[N.B.: Tulisan berikut ini merefleksikan apa yang pengarang ajukan kepada penerbit, bukan apa yang pernah diterbitkan. Untuk memperoleh teks yang tepat seperti yang dicetak, silakan lihat file PDF yang disatukan di atas.]
Pertengahan Januari 1991. Bom pertama mulai jatuh di Irak. Kala itulah, Saddam Hussein dan para pendukung fanatiknya menawarkan dua interpretasi yang benar-benar bertentangan atas perang mereka dengan aliansi pimpinan Amerika Serikat. Kadangkala mereka memperlihatkan konflik sebagai konspirasi besar yang ditetaskan kaum Zionis lalu dijalankan oleh kaki tangan Amerika mereka---khususnya ketika membenarkan serangan peluru kendali mereka yang serampangan atas Israel. "Perang ini yang dikobarkan atas kita adalah perang Zionis," urai Saddam Hussein dalam sebuah wawancara televisi, akhir Januari lalu, kemudian menambahkan, "hanya di sini, Zionisme memerangi kita melalui darah masyarakat Amerika." Tetapi tatkala Bagdad ingin menggambarkan Presiden Bush sebagai "Setan Terbesar" di Gedung Putih, Israel mengkerut ketakutan dalam "cangkeraman cakar kucing jahat" Amerika.
Jelas, hanya satu kharakter Israel yang bisa benar; dia mengendalikan kebijakan Timur Tengah Washington atau dia melayani kepentingan-kepentingan ala kekaisaran Amerika---tetapi tidak bisa kedua-duanya.
Kontradiksi yang sama mengemuka sejak awal krisis Teluk Persia. Baru saja sebulan lebih Irak melancarkan invasi atas Kuwait, pada 24 Juni 1990, sebuah suratkabat Bagdad mengeluh bahwa Pemerintah AS hanya menyuarakan berbagai keputusan yang dibuat di Israel, sehingga tidak punya "kebijakan yang independen" atas konflik Arab-Israel. Tepat empat hari kemudian, pada 28 Juni, harian Bagdad lainnya mengungkapkan tesis yang persis bertentangan, yang mendeklarasikan bahwa selama beberapa dekade AS "memanfaatkan Zionis sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan-kepentingannya di kawasan."
Irak tidak sendirian mendukung posisi yang bertentangan. Gamal Abdul Nasser, Pemimpin kharismatis Mesir biasa mengatakan bahwa jika bukan karena bantuan Inggris maka pemikiran tentang sebuah Negara Zionis bakal tetap "khayalan manusia gila" (madman's fantasy). Pada waktu bersamaan, dia meyakini sebentuk teori konspirasi Yahudi yang paling ekstrim: "tiga ratus kaum Zionis, yang saling mengenal satu sama lain, memerintah nasib benua Eropa." Penggantinya Anwar Sadat pun melukiskan Israel sebagai "tentara bayaran" Washington di Timur Tengah, sementara pada kesempatan lain dia mengatakan bahwa kebijakan Amerika menyebankan "kepentingan Israel didahulukan daripada kepentingan Amerika Serikat sendiri."
Pemerintah Hafez al-Asad Suriah juga mempertentangkan dirinya sendiri terkait dengan hubungannya dengan AS dan Israel. Tatkala hubungannya dengan Moskow kuat, Damaskus menekankan bahayanya komplotan imperialis lalu secara beragam mengejek Israel sebagai " pangkalan militer AS," "tongkat terbesar Amerika," dan "sekedar kapal induk AS." Sebaliknya, ketika Damaskus berupaya memperbaiki hubungannya dengan Washington, dia menyalahkan "dunia Yahudi" karena mengacaukan kebijakan Amerika. "Amerika Serikat tidak punya kebijakan sendiri di Timur Tengah," tetapi secara buta mengikuti arahan yang dikeluarkan di Tel Aviv.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pun demikian, tidak bisa menetapkan keputusan akhirnya. "Negara Zionis," Ketua PLO Yasser Arafat pernah umumkan pada April 1990, "menghadirkan ketua badan pasukan dunia yang bermusuhan dalam negara-negara Arab; dia berperan melindungi kepentingan pasukan-pasukan itu." Tetapi Hani al-Hasan, pembantu kenamaan Arafat, mengaku bahwa Amerika Serikat "diperintah oleh lobi Zionis."
Lalu, apakah orang-orang Arab melihat Israel sebagai benteng kepentingan Barat yang maju atau sebagai kekuatan tersembunyi di balik pembuatan keputusan Barat? Logika mengatakan bahwa Washington seharusnya memberi tahu Yerusalem apa yang akan dilakukannya atau sebaliknya Yerusalem justru yang menggertak Washington. Meski demikian, banyak Muslim Arab dan Iran (meskipun ada juga segelintir warga Turki) tampaknya tidak merasakan kontradiksi antara dua visi Israel yang berharga ini. Kedua visi ini justru gembira bergandengan dalam orang yang sama, dalam pidato yang sama tanpa gelagat untuk menyelesaikan hambatan intelektual atau inkonsistensi.
Pandangan Timur Tengah terhadap tempat Israel di dunia sangat penting bagi konflik Arab dengan Israel, dan dengan demikian membutuhkan suatu analisis yang sangat hati-hati. Bahwa mereka benar-benar sangat bertentangan memperlihatkan bahwa bahkan setelah seabad lembaga Zionis hidup pun, masyarakat Muslim masih belum bisa bereskan cara untuk memahaminya. Fakta ini berdampak banyak bagi Israel sekaligus juga bagi Amerika Serikat.
Sebuah konspirasi Imperialis...?
