Conversion to Islam in the Premodern Age: A Sourcebook. Diedit oleh Nimrod Hurvitz, Christian C. Sahner, Uriel Simonsohn dan Luke Yarbrough. Oakland: University of California Press, 2020. 355 hal. $95 (sampul tebal), $39.95 (sampul tipis), $39.95 (eBook).
Para editor ditugaskan untuk menuliskan buku ini. Dan, mereka berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 57 bahan tulisan. Mereka menyebutnya sebagai "beberapa sumber [primer] paling jelas yang terabaikan" tentang orang-orang yang berpindah agama masuk Islam selama periode pramodern. Antara tahun 700 - 1650. Cakupan geografisnya luas. Dari Afrika Barat hingga Indonesia. Penekanan diberikan pada kawasan Timur Tengah, khususnya Suriah dan Irak. Dengan demikian, dia mencerminkan sentralitas Timur Tengah dalam Islam dan sumber-sumber yang tersedia. Terjemahan ke dalam Bahasa Inggris berasal dari berbagai bahasa seperti Armenia dan Melayu. Masing-masing diikuti dengan saran untuk bacaan lebih lanjut.
Kecendekiawanan para editornya patut dicontoh. Mereka menyajikan sebuah survei yang serius dan terpelajar seputar topik utama sejarah Islam. Karena itu, ketika membaca kutipan satu demi satu, dari sana-sini yang tanpa henti bergerak maju seiring waktu, kita pun diberikan sajian informasi yang luas tentang keadaan, motif, implikasi hukum, perubahan pribadi, dampak sosial, dan masih banyak lagi.
Tetapi di luar hal-hal khusus itu, kumpulan tulisan tersebut mengarah pada kesan menyeluruh yang terkait dengan pengkhianatan dan penindasan yang tak terhindarkan. Hampir selalu, orang yang berpindah agama secara implisit menyadari bahwa saat dia bergabung dengan apa yang secara terang-terangan disebut oleh para editor sebagai "harapan untuk bergabung dengan 'tim pemenang' Allah," dia justru meninggalkan mantan rekan seagamanya dalam kesulitan. Di Geniza, misalnya, mualaf biasanya dikenal sebagai "penjahat" (dalam Bahasa Ibrani, poshe'a).
Sebaliknya, beberapa kasus perpindahan agama terjadi karena alasan positif, afirmatif, dan inspirasional. (Dengan satu catatan pengecualian menyangkut 41 biarawan Amorium yang berpindah agama secara massal.) Dengan demikian, kemampuan ilmiah para editor untuk melepaskan diri dari persoalan pun menghilang. Kemampuan ilmiah itu tersingkirkan oleh rasa sakit yang membasahi kesaksian dan tangisan yang bergema selama berabad-abad. Ia menjadi penderitaan bagi orang-orang yang tidak percaya kepada supremasi Islam yang sayangnya tetap terjadi.***
Faces of Muhammad: Western Perceptions of the Prophet of Islam from the Middle Ages to Today. Oleh John V. Tolan. Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2019. 309 hal. $29.95.
Karena berupaya menegaskan bahwa "Nabi Muhamad senantiasa menjadi pusat wacana Eropa tentang Islam," Tolan menemukan bahwa "Nabi Muhammad menempati tempat penting yang saling bertentangan satu sama lain dalam imajinasi masyarakat Eropa ... Atau dengan kata lain menimbulkan ketakutan, kebencian pada satu pihak dan ketertarikan atau kekaguman pada pihak lain." Memang, berbagai pandangan tentang dia "bisa apa saja kecuali yang bersifat monolitik." Mulai dari pandangan yang berkaitan dengan setan (Satanic) hingga yang paling positif.
Sembilan bab buku yang ditulis Tolan membahas contoh-contoh dari fenomena ini selama 800 tahun. Berawal dengan kisah-kisah seputar Tentara Salib dan berakhir dengan kisah-kisah para cendekiawan abad kedua puluh seperti Louis Massignon dan W. Montgomery Watt. Tolan, seorang profesor sejarah di Universitas Nantes di Prancis, tidak berusaha membuat sebuah sketsa yang lengkap tetapi justru menawarkan studi kasus - studi kasus yang terpisah. Beberapa studi kasusnya bersifat tematik (seperti Nabi Muhamad sebagai idola atau sebagai penipu). Tema lain bersifat geografis (seperti tentang Spanyol, Inggris) atau beragam pandangan (Masa Pencerahan, Yudaisme).
Sebagai penulis dari banyak buku lain tentang tanggapan masyarakat Eropa terhadap Islam (dan memang dia menyebutkan penelitian ini sebagai "buah dari karier penulisannya"), Tolan dengan cakap dan mengagumkan mengarahkan pembacanya dari satu contoh kasus yang memberikan wawasan kepada contoh lain untuk membangun sebuah kasus yang meyakinkan bagi pandangan "apa pun kecuali yang monolitik" tentang Nabi Muhamad. Ada satu contoh favorit. Yaitu perikop kisah yang luar biasa yang muncul pada 1856 karya Heinrich Graetz dalam 11 jilid bukunya bertajuk History of the Jews: Graetz menulis: Jika ia "bukan putra Yudaisme yang setia, ... maka Nabi Muhamad dapat dikatakan menghargai tujuan tertinggi Yudaisme. Dan terdorong oleh Yudaisme pula dia memberikan kepada dunia sebuah agama baru, yang dikenal sebagai Islam, yang didirikan di atas dasar yang luhur. Agama ini memberikan pengaruh yang luar biasa pada sejarah Yahudi dan pada evolusi Yudaisme."
