tanpa henti 23 tahun kemudian. Lebih jauh lagi, upaya delegitimasi Israel yang Palestina lancarkan menyebabkan Israel mengeluarkan banyak biaya di panggung internasional karena kaum kiri berubah melawannya, memunculkan berbagai hal baru anti-Zionis seperti mengadakan Konperensi Duni PBB Melawan Rasisme di Durban dan adanya Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS).
Konperensi Dunia PBB menentang Rasisme di Durban menandai munculnya kalangan kiri anti-Zionisme ke permukaan. |
Dari sudut pandangan Israel 7 tahun masa reda selama Perjanjian Oslo berlangsung, dari tahun 1993 – 2000, justru mematikan 45 tahun perjuangannya untuk melindungi diri yang sudah berhasil yang belakangan diikuti lagi dengan 6 tahun penarikan diri yang sepihak. Akibatnya, perjuangan untuk membela diri pun dikuburkan dalam kurun waktu 2000 – 2006. Masa sejak 2006 menyaksikan tidak ada perubahan penting di negeri itu.
Pelaksanaan Perjanjian Oslo memperlihatkan bahwa konsesi yang Israel berikan kepada Palestina tak ada gunanya tatkala yang belakangan gagal menjalankan kewajiban-kewajibannya. Dengan mensinyalkan Israel yang lemah, Oslo justru menyebabkan situasi buruk berkembang semakin parah. Apa yang secara konvensional disebut dengan "proses perdamaian" bakal lebih tepat dijuluki sebagai "proses perang."
Harapan Salah untuk Memanfaatkan Kemenangan
Apakah yang salah dalam sebuah perjanjian yang tampaknya begitu menjanjikan?
Tanggung jawab moral terhadap gagalnya Perjanjian Oslo sepenuhnya terletak di tangan Yasser Arafat, Mahmoud Abbas serta pemimpin Otoritas Palestina yang lain. Mereka berpura-pura meninggalkan rejeksionisme atau sikap menolak Iseral serta sebaliknya menerima eksistensinya, tetapi kenyataannya berjuang membasmi Israel dengan berbagai cara lebih canggih, yaitu dengan menggantikan kekuatan dengan upaya delegitimasi.
Dikatakan bahwa Israel telah membuat kesalahan sangat besar dengan memasuki proses Oslo dengan premis yang salah. Yitzhak Rabin kerapi merangkum kesalahan ini dengan pernyataan, "Anda tidak berdamai dengan para sahabat. Anda berdamai dengan para musuh dengan reputasi yang menjijikan." "[2] Dengan kata lain, dia mengharapkan perang berakhir berkat niat baik, upaya untuk berdamai, mediasi, sikap lentur (flexibility), upaya menahan diri, sikap rendah hati serta kompromi yang berakhir dengan penandatanganan dokumen-dokumen resmi. Dalam semangat ini, pemerintahannya beserta semua penggantinya menyepakati konsesi yang begitu luas, bahkan sampai pada titik mengijinkan adanya sebuah milisi Palestina. Semua itu dilakukan senantiasa dengan harapan Palestina bakal membalas kebaikan itu dengan menerima Negara Yahudi.
Ternyata, mereka tak pernah membalas niat baik ini. Sebaliknya, berbagai kompromi dari Israel semakin memperparah rasa benci Palestina. Setiap langkah semakin meradikalisasi, menyemangati sekaligus memobilisasi lembaga politik Palestina. Upaya-upaya Israel untuk "berdamai" diterima sebagai tanda semangat yang melemah serta kelemahan diri. "Konsesi-konsesi yang menyakitkan" mengurangi kekaguman Palestina terhadap Israel, menyebabkan Negara Yahudi tampaknya rawan diserang sekaligus menginspirasi munculnya impian-impian untuk menghancurkan Israel hingga tuntas.
Dengan melihat masa lalu, tampaknya hal ini memang tidak mengejutkan. Berbeda dari slogan Rabin, orang memang tidak bisa "berdamai dengan musuh-musuh yang sangat menjijikan" tetapi sebaliknya dengan bekas musuh yang sangat menjijikan. Yaitu musuh-musuh yang sudah dikalahkan.