Pernyataan bahwa Zionisme berperan sebagai sarana kekuasaan Barat itu sudah kuno. Pernyataan itu bisa dilacak sedikitnya sampai pada masa Abdulhamid II, Raja Utsmaniyah yang berkuasa antara 1876 dan 1909. Pemikirannya masuk akal: bagaimanapun, St. Petersburg menjaga kepentingan-kepentingan masyarakat Armenia yang berdiam di kawasannya, Paris mendanai para penganut Kristen Maronit dan London bersekutu dengan masyarakat Druze; jadi mengaja tidak mengandaikan bahwa masyarakat Yahudi atau Zionis juga didanai? Persoalannya, asumsi ini tidak benar-benar terjadi. Tetapi bagaimanapun, ide itu tetap bertahan: selama masa Mandat (1918 – 1947), dukungan Inggris terhadap rumah bangsa Yahudi di Palestina diterjemahkan oleh kalangan Muslim sebagai cara London untuk melindungi Terusan Suez dan rute perjalanan ke India. Bagaimanapun, seiring dengan India merdeka pada tahun 1947, tekanan bergeser menjadi upaya untuk menjaga perdagangan Inggris di Timur Tengah. Menurut Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin) Mesir, Inggris mengumpulkan "ribuan pengembara serta orang asing, para lintah darat dan mucikari kemudian mengatakan kepada mereka, "Ambil untuk kalian sendiri rumah bangsa bernama Israel."' Belakangan, ketika Pemerintah AS menggantikan Inggris sebagai penjahat utama, Washington diminta bertanggung jawab untuk mendirikan Israel. Muamar Kadafi dari Libya dengan suara datar pernah mengatakan bahwa "Amerika Serikat mencipta Israel," memasoknya dengan berbagai senjata dan intelijen yang Israel butuhkan untuk membunuh orang Arab.
Mengapa imperialis Inggris dan Amerika ingin ada Israel? Bangsa Arab punya jawaban yang sangat kaya terhadap pertanyaan ini. Ash-Sha'b, sebuah suratkabat berhaluan kiri Mesir menggambarkan Israel sebagai kantor cabang Central Intelligence Agency (CIA), sebuah lembaga yang mempersyaratkan adanya "persetujuan dan dukungan" CIA sebelum mengambil langkah apapun. Ahmad Jibril (pemimpin Komando Umum Fron Populer Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine-General Command) menjuluki Israel "kapal induk Amerika di Timur Tengah." Khalid al-Hassan, pemimpin PLO lainnya melihat Israel sebagai "sesuatu yang mirip dengan konglomerat General Motor, misalnya."
Dan, apakah fungsi yang dijalankan oleh kantor intelijn, kapal induk serta perusahaan nasional itu? Untuk membahayakan apa saja yang paling disayangi oleh pembicaranya. Jadi, bagi Nasser, sang pemimpin Pan-Arab, Israel membuat nasionalisme Pan-Arab dalam bahaya. PiagamAksi Nasional (Charter of National Action) rancangannya pada tahun 1962 menjuluki Israel sebagai "alat imperialisme" dan "cambuk di tangan mereka untuk memerangi bangsa Arab yang sedang berjuang." Pada tahun 1968, PLO yang kala itu masih berada di bawah pengaruh Nasser, membuat Perjanjiannya yang menuduh Israel sebagai "pangkalan geografis imperialisme dunia yang ditempatkan secara strategis di tengah tanah tumpah darah Arab untuk mematikan harapan bangsa Arab untuk merdeka, bersahabat baik dan maju."
Bagi orang kepercayaan Nasser, Mohamad Heikal, Israel pertama-tama berperan untuk mengendalikan perdagangan minyak. Pada tahun 1964 dia meyakini bahwa "aliran minyak Arab menjadi salah satu faktor penting pembentukan Israel di atas tanah Bangsa Arab." Segera setelah itu, Yahya Hamuda, pendahulu Arafat sebagai Pemimpin PLO menggambarkan Israel sebagai "alat kolonialisme imperialis Amerika yang berjuang mengambil minyak kita untuk dirinya sendiri.'
Para pakar teori Dependencia ---yang melihat kekayaan Barat sebagai hasil dari eksploitasi atas negara-negara miskin---melihat Israel sebagai sarana A.S. untuk mencegah Arab berkembang menjadi kekuatan ekonomi yang mandiri, dan karena itu menghancurkan ikatan perbudakan mereka dengan Barat.
Bagi kaum fundamentalis Muslim, Israel menjadi kendaraan untuk menindas Islam yang sebenarnya. Ayatollah Ruhollah Khomeini (1902-89) meyakini bahwa Israel "menyusup masuk dalam semua urusan ekonomi, militer dan politik " Iran dengan niat "membasmi Islam." Hizbullah, sebuah faksi/kelompok Libanon pro-Iran mengkategorikan Israel sebagai "ujung tombak Amerika dalam dunia Islam kita" dan (bersama setan lainnya, Shah Iran) adalah satu dari "dua anjing pengawas imperialisme Amerika." Hamas, sebuah kelompok fundamentalis Palestina lantas menuduh masyarakat Yahudi berupaya "memusnahkan Islam."
Bagi Saddam Hussein, Amerika menggunakan Israel supaya mencegah Bangsa Arab menjadi negara yang kuat dan modern. Kampanye-kampanyenya yang menodai Bangsa Arab (yang mengubah pusat-pusat penelitian menjadi pabrik-pabrik senjata), mengendalikan ekspor serta agresi militer semuanya didesain untuk terus membuat Bangsa Arab terbelakang.
Israel juga dituduh melayani sejumlah tujuan lainnya. Edward Said dari Columbia University, salah seorang jurubicara tidak resmi PLO di Amerika Sertikat, menyebut Israel sebagai "alat untuk menahan Islam--- kemudian Uni Soviet atau komunisme---dalam jebakannya." Lainnya menuding Israel diduga terlibat dalam aksi mengobarkan berbagai aktivitas kontra-revolusioner kemudian bertindak sebagai pusat perang psikologis. Keberadaannya yang paling mendasar dilihat sebagai kekuatan yang memaksa Bangsa Arab untuk melakukan investasi dalam perang ketimbang dalam pembangunan ekonomi, dengan cara mengalihkan perhatian mereka dari persoalan-persoalan dalam negeri dan dengan memberikan berbagai sarana kepada kaum reaksioner untuk tetap berkuasa. Malahan, selama masa puncak paranoia mereka, sejumlah Bangsa Arab bahkan mengkhawatirkan ada pembasmian massal atau genosida atas mereka.
