Tatkala Tariq Aziz Tariq Aziz, Jurubicara Utama Presiden Irak Saddam Hussein bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS James Baker menjelang Perang Kuwait pada 1991, dia mengatakan sesuatu yang sangat menakjubkan. "Tidak pernah," urainya menurut sebuah terjemahan berbahasa Irak yang mengutip pernyataannya, "rezim politik [Arab] yang terlibat perang melawan Israel atau Amerika Serikat itu kalah secara politik. ."[1]
Menteri Luar Negeri Irak Tariq Aziz (Kiri) berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri AS Jamaes Baker pada awal serangkaian perundingan di Jenewa, 9 Januari 1991. |
Elie Salem, Menteri Luar Negeri Libanon pun sepakat. Tokoh yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Libanon selama sebagian besar era 1980-an sekaligus dosen politik kenamaan itu lantas berucap;
Logika menang dan kalah, tidak sepenuhnya diterapkan dalam konteks Arab – Israel. Selama perang melawan Israel, Bangsa Arab merayakan kekalahan mereka seolah-olah mereka pemenang perang. Para presiden beserta jenderalnya jauh lebih dikenal karena kota dan wilayah mereka hilang akibat kalah perang dibandingkan dengan kota dan wilayah yang berhasil mereka bebaskan. [2]
Pernyataan-pernyataan itu memang sedikit berlebihan. Soalnya, kekalahan pasukan Suriah, Mesir, Iran dan Yordania dalam perang melawan Israel pada 1948-1949 memang sangat merugikan rezim-rezim itu. Tiga rezim yang terlibat perang tumbang sementara satunya lagi nyaris tidak mampu bertahan untuk tetap berkuasa. [3] Terlepas dari kekecualian ini, kekalahan militer biasanya tidak menghancurkan para penguasa Arab yang kalah. Dan memang, bencana di medan perang bisa bermanfaat secara politik. Tidak hanya bagi Israel atau Amerika Serikat. Tetapi juga bermanfaat dalam konflik intra-Arab dan dengan Iran, Afrika, atau Eropa. Selama enam puluh lima tahun sejak 1956, kerugian militer hampir tidak pernah membuat para penguasa berbahasa Arab menderita kerugian. Justru sebaliknya terkadang menguntungkan mereka.
Analisis berikut menggambarkan pola ini lewat dua puluh satu contoh. Sembilan belas contoh di antaranya singkat dan disusul dua analisis lagi yang lebih panjang. Kemudian contoh-contoh itu dijelaskan lalu menarik kesimpulan darinya. [4]
Contoh-contoh dari 1956-2014
Krisis Terusan Suez, 1956. Presiden Mesir Nasser menderia kekalahan militer yang memalukan dari Inggris, Prancis dan Israel. Namun insiden ini justru membantunya menjadi figur yang dominan dalam politik Arab selama dekade selanjutnya. |
Krisis Suez, 1956. Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengalami kekalahan militer yang sangat memalukan di tangan Inggris, Prancis dan Israel. Namun, peristiwa ini justru "memperkuatnya secara politik dan moral,[5] tulis Shukri Abed. Kekalahan perang ini, kenyataannya, membantu Nasser menjadi tokoh yang dominan dalam politik Arab selama dekade berikutnya.
Perang Mesir di Yaman, 1962-67. Setelah lima tahun perang yang sengit dengan biaya besar dan banyak korban jiwa di Yaman, Nasser tanpa syarat menarik pasukan Mesir dari perang saudara Yaman. Apalagi, pasukannya sudah dilemahkan akibat Perang Enam Hari melawan Israel. Meski demikian, dia nyaris tidak membayar biaya politik domestik untuk bencana ini.
Bentrokan antara Suriah dan Israel, April 1967. Suriah kehilangan enam MiG-21 dan Israel tidak kehilangan satu pesawat pun pada konflik 7 April 1967. Meski demikian, pertempuran itu tidak menimbulkan kekhawatiran di Damaskus. Malah sebaliknya, sepuluh hari pasca-perang, Presiden Suriah Nur ad-Din al-Attasi justru mengatakan hilangnya pesawat-pesawat itu "sangat bermanfaat bagi kami."[6]
Perang Enam Hari, Juni 1967. Kekalahan militer pasukan Arab melawan Israel dalam Perang Enam Hari ini dinilai sebagai salah satu kekalahan militer terbesar dalam sejarah umat manusia. Kekalahan ini mendorong Nasser Mesir untuk meminta maaf kepada konstituennya. Ia juga menawarkan diri untuk mundur dari jabatannya. Tetapi mereka menanggapinya dengan turun ke jalan besar-besaran, menyerukan supaya ra'is (sang presiden ) untuk tetap berkuasa. Dan, Nasser pun lakukan. Ia bahkan semakin lebih kuat dari sebelumnya. Sampai kematiannya yang alami pada 1970. Di Suriah, Menteri Pertahanan Hafez al-Assad pun tetap melanjutkan menduduki jabatannya. Tiga tahun pasca-bencana 1967, dia malah menjadi diktator absolut negaranya selama tiga dekade. Raja Hussein dari Yordania tetap bercokol di atas takhtanya hingga kematiannya. Juga hingga tiga dekade kemudian, dia masih sangat kuat memegang kendali kekuasaan dan masih sangat dihormati.
Pertempuran Karama, 1968. Dalam pertempuran itu, Faksi Fatah pimpinan Yasser Arafat dan Angkatan Bersenjata Yordania terlibat perang melawan Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Meski kalah dalam konfrontasi bersenjata besar pertamanya dengan Israel, Arafat mengklaim menang. Dia meyakinkan banyak orang soal itu. Hal ini akan berkali-kali dilakukannya sejak itu. Jenderal Aharon Yariv dari Israel bahkan mengaku bahwa "meski merupakan kekalahan militer bagi mereka, pertempuran itu menjadi sebuah kemenangan moral."[7]
Perang Yom Kippur, 1973. Awalnya Israel sempat melakukan kesalahan. Tetapi kembali pulih sehingga dia bisa meraih kesuksesan militer yang brilian melawan tentara gabungan Suriah dan Mesir. Meski demikian, Presiden Anwar Sadat dari Mesir menggambarkan perang itu sebagai kemenangan Mesir. Dan sampai sekarang pun masih dirayakan kemenangannya. Sadat menggunakan keberhasilan yang diakui ini untuk melegitimasi diplomasi berikutnya dengan Israel.
