Tulisan ini merupakan versi awal yang lebih ringkas dari tulisan bertajuk "The Muslim Claim to Jerusalem," yang diterbitkan dalam Middle East Quarterly, September 2001.
Masyarakat Yahudi dan kaum Muslim seringkali harus saling berhadapan ketika menyangkut soal Yerusalem. Saat itulah, pernyataan yang semakin luas terdengar adalah bahwa 'kota itu suci bagi masyarakat Yahudi dan Bangsa Arab'. Menurut adagium itu, Yudaisme dan Islam punya klaim religius dan historis yang sama atas Kota Suci. Kedengarannya masuk akal dan adil. Tetapi persoalannya, apakah ini penilaian yang akurat?
Bagi masyarakat Yahudi, Yerusalem jelas punya tempat yang sangat agung. Alkitab Ibrani menyebutnya tidak kurang dari 657 kali. Masyarakat Yahudi pun terus-menerus menyebutkan namanya dalam doa-doa mereka. Yerusalem menjadi satu-satunya Ibukota Negara Yahudi. Juga satu-satunya kota dengan mayoritas penduduk Yahudi sejak abad lalu. Dalam kata-kata Walikota Yerusalem saat ini, Yerusalem merepresentasikan 'ungkapan paling murni dari semua orang Yahudi yang didoakan, diimpikan, diratapi dan mereka pun bersedia mati bagi kota itu selama 2.000 tahun sejak Bait Suci Kedua dihancurkan.'
Bagaimana dengan kaum Muslim? Yerusalem bukan tempat arah sholat mereka. Jika tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur'an atau dalam doa-doa. Ia tidak terkait langsung dengan peristiwa sakral apa pun dalam sejarah Islam. Kota itu tidak pernah menjadi Ibukota sebuah Negara Muslim yang berdaulat. Juga tidak pernah dia menjadi pusat kebudayaan. Sedikit sekali hal politik yang diimporkan bagi kaum Muslim yang pernah dimulai dari sana.
Jika demikian, mengapa kaum Muslim masa kini memberikan begitu banyak perhatian kepada Yerusalem? Karena politik. Sebuah survei mengenai sejarah Islam memperlihatkan bahwa status kota itu pasti bakal meningkat penting jika ia punya tujuan politik. Sebaliknya, ketika tidak lagi penting, statusnya pun menjadi tidak penting lagi. Pola ini dimulai dengan Nabi Muhammad pada awal abad ke-7. Dan pola itu berulang. Setidaknya pada empat kesempatan lain; Pada akhir abad ke-7, abad ke-12, selama era penjajahan Inggris (1917-48) dan sejak 1967.
Pada awal 620-an, Nabi Muhammad mengadopsi sejumlah praktik (keagamaan) yang mirip milik Yahudi. Para pria Muslim pun diizinkannya menikahi para wanita Yahudi supaya orang Yahudi menyukainya sehingga bersedia beralih menganut agama barunya. Sejak awal umat Muslim pun secara khusus meniru cara masyarakat Yahudi berdoa menghadap Bait Bukit Allah (Temple Mount) di Kota Yerusalem. Tetapi langkah-langkah ini tidak berhasil meyakinkan banyak orang Yahudi untuk berpindah agama. Penolakan menyebabkan Islam pun berpaling dari mereka dan kota suci mereka. Karena itu, turunlah sebuah ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk sholat mengarah menuju Mekkah sebagai gantinya. Dalam contoh ini, seperti pada semua kasus kemudian, polanya jelas; jika Yerusalem tidak bermanfaat sebagai tujuan yang diperjuangkan, maka umat Islam pun tidak banyak menggunakannya.