Ada juga pandangan terpendam yang diungkapkan dengan perasaan curiga; yaitu bahwa Israel dianggap bukan lagi sebagai alat imperialisme tetapi korbannya---artinya, sebuah tempat di mana orang-orang yang tidak diinginkan dalam Eropa yang Kristen dibuang. Ayah Yasser Arafat, pada penghujung era 1940-an dikutip pernah meyakini bahwa, "Apa yang sedang terjadi itu adalah kolonialisme. Bukan Bangsa Yahudi. Ini permainan dengan taruhan yang mahal." Salah Khalaf yakin Inggris terlibat dalam semacam tipu muslihat kotor di Palestina pada era 1940-an, seperti menyerang Bangsa Arab dan Yahudi, dan dengan demikian menghasut mereka untuk bertikai dengan senjata, guna memperpanjang keberadaan mereka di daerah yang menjadi mandat mereka.
Jalur pemikiran ini menginspirasi lahirnya spekulasi yang benar-benar luas sekali. Muhammad Mahdi at-Tajir, Duta Besar Uni Emirat Arab untuk Inggris Raya suatu ketika pernah menjelaskan kepada seorang penulis Inggris bahwa: "Bukan orang Yahudi yang menciptakan Negara [Israel]. Itu justru temuan para musuh mereka, khususnya Inggris. Ketika anda ingin melepaskan diri dari mereka karena takut mereka bakal menguasai Inggris, anda akan memasukan dalam benak mereka ide untuk menciptakan sebuah tanah kelahiran (homeland)." Dan ini berasal dari seorang duta besar untuk Pengadilan St. James! Pemimpin Libya, Moamar Kadafi mengembangkan pemikiran ini lebih jauh, dengan mengatakan bahwa pembentukan Israel merupakan "konspirasi internasional yang besar melawan Bangsa Yahudi." Ketika berbicara tentang Bangsa Yahudi, dia mengingatkan mereka bahwa Bangsa Eropa "Ingin melepaskan diri dari kalian kemudian membuang kalian di Palestina supaya Bangsa Arab memusnahkan kalian suatu saat." Guna menghindari nasib ini, Kadafi lalu mendesak warga Israel untuk "meninggalkan Palestina segera kemudian kembali menuju negara-negara [kalian] sendiri."
Untuk memastikannya, pemikiran bahwa Bangsa Yahudi merupakan korban tidak mendapatkan pengikut yang luas di kalangan Muslim, mungkin saja karena kurang bermanfaat dibandingkan dengan menggambarkan Israel sebagai agen imperialisme yang sangat dahsyat dan digdaya. Pandangan yang belakangan itu memperdalam kebencian bagi musuh, memperbesar ancaman yang ditimbulkannya, menggerakan terjadinya Xenophobia atau pembantaian massal terhadap suku tertentu (dalam hal ini Israel) serta razia terhadap warga negara hingga pemerintah. Dengan demikian, dia mengubah Israel dari persoalan kawasan Timur Tengah menjadi persoalan global, sehingga cita-cita Bangsa Arab sendiri menjadi sesuatu yang universal. Ia membuat kekalahan Bangsa Arab menjadi begitu cocok; bagaimana mereka bisa mengalahkan sebuah Israel yang tengah menikmati dukungan Inggris dan Amerika?
Tergantung pada strategi mereka terhadap Israel. Dalam ayunan mitos imperialis, para pemimpin Arab meyakini Washington sebagai balasan keadilan utama mereka atau sebagai cara untuk menuju penyelesaian masalah. Berbagai negara yang berencana secara militer menghancurkan Israel benar-benar berur-akar bencinya terhadap Amerika Serikat. Bagi Kadafi, Washington adalah "musuh sengit hingga kiamat tiba." Asad (pemimpin Suriah) menganggapnya "musuh utama bangsa Arab." Dan Radio Suara Bagdad untuk PLO mendukungnya dengan mengatakan, "musuh utama...masa lalu dan masa kini." Tetapi niat para pemimpin Arab untuk berurusan secara diplomatik dengan Israel mendapat kesimpulan yang berbeda; jika Washington ingin membuat keputusan penting, mereka sebaiknya mengupayakannya. Sadat dan Arafat mengikuti wacana ini sambil berharap warga Amerika bakal memaksa Israel untuk melakukan tawar-menawar.
Terlepas dari apakah dia menempatkan Pemerintah AS sebagai musuh atau sekutu, teori imperialis menyebabkan para pemimpin Arab memusatkan perhatian terlampau banyak pada Amerika Serikat namun terlampau sedikit atas Israel. Harapan bahwa Amerika menekan Israel selalu mengecewakan Bangsa Arab kecuali pada tahun 1957 (kala itu, Presiden AS Eisenhower memaksa Israel mengosongkan Semenanjung Sinai). Meski demikian, masih saja ada ilusi yang berkembang bahwa warga Amerika mungkin lagi-lagi, seperti Arafat katakan, "lakukan apakah yang sudah dilakukan oleh Eisenhower." Sadat juga berpikir bahwa warga Amerika memegang "99 persen kartu" tetapi pada akhirnya menemukan bahwa dia terpaksa harus bernegosiasi dengan Menachem Begin, bukan dengan Jimmy Carter. Alexander Haig dianggap pro-Israel dan karena itu, ketika dia mengundurkan diri sebagai menteri luar negeri Juni 1982, PLO pun berbesar hati. Salah seorang pembantu Arafat bahkan mengakui, "Saya merasa seolah-olah kita menang perang malam itu." Tetapi seperti diperlihatkan oleh bulan-bulan selanjutnya, dia ternyata sepenuhnya salah.