Hal ini membawa kita kepada konsep utama pendekatan saya, di mana kemenangan (victory, atau memaksakan keinginan seorang atas musuh, menantangnya menerima kerugian hingga menghentikan ambisinya untuk berperang. Perang berakhir, rekor historis memperlihatkan, bukan lewat niat baik, tetapi lewat kekalahan. Dia yang tidak memenangkan perang, kalah. Perang selalu berakhir ketika kegagalan menyebabkan satu pihak berputus asa, tatkala pihak itu meninggalkan tujuan perangnya lalu menerima kekalahan serta tatkaka kekalahan itu menguras tuntas keinginannya berperang. Dan sebaliknya, selama kedua pejuang masih berharap untuk meraih tujuan-tujuan perang mereka, maka perang bisa saja tetap berlangsung atau berpotensi mulai kembali.
Selama berabad-abad, para pemikir dan pejuang menyepakati pentingnya kemenangan sebagai tujuan perang yang sebenarnya. Sebagai contoh, Aristoteles menulis bahwa "kemenangan merupakan akhir dari penerapan strategi berperang (generalship). Dwight D. Eisenhower pun mengatakan bahwa "Dalam perang, tidak ada pengganti selain memenangkan perang." Teknologi maju memang belum mengubah kebenaran manusiawi yang abadi bertahan ini.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) |
Perang Dunia II, konflik Cina-India, Aljazair – Prancis, Vetnam Utara- Amerika Serikat, Inggris Raya–Argentina, Afghanistan-Uni Soviet Rusia (U.S.S.R.) serta Perang Dingin merupakan contoh dari konflik-konflik abad ke-20 yang jelas-jelas berakhir. Kalah perang bisa terjadi akibat tekanan militer atau banyaknya tekanan ekonomi dan politik; tak mempersyaratkan kekalahan militer atau kehancuran ekonomi yang menyeluruh, tetapi sedikitnya, pembasmian sebuah populasi. Sebagai contoh, satu-satunya kekalahan dalam sejarah A.S. di Vietnam Selatan pada 1975. Kekalahannya bukan terjadi karena kegagalan ekonomi atau habisnya amunisi atau kegagalan medan tempur (pihak Amerika justru memenangkan perang darat) tetapi karena Amerika sudah tidak punya niat untuk terus berperang.
Memang, tahun 1945 menandai jalur pemisah. Sebelumnya, kekuatan militer yang sangat luar biasa bisa membungkam keinginan musuh untuk berperang. Sejak itu, jarang terjadi medan tempur akbar yang sukses. Medan tempur yang unggul tak lagi diterjemahkan seperti sebelumnya sebagai upaya untuk mematahkan keputusan musuh untuk berperang. Dalam istilah Clausewitz, morale and will atau semangat dan keinginan, kini menjadi pusat daya tarik, bukan lagi tank dan kapal perang. Walau jumlah tentara dan senjata Prancis lebih banyak dibandingkan dengan musuh mereka di Aljazair, sama seperti pasukan Amerika di Vietnam serta Soviet di Afghanistan, semua kekuatan ini kalah perang. Sebaliknya, negara-negara Arab kalah di medan perang pada tahun 1948 – 1982. Hal itu juga dialami oleh Korea Utara pada 1950-53, Irak pada 1991 serta 2003 namun tidak diterjemahkan sebagai penyerahan diri sekaligus kalah.
Perang tetap saja kembali meledak bahkan sangat mungkin meledak lagi bila pihak yang kalah mempertahankan tujuan-tujuan perangnya. Jerman mempertahankan tujuannya untuk menguasai Eropa setelah kalah dalam Perang Dunia I lalu berharap Hitler mencoba lagi. Sikap Jerman itu mendorong Negara-Negara Sekutu untuk menang total guna memastikan Jerman tidak mencoba untuk ketiga kalinya. Perang Korea berakhir pada 1953, tetapi Korea Utara dan Selatan sama-sama mempertahankan tujuan perang mereka. Itu berarti konflik mungkin kembali meledak kapan pun, seperti perang antara India dan Pakistan. Negara-negara Arab kalah setiap putaran perang melawan Israel ((1948-49, 1956, 1967, 1973, dan 1982), namun lama melihat kekalahan mereka sekedar sementara sehingga membuang-buang waktu dengan mencoba melancarkan perang lagi.
II. Kerja Keras untuk Menang
Seberapa kuat Israel membujuk Palestina untuk berhenti menolaknya?
Untuk awalnya, ada rangkaian rencana yang penuh warna (yang sama-sama eksklusif) untuk mengakhiri konflik yang menyenangkan Israel muncul selama beberapa dekade. [3] Mulai dari rencana yang paling lembut hingga paling keras, termasuk:
- Mundur dari kawasan pendudukan (territorial retreat) dari Tepi Barat atau kawasan yang sudah dikompromikan di dalam lingkungan Tepi Barat.