Presiden Suriah Assad juga mengklaim diri menang besar. Penulis biografinya, Moshe Ma'oz, mengaku, "Meski dari sudut pandang militer murni, Asad kalah perang, tetapi ia berhasil mengubah kekalahannya menjadi kemenangan di mata banyak orang Suriah dan Arab lainnya." Warga Suriah, Ma'oz melaporkan, mendukung "perilaku Assad yang bangga dan berani dalam perang baik dalam bidang militer maupun diplomatiknya." Akibatnya, "prestise dan popularitas Asad melonjak di Suriah selama dan pasca-perang."[8]
Perang Aljazair di Sahara Barat, 1975-91. Pemerintah Maroko dan Aljazair mendukung pihak yang berlawanan dalam perang saudara yang berlangsung lama. Dalam perang itu, akhirnya, Maroko dan sekutunya menang. Chadli Bendjedid, presiden Aljazair pada 1979-92, membayar sedikit harga politik atas kegagalan tersebut.
Pendudukan Suriah atas Libanon, 1976-2005. Pemerintah Libanon yang lemah dan terpecah-pecah tidak mampu menghentikan gerak langkah pasukan Suriah memasuki negara itu atau tinggal di sana selama dua puluh sembilan tahun. Terlepas dari kegagalan berlarut-larut ini, elit penguasa Libanon terus saja berkuasa. Seolah tidak ada yang berubah secara mendasar. Ketika pemberontakan rakyat akhirnya berhasil mendorong Suriah keluar dari negeri, elit itu pun terus menjalankan kekuasaannya tanpa terpengaruh.
Perang Irak-Iran, 1980-88. Saddam Hussein memprakarsai perang Irak-Iran. Terbagi dalam dua era utama. Pertama, September 1980 hingga Juli 1982. Kala itu, Saddam diserang. Ketika perang semakin mengerikan Irak selanjutnya harus bertahan selama enam tahun yang panjang. Meski demikian, di dalam negeri, Saddam tidak rugi. Yang lebih menakjubkan lagi adalah peristiwa dua tahun setelah berakhirnya perang. Pada 15 Agustus 1990 (yaitu tiga belas hari setelah invasinya ke Kuwait), Saddam Hussein tiba-tiba mengembalikan kepada Iran semua keuntungan yang dimenangkan Irak selama delapan tahun pertempuran. "Dalam sebuah pengumuman di Radio Baghdad, Irak memaklumkan akan mengakui perbatasan Iran yang dipersengketakan sebelum perang, membebaskan semua tawanan perang dan mulai menarik pasukan dari sekitar 1.000 mil persegi kawasan Iran barat daya yang diduduki secepat-cepatnya sejak Hari Jumat." [9] Pengunduran diri yang memalukan ini nyaris tidak diperhatikan dan sama sekali tidak merugikan Saddam.
Israel vs. Suriah, 1982. Dalam perang udara di atas Libanon, pasukan Suriah kehilangan sekitar sembilan pesawat tempur dan tidak menembak jatuh satu pesawat Israel pun. Tetapi Assad justru muncul tanpa terluka sama sekali. Jika ada, maka itu adalah keberaniannya untuk memanfaatkan ketakutan musuh Israel itu justru untuk meningkatkan statusnya.
Israel vs. PLO di Beirut, 1982. Melalui sihir kata-katanya, Yasser Arafat berbasil mengubah peristiwa pengunduran diri Palestina yang memalukan dari Beirut menjadi sebuah kemenangan politik. Ia beralih menekankan berapa lama waktu yang dibutuhkan Israel (delapan puluh delapan hari) untuk mengalahkannya. Masa itu, menurut Arafat, jauh lebih lama dari yang Israel butuhkan untuk mengalahkan pasukan konvensional Arab (yaitu selama sembilan hari pada 1956, enam hari pada 1967 dan dua puluh hari pada 1973). Rashid Khalidi, yang kala itu anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang kini menjadi dosen Universitas Columbia (AS) melangkah lebih jauh. Dia membandingkan operasi Beirut yang sangat kecil itu (dengan tewasnya delapan puluh delapan warga Israel) dengan pengepungan panjang Nazi yang berlangsung selama dua setengah tahun atas Leningrad (dengan sekitar dua juta orang yang tewas). [10] Perjalanan waktu selanjutnya mengubah kekalahan ini menjadi sukses yang gemilang. Tetapi dalam berbagai kisah yang dikisahkan kembali oleh Hamas beberapa tahun kemudian, "rakyat kami ... mempermalukan [Israel] ... dan mematahkan tekadnya."[11]
Penarikan PLO dari Tripoli, 1983. Ketika pasukan Suriah memaksa Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) supaya meninggalkan benteng pertahanan terakhirnya di Libanon, Arafat menanggapi dengan cara yang sudah bisa diduga. Dia mengubah kisah penarikan diri ini menjadi keberhasilan moral PLO. Menurut para penulis biografinya, "pemimpin PLO itu di tengah kemunduran bersejarah lain yang tengah berlangsung, masih berusaha keras untuk menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya sehingga pantas menjadi sebuah pertunjukan teater."[12]
Pemboman AS atas Libya, 1986. Setelah menderita aib yang memalukan karena diserang oleh pesawat-pesawat tempur AS, Muamar Kaddafi mengubah kemampuannya untuk bertahan hidup menjadi sesuatu yang mengagumkan. Di antara langkah-langkahnya yang lain, ia memperingati prestasinya ini dengan menambahkan kata "Agung" ('uzma) pada nama resmi negaranya. Menjadikan Libya sebagai Bangsa Libya Arab Jamahiriya Sang Sosialis Agung. Sembilan tahun kemudian, dia masih mengingat episode itu sebagai aib bagi Amerika Serikat:
Amerika tidak pernah mengaku kalah. Bukankah kita berhasil menembak jatuh lima belas pesawatnya ketika mereka menyerang kita [pada 1986]? Namun dia hanya mengaku kehilangan dua pesawat tempur. Tidak pernah dia berbicara tentang kekalahan dan kerugiannya. Dia tutup mulut. Bahkan dia menolak mengakui bahwa pemimpin skuadron yang menyerang rumah saya (baca: Muamar Kadafi) ditembak jatuh dan tewas dalam kecelakaan itu. Mereka tidak pernah mengaku rugi sampai kami mempermalukan mereka dengan memperlihatkan jenasah pasukannya yang kami serahkan ke Vatikan. [13]
Milisi Chad vs Libya, 1987. Sekutu Libya yang banyak dibiayai dan didukung Soviet di Chad kalah secara memalukan terhadap sebuah pasukan pemberontak tidak terkenal yang tidak teroganisasi baik. Menyaksikan kekalahan memalukan iru, bersama seorang pakar, saya menulis sebagai berikut, "Mobil Toyota berpenggerak empat roda mengalahkan armada tank." [14] Kehancuran ini, bagaimanapun, tidak punya dampak yang dapat dilihat pada prestise atau dominasi Kaddafi atas Libya.