Episode kedua menyusul beberapa dekade kemudian. Pada era Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus (661-750). Karena persaingannya dengan seorang pemimpin pembangkang di Mekkah, para penguasa Umayyah berusaha memperluaskan Suriah dengan mengorbankan kota Arab. Untuk alasan ini, seperti dijelaskan oleh cendekiawan Israel Izhak Hasson, 'Rezim Umayyah tertarik untuk menganggap aura Islam sebagai benteng sekaligus pusat kegiatannya. Untuk mencapai tujuan ini, pada 688-91, dinasti itu membangun Masjid Kubah Emas pertama yang berstruktur ala katedral (Kristen). Dan, pembangunan itu dilakukan tepat di tempat Bait Allah Yahudi pernah berada.
Langkah Umayyah berikutnya halus dan rumit. Diperlukan sebuah tinjauan yang lebih dekat terhadap sebuah kisah yang termaktub dalam Al-qur'an Sura 17: 1, yang menggambarkan Perjalanan Malam Nabi Muhammad (isra):
[Tuhan] membawa hamba-Nya [Nabi Muhammad] pada malam hari dari Masjid Suci menuju masjid terjauh.
Ketika kisah Al-Qur'an ini pertama kali diturunkan, kira-kira pada 621, tempat yang bernama Masjid Suci memang sudah ada di Mekkah. Sebaliknya, 'masjid terjauh hanya sekedar cara pengungkapan yang khas. Bukan sebuah tempat
Tapi kemudian, pada 715, Bani Umayyah melakukan hal yang cerdik. Mereka membangun masjid di Yerusalem. Tepat di Bukit Bait Suci. Dan menyebutnya Masjid Terjauh (almasjid al-aqsa, Masjid Al Aqsa). Bagian lain kisah itu yang berkaitan dengan Joran kemudian ditafsirkan untuk merujuk kepadaYerusalem. Dengan demikian, dia menambah aura suci atas kota itu. Tentu saja, tindakan Bani Umayyah punya motivasi tertentu. Untuk tujuan dengan manfaat tertentu. Tetapi tujuan itu sudah lama dilupakan. Namun, keputusan politik mereka untuk meningkatkan kedudukan Yerusalem menyebabkan kota itu dinilai kudus dalam Islam.
Seiring dengan meninggalnya Umayyah pada 750 dan pemindahan ibukota kekaisaran ke Baghdad, kepentingan politik pun berakhir. Sekaligus merosot menjadi berantakan. Seorang penulis abad ke-10 secara khas menggambarkan kota itu sebagai 'kota provinsi yang menyatu dengan Ramla.' Ramla adalah kota kecil yang tidak berarti. Jaraknya 40 kilometer dari Yerusalem dan berfungsi sebagai pusat administrasi Palestina. Itulah sebabnya mengapa ketika Tentara Salib menaklukannya pada 1099 tidak banyak kaum Muslim menanggapinya. 'Seruan untuk berjihad pada awalnya tidak didengarkan,' tulis cendekiawan Inggris Robert Irwin.
Hanya 50 tahun kemudian, para pemimpin Muslim berusaha membangkitkan sentimen jihad. Caranya, dengan memperbesar luapan perasaan hati mereka atas Yerusalem dengan menekankan kesuciannya. Upaya ini memuncak dengan penaklukan Yerusalem oleh Sultan Saladin pada 1187. Setelah Yerusalem kembali dengan aman di tangan Muslim, minat mereka terhadap kota itu justru turun lagi. Sampai-sampai cucu Sultan Shalahuddin menyerahkan kota itu kepada Kaisar Friedrich II tahun 1229 sebagai imbalan atas bantuan militernya. Dalam sebuah bagian kisah yang menarik terungkap bahwa penguasa Muslim itu menghapus kota yang tengah dia kosongkan seperti terlihat dari pernyataannya: 'Saya tidak serahkan apa pun kecuali reruntuhan gereja dan rumah-rumah.' Kembalinya Yerusalem ke tangan kaum Kristen ternyata malah menginspirasi lahirnya ikatan perasaan yang sangat besar di kalangan Muslim. Inspirasi emosional itu memang sudah diperkirakan. Akibatnya, pada 1244 kota itu kembali di bawah pemerintahan Muslim.