Sangat kecilnya perhatian terhadap Israel membawa Bangsa Arab ke dalam kesalahan besar yang sangat serius. Nasser begitu intens memusatkan perhatian pada upaya untuk mengurangi pengaruh Amerika dari Timur Tengah sehingga nyaris mengabaikan dampak dari tindakannya terhadap Israel. Kenyataan ini sebagian menjelaskan betapa dia melakukan kesalahan dalam Perang Enam Hari. Hal yang sama juga terjadi pada para pemimpin intifada di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang merancangkan kebangkitan kembali aksi mereka supaya bisa meraih simpati para pemirsa televisi Barat namun tidak menyadari kerusakan yang diakibatkan oleh aksi mereka terhadap cita-cita mereka di antara warga Israel yang berhak memilih.
Jika Israel itu sekedar bidak Washington, maka sebuah slogan penting harus dibuang --- yaitu bahwa lobi Yahudi menggerakan kebijakan Amerika. Yang mengejutkan, para pemimpin Arab kadang menarik kesimpulan ini. Wakil Perdana Menteri Khadam dari Suriah mengungkapkan hal ini dengan jelas pada tahun 1981: "Ada kaitan yang dalam dan hidup antara Amerika Serikat dan Israel. Kita tidak berilusi soal ini. Kaitan ini tidak berkaitan dengan lobi Zionis di Amerika Serikat tetapi pada fakta bahwa ia satu-satunya sahabat Amerika Serikat di kawasan ini dan karena ia merepresentasikan sebuah pangkalan militer penting untuk melindungi kepentingan-kepentingan AS." Dalam sebuah pernyataan yang mengagumkan delapan tahun kemudian, Yasser Arafat menggemakan pandangan ini. Kantor Berita Kuwait menegaskan Arafat mengungkapkan keyakinannya bahwa "publik Israel menginginkan damai tetapi persoalan utama PLO adalah dengan Pemerintah AS, karena melihat bahwa Amerika, bukan Israel yang bisa menentukan kebijakan Amerika di kawasan, sehingga mengabaikannya sebagai suatu mitos tanpa dasar seputar lobi Zionis di Amerika Serikat."
Tetapi, tentu saja, ini bukan satu-satunya sudut pandang.
. . . Atau Sebuah Warga Yahudi?
Aliran pemikiran alternatif mengutip bahwa konspirasi Yahudi akan menguasai dunia, mungkin dengan arahan (fiktif) Para Penatua Zion yang tentakelnya jauh mencapai London, Washington dan ibukota Barat lainnnya. Dalam versi mania konspirasi ini, masyarakat Amerika tidak memanfaatkan masyarakat Israel tetapi justru adalah para korban mereka. Dan penjelasan itu melanggengkan mistifikasi Arab mengapa Pemerintah AS tampaknya mendukung 4 juta warga Yahudi dibanding 150 juta warga Arab. Khaddam dari Suriah menegaskan teka-teki ini pada tahun 1980: "Apakah yang Israel berikan kepada Amerika Serikat? Jelas tidak ada, bukan minyak bumi atau uang. Yang sebaliknya memang benar. Israel mendapatkan apa saja dari Amerika Serikat. Saat Bangsa Arab memberikan Amerika Serikat dengan minyak bumi, uang dukungan politik, apakah hasilnya? AS memberkan bantuan kepada Israel." Kekuatan mitos konspirasi Yahudi dengan demikian, terletak tepat dalam penjelasan tentang enigma atau penjelasan yang membingungkan ini.
Dalam sebuah siaran radio Berlin yang dikuasai oleh Nazi pada tahun 1944, pemimpin Palestina Amin al-Husayni mencatat adanya dukungan yang kuat terhadap Zionisme yang ditemukannya dalam Kongres AS. Komentarnya: "Tidak seorang pun berpikir bahwa 140.000.000 orang Amerika bakal menjadi alat dalam tangan Yahudi." Pernyataan yang sama tetap saja berkembang selama tahun-tahun pascaperang. Dalam perdebatan di PBB seputar pemisahan Palestina, Faris al-Khuri, diplomat yang diakui sebagai orang tua (dean) di kalangan diplomat Arab meyakini bahwa meskipun Zionis hanya sepertiga puluh dari seluruh populasi AS, "mereka sudah berhasil memperluas pengaruh mereka dalam semua lingkaran masyarakat." Dia lalu memperingatkan bangsa Amerika supaya "berhati-hati dengan masa depan yang menanti mereka." Tatkala menulis seputar politik AS dalam sebuah bukunya yang diluncurkan tahun 1951, From Here We Learn (Dari Sini Kita Belajar), Pemikir Mesir Muhammad al-Ghazali menekankan bahwa, "kemudi politik yang lebih tinggi berada di tangan orang-orang Yahudi." Kecurigaan pasca-perang terhadap kekuasaan Yahudi itu begitu kuat, kenang Miles Copeland, almarhum mata-mata CIA, sehingga diplomasi Amerika di dunia Arab selama periode 1947 – 1952 sebagian besar terdiri dari upaya untuk "meyakinkan berbagai Kantor Asing bahwa Pemerintah kita tidak berada di bawah kendali kaum Zionis." Mawdudi, seorang fundamentalis kenamaan Muslim Pakistan pernah menegaskan bahwa Bangsa Yahudi menguasai Amerika Serikat sama seperti jin menguasai mahluk manusia.
In a 1944 broadcast on Nazi-controlled Radio Berlin, the Palestinian leader Amin al-Husayni noted the strong support for Zionism found in the U.S. Congress. His comment: "No one ever thought that 140,000,000 Americans would become tools in Jewish hands." The same notion remained common in the post-war years. At the United Nations debate on the partition of Palestine, Faris al-Khuri, dean of the Arab diplomats, held that although Zionists formed only one-thirtieth of the U.S. population, "they have extended their influence into all circles." He warned Americans to "be careful for the future which awaits them." Writing about U.S. politics in his 1951 book, From Here We Learn, the Egyptian thinker Muhammad al-Ghazali asserted that "the rudder of higher politics is in the hands of the Jews." Post-war suspicion of Jewish power was so strong, recalls Miles Copeland, the late CIA operative, that American diplomacy in the Arab world during the period 1947-52 consisted largely of trying "to convince the various Foreign Offices that our Government was not under the control of the Zionists." Mawdudi, the pre-eminent fundamentalist Muslim of Pakistan, asserted that Jews rule the United States like the jinn rule mankind.
