Bukit Bait Allah (Temple Mount) di kota tua Yerusalem sekali lagi jadi berita. Juli lalu, Ehud Barak, yang kala itu Perdana Menteri Israel mengejutkan dunia. Ia mengejutkan dunia karena mengatakan bersedia mengalah kepada permintaan Yasser Arafat yang ingin mendapatkan kedaulatan atas sebagian kota itu, sebuah kawasan paling suci Bangsa Yahudi. Kurang dari dua bulan kemudian, masyarakat Palestina pun menanggapi putaran terakhir konsesi Israel dengan memperbarui kampanye kekerasan mereka. Menariknya, mereka menggambarkan aksi-aksi itu, sedikitnya pada awalnya, sebagai termotivasi oleh tekad untuk melindungi sebuah masjid di puncak bukit (Mount) yang sama. Tatkala Februari lalu, Ariel Sharon terpilih menjadi Perdana Menteri Israel, dia, untuk bagiannya sendiri, dalam satu pernyataan kebijakannya yang pertama menegaskan bahwa Yerusalem tetap "ibukota Negara Israel yang bersatu dan tidak terpisahkan dengan Bukit Bait Allah berada di pusatnya, selama-lamanya."
Dengan demikian, sangatlah masuk akal bahwa Gershom Gorenberg, seorang warga Amerika yang berdiam di Yerusalem semenjak 1977 dan kini editor senior Harian Jerusalem Report, harus mengatakan tempat itu "kepingan tanah di muka bumi yang paling banyak diperebutkan." Bukan saja karena bukit buatan manusia itu merupakan tempat dua Bait Allah Yahudi kuno pernah dibangun dan dua situs penting Islam penting berdiri, kawasan itu seperti Gorenberg tuliskan dalam bukunya The End of Days, juga merupakan tempat "ribuan tahun impian" (millennial dreams) bagi banyak umat Kristen. Dua situs Islam penting adalah Dome of the Rock dan Masjid al-Aqsa,
Dalam buku yang dituliskan dengan sangat bagus dan diterbitkan tepat sebelum aksi kekerasan September silam meledak ini, Gorenberg memusatkan perhatiannya pada peran Bukit Bait Allah dalam harapan-harapan "jutaan pria wanita yang sangat rasional, yang masuk dalam gerakan-gerakan keagamaan mapan di seluruh penjuru dunia [yang] menantikan sejarah berakhir untuk kemudian berlanjut dengan berdirinya sebuah masa yang sempurna." Fokus utama Gorenberg dengan demikian adalah seputar umat Kristen dan Yahudi, meskipun ketiga agama monoteisme penting mendapat perhatian dalam The End of Days. Sementara itu, kaum Muslim ditempatkan, agak kurang tepat, sebagai pengamat.
Seperti Gorenberg kisahkan, sejumlah besar umat Kristen evangelis meyakini bahwa Kedatangan Yesus Kedua bakal didahului dengan serangkaian panjang periswa yang mengagumkan sekaligus mengerikan. Dalam "suasana gembira karena pesona gereja", sebuah frase yang dipopulerkan oleh pengkotbah Inggris abad ke-19 John Darby, umat Kristen sejati bakal terbang ke surga. Sementara itu, sebagian dunia lainnya mengalami tujuh tahun penuh sengsara yang mendahului berdirinya Kerajaan Allah di dunia, sehingga kaum Anti-Kristus bakal menajiskan Bait Allah di Yerusalem. Tindakan ini tentu saja memperlihatkan adanya implikasi bahwa Bait Allah sendiri harus dibangun sebelum Hari-Hari Kiamat dan Kedatangan Kedua Yesus bisa terjadi.
Sekitar seperempat bagian umat Kristen Amerika, yang secara teknis dikenal sebagai kaum yang konon menurut Alkitab mendapat dispensasi sejak ribuan tahun silam (premillennial dispensationalists) meyakini sedikitnya beberapa aspek visi ini. Jumlah umat Kristen seperti ini berkembang subur di Amerika Latin dan Asia Timur (walaupun tidak di Eropa Barat) berkat berbagai karya missioner. Pemikiran mereka yang berkembang luas seputar hari kiamat dapat juga dilihat dalam penjualan berbagai buku. Seri buku The Left Behind, sebuah rangkaian kisah thriller karya Jerry Jenkin serta Tim LaHaye yang kemudian mengikuti jalur pemikiran kaum dispensationalist premillenial, berhasil terjual sepuluh juta buku (dan sebuah film penting berbasiskan kisah ini kini sudah diluncurkan). Yang lebih mengagumkan lagi adalah buku karya Hal Lindsey bertajuk, The Late Great Planet Earth (1970). Buku yang mencoba menawarkan pendekatan lain terhadap "masa kiamat" serta kedatangan kembali Yesus itu ternyata sudah dijual sekitar 34 juta buku dalam 54 bahasa sehingga mungkin menjadi penjualan buku paling laris pada penghujung abad kedua puluh.