- Menyewakan tanah yang beada dalam kekuasaan kota Israel di Tepi Barat
- Mencari cara-cara kreatif untuk membagi Bait Allah
- Memajukan ekonomi Palestina
- Mendorong pemerintahan yang bersih (good governance) Palestina.
- Menyebarkan pasukan internasional .
- Mengadakan aksi pengumpulan dana internasional (berdasarkan model Marshall Plan).
- Unilateralisme (membangun tembok keliling).
- Ngotot mempertahankan bahwa Yordania adalah kawasan Palestina.
- Mencabut status warga Palestina yang tidak setia dari kewarganegaraan Israel.
- Mengeluarkan warga Palestina dari tanah yang dikuasai Israel.
Persoalannya, tidak satu pun dari berbagai rencana itu membahas perlunya menghentikan keinginan rakyat Palestina untuk berperang. Mereka semua berusaha memancing konflik tanpa berupaya menyelesaikannya. Mereka semua berjuang untuk meraih kemenangan secara licik. Sebagaimana Perjanjian Oslo gagal, demikian juga skema lain yang menghindari kerja keras untuk meraih kemenangan.
Pola historis ini secara implisit mengatakan bahwa Israel hanya punya satu pilihan agar bisa diterima oleh Palestina. Caranya, dengan kembali kepada kebijakan untuk membela dirinya yang lama, dengan menghukum warga Palestina ketika mereka menyerang. Pencegahan lebih daripada sekedar taktik-taktik keras; ia mempersyaratkan kebijakan sistematis yang mendorong Palestina untuk menerima Israel dan sebaliknya berhenti menolaknya. Untuk itu dituntut strategi jangka panjang untuk mampu mengubah hati manusia.
Membujuk warga Palestina untuk mengubah hati bukan proses yang indah menyenangkan, tetapi berbasiskan kebijakan sepadan serta tanggapan berbasis tingkatan aksi. Jika melanggar batas-batas yang dapat diterima, mereka harus membayarnya secara wajar dan seterusnya. Respon tergantung pada situasi tertentu sehingga saran-saran berikut hanya umum sebagai contoh bagi Washington untuk mengajukan usul, mulai dari yang paling lembut hingga yang paling keras tegas.
Ketika "para syuhadah" Palestina menimbulkan kerusakan materil, mereka harus membayar perbaikannya yang diambil dari kasarnya, $300 juta pajak wajib yang Pemerintah Israel transfer kepada Otoritas Palestina (PA) setiap tahun. Respon dilakukan atas berbagai aktivitas yang didesain untuk mengisolasi serta melemahkan Israel secara internasional dengan membatasi akses terhadap Tepi Barat. Tatkala seorang penyerang Palestina terbunuh, kuburkan jenazahnya diam-diam secara anonim di lahan-lahan milik orang miskin. Kala pemimpin PA menghasut aksi kekerasan, cegahlah para pejabat itu pulang dari luar negeri untuk kembali ke PA. Merespon pembunuhan warga Israel dengan memperluas kota-kota Yahudi di Tepi Barat. Ketika senjata-senjata para pejabat PA diarahkan untuk melawan Israel, sita lalu larang mereka membeli senjata baru dan jika terjadi berulang-ulang, bongkarlah infrastruktur keamanan PA. Andai kekerasan berlanjut, kurangi kemudian matikan air dan listrik yang Israel pasok. Dalam kasus tembak-menembak bersenjata, penembakan mortar serta roket, duduki lalu kendalikan kawasan-kawasan tempat-tempat aksi itu berasal.
Tentu saja, langkah-langkah itu jelas-jelas bertentangan dengan pandangan konsensus di Israel sekarang ini yang di atas segala-galanya berupaya membuat agar warga Palestina tidak bisa bergerak. Tetapi sudut pandang yang lamur itu terbentuk di bawah tekanan yang tak kunjung padam dari dunia luar khususnya dari Pemerintah AS guna mengakomodasi PA. Tidak diragukan lagi bahwa menghapus tekanan seperti ini bakal mendorong Israel menerapkan berbagai taktik yang lebihtegas yang disusun di sini.
Menciptakan perdamaian sejati berarti mencari cara-cara untuk memaksa warga Palestina supaya mengubah hatinya, berhenti menolak, menerima kaum Yahudi, Zionisme dan Israel. Kala sudah cukup warga Palestina meninggalkan impian mereka untuk melenyapkan Israel, maka mereka membuat konsesi yang diperlukan untuk mengakhiri konflik. Untuk mengakhiri konflik, Israel harus yakin bahwa mereka sudah kehilangan 50 persent lebih warga Palestina.