Rana Kabbani adalah seorang wanita Suriah yang cerdas yang berdiam di Washington dan belakangan belajar di Georgetown University. Novelis Salman Rushdie pernah memuji kajiannya bertajuk Europe's Myths of Orient (Mitos Eropa tentang Dunia Timur) sebagai "buku penting, keras dan bijak." Rana menikahi wartawan Inggris Patrick Seale kemudian berdiam di London. Dalam bukunya Mother Jones, wanita Suriah itu dilukiskan sebagai wanita "berkwalitas bintang: cantik, cerdas dan punya posisi sosial." Dan apakah yang dipelajari oleh wanita yang sangat cerdas itu selama bertahun-tahun berdekatan dengan berbagai lembaga Amerika yang berkuasa? Bahwa prasangka sederhana yang digosipkan di tanah kelahirannya memang valid. "Semua orang Arab meyakini bahwa kebijakan Amerika terhadap Timur Tengah dibuat di Tel Aviv, tetapi untuk menemukan bahwa memang inilah kasusnya, bukan sekedar paranoia, tetap membuat orang benar-benar terguncang."
Pemerintah-pemerintah pun mengulangi tuduhan ini. "Kebijakan AS terhadap Bangsa Arab," Wakil Perdana Menteri Irak Pertama, Taha Yasin Ramadan memaklumkan, "dirancangkan oleh lingkaran kaum Zionis." Raja Husein dari Yordania bahkan secara terbuka mengecam Komite Urusan Publik Amerika-Israel (American Israel Public Affairs Committee---AIPAC) yang menurut dia, merupakan lembaga lobi pro-Israel, yang salah mengarahkan kebijakan Amerika di Timur Tengah. Radio Suriah pernah mengatakan bahwa kekuasaan Israel di Washington lahir dari "emas dan dolar kaum Zionis." Menurut radio itu, "Kaum Zionis mendanai kampanye kampanye Pemilu [para senator], memberikan suara rasis mereka kepada para senator kemudian terus memberikan berbagai suap kepada mereka supaya mereka mau mengangkat tangan kapan pun keputusan yang diinginkan oleh kaum Zionis perlu dibuat." Dan seolah-olah belum cukup, Pemerintah Israel pun "menyelipkan dolar ke dalam kantong baju mereka [baca: para senator]."
Dapat diramalkan bahwa latar belakang Yahudi Henry Kissinger pun kemudian diterjemahkan sebagai sebentuk mekanisme kendali Israel atas lembaga politik Amerika. Tidak heran, Menteri Luar Negeri Ismai'l Fahmy dari Mesir mengatakan bahwa Kisisinger, "nyatanya selalu bertindak demi kepentingan Israel." Jika dia pernah berani tidak setuju dengan Pemerintah Israel maka "dia segera dibawa masuk ke dalam jalur yang sama."
Para pemimpin Timur Tengah kerapkali menggambarkan Israel sebagai ancaman. Bukan sekedar kepada mereka tetapi kepada semua kemanusiaan. Presiden Asad ( yang hingga kini memberikan perlindungan kepada Sekretaris dari Adolf Eichmann, Kapten SS Alois Brunner, pelarian Nazi kenamaan yang kini masih hidup) mendeskripsikan kaum Zionis sebagai "para penyerang yang menyerang bukan cuma Bangsa Arab tetapi seluruh ras manusia." Para tokoh senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pun menggambarkan diri mereka bertempur demi kepentingan seluruh manusia. Amal, sebuah gerakan Shiah moderat di Libanon menyebutkan Zionisme sebagai bahaya berkelanjutan "bagi seluruh manusia." Dan piagan kelompok fundamentalis Palestina, Hamas , mengutip The Protocols of the Elders of Zion (Protokol Para Penatua Zion) sesuai namanya yang kerapkali merefleksikan pesan dari teks yang curang.
Para musuh...berjuang mengumpulkan kekayaan material yang mengagumkan sekaligus penuh pengaruh kemudian dieksploitasi guna mewujudkan impian mereka. Mereka memanfaatkan kekayaan mereka untuk mengendalikan media, kantor berita, pers, stasiun siaran radio dunia, dan lain-lain...Mereka berada di balik Revolusi Prancis dan Revolusi Komunis...Mereka menghasut meldaknya Perang Dunia I...Mereka pun menyebabkan Perang Dunia II...Merekalah yang memberi instruksi untuk membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta Dewan Keamanan untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa supaya bisa menguasai seluruh dunia lewat berbagai lembaga itu.
Berusaha memahami argumentasi ini lebih jauh, sejumlah warga Arab lalu berargumen bahwa mereka harus menyelamatkan Barat dari cengkraman Zionis. Saddam Hussein karena itu pernah memaklumkan bahwa kekuatan Arab vis-à-vis Israel "bukan saja membantu membebaskan mereka sendiri tetapi...bakal membebaskan orang-orang lain di Barat dari beban tekanan Zionis yang ditimpakan pada mereka." Saat upaya ini tercapai, tulis Kamil Yusuf Haji, "Barat bakal berada dalam genggaman kita ketimbang berada dalam genggaman Zionis'...dan kekuatan Barat yang luar biasa bakal berada di dalam jangkauan tangan kita dan bukannya dalam jangkauan kaum Zionis."
Rasa takut terhadap komlotan kaum Zionis yang sangat besar cenderung melemahkan adanya diplomasi. Jika Washington merupakan bidak Yerusalem, maka tidak banyak pemikiran yang bisa diharapkan apapun dari Bangsa Amerika. Sebaliknya, kaum kiri menoleh kepada Moskow sementara kaum Muslim fundamentalis justru melepaskan diri dari kedua negara adidaya itu, sehingga ketakutan yang sangat besar kepada Israel, menyebabkan mereka tidak bisa bayangkan untuk membuat perdamaian dengannya.