Irak vs. Kuwait, 1990. Irak menyerang Kuwait setelah berbulan-bulan mengancamnya. Meski demikian, pasukan Kuwait tidak waspada sehingga segera kewalahan menghadapinya. Perang memaksa Emir Jaber al-Ahmad as-Sabah untuk segera dan secara memalukan melarikan diri melintasi perbatasan menuju Arab Saudi. Dari sana, ia mengawasi Pemerintah Kuwait di pengasingan dari sebuah hotel suite. Meski kurang persiapan dan tindakannya tidak heroik, Jaber tidak mendapatkan tantangan selama atau pasca-pertempuran.
Hizbullah vs Israel, 2006. Faksi Hizbullah (yang berbasis di Libanon) kalah melawan Israel tetapi dia melakukannya secara terhormat. Akibatnya, dia memperkuat cengkeraman Hassan Nasrallah atas organisasi itu. Ketika berbicara pada sebuah rapat umum pasca-pertempuran, Nasrallah mengklaim kemenangan itu sebagai "kemenangan ilahi yang strategis."[15] Ironisnya, dia kemudian mengakui bahwa dia salah karena memulai konflik dengan Israel.[16] Tetapi pengakuan bersalah itu tidak banyak diperhatikan orang. Dia tetap kokoh mengendalikan organisasi itu hingga lima belas tahun kemudian.
Hamas vs. Israel, 2008-09. Konflik itu dikenal di Israel sebagai Operation Cast Lead. Perang tiga minggu ini menyaksikan Israel tampil luar biasa di medan perang (seperti dilambangkan dengan kematian warga Palestina yang sekitar seratus kali lebih banyak daripada warga Israel). Sekaligus sangat buruk dampaknya di arena politik (seperti dilambangkan dari Laporan Goldstone yang dikeluarkan PBB dan konferensi internasional rekonstruksi Gaza yang memasok uang $ 4,5 miliar atau sekitar Rp 64,5 Triliun ke Gaza). Para pemimpin Hamas berhasil keluar dari peperangan yang justru diperkuat oleh kekalahan militer.
Hamas vs. Israel, 2012. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mungkin telah membunuh banyak pemimpin Hamas, menghancurkan infrastrukturnya dan membuat Gaza terguncang. Tetapi, sesungguhnya Hamas menyerukan satu hari libur untuk merayakannya setelah gencatan senjata diberlakukan. Begitu luar biasanya pesta pora itu sehingga satu orang tewas dan tiga orang terluka oleh tembakan ke udara. Bukan hanya itu. Hamas juga mendeklarasikan 22 November sebagai hari yang sejak itu diperingati setiap tahun: "Kami serukan kepada semua orang untuk merayakannya, mengunjungi keluarga para martir, orang-orang yang terluka dan mereka yang kehilangan rumah."[17]
Hamas vs. Israel, 2014. Peperangan berhasil meluluhlantakkan Gaza. Tetapi sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh warga Palestina pasca-perseteruan itu menemukan 79 persen responden mengatakan bahwa Hamas menang. Pada saat bersamaan, posisi Ismail Haniyeh pun bergeser. Dari 41 persen responden yang memilihnya sebagai Presiden Palestina menjadi 61 persen.[18] (Beberapa minggu kemudian, angka-angka itu memang menurun secara wajar. Menjadi 69 persen dan 55 persen, masing-masing)[19]. Dukungan meluas hingga ke taktik juga. Dengan 94 persen mendukung keterlibatan militer melawan pasukan Israel dan 86 persen yang mendukung roket ditembakkan ke Israel.
Survei ini memperlihatkan bahwa para pemimpin Arab bisa saja kalah melawan siapapun. Melawan misalnya kekuatan Barat (seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, Prancis), Israel, satu milisi Afrika, negara bukan Arab Muslim (Iran) atau negara sahabat Arab (seperti Yaman, Suriah, Irak). Dan itu nyaris bukan persoalan. Biaya politiknya nyaris senantiasa kecil. Kadangkala malah kekalahan berjalan iring dengan keuntungan yang nyata.
Studi Kasus I: Perang Kuwait, 1991
Pencaplokan Irak atas Kuwait berdampak terhadap terbentuknya koalisi 39 negara pimpinan Amerika Serikat. Koalisi negara-negara itu menyerang pasukan Irak pada 17 Januari 1991. Perseteruan bersenjata berakhir 28 Februari 1991 ketika Bagdad menyerah. Konsensus segera mengemuka bahwa pemimpin Irak Saddam Hussein harus mengundurkan diri atau bakal digulingkan
Tetapi Saddam tidak punya niat itu. Dia sebaliknya mempersiapkan cara untuk membuat klaim yang agung. Awalnya, rezimnya berbicara tentang "pertempuran menentukan yang bersejarah" sebelumnya sehingga mensinyalkan "mulai berakhirnya imperialisme dunia."[20] Setelah serangan sekutu pimpinan AS dimulai, ia malah membangun sebuah radio gelombang pendek bernama Radio Induk Segala Pertempuran (Mother of Battles Radio). Dalam Bahasa Arabnya Idha'at Umm al-Ma'arik. Tujuannya, untuk menyiarkan kemenangan akan datang negeri itu atas pasukan Sekutu.