Di Amerika, sedikitnya, pandangan tentang sifat alamiah ini bukan hal baru dalam dunia Kristen. Milenialisme, Gorenberg menulis, "Datang bersamaan dengan Mayflower (sebuah kapal yang mengangkut separatis Inggris dari Inggris menuju ASpada tahun 1620) sekaligus menjadi tanda bagi agama masyarakat Amerika sejak sekarang." Yang masih ingin diketahui adalah munculnya kecenderungan umat Kristen Zionis abad ke-19 sebelum Zionisme politik berkembang di kalangan Yahudi yang seolah-olah menyambut sekaligus menunjang kedatangan kembali Yesus Kristus. Karena itu, dalam sebuah petisi tahun 1891 yang dikenal sebagai Petisi Blackstone Memorial, yang diberi nama sesuai nama seorang evanggelis Chicago, 413 warga Yahudi dan Kristen kenamaan Amerika meminta Presiden AS mengadakan "sebuah konperensi internasional guna mempertimbangkkan kondisi Bangsa Israel serta klaim mereka terhadap Palestina sebagai rumah purbakala mereka." Bagi sejumlah kaum Kristen, Deklarasi Balfour (Balfour Declaration) pada 1917 memperlihatkan simpati Pemerintah Inggris terhadap aspirasi Zionis yang tampaknya menggenapkan ramalan purbakala tersebut. Dengan demikian, berapa banyak lagi ramalan digenapi dalam kasus terbentuknya Israel merdeka pada tahun 1948. Dan, ketika pada tahun 1948, Israel kembali merebut Bukit Bait Allah dalam Perang Enam Hari, sejumlah kalangan pun menilai bahwa hal itu memperlihatkan bukti mutlak kuatnya ramalan itu, sehingga memunculkan sikap yang mengarah kepada kebangkitan kembali umat Kristen sekaligus memperbesar harapan bagi pembangunan kembali Bait Allah.
Ringkasnya, jutaan umat Kristen di seluruh penjuru dunia sungguh-sungguh tulus menyakini bahwa status berbagai bangunan di sebuah alun-alun di Yerusalem bakal menentukan nasib pengalaman manusia, jika bukan nasib kosmos. Dan ini berarti, seperti Gorenberg tuliskan, "tanpa dia sendiri memilih" Negara Israel justru diberikan "peran utama dalam drama Kiamat Kristen." Menurut istilah drama itu, Israel bukan saja diperintahkan untuk menguasai Bukit Bait Allah; tetapi juga punya tugas mendesak untuk membangun kembali Bait Allah, sebuah tugas yang secara unik ditentukan bagi umat Yahudi, bukan umat Kristen. Betapa pun bersemangatnya kaum evangelis mungkin ingin melihat Bait Ketiga berdiri, namun yang paling mungkin dapat mereka lakukan adalah membangkitkan kembali kenangan kaum Yahudi dalam arah yang disukai.
Secara luas dapat dikatakan ini berarti mendukung Israel dalam konfliknya dengan Bangsa Arab dan mendukung partai di Israel (dalam hal ini Partai Likud) yang memilih mengambil jalur yang lebih keras. Itu juga berarti, tentu saja, melakukan agitasi agar kaum Yahudi terus menguasai Bukit Bait Allah. Sejumlah kalangan Kristen memang lebih terlibat langsung dengan memberi dukungan yang tulus termasuk dukungan moral dan finansial kepada berbagai gelintir kaum Yahudi yang berniat membangun kembali Bait Allah. Dalam sebuah judul bab bukunya yang menarik bertajuk ""Cattlemen of the Apocalypse" (Para Penggembala yang Mempercayai Wahyu), Gorenberg berkisah tentang sejumlah umat Kristen yang berusaha mengembangbiakan sejenis sapi (heifer) merah murni karena abu bakaran jenis binatang ini, menurut Injil diperlukan untuk membersihkan para imam Bait Allah dari ritual yang tidak murni.