Pola
Ada tiga pemikian yang pantas dicatat. Pertama, masing-masing dari dua tema berisi sedikit kebenaran. Negara-negara adidaya dari waktu ke waktu mengarapkan mendapatkan keuntungan dari Israel. Sejak awal tahun 1940, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Palmerston menulis bahwa kembalinya Bangsa Yahudi ke Palestina bakal mengimbangi "desain jahat pada masa datang dari Mehemet Ali [penguasa Mesir] atau penggantinya." Deklarasi Balfour memang mendukung adanya rumah bangsa di Palestina bagi Bangsa Palestina. Pemerintah AS kemudian membentuk sebuah kemitraan strategis dengan Israel pada era 1980-an. Tetapi semua ini harus dilihat dalam konteks. Pemikiran Palmerston itu gagal diwujudkan. London belakangan segera menyesali Deklarasi Balfour. Dukungan Amerika terhadap Israel pun kurang lebih datang dari terduga para imperialis (seperti kepentingan-kepentingan bisnis atau militer) dibandingkan dari para pihak yang merasakan adanya ikatan moral atau spiritual dengan Negara Yahudi.
Sebaliknya, memang benar bahwa warga Yahudi memainkan peran besar yang sangat mengesankan dalam kehidupan Barat. Pemimpin Zionis kenamaan Chaim Weizmann memiliki akses hingga lingkaran tertinggi para pejabat Inggris. AIPAC pun tepat disebut sebagai "barangkali kelompok penekan paling efektif di Washington." Masih saja ada pemikiran tentang adanya komplotan Zionis yang berbasiskan pada premis yang salah bahwa masyarakat Yahudi adalah-adalah satu-satunya kalangan masyarakat Barat yang mendukung ikatan yang kuat dengan Israel. Kenyataannya, tentu saja, "hubungan khusus" ini berasal dari banyak sumber---latar teologis, moral, politik dan strategis--- dan mendapat dukungan luas di antara mayoritas Kristen. Masyarakat Amerika konsisten melihat hubungan yang baik dengan Israel sebagai satu aspek penting kebijakan luar negeri AS. Dan memang, publik AS pada dasarnya skeptis dengan bantuan asing, karena tinjauan terhadap empat puluh tahun sejarah memperlihatkan bahwa "sebagian besar masyarakat Amereka benar-benar mendukung" bantuan ekonomi dan politik bagi Israel. Meskipun demikian, para teoritisi konspirasi cenderung mengabaikan rincian persoalan yang tidak menyenangkan ini.
Kedua, mitos seputar hubungan antara Israel dan Amerika Serikat bukanlah satu-satunya mitos soal Israel yang merajalela di dunia Muslim; banyak kalangan di Timur Tengah yang juga punya dua pandangan (minds) tentang Israel dan Republik Uni Soviet Sosialis (U.S.S.R.). Sementara itu, Khalid Baqdash, pemimpin Partai Komunis Suriah sejak 1936, meyakini bahwa "dunia Yahudi bergerak menentang Uni Soviet." Sebaliknya, sebuah suratkabar Mesir meyakini bahwa "hanya U.S.S.R. yang mendapat untung" dari pendirian Israel. Contoh-contoh ini, yang dapat dilipatgandakan berkali-kali memperlihatkan dalamnya pandangan yang kacau-balau tentang Israel.
Dua hal kontradiktif sama-sama memunculkan persoalan buku The Protocols of the Elders of Zion (Protokol Para Penatua Zion) dan Hitler dalam ingatan. Mereka menggambarkan kaum Yahudi pada satu pihak sebagai kaum kapitalis dan pedagang yang mencuri dari para pekerja sekaligus sebagai sosialis yang mengancam para bankir. Berikut ini pernyataan Hitler pada 1922: "Moses Kohn pada satu pihak mendorong serikat [karyawan]-nya untuk menolak tuntutan para pekerja, sementara saudaranya Ishak di pabrik itu menghasut massa [untuk beraksi]. Sama seperti tidak seorang pun tampaknya memperhatikan sikap yang tidak konsisten dari berbagai klaim ini, para pemimpin Timur Tengah mungkin saja hendak membuat pernyataan-pernyataan yang benar-benar bertentangan tentang Israel dan Amerika Serikat, dari satu dekad ke dekade lainnya.
Ketiga, interpretasi imperialis atau Zionis bukan asli Timur Tengah; keduanya datang dari Eropa. Pernyataan tentang Israel sebagai alat imperialism bisa dilacak hingga Vladimir Ilyich Lenin serta Negara Bolshevik awal. Sebuah dokumen Soviet dari Juli 1919 menyebut Zionisme sebagai "salah satu cabang kontra-revolusi imperialis", sebuah ide yang selanjutnya diulang-ulang oleh aparat propaganda Soviet sehingga sangat mengganggu. Leonid Brezhnev pada tahun 1967 pernah mengatakan kepada Duta Besar Mesir bahwa "Israel dari dirinya sendiri itu tidak ada apa-apanya. Ia ada karena keberadaannya itu berkat bantuan Amerika. Alasan mengapa Amerika mempertahankan Israel hidup adalah karena mereka menginginkan minyak Timur Tengah...Masyarakat Amerika sendiri tidak bisa menyerang Bangsa Arab, tetapi bisa menyerang melalui Israel."
