Sebagai satu dari kawasan paling mudah berubah-ubah di dunia. Timur Tengah mendapatkan peliputan media yang tidak proporsional. Meski demikian, berbagai kisah suratkabar dan televisi nyaris sangat beragam menyajikan berbagai peristiwa masa kini, tanpa menyajikan konteks yang perlu untuk bisa memahami implikasi dan arti dari berbagai peristiwa tersebut. Karena itu, kami lalu menyeleksi delapan belas artikel dalam volume ini dengan tujuan hendak menyajikan latar belakang yang tepat atas topic Timor Tengah yang menarik akhir-akhir ini.
Awalnya, artikel-artikel ini tampil di Orbis: A Journal of World Affairs, sebuah jurnal empat bulanan yang mencurahkan perhatian pada isu-isu kebijakan luar negeri AS. Mereka semuanya diterbitkan antara tahun 1986 dan 1991 dan muncul di sini tanpa diubah sama sekali. Banyak topik tercakup, dengan dua tema yang menonjol: persoalan keamanan (perang, terorisme dan penyanderaan) serta persoalan perilaku (pendapat umum di Libanon dan Amerika Serikat serta dilema keamanan Israel). Inilah gambaran-gambaran yang terus bertahan selama bertahun-tahun bahkan beberapa dekade, dan dengan demikian, memberikan kunci untuk memahami aliran peristiwa dan kebijakan sehari-hari.
Perhatikanlah invasi Irak atas Kuwait serta Perang Teluk, berbagai peristiwa yang tampaknya memlintir kaleidoskop Timur Tengah sekaligus mengguncang apa saja di sana. Negara yang pernah kuat menjadi lemah; musuh menjadi sekutu, sejumlah utang keuangan lenyap sementara yang lainnya bertumbuh cepat. Sebuah negara yang bangga menderita serangan tanpa berupaya membalasnya, Mundurnya tentara Irak pada tahun 1991 kala itu masih menyebabkan berbagai perubahan lain. Konflik Arab–Israel terlihat lebih mendekati penyelesaian, ketika negara-negara Arab memusatkan perhatian pada permusuhan antarmereka di Teluk, membiarkan anti-Zionisme bergeser terpinggirkan. Warga Saudi pun mengumpulkan keberanian untuk berbicara mengungkapkan pemikiran mereka, muncul dengan serangan-serangan panas yang mengerikan terhadap berbagai pihak yang gagal atau yang mengkhianati saat mereka membutuhkannya. (Yasser Arafat, misalnya, mereka sebut, "badut itu"). Penaklukan dan pendudukan mengubah warga Kuwait: para playboy berubah menjadi pejuang ngotot, sementara para diplomatnya yang suka ragu-ragu menjadi para sekutu yang tegas.
Pernyataan tegas Amerika mungkin saja pada akhirnya menghancurkan stigma seputar ikatan yang dekat dengan pihak Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya, negara-negara Arab dengan bangga menggunakan asosiasi Amerika mereka. Meskipun tokoh anti-Amerika paling kenamaan seperti Hafiz al-Asad dari Suriah pun bergabung dengan koalisi pimpinan Amerika; masih ada hal yang jauh lebih menarik lagi, pasukan Suriah dan Amerika bersatu padu di Arab Saudi. Struktur kekuasan dan kebenaran lama tampaknya nyaris punah; Timur Tengah sudah sangat berubah dan tidak bisa diperbaiki lagi. Dan, akhir perang yang menentukan mengukuhkan harapan-harapan bahwa sebuah tatabaru di kawasan itu sudah terbit di ambang fajar.
Tetapi persoalan segera kembali kepada bisnis seperti biasa, begitu banyak hal yang dalam kurun dua bulan itu nyaris terasa seolah-olah tidak pernah terjadi perang. Saddam Hussain pun tetap berkuasa, sama biadabnya, kejam dan kasar serta penuh tipu seperti sebelumnya. Dia segera kembali kepada upaya untuk memplintir janji-janji otonomi dan demokrasi, sambil membantai masyarakar Irak persis seperti sebelumnya. Bangsa Arab kembali kepada cara-cara lama mereka yang penuh pura-pura, enggan mengijinkan peralatan militer AS ditempatkan kembali di tanah mereka. Kembali berkuasa, para pemimpin Kuwait pun sebanyak mungkin kembali pada cara hidup mereka sebelum invasi; seruan untuk berbagi kekuasaan berhadapan dengan rasa enggan dan penghinaan yang berbarengan dengan gagasan bahwa masyarakat Kuwait bisa melakukan pekerjaan mereka jauh lebih banyak secara cepat. Sebagian besar sandera Amerika masih berada di tahanan mereka di Libanon.