Pasukan Irak tengah menarik diri dari perang, meski media yang dikelola oleh rezim Saddam Hussein tetap ngotot mengklaim menang. "Kalian sudah menang," Radio Bagdad menginformasi pasukan Irak. Gambar atas, "Jalan Maut" yang terjadi setelah pasukan Irak berusaha mengundurkan diri dari medan tempur. [Foto: © Daniel Pipes] |
Kemudian, segala sesuatunya tidak berjalan mulus bersamaan dengan kekalahan pasukan Irak "yang nyaris tanpa perlawanan" (turkey shoot)) berikut kerusakan infrastruktur sipil yang "nyaris apokaliptik". Meski demikian, media rezim dengan penuh semangat bersikeras untuk meraih kemenangan yang gemilang atas Operasi Badai Gurun (Operation Desert Storm). "Kalian sudah menang atas semua pemimpin setan yang bersatu," urai Radio Baghdad memberi tahu pasukan Irak, yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil menginjak-injak prestise Amerika "ke dalam lumpur."[21]
Baghdad terus mengklaim diri menang. Bahkan setelah resmi mengakui kekalahan sekalipun. Salah satu contoh luar biasa dari sikap tidak mengakui kekalahan ini terjadi empat tahun setelah pertempuran berakhir. Ketika itu, Kepala Staf Irak Iyad ar-Rawi mengklaim, "Kemenangan kami sangat legendaris. Tentara Irak yang luar biasa mencatat pembantaian paling mengesankan dalam buku Mother of All Battles ketika ia menghancurkan pasukan Amerika dan Sekutu selama pertempuran darat pertama." Rawi lalu melanjutkan dengan mengisahkan kembali pertempuran (fiktif) memperebutkan Bandara Kuwait dan pertempuran tank besar di barat daya Basra. Ia menyebutkan perang terakhir itu termasuk "di antara pertempuran tank yang paling sengit dalam sejarah." George H.W. Bush, simpulnya, "dipaksa untuk mengadakan gencatan senjata sepihak pada 28 Februari 1991 karena ia tahu bahwa pasukan AS tidak dapat menerima jumlah korban jiwa akibat pertempuran darat."[22]
Para pendukung Irak di luar negeri mendukung klaim kemenangan ini. Pada November 1994, pada saat upacara wisuda polisi Palestina, sebuah kelompok paduan suara menyanyikan lagu-lagu penghormatan kepada Saddam Hussein. Bahwa beberapa pendukung Saddam tidak peduli apakah dia benar-benar menang di medan perang atau tidak, namun, kisahnya membantu mempertahankan fiksi itu. Karena itu, Hichem Djaït, intelektual Tunisia paling kenamaan sekaligus pendukung setia Saddam berkomentar: "Kami sama sekali tidak rugi dari perang ini, bahkan jika berakhir kalah sekalipun"[23]
Penipuan yang jelas tembus pandang ini berkontribusi pada upaya untuk mempertahankan Pemerintahan Saddam. Memungkinkan dia mengintimidasi para calon pemberontak. Namanya mencuat di atas bencana yang mendera negaranya. Termasuk penurunan 90 persen pendapatan per kapita rakyatnya. Dan, dia tetap berkuasa selama dua belas tahun lagi. Hanya ketika pasukan pimpinan AS kembali pada 2003, kali ini dengan maksud khusus untuk menggulingkannya, dia pun jatuh dari kekuasaan dan tewas dalam sebuah lubang.
Studi Kasus II: Hamas vs. Israel, 2021
Faksi Hamas beserta sekutu-sekutunya nyaris dengan suara bulat sepakat bahwa pihaknya memenangkan konflik melawan Israel Mei 2021, terlepas dari apa yang disebutkan oleh Kantor Berita Associated Press sebagai "korban jiwa yang mengerikan yang direnggut perang dari keluarga Palestina yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai, rumah serta usaha mereka." [24]
Hamas vs. Israel, 2021. Terlepas dari hilangnya banyak nyawa dan properti di Jalur Gaza, Khalil al-Hayya, seorang pemimpin Hamas mengumumkan pada massa yang berdemo bahwa "ada perayaan di seluruh kota Palestina...karena kita membuat sejarah ini bersama-sama." |
Tepat dua hari setelah perang meledak, pemimpin Hamas Ismail Haniyah mengumumkan bahwa organisasinya "sudah meraih kemenangan dalam pertempuran memperebutkan Yerusalem." [25] Klaim itu berkembang berlipat-lipat pasca-gencatan senjata diberlakukan efektif 21 Mei 2021 lalu. Kala itu Haniyah mengklaim pihaknya meraih "kemenangan strategis yang ilahi."[26]. Ia juga mengumumkan bahwa Hamas "mengalahkan ilusi seputar negosiasi. Mengalahkan perjanjian abad ini. Mengalahkan budaya kalah. Mengalahkan proyek yang penuh putus asa. Mengalahkan proyek pemukiman penduduk. Mengalahkan proyek eksistensi bersama dengan pendudukan Zionis. Dan, mengalahkan proyek normalisasi [hubungan] dengan pendudukan Zionis."[27]
Hal yang sama juga dilakukan oleh Khalil al-Hayya, seorang pemimpin Hamas. Kepada massa demonstran di Gaza, dia berseru, "Ada perayaan di seluruh penjuru kota Palestina... karena kita sama-sama menang."[28]. Kemudian dia menambahkan, "Kita berhak untuk bergembira ria...Ini eforia kemenangan." Ziad al-Nahala, pemimpin Jihad Islam Palestina (PIJ) pun gembira. Soalnya, klaimnya, organisasinya menang. Karena itu, dia mengancam hendak membom Tel Aviv sebagai balasan terhadap "operasi pembunuhan apapun yang ditujukan kepada pejuang atau para pemimpin kami." [29]
Para pendukung luar negeri mereka juga merayakan "kemenangan" itu. Pemimpin Hizbulah (Libanon) Hassan Nasrallah melukiskan serangan Hamas atas Israel sebagai "kemenangan agung."[30] Pengarah Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamene'i mengirimkan ucapan selamat atas "kemenangan historis itu."[31] Komandan Pasukan Quds, sebuah unit pasukan dalam Islamic Revolutionary Guard Corps (Korps Pengawal Revolusioner Islam) Esmail Ghaani, mengagung-agung perang itu karena berhasil "menghancurkan kebanggaan angkatan bersenjata Zionis."[32] (Selanjutnya, seorang jurubicra PIJ berterimakasih kepada Pemerintah Irak karena menjadi "mitra dalam kemenangan kami.")[33] Bahkan Perdana Menteri Maroko, Saad Eddine El Othmani yang beberapa bulan sebelumnya menandatangani perjanjian normalisasi dengan Israel, mengucapkan selamat kepada Haniyeh atas "kemenangan Bangsa Palestina."[34]