Di sini, tujuannya bukanlah agar Palestina mencintai Zion tetapi untuk mematikan perlengkapan perang selamanya; untuk menutup berbagai pabrik bunuh diri, menghapus upaya menjadikan Yahudi dan Israel sebagai penjahat (demonization), mengakui ikatan umat Yahudi dengan Yerusalem serta "menormaliasi" hubungan dengan warga Israel. Warga Palestina akan benar-benar menerima Israel dalam waktu lama dan konsisten bila kekerasan berakhir berganti dengan inisiatif politik yang berbarengan dengan surat kepada pihak suratkabar yang dirumuskan secara tegas. Secara simbolis, konflik selesai tatkala kaum Yahudi yang berdiam di Hebron (di Tepi Barat) tidak lagi membutuhkan keamanan dibandingkan dengan warga Palestina yang berdiam di Nazareth (di bawah kekuasaan Israel).
Polisi perbatasan Israeli menjaga sebuah kelompok turis Israel yang tengah berkunjung ke Hebron, April 2014 lalu. |
Kepada berbagai pihak yang meyakini Palestina begitu bersemangat untuk melawan sehingga terlampau sulit dikalahkan, saya punya jawabannya: Jika warga Jerman dan Jepang, yang juga tidak kurang semangatnya untuk bertempur serta jauh lebih kuat saja bisa dikalahkan dalam Perang Dunia II kemudian berubah menjadi warga negara biasa, mengapa warga Palestina sekarang ini tidak? Lebih jauh lagi, kaum Muslim pun sudah berkali-kali menyerah kepada kaum kafir sepanjang sejarah ketika berhadapan dengan pasukan yang lebih kuat dan penuh tekad, mulai dari Spanyol, Balkan hingga Libanon.
Israel sudah menikmati dua hal menguntung. Pertama, usahanya sama sekali tidak dimulai dari nol. Berbagai polling dan indikator lain memperlihatkan bahwa 20 persen warga Palestina serta warga Arab lainnya konsisten menerima Negara Yahudi. Kedua, Israel hanya perlu menghadapi Palestina, actor yang sangat lemah, bukan seluruh Arab atau populasi Muslim. Bagaimanapun lemahnya istilah obyektifnya (ekonomi, kekuatan militer) Palestina memang membuka jalan menuju perang melawan Israel, dan karena itu, ketika mereka mulai menerima, maka pihak-pihak lain (seperti rakyat Maroko, Iran, Malaysia, dkk) mengikuti isyarat Palestina dan seiring dengan berjalannya waktu mungkin mengikuti langkah mereka.
Warga Palestina Mendapat Untung Karena Kalah
Bagaimanapun berapa banyak pun Israel peroleh dari upayanya untuk menghentikan sisa persoalan yang ditimbulkan oleh Palestina, mereka sudah hidup dalam sebuah negara modern yang berhasil yang mampu menghadapi kekerasan serta delegitimasi yang ditimpakan atas mereka.[4] Berbagai survei, misalnya memperlihatkan Bangsa Israel termasuk di antara orang-orang yang paling bahagia di mana pun mereka berada dan angka kelahiran yang tinggi mengukuhkan kesan-kesan ini.
Sebaliknya, warga Palestina hidup sengsara dan menjadi populasi yang paling radikal di dunia. Berbagai survei pendapat umum secara konsisten memperlihatkan mereka memilih sikap nihilisme. Orangtua lain mana yang mau membanggakan anak-anak mereka menjadi pelaku bom diri? Orang lain mana yang lebih memprioritaskan upaya untuk merugikan tetangganya daripada memperbaiki sendiri ladangnya? Hamas dan Otoritas Palestina sama-sama menjalankan rejim otoriter yang menindas masyarakat mereka sekaligus mengejar tujuan-tujuan yang merusak. Ekonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza tergantung, lebih daripada tempat lain di manapun, dari uang gratis dari luar negeri, sehingga menciptakan ketergantungan yang berbarengan dengan rasa marah. Nilai-nilai budaya Palestina pun terbelakang lebih ke abad pertengahan sepanjang masa. Orang-orang yang trampil dan ambisis terjebak dalam penindasan politik, dalam institusi yang gagal serta budaya yang membangga-banggakan angan-angan, ekstremisme dan upaya untuk menghancurkan diri sendiri.