Segera menjadi jelas bahwa Assad bergabung dalam koalisi pimpinan AS demi alasannya sendiri (khususnya, persaingannya yang panjang dengan Saddam), tidak berkaitan dengan perubahan suasana hati. Assad masih terlibat dalam semua kegiatan menjijikan---menaklukan Libanon, mendominasi masyarakat Palestina, berkonfrontasi dengan Israel, mensponsori terorisme, berdagang narkoba---dalam sejumlah kasus melakukan lebih banyak lagi urusan ini dibanding sebelumnya.
Dan, meski Washington bisa memaksa orang-orang yang bertikai dari Arab dan Israel untuk bertemu di Madrid, ia tetap tidak bisa memaksa mereka untuk berdamai.
Mengapa harapan-harapan Musim Dingin dirusak oleh Musim Semi? Bukan karena kesalahan yang dibuat di Washington. Orang-orang asing tidak sepenting itu dalam menentukan politik Timur Tengah. Lebih dari itu, alasannya berkaitan dengan kecenderungan kawasan yang tidak dapat diperbaiki untuk dominasi dan percecokan. Kebencian berbasis etnis dan agama berlangsung dari generasi ke generasi; nafsu politik secara teratur mengesampingkan persyaratan ekonomi dan perintah kekuasaan diktatorial menegasi pembelajaran demokratis atau manusiawi. Oportunisme berkuasa; Saddam Hussein bersikap ramah kepada Pemerintah AS ketika dia membutuhkan bantuan pada 1986, dan Arab Saudi bersikap ramah pada tahun 1990 karena alasan yang sama.
Kerapkali terlihat bahwa sedikit sekali yang benar-benar mengubah Timur Tengah. Perjalanan Anwar Sadar ke Yerusalem, Revolusi Iran, Perang Irak-Irak, Intifada dan Krisis Kuwait semuanya datang dan pergi. Rincian-rincian peristiwanya mengguncang, tetapi persoalan secara fundamental terus berlangsung seperti sebelumnya. Tentu saja, persoalan berubah seiring dengan berjalannya waktu, tetapi pelahan, oh begitu pelahan.
Kesimpulan ini memperlihatkan bahwa kebijakan AS di Timur Tengah harus punya aspirasi yang wajar dan beralasan. Kekuasaan atau kekuatan masyarakat Amerika sebagai teladan bisa mengesampingkan persepsi serta kebiasaan yang begitu dalam berakar. Washington tidak punya keinginan atau kebutuhan untuk membangun kembali masyarakat Irak dari atas hingga bawah seperti dilakukannya di Jepang dan Jerman. Sayangnya konflik Arab-Israel selama beberapa dekade masih saja berlangsung. Lebih jauh lagi, kecuali yang berkaitan dengan Turki dan Israel, satu-satunya negara demokrasi di Timur Tengah, Washington bersikap dan merasa bertanggung jawab melebihi kemampuan dirinya di kawasan itu. Terlampau mendekatkan diri memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak menyenangkan dan kegagalan pihak lain bisa menjadi persoalan kita sendiri.
Artikel-artikel berikut ini, masing-masing punya nuansanya sendiri, mengukuhkan sekaligus memperbesar poin-poin pemikiran ini. Mereka membantu pembaca membedakan apa yang memang berubah, dan apa yang tidak. Kami mengaturnya berdasarkan empat rubrik: politik bangsa Arab, konflik Arab-Israel, Teluk Persia dan Kebijakan AS.