Penduduk Palestina rupanya juga yakin menang. Memang, segera setelah gencatan senjata jam dua pagi mulai berlaku, "hidup gila-gilaan kembali ke jalan-jalan Gaza. Orang keluar dari rumah mereka. Beberapa berteriak 'Allahu Akbar' atau bersiul dari balkon. Banyak yang menembakkan senapan ke udara, merayakan akhir pertempuran." [35] Kerumunan massa dalam jumlah besar "merayakan berakhirnya konflik, meneriakkan pujian untuk Hamas." Perayaan tengah malam tersebar luas:
Warga Gaza bersorak gembira dari teras rumah mereka. Tembakan perayaan terdengar di lingkungan yang sebagian besar gelap. Beberapa klakson kendaraan menggelegar dari mobil-mobil yang menantang jalanan yang penuh dengan teriakan anarki frustrasi. Sementara itu, pujian bagi Tuhan pun terdengar dari masjid-masjid di sekitar Kota Gaza. Warga Gaza berparade sepanjang pantai, mengangkat telepon mereka yang bernyala.[36]
Hari-hari berikutnya menyaksikan perayaan publik berskala besar oleh Hamas dan sekutunya yang lebih kecil, Jihad Islam Palestina.
Pesta pora ini berimplikasi politik yang menguntungkan Hamas. "Reputasinya di antara orang Palestina meningkat dramatis," Khaled Abu Toameh mengatakan, "karena menembakkan ribuan roket dan rudal di seluruh Israel." Masyarakat Palestina, simpulnya, "menganggap pemimpin Hamas sebagai pahlawan sejati Palestina dan berusaha terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan Israel." Mereka tidak punya waktu untuk Mahmoud Abbas dan Otoritas Palestina. [37] Dengan kata lain, kekalahan di medan perang membawa keuntungan politik yang penting bagi Hamas.
Penjelasan
Dari manakah hak untuk mengabaikan kekalahan (impunity) ini berasal? Ada enam faktor membantu menjelaskannya: kehormatan, fatalisme, konspirasi, sikap yang bombastis, publisitas, dan kebingungan.
Kehormatan diri. Kehormatan diri berarti arti penting di kalangan penutur bahasa Arab. Begitu pentingnya kehormatan diri ini sampai-sampai upaya mempertahankannya lebih diperhitungkan daripada apa yang sebenarnya dicapai. "Bagi orang Arab, kehormatan diri lebih penting daripada fakta," jelas Margaret K. Nydell. Penyebab persoalan lebih penting daripada hasilnya.[38] Elie Salem pun sepakat. Ketika berbicara tentang pemimpin Arab, dia, karena itu mengatakan, "Mereka dimuliakan karena niat mereka. Bukan karena prestasi mereka." Fakta ini menjelaskan mengapa, "Ketika kalah dalam Perang Juni 1967, Jamal Abdul Naser malah menjadi pahlawan. Tetapi berbeda dari psikologi Arab yang berlaku, ketika berusaha berdamai, Anwar al-Sadat justru dinilai sebagai penjahat."[39] Lebih luas lagi, Fouad Ajami menjelaskan:
Dalam sejarah politik Arab yang penuh dengan mimpi-mimpi yang gagal, sedikit penghormatan terhadap diri sendiri dapat juga diberikan juga kepada kaum pragmatis yang mengetahui batas-batas apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Budaya politik nasionalisme memberikan dukungan kepada mereka yang memimpin kampanye yang menghancurkan ketika mencari sesuatu yang mustahil. [40]
Fatalisme. Fatalisme berpandangan bahwa hasil sebuah kegiatan itu maktub (sesuatu yang sudah dituliskan). Jadi jangan salahkan pemimpinnya. As'ad Abu Khalil dari California State University memperlihatkan bahwa ketika kalah, orang cenderung menjelaskan bahwa "orang tidak punya pengaruh atau mampu memberikan dampak terhadap tindakan dan perbuatan mereka. Hanya Allah yang bertindak." Dengan menyatakan "takdir tak terelakkan," mereka membebaskan "rezim dan tentara Arab dari tanggung jawab apa pun" atas kekalahan. Pola ini, ia mencatat, "khas pada pemikiran tentang hal-hal yang dapat diramalkan."[41]
Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa pasca-serangan Israel atas Angkatan Bersenjata Mesir Juni 1967, Nasser berusaha menunjukkan bahwa dia maupun tentaranya tidak dapat menghindari kekalahan yang mereka alami. Untuk membebaskan pemerintahnya dari kecaman sekaligus untuk mensinyalkan bahwa tidak ada yang dapat dilakukannya selain yang sudah dilakukannya, dia pun beralih kepada pepatah Arab, "Kewaspadaan tidak mengubah arah nasib". Selain itu dia memberikan sebuah analogi dari kehidupan sehari-hari, "Mesir itu 'seperti seorang laki-laki yang ditabrak mobil di jalan"'.[42] Pada waktu bersamaan, Raja Hussein dari Yordania menghibur rakyatnya dengan memberikan pemahaman ini: "Jika tidak diganjari kemuliaan, maka itu bukan karena kau kurang berani, tetapi karena itu adalah kehendak Allah."[43]
Konspirasi. Konspirasi membangun asumsi bahwa setiap konfrontasi dengan Israel atau kekuatan Barat menyiratkan bahwa musuh memang bermaksud melenyapkan penguasa mereka, menduduki negara mereka, mengubah sistem politik mereka serta mengeksploitasi sumberdaya mereka. Ketika konsekuensi ini tidak terjadi, upaya untuk menghindarkan diri pun digambarkan sebagai menang perang. Abdel-Moneim Said, seorang analis politik Mesir, mencatat, "Kami merayakan kemenangan karena musuh gagal mencapai tujuannya seperti yang kami definisikan. Adapun soal tujuan kami, sudah diterima begitu saja sejak awal bahwa mereka tidak akan memasuki persamaan perang dan perdamaian kami." Sebagai contoh rakyat Mesir umumnya yakin bahwa memenangkan perang adalah tujuan Israel pada 1967, yang didukung oleh Amerika Serikat. Said pun teringat masa-masa itu dengan sebuah publikasi mahasiswa setelah kalah perang: "Yang sangat mengejutkan, saya menemukan bahwa beberapa rekan saya di surat kabar itu percaya bahwa kami sudah memenangkan perang 1967!" Bagaimana jika demikian?