Konon, ada hal yang tidak memuaskan berkaitan dengan contoh-contoh yang tidak digabungkan menjadi kisah yang utuh berpadu. Terkait dengan persoalan bagaimana kita memastikan bahwa lembaran-lembaran tulisan Tolan itu representatif atau signifikan? Sebagai contoh, ketika Massignon dan Watt jelas-jelas menyimbolkan aliran kesarjanaan Kristen yang "berupaya mendamaikan iman Kristen mereka dengan pengakuan terhadap ciri spiritual yang positif dari misi Nabi Muhamad." Persoalannya, bagaimana bisa mereka membandingkan pentingnya persoalan itu bagi para sarjana Kristen yang menolak rekonsiliasi seperti itu? Apa hubungan antara aliran, dan manakah aliran yang lebih penting? Mengapa hanya membahas yang satu dan bukan yang lain?***
The Prophet's Heir: The Life of Ali ibn Abi Talib. Oleh Hassan Abbas. New Haven: Yale University Press, 2021. 239 hal. $30.
Pembaca buku ini mengakui ada harapan-harapan tertentu saat membuka buku yang diterbitkan oleh Yale University Press dan dituliskan oleh seorang dosen Hubungan Internasional kenamaan Lembaga Kajian Near East South Asia Strategic Studies Center, National Defense University. Pusat kajian itu, perlu dicatat, adalah sebuah unit Departemen Pertahanan AS yang "memusatkan perhatian pada peningkatan kerja sama keamanan" antara Amerika dan "para profesional kebijakan luar negeri dan pertahanan, para diplomat, akademisi dan pemimpin masyarakat sipil" kawasan.
Harapan-harapan itu terutama menyangkut objektivitas ilmiah. Orang toh tidak bisa berharap dapat menemukan traktat tentang kaum Muslim Syiah yang taat. Namun, ia mendefinisikan The Prophet's Heir, sebagai sebuah apologia, sebuah pembelaan bagi tokoh-tokoh kunci Syiah. Pembelaan terhadap salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Islam. Sekaligus sepupu serta menantu Muhamad, Nabi Islam.
Pertimbangkan bagaimana Abbas menggambarkan pokok bahasannya dalam pengantarnya (dapat diperoleh gratis di sini): Profesor Hubungan Internasional kenamaan yang gajinya dibayar oleh pembayar pajak AS itu memberitahukan kepada kita pada halaman satu tentang "keberanian dan spiritualitas (Islam) yang tak tertandingi." Dia lantas menggambarkan Islam berawal "ketika malaikat Jibril memberkati Kota Makkah [Mekkah] dengan pesan ilahi untuk seseorang yang sangat istimewa...Nabi terakhir Tuhan di bumi." Halaman dua bukunya selanjutnya menjelaskan bahwa pesan ilahi kepada Nabi Muhamad merupakan "lanjutan dari apa yang telah diwahyukan, tetapi yang telah dilupakan atau diubah." Ini persisnya pandangan standar yang superior sekaligus penghinaan Islam terhadap Yudaisme dan Kristen. Halaman empat buku itu menyebutkan Ali sebagai "seorang pembela keadilan yang sangat bersemangat ... seorang pejuang pemberani."
Para apologet juga bergerak jauh melampaui Ali. Halaman sembilan buku itu memaklumkan bahwa umat Islam itu "unggul dalam berbagai bidang. Mulai dari seni dan ilmu pengetahuan hingga tatanegara dan pembangunan kerajaan di seluruh benua selama empat belas abad terakhir." Sebanyak 190 halaman buku berikutnya berlanjut dengan semangat dakwah yang sama. Karena itu, penulisnya tidak merasa perlu repot bahkan untuk menyamarkan hagiografi sebagai biografi sekali pun sehingga secara terbuka memperlakukan sejarah suci sebagai sejarah faktual. Bahwa seorang Muslim Syi'ah yang saleh seharusnya ingin menuliskan nyanyian pujian sesuai dengan suri teladan agamanya itu wajar. Tetapi dana Pemerintah AS dan Universitas Yale yang digunakan untuk menyebarkan materi Sekolah Minggu semacam itu yang mengejutkan sekaligus mencemaskan pembaca ini.
Buku The Prophet's Heir harus memperingatkan mereka yang khawatir tentang pemisahan gereja dan Negara. Memperingatkan mereka yang khawatir tentang pemborosan pemerintah. Dan memperingatkan mereka yang takut akan perambahan Islam yang sah di ranah publik.****
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.