I. Politik Bangsa Arab. Emmanuel Sivan menjelaskan persoalan ini dalam artikelnya bertajuk "The Islamic Republic of Egypt" (Republik Islam Mesir). Dikatakannya bahwa kekuatan yang menarik cendekiawan Muslim radikal Mesir itu berasal dari "kedudukan moral mereka yang tinggi" yang bersifat menetap dari hukum suci Islam, Shariah. "Mitos pembentuk" para radikal bahwa Hukum Shariah harus membimbing masyarakat Mesir bakal terus menarik pengikut yang percaya bahwa "tugas utama Islam adalah untuk membentuk perilaku manusia lewat penggunaan hukum." Meski demikian, para radikal tidak punya proposal praktis bagi pemerintahan, sehingga Sivan meramalkan kemungkinan bahwa sebuah Negara Islam masa datang tidak bakal menjadi tanda yang bagus bagi demokrasi, kemerdekaan sipil, stabilitas ekonomi, wanita atau non-Muslim. Bahwa berbagai demonstrasi terpimpin kaum Islam radikal (Islamists) di Mesir menentang konperensi damai Oktober 1991 lalu memperlihatkan kepada kita bahwa isu ini masih penting, masih berdampak.
Aktivitas kaum muda Palestina dalam intifadah mempengaruhi para saudara mereka di Aljazair dan menurut Khalid Durán mengarah kepada terjadinya berbagai protes dan kerusuhan Oktober 1988. Durán menjulukinya sebagai, "Pertempuran Kedua di Aljazair" lalu mencatat ironi yang sangat mendalam dari kepemimpinan Aljazair yang dikenang karena perangnya yang mampu menginspirasi melawan kekuasaan kolonial kini justru tercetak dalam Pemerintahan Israel. Ia juga menunjuk berbagai implikasi dari contoh dari Bangsa Aljazair bagi Bangsa Palestina: "pemberontakan melawan pemerintahan mereka sendiri juga kepada partai gerakan pembebasan rakyat mereka sendiri, bukan melawan kekuatan-kekuatan pendudukan... sehingga memedihkan jika peringatan yang tidak sengaja kepada kaum muda Tepi Barat bahwa kehidupan sesudah pembebasan nasional mungkin bakal lebih parah dibanding sebelumnya." Semenjak essai Durán ditulis, berbagai kerusuhan secara gamblang menggambarkan persisnya betapa Islam militan yang berkuasa masih bertahan di Aljazair.
Ketika menjelaskan motivasi para teroris Shiah Libanon, Hilal Khashan meneliti perilaku para mahasiswa Shiah Libanon. Dalam tulisannya, "Do Lebanese Shi'is Hate the West?" (Apakah Kaum Shiah Libanon Membenci Barat?) dia meminta keterangan seputar agama, hubungan dengan Barat serta terorisme yang diarahkan melawan masyarakat Barat. Berbagai hasil temuan mendorong Khashan untuk menantang pandangan umum bahwa kaum Shiah Libanon itu "sangat anti-Barat" dan bahwa perasaan-persaan itu muncul dari relijiusitas Shiah. Justru sebaliknya, dia menemukan tingkat sikap politik (moderation) yang wajar dan sangat mengagumkan. Khashan lalu mengisyaratkan bahwa aksi teroris seperti bom bunuh diri terhadap barak Marinis AS, 23 Oktober 1983 merupakan hasil dari orang Shiah jahat yang bekerja sendiri, akibat inisiatif yang tidak diakui oleh Faksi Hizbullah atau perpaduan dari kedua sebab itu.
Dalam artikel bertajuk, "The Revival of Pan-Arabism" (Kebangkitan Kembali Pan-Arabisme), Khashan menyebarkan polling di kalangan kaum Muslim Libanon usia kuliahan, dari kalangan Sunni dan Shiah kemudian melaporkan reaksi mereka terhadap invasi Irak atas Kuwait. Dia menemukan bahwa masyarakat Sunni cenderung tidak terlampau terorganisir secara politis tetapi lebih cenderung mendekat kepada kaum Pan-Arab, pro-Saddam Hussein dan punya pandangan radikal anti-Barat dibandingkan dengan masyarakat Shiah. Khashan mencatat bahwa karena masyarakat Sunni tidak menikmati peluang untuk mengungkapkan kebebasan politik namun sebaliknya kaum Shiah memilikinya, maka pan-Arabisme menjadi "hal penting yang secara demografis menstabilkan" masyarakat Sunni di berbagai negara dengan populasi Shiah yang signifikan. Dia meramalkan bahwa pan-Arabisme Suni bakal kembali bangkit di kawasan itu pada dekade mendatang dan bahwa kekuasaan politik Sunni yang "berbahaya" di utara Semenanjung Arab bakal menyebabkan gerakan ini tersebar lebih jauh. Ketika masa depan politik Libanon sendiri sedang bergeser, analisis ini tetap saja menjadi arahan yang sangat bagus untuk masa datang.