logikanya bergerak sebagai berikut: agresi Israel-AS bermaksud menggulingkan presiden yang agung dan sistem sosialisnya di Mesir. Tetapi mengingat presiden masih berkuasa pasca-demonstrasi massal orang-orang yang mendukung dia dan kepemimpinannya yang bijaksana pada tanggal 9 dan 10 Juni dan mengingat bahwa sistem sosialis masih ada, maka musuh belum mencapai tujuan mereka. Oleh karena itu, kami menang!
Said menemukan bahwa "alur logika umum" yang sama ini berlaku dalam contoh kasus lain. Seperti dalam kasus Saddam Hussein pasca-Perang Kuwait 1991. Dalam kasus Hassan Nasrallah pascaperang Hizbullah-Israel 2006. Dalam kasus Bashar Assad dalam perang saudara Suriah dan dalam kasus pertempuran 2014 antara Hamas dan Israel.
Dalam kasus tahun 2014, Said mencatat perbedaan besar jumlah kematian akibat perang (2.100 orang Palestina tewas vs. 72 orang Israel) berikut kehancuran properti yang dialami. Dia kemudian menyimpulkan bahwa "hasil perang baru-baru ini di Gaza hampir tidak dapat dianggap sebagai kemenangan Palestina." Namun demikian, para pemimpin Hamas memaklumkannya sebagai menang. Alasannya, "tujuan Israel adalah melenyapkan Hamas dan mengakhiri penembakan rudal. Oleh karena itu, selama Hamas dan rudal masih ada, warga Palestina harus bersukacita dalam kemenangan gemilang ini."[44]
Bombastis. Bombastis menjadi ciri kehidupan politik Arab yang menonjol. Ciri ini menyebabkan para pemimpin dan pengikutnya sama-sama terpikat oleh kekuatan kata-kata. Bahkan jika kata-kata itu tidak berhubungan dengan kenyataan sekalipun. E. Shouby, seorang penutur asli bahasa Arab dan psikolog, pada 1951, melaporkan bahwa penutur bahasa Arab "terlampau menekankan arti kata-kata sedemikian rupa sehingga kurang memperhatikan artinya" daripada yang biasa terjadi dalam bahasa-bahasa Barat, sehingga menyebabkan "kebingungan antara kata dan maknanya" serta hal-hal yang mereka maksudkan."[45] Walter Laqueur juga mencatat pada 1968 bahwa, "orang Arab punya kemampuan yang hampir tak terbatas untuk mempercayai apa yang ingin mereka percayai."[46]
Theodore Draper lebih lanjut menjelaskan gagasan ini pada tahun 1973:
Setiap kali pernyataan Arab dikutip, persoalan "retorika" Arab pun muncul. Haruskah pernyataan itu ditanggapi serius atau apakah orang Arab begitu melekat bergantung pada bahasa bombastis yang hiperbolik? Setiap kali seorang jurubicara Arab mengatakan sesuatu yang sangat provokatif atau keterlaluan, selalu ada saja orang yang mengatakan bahwa "mereka tidak benar-benar bermaksud demikian." ... Saya bahkan pernah mendengar menteri luar negeri sebuah negara Arab yang menjelaskan kepada sekelompok orang Amerika bahwa orang Arab itu alergi terhadap rasionalisme Barat. Juga menjelaskan bahwa, jika orang Barat ingin berurusan dengan orang Arab, mereka harus mengadopsi cara berpikir Arab yang tampaknya tidak rasional. [47]
Publisitas. Publisitas mengilhami beberapa pemimpin Arab untuk mencari dukungan bagi perjuangan mereka. Anehnya, publisitas ini mengambil dua bentuk yang saling berlawanan. Satu untuk orang Arab dan Muslim. Yang lain untuk orang Israel dan kalangan Kiri global. Dalam kasus pertama, pepatah "kuda yang kuat" turut bermain. Para penguasa berusaha memperlihatkan diri sebagai tokoh heroik yang harus diikuti massa. Motif Saddam Hussein untuk menarik perhatian sebagian besar dunia Barat dengan demikian dijelaskan oleh Hussein Sumaida, seorang warga Irak sebagai: "Tidak ada masalah untuk menang. Yang penting menampilkan pertunjukan yang bagus sehingga menarik hati dan pikiran dunia Arab yang membara."[48]
Orang Israel dan kaum Kiri global menanggapi hal ini dengan cara sebaliknya. Dengan tampil sebagai kuda hitam (underdog) serta korban yang simpatik. Karena itu, Hamas secara berkala (2008-09, 2012, 2014, 2021) menyerang Israel. Padahal mereka tahu betul bahwa mereka pasti kalah di medan perang militer. Tetapi mereka berharap bisa meraih keuntungan di arena politik—di antara kalangan kiri Israel, di kampus-kampus universitas secara global, dalam pers internasional dan organisasi internasional dan seterusnya.