Sementara itu, kaum Yahudi yang juga menyembunyikan harapan mereka atas adanya Bait Allah Ketiga, dikumpulkan dalam berbagai kelompok kecil dengan berbagai nama. Seperti misalnya nama Kaum Beriman Bukit Bait Allah (Temple Mount Faithful) serta Gerakan Pembangunan Bait Allah (Movement for the Establishment of the Temple). Jumlah mereka pun agaknya membengkak karena ada seperempat atau separuh orang yang meyakini tujuan mereka. Tujuan-tujuan ini mengarah kepada berakhirnya semua perang serta era di luar sejarah. Seorang pemimpin yang dikutip Gorenberg meyakini bahwa upaya pembangunan Bait Allah "bakal membawa damai, membawa keamanan, menyembuhkan semua sakit masyarakat!" (Pihak lain mungkin menyimpulkan bahwa hal itu bakal menyebabkan kaum Muslim melakukan balas dendam sekaligus pertumpahan daerah yang mengerikan.) Sejumlah kalangan tengah bekerja menuju tujuan ini dengan mempersiapkan pakaian dan pembuatan uang logam yang tepat, serta peralatan-peralatan kotban yang diperlukan untuk digunakan dalam pembangunan Bait Allah.
Dan kaum Muslim? Mereka mengawasi gerakan potensial apapun antara kaum Yahudi dan kaum Kristen untuk meruntuhkan bangunan-bangunan Islam di Bukit yang secara kolektif dikenal sebagai Al-Haram ash-Sharif (Tempat Perlindungan Suci nan Agung) dengan perasaan penuh curiga berbarengan dengan keinginan untuk bertempur. Apa arti sikap ini bisa terlihat pada peristiwa September 1996. Ketika itu, para pemimpin Palestina menghasut terjadinya kerusuhan besar setelah Pemerintah Istael membuka "lorong keluar" (tunnel exit) di Yerusalem, sekitar 180 meter (200 yard) dari Masjid Al-Aqsa. Dalam aksi rusuh selanjutnya nyaris 80 orang tewas. Dengan demikian, mungkin tidak salah untuk melihat kerusuhan yang dilancarkan Palestina melawan Israel sebagai sebentuk perlindungan awal terhadap masjid pada saat yang sangat sulit: intifadah milenial.
Yang jauh lebih mengejutkan lagi adalah, kaum Muslim pun terbenam dalam demam seputar Bukit Bait Allah. Nyatanya mereka begitu terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dunia Barat bahwa banyak kalangan kini berupaya mengadaptasi aspek-aspek eskatologi Kristen evangelis pada tujuan-tujuan Islam. Jadi, kalangan Muslim yang berpikiran apokaliptik pun lalu melihat pembentukan Israel sebagai awal dari sebuah proses yang tengah bergerak menuju kemenangan Islam, kehancuran Israel atau berakhirnya dunia. Secara simbolis tahun2000 dalam kalender Kristen pun memberi arti penting bagi kalangan Muslim ini, sehingga mainstream Islam pun tidak mengijinkannya, karena beberapa publikasi popular jika tidak dapat dikatakan bidaah mengumumkan bahwa Anti-Kristus (dajjall dalam Bahasa Arab) bakal datang pada tahun itu. Kenyataan bahwa sejumlah kaum Muslim percaya bahwa kiamat ditentukan oleh berbagai peristiwa yang sedang terjadi di Bukit Bait Allah semakin menyulut situasi yang memanas---walaupun dalam istilah-istilah praktis, mereka agaknya tidak bakal menjadi orang-orang yang berniat untuk melakukan aksi-aksi pemicu karena kepentingan utama kaum Muslim terletak dalam upaya mereka untuk menjaga status-quo di sana.
"Sangat mungkin bahwa seseorang, yang kini anonim, bakal mencoba menimbulkan [terjadinya bencana] di Bukit Bait Allah, tulis Gorenberg. Dan memang, sedikit sekali yang bisa dilakukan untuk memulai aksi pembakaran di kepingan tanah ini, karena dinding serta bangunan-bangunan kunonya dapat dengan mudah diledakan atau sebaliknya dihancurkan oleh sekelompok orang fanatik.
Gorenberg takut peristiwa-peristiwa seperti itu segera terjadi. Karena, dalam pemikiran relijius, "millennium" tidak secara tepat merujuk pada sebuah tahun dengan tiga buah angka nol, tetapi pada sebuah era panjang yang menandai berakhirnya sejarah yang wajar sekaligus awal dari Kerajaan Allah. Jika ada, maka demam yang berkaitan dengan era millennia mungkin saja lebih tinggi tahun ini dibanding selama tahun 2000 karena begitu banyak orang yang mengharapkan Kiamat (End) terjadi tahun lalu justru kecewa. Berbagai catatan historis memperlihatkan betapa perasaan kecewa itu dapat mengarah kepada kekerasan sehingga menjadi peringatan kepada siapapun yang bernafas lega ketika kalender berubah menjadi 2001. "Hari setelah Kiamat itu paling berbahaya," Gorenberg perhatikan.