Israel yang menang membebaskan warga Palestina. Kekalahan memaksa mereka mengikuti fantasi-fantasi untuk kembali memasuki tanah mereka (irendentist fantasies) serta terjebak dalam retorika hampa tentang revolusi. Kekalahan juga membuat mereka bebas untuk memperbaiki hidup mereka sendiri. Dengan menghapuskan dari benak mereka obsesesi untuk membasmi rakyat Israel, warga Palestina bisa menjadi manusia normal sehingga bisa mengembangkan pemerintahan, ekonomi, masyarakat serta budaya mereka sendiri. Akhirnya, negosiasi-negosiasi bisa dimulai dengan sungguh-sungguh. Secara keseluruhan, melihat titik awal mereka yang jauh lebih rendah, masyarakat Palestina ironisnya bisa meraih lebih banyak dari kekalahan mereka dibandingkan daripada yang diperoleh Israel dari kemenangannya.
Dengan demikian,perubahan tidak mudah atau cepat. Warga Palestina harus melewati percobaan pahit dari kekalahan mereka dengan semua kehilangan harga diri, perasaan hancur serta perasaan putus asa ketika mereka menolah warisan menjijikan dari Haji Amin al-Husseini serta mengakui kesalahan mereka selama satu abad. Tetapi tidak ada jalan pintas untuk ini.
Perlunya Dukungan Amerika
Palestina mengerahkan tim dukungan global yang unik yang terdiri dari PBB dan sejumlah besar wartawan, aktivis, pendidik, artis, kaum Islam radikal serta kalangan kiri. Mereka bukan lagi fron pembebasan Afrika yang tidak jelas, tetapi cita-cita revolusioner yang paling disukai dunia. Ini menyebabkan tugas Israel menjadi panjang, sulit sehingga bergantung pada para pendukungnya yang paling setia dan terpenting Pemerintah A.S.
Bagi Washington, berhasil berarti tidak lagi menarik berbagai pihak kembali kepada semakin banyak negosiasi tetapi secara sehat mendukung langkah Israel menuju kemenangan. Ini tidak saja menterjemahkan mendukung pertunjukan kekuatan Israel yang kadangkala dilakukan tetapi suatu upaya internasional yang berkelanjutan serta sistematis untuk bekerja sama dengan Israel, menyeleksi Negara-Negara Arab serta negara-negara lainnya guna meyakinkan Palestina tentang sia-sianya penolakan mereka: Israel ada, permanen dan ia menikmati dukungan yang luas.
Itu berarti dukungan terhadap Israel membutuhkan langkah-langkah mantap yang dibagankan di atas, mulai dari menguburkan jenasah para pembunuh secara anonim guna menutup (shuttering) langkah Otoritas Palestina. Itu berarti dukungan diplomatik bagi Israel seperti menghentikan sandiwara "pengungsi Palestina serta menolak klaim Yerusalem sebagai ibukota Palestina. Termasuk menghentikan kepentingan warga Palestina, kecuali jika mereka bekerja hingga Israel diterima penuh dan tetap: tidak ada diplomasi, tidak ada pengakuan sebagai sebuah negara, tidak ada bantuan keuangan dan tentu saja tidak ada senjata, apalagi pelatihan milisi.
Sebelum Palestina menerima Negara Yahudi, diplomasi Israel–Palestina masih prematur . Isu pokok Perjanjian Oslo (seperti soal perbatasan negara, air, persenjataan, tempat-tempat suci, komunitas Yahudi di Tepi Barat, "pengungsi Palestina) tidak ada gunanya didiskusikan sejauh satu pihak masih menolak pihak lainnya. Tetapi negosiasi bisa dibuka kembali lalu membahas lagi mulai dari awal isu-isu Oslo tentang masa-masa menyenangkan sehingga warga Palestina menerima Negara Yahudi. Bagaimanapun, prospek itu masih jauh pada masa datang. Untuk sekarang, Israel perlu menang.***
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum
(Forum Timur Tengah). © 2016 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Judul artikel ini merujuk kepada Deuteronomy atau Kitab Ulangan 16:20.
[1] Saya menganalisa topik ini untuk Commentary pada Bulan Desember 1997 dalam artikel berjudul "On Arab Rejectionism" (Seputar Penolakan Arab).
[2] Yang, secara hati-hati menekankan kembali pernyataan dari seorang pemimpin PLO, Said Hammami, dari 15 tahun sebelumnya.
[3] Saya membahas usulan ini secara rinci untuk Commentary pada Bulan Februari 2003 lewat artikel berjudul "Does Israel Need a Plan?" (Apalah Israel Butuhkan Sebuah Rencana?).
[4] Korban luka dan tewas akibat kecelakaan lalu-lintas di Israel selama periode 2000-05, misalnya, mencapai 30,000 sementara korban luka berkaitan terorisme mencapai 2,000 orang.