Adapun gagasan Israel sebagai bagian komplotan dunia Yahudi berasal dari ideologi Nazi. Sejak pertengahan 1920-an, Adolf Hitler menulis tentang kecurigaannya terhadap tujuan-tujuan akhir kaum Zionis dalam bukunya Mein Kampf , katanya: "Sama sekali tidak mereka pikirkan untuk mendirikan Negara Yahudi di Palestina untuk kemudian berdiam di dalamnya suatu ketika. Sebaliknya, mereka menginginkan sebuah organisasi sentral untuk penipuan berskala dunia internasional mereka, yang diambil dari tempat perlindungan narapidana sampah masyarakat serta sebuah perguruan tinggi bagi para penipu yang penuh cita-cita yang bisa dicapai. " Dan sudah semenjak pertengahan era 1930-an, Edward Atiyah menulis bahwa Bangsa Arab Palestina menelan mentah-mentah kebohongan Fasis dan Nazi. Mereka melihat Zionis sebagai bahaya dunia yang mengancam dari legenda Nasi dan Inggris sebagai kekuatan boneka dalam cengkraman mereka." Banyak pemimpin Arab termasuk termasuk para intelektual seperti Michel 'Aflaq, Shakib Arslan dan Sati' al-Husri, serta para politisi seperti Anwar Sadat dan Rashid 'Ali al-Gilani- juga menggunakan pandangan ini.
Ringkasnya, para politisi Timur Tengah sampai sekarang masih rutin menggemakan pemikiran Lenin dan Hitler, orang-orang yang memulai eksperimen politik paling mngerikan abad ini.
Menjelaskan Paradoks
"Hubungan khusus" antara Amerika Serikat dan Israel membingungkan masyarakat Arab dan Iran. Sebagai Muslim, mereka gagal memahami gaung emosional Alkitab yang umum serta sejumlah pernik Yudeo-Kristen. Sebagai orang Timur Tengah, mereka tidak dapat melihat melampaui benturan nasionalisme untuk memahami kepentingan bersama antarnegara. Sebagai warga dari negara-negara otoriter, mereka merindukan pentingnya ikatan pribadi, budaya, dan politik antara masyarakat bebas. Karena bingung dengan aliansi yang tidak masuk akal, pengamat Arab kembali pada penjelasan bernada konspiratif.
Kedua konspirasi tersebut mempunyai premis yang sejajar. Sama-sama menolak perbedaan pendapat antara Yerusalem dan Washington dan menganggapnya sebagai permainan yang menipu kalangan yang mudah tertipu. Sama-sama mendalilkan adanya kesepakatan standar (lock-step agreement) antara kedua belah pihak yang mengesampingkan pengambilan keputusan yang mandiri. Sebaliknya, keduanya melihat agenda tersembunyi, entah imperialis atau Zionis. Keduanya memanfaatkan kebenaran dasar lalu mendistorsinya sehingga tidak bisa dikenali lagi, mengubah situasi saling mempengaruh yang dalam dirinya sendirinya sudah jelas-jelas menjadi manipulasi yang mengerikan. Keduanya memutarbalikan keseimbangan hubungan A.S.-Israel yang mendasar menjadi sesuatu yang miring. Hanya satu dari dua pihak yang membuat keputusan sementara yang lainnya menerima perintah. Yang satu ahli yang berbicara tentang kepentingannya sendiri (ventriloquist), sedang yang lain adalah boneka - mungkin tidak jelas mana, tapi hubungan yang mendasar benar-benar pasti ada.
Pada titik ini teori-teopri menyatu. Konspirasi ganda menjadi satu sehingga peran yang tepat hampir-hampir tidak dipersoalkan. Amerika dan Israel dianggap bekerja sama hendak untuk menguasai dunia, sehingga siapa peduli yang mana dari mereka yang dominan dan yang mana manut? Karena bagaimanapun, ketidakmampuan untuk memahami peran mereka yang sesungguhnya hanya menyebabkan aliansi itu jauh lebih berbahaya.
Akhirnya, aliansi AS-Israel mengubah negara itu menjadi entitas tunggal yang berhati dengki. Saddam Hussein melihat "esensi konspirasi" terletak dalam bersatunya usaha-usaha US untuk menguasai dunia dan keinginan Israel untuk membangun Israel yang Lebih Besar (Greater Israel). Kedua kekuatan itu melebur dalam benaknya sehingga dia merujuk "Amerika, bersama Zionisme atau Zionisme bersama dengan Amerika atau apapun dari kedua alternatif itu" sebagai varian dari hal yang sama. Komunike militer pertama Irak pada 17 Januari 1991 merujuk kepada agresi kriminal yang dilancarkan oleh "musuh Zionis-Amerika yang berkhianat". Komunike yang keempat mengumumkan bahwa "Israel dan Amerika Serikat itu satu dan sama."
Berikut ini siaran Radio Damaskus tentang masalah ini: " ikatan antara Israel dan Amerika Serikat," radio itu maklumkan pada tahun 1986, "menjadikan Israel sebagai alat Amerika Serikat yang langsung berhadapan dengan gerakan pembebasan nasional di kawasan itu sekaligus membuat kebijakan politik AS sebagai sarana untuk memenuhi kebijakan Israel." Bahkan Anwar Sadat pun yang dari tangan pertama mempelajari hubungan AS-Israel, semakin menerima pandangan ini. "Israel," dia menulis dalam memoarnya, "sudah mengambil peran satu-satunya "kekuatan" yang menjaga kepentingan AS di Timur Tengah. Peran ini dipilih oleh Israel sendiri, atau bahkan dipilih untuknya oleh Amerika Serikat. Taha Yasin Ramadan belakangan muncul dengan formulasi yang jauh lebih membingungkan lagi, dengan menyebut "antek-antek Israel --- yang menciptakan sekaligus memeliharanya." Kedua pihak begitu terlibat dalam konspirasi, sehingga mereka tidak bisa lagi dipisahkan satu sama lain.
Kunci pemikiran ini ada dalam dua khayalan. (1) Kekuatan ekonomi Yahudi memungkinkan mereka untuk menjalankan kebijakan luar negeri Amerika dan (2) kekuatan ini dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan imperialis. Pemikiran ini kemudian diikuti dengan pemikiran bahwa (3) kaum Zionis menjalankan kebijakan AS dan Washington bergantung sepenuhnya kepada Israel. Atau, lebih jelas dan ringkas lagi: Yahudi menguasai Amerika; Israel berperan sebagai bagian dari mekanisme mereka untuk mengendalikan dunia. Tentu saja, rangkaian aliran pemikiran ini mengandaikan bahwa pemikiran Lebin dan Hitler itu benar --- suatu kombinasi yang jarang ada di Barat tetapi biasa sekali terjadi di Timur Tengah.