Barry Rubin menjuluki ini "strategi bunuh diri." Dengan cara berbeda dia lalu membahasakan logikanya sebagai berikut: "Saya akan kobarkan perang yang tidak dapat saya menangkan untuk menciptakan situasi di mana pihak lain menghancurkan infrastruktur saya dan membunuh orang-orang saya. Saya akan kalah secara militer tetapi memenangkan pertempuran. Bagaimana?" Rubin karena itu menyebutkan tiga keuntungan dari logika ini: Pertama, Bangsa Israel itu pengecut, jadi setiap kerusakan yang mereka derita akan menyebabkan mereka mundur. Kedua, penderitaan warga Gaza membuat Israel merasa kasihan lalu mundur. Ketiga, "komunitas internasional" akan menekan Israel supaya berhenti berperang dan memberikan keuntungan kepada Hamas. [49]
Kebingungan. Apakah itu kebenaran? Ketika terjebak di antara dua laporan seputar kenyataan yang saling bertentangan satu sama lain, manusia cenderung memilih yang mereka sukai. Entah itu menyangkut imigrasi (Angela Merkel: "Wir schaffen das"), prospek referendum (Brexit), atau hasil pemilihan ("Hentikan pencurian"). Apa yang harus dipercaya kala "Baghdad Bob" (julukan humoris bagi Mohammed Saeed al-Sahhaf Mantan Menteri Urusan Media dan Luar Negeri Irak pada masa pemerintahan Saddam Hussein) melaporkan bahwa orang Amerika akan menemukan "makam" mereka di Baghdad saat tank AS mulai terlihat? Tentu saja, ketika Saddam Hussein ditangkap, beberapa orang Arab menanggapinya dengan sikap tidak percaya. Hassan Abdel Hamid, seorang pedagang Mesir menolak mempercayai berita. Ia malah menyebutnya sebagai "propaganda bohong Amerika."[50] Situasi yang sangat tidak menyenangkan ini mendorong penduduk Arab mengabaikan kenyataan bahwa mreka kalah secara militer serta pembantaian yang terjadi selama perang militer itu. Dan sebaliknya, mereka tetap kuat menyatu bersama para pemimpin itu.
Kesimpulan
Pola untuk bertahan hidup atau berusaha mendapatkan keuntungan dari kekalahan ini meluas hingga para pemimpin Muslim lainnya. Dalam perang Indo-Pakistan pada tahun 1965, misalnya, Menteri Luar Negeri Pakistan Zulfikar Ali Bhutto membawa pemerintahannya masuk dalam konflik yang mengerikan dengan India. Meski demikian, dia justru lebih popular ketika keluar dari kekalahan perang sehingga mengantarnya menjadi perdana menteri delapan tahun kemudian. Seperti dikatakan oleh penulis biografinya, "Dengan semakin melebih-lebihkan retorikanya... semakin heroik pula Zulfi Bhutto muncul di hadapan khalayak Pakistan."[51] Pemikiran yang sama terjadi ketika para pemimpin Iran memperpanjang perang melawan Irak dan melanjutkan serangannya dari Juli 1982 hingga Agustus 1988. Ketika perang ini gagal, Ayatollah Khomeini "minum dari piala beracun," menerima gencatan senjata. Lalu baik dia maupun rezimnya menderita selama enam tahun akibat kebodohan mereka. Yang paling baru, petualangan militer Recep Tayyip Erdoğan yang suram ke Suriah dan Libya tidak mengurangi kekuatannya.
Sebaliknya, kalah perang biasanya berimplikasi besar bagi seorang pemimpin non-Muslim. Di Timur Tengah, Golda Meir dan Moshe Dayan membayar harga mahal untuk pertunjukan Israel yang mengecewakan pada 1973. Demikian juga yang terjadi pada Nikol Pashinyan atas kinerja Armenia yang mengerikan pada 2020. Bahkan kalah dalam perang kecil sekalipun biasanya berdampak besar. Seperti dalam perang Aljazair pada politik Prancis, perang Vietnam di Amerika dan perang Afghanistan di Soviet. Sangat sulit untuk membayangkan para pemimpin non-Muslim untuk bisa tetap berkuasa pasca-perang yang menghancurkan seperti yang dialami Mesir pada 1967 dan Irak pada 1991.
Bahwa penguasa yang kalah dapat membangga-banggakan kekalahan memang mendatangkan bahaya moral yang bisa membuat mereka lebih agresif. Mengapa khawatir jika kekalahan dan implikasinya yang mengerikan tidak mempengaruhi Anda? Pola ini bergerak jauh sehingga menjelaskan mengapa Timur Tengah menjadi tuan rumah begitu banyak perang. Uang untuk senjata senantiasa berlimpah. Penderitaan penduduk bukanlah hal yang relevan. Perekonomian merugi akibat sedikitnya impor namun para penguasa dapat berharap untuk bertahan hidup tanpa mengalami kekurangan sedikit pun. Dengan taruhan yang sedikit, berikanlah kesempatan kepada perang sambil mengharapkan yang terbaik.
Daniel Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah. ©2021. All rights reserved.
[1] Kantor Berita Irak 12 Januari 1992. Artikel yang ada ini ditulis berdasarkan sebuah analisis yang lebih pendek bertajuk, "Nothing Succeeds Like Failure," The Jerusalem Post, 28 Februari 2001.
[2] Elie A. Salem, Violence and Diplomacy in Lebanon: The Troubled Years, 1982-88 (London: I.B. Tauris, 1995), hal. 27.
[3] Husni Za'im menggulingkan rezim yang kalah di Damaskus pada Maret 1949. Free Officers dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser menggulingkan Raja Mesir, Juli 1952. Perasaan tidak puas terhadap nakba (perayaan peringatan terusirnya masyarakat Palestina tatkala Israel memasuki kawasan yang kini disebut sebagai Negara Israel) berdampak terhadap lahirnya kekerasan Juli 1958 yang menggulingkan monarki di Irak. Beberapa kali, sejumlah aksi yang sama pun nyaris meletus di Yordania.