II. Konflik Arab-Israel. Michael Mandelbaum menerapkan teori ilmu politik dengan semangat khusus dalam artikelnya bertajuk, "Israel's Security Dilemma" (Dilema Keamanan Israel). Pada satu pihak, Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan berperan sebagai daerah penyangga Israel dari tetangga-tetangga Arabnya yang merentang hingga ke timur dan dalam pengertian ini mereka berkontribusi terhadap keamanan Israel. Pada pihak lain, penduduk kawasan-kawasan tersebut yang terus-menerus justru meningkatkan ketegangan kawasan. Di sinilah terletak dilemma Israel. Haruskah dia, Israel menukarkan tanah demi perdamaian dan dengan demikian melemahkan pertahanannya? Atau haruskah dia terus mendukuki kawasan dan berisiko memprovokasi negara-negara Arab dan mengundang isolasi dunia internasional? Mandelbaum lantas simpulkan bahwa Israel bakal memilih untuk menetap di Kawasan-Kawasan Pendudukan, lebih suka kekuatan daripada berkurangnya ketegangan yang tidak kasat mata. Kami di Dewan Timur Tengah (Middle East Council) bukanlah satu-satunya pihak yang tergugah untuk ingin tahu argumentasi Mandelbaum: PLO menterjemahkan artikelnya itu ke dalam Bahasa Arab kemudian menerbitkannya kembali dalam sebuah edisi miliknya sendiri yang melanggar undang.
Mitchell Bard membahas dalam artikelnya, "How Fares the Camp David Trio?" (Berapa Biaya Tiga Perunding Camp David?) bahwa pakta diplomatik sedikit sekali berusaha mengurangi rasa benci Mesir terhadap Israel yang sudah berlangsung beberapa dekade. "Perdamaian yang Dingin' (Cold Peace) ala Mesir dengan Israel memberikan keuntungan bersama yang jelas-jelas nyata dibandingkan dengan suasana perang sebelumnya, tetapi kurangnya upaya Kairo untuk menyelesaikan persoalan itu menyebabkan hubungan kedua negara sempoyongan. Bard menyimpulkan bahwa pragmatisme merupakkan faktor pembangkit utama di balik keterlibatan Mesir dalam prakarsaya Camp David dan bahwa dalam istilah yang lebih dekat, "sumber konflik emosional, agama dan sejarah antara masyarakat Israel dan Bangsa Arab tidak bakal hilang."
Aaron David Miller membahas topic yang sama dengan cara yang jauh lebih optimis. Dalam artikelnya "Changing Arab Attitudes toward Israel," (Mengubah Perilaku Bangsa Arab terhadap Israel), dia memperdebatkan eksistensi pragmatisme baru yang berkembang di antara sejumlah negara Arab penting selain Mesir pada penghujung era 1980-an. "Biaya/kalkulus keuntungan" yang senantiasa terlibat dalam membentuk perilaku Bangsa Arab baru-baru ini berperan sebagai kebijakan moderat Arab. Israel yang terus berkuasa, yang didukung oleh keberhasilannya di medan tempur serta semakin meningkatnya pilihan militer Arab yang terbatas telah membantu mengembangkan lahirnya pragmatisme mereka. Berbagai peristiwa selama lima belas tahun terakhir berkontribusi terhadap kecenderungan ini. Sama seperti pakta perdamaian Mesir-Israel mereduksi kemampuan Arab berhadapan dengan Israel, sehingga perang Iran-Irak menggeser perhatian menuju Teluk Persia. Bagaimanapun, Miller mengakui bahwa kebencian masa lalu mungkin saja dihapus, sejauh negara-negara Arab terus mempertahankan prinsip perangnya terhadap Israel.