Ikatan kuat perasaan itu kemudian kembali merosot. Menjadi kabur lagi seperti biasa. Yerusalem tidak lagi menjadi ibukota sebuah dinasti. Menjadi terbelakang, lamban ekonominya dan tertinggal budayanya. Kurangnya minat terhadap Yerusalem tercermin dalam keadaan kota yang merosot dan miskin. Era Kekaisaran Utsmaniyah yang panjang (1516-1917) menyebabkan terjadinya eksploitasi ekonomi. "Setelah menguras habis Yerusalem, pasha (baca: pejabat tinggi dalam lingkup Kekaisaran Utsmaniyah) pergi," kata penjelajah Prancis Francois Rene Chateaubriand pada 1806. Populasi kota pun turun menjadi beberapa ribu penduduk. Banyak laporan dari pengunjung Barat yang sepakat soal kemerosotan kota. Constantin Voiney mencatat situasi kota itu pada 1784; 'tembok Yerusalem hancur. Parit keliling kotanya penuh puing-puing, jalanan kotanya (circuit) tersumbat reruntuhan'. 'Sungguh sedih dan sengsara!' tulis Chateaubriand. 'Nasib malang itu disukai surga,' komentar Herman Melville pada 1857.
Pengabaikan terhadap status khusus Yerusalem berubah setelah Inggris tiba di kota itu pada 1917. Kala itu mendadak tempat itu menjadi perhatian besar bagi umat Islam. Ia pun menjadi pusat ketika masyarakat Palestina berupaya memblokir Zionisme. Kedaulatan atas Yerusalem, lebih dari masalah lainnya, membangkitkan dukungan Muslim internasional untuk Palestina.
Seperti diharapkan, Yordania menguasai tempat-tempat suci Islam di Yerusalem selama 1948-67. Namun, pada saat itu pula terlihat bahwa minat kaum Muslim atasnya merosot. Institusinya ditutup. Keunggulan politiknya terkikis. Populasinya menurun. Untuk meminjam uang di bank misalnya, orang harus bepergian ke Amman. Rasa tidak suka terhadap Yordania mengubah Arab Yerusalem menjadi kota provinsi yang terisolasi. Bahkan kurang penting dibandingkan dengan Kota Nablus.
Kemudian datanglah kemenangan Israel pada 1967. Bangsa Yahudi pun menguasai seluruh Yerusalem. Seperti diharapkan, kota ini lalu menjadi poros emosional dari konflik Arab-Israel. Untuk membangun statusnya, orang Palestina mengandalkan beberapa argumen dan bahasa yang sama yang digunakan selama Perang Salib (misalnya menyangkal bahwa kekuatan pendudukan punya hubungan agama dengan kota itu). Orang Palestina juga menggunakan Yerusalem supaya bisa memperoleh dukungan Muslim secara internasional. Republik Islam Iran, misalnya, merayakan 'Hari Yerusalem' dengan menerbitkan perangko berikut poster serta slogan-slogan peringatan yang penuh desakan.
Ketika meninjau kembali kepada nyaris 14 abad silam, maka terlihat bahwa episode-episode ini meyajikan suatu perspektif yang penting seputar buntunya relasi diplomatik masa kini. Bahwa kaum Muslim berulangkali menunjukkan minat mereka terhadap Yerusalem hanya terdorong oleh kekhawatiran mereka yang mendesak (dan tidak berminat lagi ketika kekhawatiran itu hilang). Itu menyebabkan ada keraguan serius tentang tingginya status Yerusalem bagi kaum Muslim. Dengan demikian, salah jika orang menyamakan kesucian kota itu bagi kedua agama. ****
Penulis adalah editor Middle East Quarterly dan pengarang buku yang baru saja diterbitkan bertajuk Conspiracy: How the Paranoid Style Flourishes, and Where It Comes From (Free Press).
Topik Terkait: Islam, Yerusalem, Orang Yahudi dan Yudaisme
Artikel Terkait:
- What Jewish Ties to Jerusalem?
- Bibliography – My Writings on Jerusalem
- The Muslim Claim to Jerusalem
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.