[4] Untuk mengetahui argumentasi yang berbeda, lihat tulisan Albert B. Wolf, "The Arab Street: Effects of the Six-Day War," Middle East Policy, 22 (2015): hal. 156-67.
[5] Shukri B. Abed, "Arab-Israeli Conflict," dalam John L. Esposito, editor, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), jilid 1, hal. 107.
[6] Dikutip dalam Theodore Draper, Israel and World Politics: Roots of the Third Arab-Israeli War (New York: Viking, 1968), hal. 47-8.
[7] Dikutip dalam Andrew Gowers dan Tony Walker, Behind the Myth: Yasser Arafat and the Palestinian Revolution (London: W. H. Allen, 1990), hal. 61.
[8] Moshe Ma'oz, Asad, The Sphinx of Damascus: A Political Biography (New York: Weidenfeld and Nicholson, 1988), hal. 96.
[9] The Washington Post, 16 Agustus 1990.
[10] Rashid Khalidi, Under Siege: P.L.O. Decisionmaking during the 1982 War (New York: Columbia University Press, 1986), hal. 132.
[11] "Leaflet No. 22 tentang Hamas," dalam tulisan Shaul Mishal dan Reuben Aharoni, Speaking Stones: Communiqués from the Intifada Underground (Syracuse, N.Y.: Syracuse University Press, 1994), hal. 234.
[12] Ibid., hal. 236.
[13] Televisi Libya, 6 April 1995.
[14] Michael Radu dan Daniel Pipes, "Chad's Victory Over Libya Is Also a Victory for the U.S.," The Wall Street Journal, 14 April 1987.
[15] CNN, 22 September 2006.
[16] Lee Smith, "The Real Losers: Hezbollah's Hassan Nasrallah admits that the war was a mistake," The Weekly Standard, 28 Agustus 2006.
[17] ABC News, 22 Nopember 2012.
[18] The Washington Post, 2 September 2014.
[19] "Palestinian Public Opinion Poll No 53," Palestinian Center for Policy and Survey Research, 25 – 27 September 2014.
[20] Radio Baghdad, 9 Februari dan 17 Januari 1991.
[21] Radio Baghdad, 26 Februari 1991.
[22] Al-Jumhuriya (Baghdad), 22 Januari 1995.
[23] Kanan Makiya, Cruelty and Silence: War, Tyranny, Uprising, and the Arab World (New York: W.W. Norton, 1994).
[24] Kantor Berita Associated Press, 21 Mei 2021. Bagian ini berbasiskan pada tulisan Daniel Pipes, "Who Won?" Jerusalem Post, yang akan datang.
[25] Israel Hayom, 12 Mei 2021.
[26] Kayhan, 21 Mei 2021.
[27] Israel Hayom, 23 Mei 2021.
[28] The Wall Street Journal, 21 Mei 2021.
[29] Israel National News, 30 Mei 2021.
[30] The Times of Israel, 26 Mei 2021.
[31] Press TV, 22 Mei 2021.
[32] The Jerusalem Post, 24 Mei 2021.
[33] Kayhan, 21 Mei 2021.
[34] Ynet, 24 Mei 2021.
[35] The Times of Israel, 21 Mei 2021.
[36] The Washington Post, 21 Mei 2021. The Washington Post, 21 Mei 2021.
[37] Khaled Abu Toameh, Gatestone Institute, 24 Mei 2021.
[38] Margaret K. Nydell, Understanding Arabs: A Contemporary Guide to Arab Society, edisi keenam, (Boston: Nicholas Brealey Publishing, 2018).
[39] Salem, Violence and Diplomacy in Lebanon, hal. 27.
[40] Fouad Ajami, The Dream Palace of the Arabs: A Generation's Odyssey (New York: Knopf Doubleday, 2009), hal. 296.
[41] As'ad Abu Khalil, "Al-Jabriyyah in the Political Discourse of Jamal 'Abd al-Nasir and Saddam Husayn: The Rationalization of Defeat," The Muslim World, Juli-Oktober 1994, hal. 246-8.
[42] Ibid., hal. 247.
[43] Michael B. Oren, Six Days of War: June 1967 and the Making of the Modern Middle East (New York: Oxford University Press, 2002), hal. 310.
[44] Abdel-Moneim Said, "Victory and Defeat," Al-Ahram Weekly, 11 September 2014.
[45] E. Shouby, "The Influence of the Arabic Language on the Psychology of the Arabs," Middle East Journal, 5 (1951): hal. 295. Secara mengagumkan Shouby mengantisipasi (pada halaman 296-7) kemunculan Gamal Abdul Nasser tepat setahun kemudian: "adakalanya orang tidak sengaja bertemu dengan orang yang agak kurang terdidik (half-educated) yang begitu melebih-lebihkan tipe kecerdasan Mesir...sehingga dia memberikan kesan dia sudah berhenti memikirkan arti dari kata-kata itu semua. Dan sebenarnya menggunakan semacam "kata campur aduk yang kadangkala susah dipahami yang lahir dari terduga penderita skizofrenia (word-salad).'"
[46] Dikutip dalam Walter Laqueur, The Road to Jerusalem: The Origins of the Arab-Israel Conflict, 1967 (New York: MacMillan, 1968), hal. 91.
[47] Theodore Draper, "From 1967 to 1973: The Arab-Israeli Wars," Commentary, Desember 1973.
[48] Hussein Sumaida dan Carole Jerome, Circle of Fear: My Life as an Israeli and Iraqi Spy (Washington: Brassey's, 1994), hal. 282.
[49] Barry Rubin, "The Israel-Hamas War and the Suicide Strategy: How Arab Forces Expect to be Weak, Start Losing Wars and Still Hope to Win," Gloria Center, Herzliya, 19 Nopember 2012.
[50] "Capture de Saddam Hussein: les Egyptiens incrédules," Agence France-Presse, 14 Desember 2003.
[51] Dikutip dalam Stanley Wolpert, Zulfi Bhutto of Pakistan: His Life and Times (New York: Oxford University Press, 1993), hal. 95.
Topik Terkait: AKonflik dan diplomasi Arab-Israel, Kriminalitas, Sejarah, pola-pola Timur Tengah
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.