Dalam artikelnya, "Islam in the Palestinian Uprising" (Islam dalam Kerusuhan Palestina), Robert Satloff mengingatkan adanya bahaya pada proses perdamaian Arab-Israel yang ditimbulkan oleh Islam fundamentalis di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Diterbitkan setelah AS sudah memulai sebuah dialog dengan Yasser Arafat dan PLO, artikel ini menjelaskan peran yang berbagai kelompok fundamentalis seperti Jihad Islam dan Hamas miliki dalam menciptakan dan mempertahankan intifadah. Menurut Satloff, ketika memilih berurusan dengan kepemimpinan kaum nasionalis Palestina dalam PLO, Washington tidak cukup mengenali pengaruh fundamentalisme di Kawasan-kawasan Pendudukan. Proses perdamaian, tulisnya, bakal tergantung "sama banyaknya pada perkembangan di dalam Palestina sendiri [antara kaum nasional dan fundamentalis Islam Palestina] seperti pada perilaku Palestina terhadap Israel." Karena itu, dia menyarankan agar Washington siap-siap menghadapi risiko berbahaya ketika berupaya menyelesaikan konflik Palestina-Israel jika tidak memperhitungkan kepentingan dan pandangan Hamas serta kaum fundamentalis lainnya.
Dengan memanfaatkan data polling pendapat umum, Eytan Gilboa mempertimbangan efek yang timbul dari berbagai pembentontak Palestina pada opini publik di Amerika Serikat, khususnya atas isu-isu seperti dukungan terhadap Israel, penerimaan terhadap PLO dan sebuah Negara Palestina yang merdeka. Dalam artikel "The Intifada: Has It Turned American Public Opinion?" (Intifada: Sudahkah Dia Ubah Opini Publik Masyarakat Amerika?) dia menyimpulkan bahwa meski intifada mendapatkan perhatian media yang sangat luar biasa, "lontaran komentar kritis" yang dihasilkannya tidak mengurangi dukungan tradisional Amerika terhadap Israel atau meningkatkan status PLO atau pun kesediaan untuk bisa menerima Negara Palestina di Tepi Barat. Setelah masa itu, kesimpulan ini tetap bertahan valid walau berbeda dari kebijakan konvensional pada waktu artikel itu sendiri diterbitkan pada awal tahun 1989.
Dalam artikel, "Declaring Independence: Israel and the P.L.O" (Mengumumkan Kemerdekaan: Israel dan PLO) Daniel Pipes membandingkan dua teks --- proklamasi kemerdekaan Palestina pada 15 Nopember 1988 dan Israel pendahulunya, 14 Mei 1948. Dia memperlihatkan berbagai kesamaan dalam hal "pokok persoalan, organisasi bahkan penyusunan kata-kata khusus" antara kedua teks dan karena itu dia mengatakan bahwa dokumen PLO memang sengaja mengikuti model teks proklamasi Israel. Dia lalu menyimpulkan bahwa riwayat sejarah (career) dari kedua dokumen yang tidak sama memang mengukuhkan "kebenaran lama bahwa sejarah memang membuat dokumen itu lebih daripada dokumen itu membuat sejarah."
III. Teluk Persia. Irak dan Irak telah melancarkan perang konvensional terpanjang selama abad kedua puluh, sebuah konflik brutal dengan korban jiwa yang tinggi yang menyebabkan kedua negara secara ekonomis hancur, lemah dan berdarah-darah. Kedua pihak jelas-jelas "gagal menerapkan hampir semua prinsip perang klasik ---mulai dari penerapan tujuan perang yang realistis hingga penggunaan taktik yang tepat." Meski demikian, Efraim Karsh menjelaskan dalam artikelnya bertajuk "Lessons of the Iran-Iraq War" (Pelajaran dari Perang Iran-Irak) bahwa konflik itu sendiri memberikan "pelajaran militer dan strategis yang penting" bagi negara-negara lain. Soal semangat juang misalnya, tidak senantiasa berdampak positif pada upaya perang sebuah negara. Selain itu, walau "perang tak mudah dibatasi," proses peningkatan dan perluasan perang tidak senantiasa acak terjadi. Karsh mengakhiri tulisannya dengan sebuah catatan yang optimistis, dengan mengutip pernyataan, "reaksi internasional yang sedikit sekali terhadap pelahan terhapusnya beberapa ambang krusial serta "jalur merah" selama perang (pertama-tama penggunaan gas). Karena itu, dia memprediksi meningkatnya "tingkat kekerasan yang potensial [masa datang] dalam perang-perang Timur Tengah." Analisisnya pada tahun 1989 baru keluar tepat setahun kemudian.