Ada juga pelajaran di sini bagi kalangan yang mungkin tergoda untuk mengabaikan apa yang Alkitab (Bible babble) katakan sebagai, seperangkat keyakinan dalam diri mereka sendiri yang tidak berarti sekaligus curang. Di negeri ini, upaya untuk mengabaikan pandangan-pandangan yang berkaitan dengan wahyu ala David Koresh sangat berkontribusi terhadap munculnya hal yang berbahaya di kompleks perumahan Branch Davidian atau cabang pengikut David di Waco, Texas. Demikian juga, tulis Gorenberg, dengan mengabaikan "krisis teologis yang timbul dari Perjanjian Oslo", di antara sejumlah kalangan Yahudi, maka pihak berwenang Israel sebetulnya membiarkan diri tidak siap menghadapi peristiwa seperti pembantaian di Hebron yang dilakukan oleh Baruch Goldstein pada tahun 1994. Supaya bisa mencegah aksi kejam terjadi, dia pun memperingatkan, pihak berwewenang harus membasiskan diri pada garis tipis: "tidak memperlakukan keyakinan sebagai kejahatan [tetapi] memahami di mana keyakinan-keyakinan dapat diarahkan."
Ada juga kebutuhan yang lebih luas---kebutuhan untuk memahami sahabat seseorang. Ketika menerima dukungan dari para sekutu Kristen yang meyakini Injil, orang Israel dengan tajam mengabaikan beberapa ketentuan dari agenda milenial, yang salah satunya berkaitan dengan percakapan menyeluruh yang prospektif dengan umat Kriten dari generasi Yahudi "terakhir" (terminal). Pada pihak lain, sejumlah evangelis tampaknya tidak memperhitungkan kenyataan bahwa selain segelintir tokoh marjinal, orang-orang Israel pun tak berniat untuk menghancurkan tempat-tempat suci Islam supaya bisa membangun sebuah bait Allah.
Tentu saja mengkhawatirkan bila masing-masing pihak yang sudah punya hubungan yang bagus menyembunyikan harapannya sendiri dari pihak lain. Atau bilamana, seperti Gorenberg tuliskan, masing-masing pihak" kerapkali menganggap pihak lain sebagai alat yang tidak diketahui untuk mencapai sebuah tujuan yang lebih tinggi." Yang menjadi keprihatinannya adalah bahwa, rasa kecewa karena kaum Yahudi gagal memulai pembangunan yang dipersyaratkan, orang-orang Kristen yang penuh semangat mungkin melihat kaum Yahudi sebagai menghambat kegembiraan ini dan sekali lagi juga menggagalkan Yesus. "Tatkala generasi 'terakhir' [dari kalangan Yahudi] menolak untuk mencapai akhir ini, perasaan frustrasi lama dengan kaum Yahudi yang tidak memainkan peran mereka agaknya semuanya bakal mengemuka."
Sedikitnya, masih ada preseden sehingga perasan seperti ini berubah, yang tidak disebutkan oleh Gorenberg tetapi akhir-akhir ini dipelajari oleh Michael Barkun dari Universitas Syracuse. Israelisme Inggris, sebuah gerakan Kristen pro-Zionisme sebelum negara Israel ada, berubah menjadi kaum anti-Zionis ketika organisasi itu menemukan dirinya tidak diundang untuk membantu membangun negara yang baru. "Seperti kaum fundamentalis masa kini," Barkun menulis, "mereka membutuhkan sebuah Negara Yahudi di Palestina karena alasan teologis, tetapi itu tidak berarti mereka menyukai kaum Yahudi." Gerakan Israel-Inggris itu sebaliknya menelorkan Gerakan Identitas Kristen, yang juga dikenal sebagai Aryan Nation (Bangsa Arya), yang barangkali gerakan rasis anti-Semitik Kristen paling berbahaya yang ada sekarang ini.
Gorenberg benar ketika mengkhawatirkan berbagai isu yang berkaitan dengan Bukit Bait Allah, karena mereka punya kapasitas yang unik untuk bisa membangkitkan krisis internasional yang menggetarkan. Bagaimanapun, pada saat bersamaan, kisahnya menekankan perlunya untuk bersikap hati-hati untuk membedakan antara kaum moderat dan kaum ekstremis, khususnya ketika berurusan dengan gejala yang sangat beraneka ragam seperti Kristen evanggelis Amerika. Kepercayaan itu satu hal, tetapi bertindak berdasarkan kepercayaan merupakan persoalan lain lagi. Seperti kaum Yahudi yang berdoa tiga kali setiap hari supaya bisa membangun kembali Bait Allah sekaligus memperbaiki kembali tempat persembahan binatang, mayoritas kaum evanggelis tidak punya masalah untuk membedakan antara suasana (realms) dari kepercayaan puncak dan tindakan manusiawi pada pihak lain. Jadi, sampai sebegitu jauh, kecuali segelintir kecil kaum ekstremis, kaum moderat (the center) bisa dipegang, dan ada peluang yang baik untuk mengharapkan dia akan terus berlangsung demikian.