Implikasi
Keyakinan terhadap adanya komplotan imperialis meningkatkan pengaruh Amerika di Timur Tengah namun ketakutan terhadap konspirasi Zionis menguranginya. Karena itu, dari sudut pandang kepentingan Amerika, konspirasi imperialis lebih disukai dibanding dengan konspirasi Zionis. Para politisi Amereka lebih puas dengan ide itu dibandingkan dengan mengingatkan para pemimpin Timur Tengah soal pengaruh AS di Yerusalem.
Dari sudut pandang Israel, tidak ada jeleknya untuk bergantung pada pandangan politik. Masyarakat Israel yang akhirnya berharap bisa mencapai penyelesaian politik dengan para musuh Arab mereka jelas menginginkan peran yang sebesar mungkin dari pihak Washington, bahkan jika itu berarti menimbulkan tekanan diplomatik yang tidak menyenangkan untuk mereka pikulkan sendiri. Tetapi masyarakat Israel yang menghentikan diplomasi mungkin lebih suka Bangsa Arab melakukannya sendiri atau bahkan melakukannya lewat Moskow. (Partai) Buruh mungkin saja menuding pada berbagai pelayanan yang diberikan pada jasa militer dan intelijen Amerika Serikat; dan sebaliknya, (Partai) Likud mungkin saja membanggakan keunggulannya di ruang Kongres (AS).
Tetapi kepentingan Israel yang sebenarnya terletak dalam dilepaskannya distorsi persepsi tentang hubungan AS-Israel, karena semua ini menyebabkan kaum Muslim tidak memperlakukannya sebagai sebuah negara yang normal. Entah sebagai bidak atau wayang, Israel tidak punya kepentingan negara yang biasa. Entah digunakan atau memanfaatkan Amerika Serikat, ia dipertautkan dengan sesuatu yang terlampau luas untuk bisa cocok di Timur Tengah; entah dilihat sebagai pos terdepan imperialisme atau sebagai markas konspirasi, Negara Yahudi telah menjadi bagian dari sesuatu yang terlampau mengancam untuk bisa diakomodasi. Sebagaimana Saad El-Shazly, mantan Panglima Angkatan Bersenjata Mesir pernah katakan: "Karena peran kerajaannya, ---kelahiran serta keberadaannya sebagai pos terdepan kekuatan Eropa yang diakui di jantung dunia Arab---Israel tidak bisa pelahan mengikuti situasi negara-negara tetangganya. Satu-satunya hubungan yang bisa Israel miliki dengan Arab adalah yang berkaitan dengan penolakan, penaklukan serta penguasaan."
Semua ini mengingatkan orang pada upaya lama di Eropa yang menganggap kaum Yahudi itu jahat. Dan, karena anggapan jahat itu menyebabkan terjadinya pembantaian massal yang memuncak pada holocaust Nazi, maka ada bahaya yang sama ketika Negara Yahudi djadikan ancaman bagi semua manusia. Hanya ketika Israel muncul dan dianggap sebagai negara sama seperti negara manapun, maka ada peluang bagi negara-negara tetangganya untuk berurusan dengannya sesuai dengan norma-norma diplomatik konvensional. Bagaimanapun, kecil sekali prospek ini terjadi. Berbagai klaim aneh seputar ikatan antara Amerika Serikat dan Israel bukanlah fenomena pinggiran di kalangan Muslim Timur Tengah, tetapi, ---seperti sudah kita lihat---menjadi bagian utuh dari jalinan kehidupan politik arus utamanya.
Masih tetap penting bahwa para diplomat dan politisi Amerika mengambil setiap peluang untuk tidak menyalahgunakan para mitra Arab mereka seputar pemikiran bahwa hubungan AS-Israel jauh lebih penting dibandingkan daripada yang dilihatnya. Dari waktu ke waktu, para pemimpin Amerika sudah tepat melakukannya. Sebagai contoh, dalam pertemuan baru-baru ini dengan lima senator AS, Presiden Saddam Hussein dari Irak berulangkali menyinggung soal "kampanye berskala besar di Barat untuk melawan Irak. Dia berusaha keras mendorong para senator dengan mengatakan: "Apakah kendali Zionis begitu berat menekan sehingga anda menjadi tidak lagi manusiawi? Apakah patriotisme di negara-negara [Barat] sudah menjadi begitu lemah sehingga mereka tidak lagi bisa mengatakan apa yang benar dan apa yang salah?" Setelah mendengarkan berondongan tuntutan seperti ini, Senator Alan Simpson (Senator Partai Republik dan Wyoming) menjawab: "Tidak ada konspirasi oleh Pemerintah Amerika Serikat atau di Inggris atau Israel untuk menyerang negeri ini."
Mungkin saja terlihat berlebihan, tetapi jawaban seperti ini perlu dibuat dan diulang-ulangi. Akhirnya, dia pun akan memberikan hasil yang baik. Anwar Sadat memuji upaya pencerahannya sebagai persuasi yang tepat. "Pembicaraan saya dengan Dr. Kissinger meyakinkan saya," urainya, "bahwa dia menolak ide sederhana dari sejumlah ahli strategi anda yang melihat ---atau pernah melihat---Israel sebagai tentara bayaran Amerika di bagian dunia ini." Pengulangan atas kebenaran yang gamblang ini mungkin saja oleh dari dirinya sendiri membawa para pemimpin Timur Tengah lainnya untuk meniru Sadat dalam upayanya berdamai dengan Negara Yahudi tetapi meruntuhkan delusi atau khayalan Arab seputar Amerika dan Israel merupakan suatu hal yang esensial jika mereka pernah berniat untuk bergerak menuju arah itu.***
yang esensial jika mereka pernah berniat untuk bergerak menuju arah itu.***
Topik Terkait: Konflik dan diplomasi Arab-Israel, teori-teori Konspirasi, Israel & Zionisme, pola-poa Timur Tengah
Related Articles:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.