Martin Kramer menggali persoalan ketegangan kronis nan abadi antara Sunni-Shiah dalam artikelnya, "Tragedy in Mecca" dan mencatat bahwa fundamentalis Islam telah memperkenalkan kembali konsep "perang suci oleh kaum Muslim melawan sesama Muslim" ke dalam kehidupan publik Timur Tengah. Contoh kenamaan persoalan ini adalah bentrokan kekerasan antara jemaah haji Iran dan pasukan keamanan Arab Saudi di Mekkah, 31 Juli 1987. Rincian persis konfrontasi memang belum jelas, tapi Kramer justru menjelaskan penyebab-penyebab yang melandasinya. Selama seribu tahun, Muslim Sunni dan Shiah mempertengkarkan persoalan hakikat perjalanan haji tahunan ke Mekkah, sebuah aspek utama dalam agama Muslim. Menurut Kramer, Revolusi Iran pimpinan Khomeini kembali memperburuk dan memperhebat konflik berabad-abad antara kaum Sunni (khususnya kaum Wahabi) dan kaum Shiah. Dia kemudian lebih membahas bahwa persoalan ini, walau hampir-hampir tidak dicatat oleh kalangan di luar Muslim, bakal terus berlanjut sehingga mengobarkan semangat politik di Timur Tengah.
Patrick Clawson dan Charles Kupchan sama-sama mengunjungi Iran, Nopember 1989 kemudian meninggalkan negeri itu dengan kesan-kesan pelengkap. Dalam artikel, "Iran after Khomeini" (Iran Pasca-Khomeni), mereka menjelaskan bencana akut yang ditimbulkan oleh delapan tahun konflik, yang menyebabkan rejim Iran yang radikal melepaskan diri dari upaya yang agresif untuk mengekspor revolusi Islam agar bisa memusatkan kembali perhatian pada pembangunan kembali ekonomi.
Mereka sama-sama berharap hubungan dengan lawan yang moderat, bisa terpulihkan, tetapi mendekati persoalan tersebut secara berbeda. Clawson mengusulkan sebuah paket perjanjian: pasca-pembebasan sandera Barat di Libanon, pembatasan perdagangan dengan Iran dicabut. Pada waktu bersamaan, Washington seharunya mempertahankan "seperangkat ancaman yang pantas dipercaya" jika Iran tidak menghentikan dukungannya terhadap teroris. Baginya, "cara terbaik untuk berurusan dengan [Iran] adalah melalui tawar-menawar yang keras yang saling memberi (quid pro-quo bargaining), bukan lewat sikap naïf manis yang menyenangkan." Kupchan menyarankan Washington untuk berupaya saling mendekati dengan Teheran supaya bisa membuka dialog yang konstruktif. Ketika masing-masing pihak terlibat dalam langkah-langkah pembangunan yang meyakinkan, kedua negara bisa mengembangkan suatu "hubungan yang positif."
Eliyahu Kanovsky meyakini bahwa krisis minyak 1990, terdorong oleh invasi terhadap Kuwait, mirip dengan krisis yang sama pada tahun 1979, menyusul revolusi Iran. Dalam artikelnya, "Why the Oil Crisis Won't Last" (Mengapa Krisis Minyak Tidak Bertahan Lama) (yang diterbitkan September 1990), dia meramalkan bahwa harga minyak bakal jatuh ketika pasar dunia mampu menyesuaikan diri dengan ancaman kekurangan minyak. Karena sejak era 1970-an awal, krisis mengurangi permintaan atas minyak karena meningkatnya efisiensi energi, pencarian minyak alternatif dan beragam metode lainnya. Dia benar: bukan saja harga minyak jatuh, tetapi juga permusuhan terhadap Irak meledak pecah. Ketika goncangan krisis minyak berikutnya terjadi, logika Kanovsky seharusnya menjadi bagi para pembuat kebijakan, di dalam lingkungan bisnis maupun pemerintah.
IV. Kebijakan AS. Apakah Israel itu sesuatu yang plus atau minus dalam kalkulasi AS di Timur Tengah? Steven Spiegel membahas kasus otoritatif untuk sudut pandang plus dalam artikelnya bertajuk, "U.S. Relations With Israel: The Military Benefits" (Relasi AS dengan Israel: Keuntungan Militer). Dalam artikelnya dia memperlihatkan betapa Israel memberikan inovasi dan keahlian militer kepada AS, menawarkan "ruang untuk mengkaji dan untuk kerja sama yang mungkin bisa ditingkatkan dalam berbagai bidang di mana mereka adalah ahlinya." Hubungan itu bukan saja memperluas kepentingan AS di kawasan dengan memberikan sebuah sekutu demokratis yang kuat secara militer, tetapi juga memperluas kepentingan AS dalam teater global yang lebih luas dengan memberikan inovasi dan keahlian militer dengan pengetahuan yang diperolehnya dari pengalaman di medan perang melawan persenjataan buatan Soviet. Selain itu, keberhasilan perang Israel menguntungkan para pembuat senjata Amerika namun sebaliknya secara negatif mempengaruhi rencana pertahanan dan penjualan senjata Soviet.
Dalam artikelnya, "The U.S. Raid on Libya-and NATO" (Serangan Mendadak atas Libya dan NATO), Frederick Zilian menyoroti ketegangan hubungan antara AS dengan sekutu NATO-nya selama serangan udara mendadak atas Libya, April 1986. Meski bertindak sepihak dan hanya mendapatkan dukungan satu sekutunya di NATO (Kerajaan Inggris), kritik Pemerintah AS terhadap sesama anggota aliansi berhasil diredam, khususnya jika dibandingkan dengan kritiknya terhadap reaksi Sekutu terhadap pernyataan keadaan darurat militer di Polandia, Desember 1981. Selain itu, aksi Libya memunculkan "satu dari berbagai isu yang senantiasa memecah-belah NATO sejak masa awal pendirian Aliansi", misalnya soal piagam NATO yang dapat diterapkan pada kawasan dan negara-negara bukan Eropa. Dengan tepat Zilian membahas persoalan ini dalam artikelnya yang diterbitkan pada tahun 1986. Dikatakannya, bahwa NATO tidak bakal "berkembang, tetapi tidak layu." Juga dia ramalkan bahwa gempuran terhadap Libya menjadi awal dari aksi sepihak Amerika Serikat pada masa datang di Dunia Ketiga --- dengan atau tanpa dukungan sekutu Washington di Eropa. Seiring dengan runtuhnya ancaman Soviet serta evaluasi ulang peran NATO, pertanyaan yang di luar bidangnya mendapatkan tekanan penting baru; dan dalam konteks ini, serangan mendadak atas Libya pada tahun 1986 tetap menjadi benchmark atau tes standar untuk kegiatan lainnya.
Artikel Daniel Pipes bertajuk "Breaking the Iran/contra Story" (Membedah Kisah Iran/Iran Kontra), menyajikan dua dokumen penting yang memperlihatkan strategi Pemerintahan Reagen dalam berurusan dengan kaum "moderat" Iran. Satunya dokumen yang ringkas padat, teks yang jarang terlihat yang membedah kisah itu dalam Mingguan Ash-Shira', sebuah mingguan Libanon,sementara lainnya adalah pidato Ali Akbar Hashemi-Rafsanjani yang kala itu, Ketua Parlemen Iran. Kisah dalam Ash-Shira' memaksa Rafsanjani untuk menanggapinya sehingga bisa melindungi dirinya dari tuduhan bekerja sama dengan Amerika Serikat. Dalam pidatonya, Rafsanjanji menyajikan rincian tangan pertama seputar aktivitas Amerika, termasuk, hal tersamar lainnya (cake in the shape of a key). Pada titik ini, skandal itu terbuka lebar.***