N.B.: Beberapa tautan sudah ditambahkan pada tulisan ini. Tulisan berikut merefleksikan apa yang diajukan penulis sehingga tidak persis dengan tulisan yang diterbitkan. Pembaca yang ingin mengakses tulisan yang persis diterbitkan oleh Commentary, silakan melihat naskah PDF yang dilampirkan di sini
Untuk memperoleh versi yang lebih pendek dari argumentasi itu, yang sekali lagi ditulis bersama dengan Adam Garfinkle, lihat tulisan bertajuk "President Arafat? [and the Jordan-Is-Palestine Issue]" National Interest, Musim Gugur1990, hal. 97-99.
Pemutakhiran 6 Agustus 2009: Untuk mengetahui lebih banyak berita terbaru seputar topik ini, lihat entri weblog ini: "Updates on the Jordan-Is-Palestine Thesis."
Jika Raja Hussein dari Yordania Juli 1988 mendeklarasikan bahwa "pemisahan Tepi Barat dari Kerajaan Hashemit Yordania" harus berlangsung lama, maka ia bisa saja memunculkan bahaya sekaligus peluang kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik Arab-Israel. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) seharusnya bisa memanfaatkan peluangnya sebaik mungkin atau sebaliknya malah gagal. Suriah dan negara-negara Arab lain harus mengubah strategi mereka. Israel dan Amerika yang tengah berusaha mengakhiri pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan demikian harus terlibat dalam beberapa pemikiran ulang yang besar. Tidak bisa mereka terus berpura-pura bahwa tidak ada yang berubah.
Dan bagaimana dengan mereka yang menginginkan Israel tetap berada di wilayah tersebut? Peluang mereka jelas, karena dengan Jordan tidak masuk dalam gambar, mereka secara meyakinkan dapat membangun argumen bahwa tidak ada lawan bicara Arab yang dapat diajak berdiskusi tentang perdamaian dan oleh karena itu tidak ada alternatif yang realistis selain adanya Israel Raya. Mereka mengklaim bahwa keluarnya Raja Hussein membuktikan apa yang mereka katakan selama ini: bahwa Tepi Barat bukan bagian Yordania, tetapi bagian dari Israel.
Jauh lebih penting dari sebelumnya untuk memperhatikan pandangan-pandangan seperti itu. Blok Likud telah memimpin atau menjadi bagian Pemerintah Israel sejak 1977. Ada bukti yang memperlihatkan bahwa posisinya bakal tumbuh semakin kuat selama sebelas tahun ke depan. Ancaman demografis dan pemberontakan Bangsa Arab menggeser opini Israel ke kanan. Lebih dari sebelumnya, "pemindahan" penduduk Arab dari wilayah-wilayah itu secara intelektual menjadi terhormat. Pemilu November 1988 mungkin memberikan kekuatan yang lebih besar kepada Likud daripada sebelumnya, sehingga Pemerintah Israel berikutnya mungkin punya kemauan dan cara untuk menetapkan kebijakan yang sepenuhnya baru terhadap warga Arab Palestina dan Yordania.
Pada saat yang sama, simpatisan Partai Likud agak sedikit terganggu. Soalnya, Raja Hussein menolak slogan "Yordania adalah Palestina" yang mendasari begitu banyak kebijakan mereka. Raja Hussein pernah mengatakan soal itu dengan sangat jelas pada malam 31 Juli 1988: "Yordania bukan Palestina."
Empat kata itu membawa beban sejarah panjang dan kompleks yang terus membebani berbagai peristiwa. Ia sangat penting jika Pemerintah Israel berikutnya berpikir bahwa Yordania adalah Palestina dan jika Raja Yordania tidak setuju. Masa depan antara Israel, Yordania, dan Palestina yang seimbang sebagian besar bergantung pada yang mana di antara mereka yang benar.
Argumentasi
Sejumlah besar pendapat berkembang di Israel dan di tempat lain mendukung argumen yang tergesa-gesa bahwa Yordania adalah Palestina. Meski terkait erat dengan Ariel Sharon, the enfant terrible, si kecil yang mengerikan dalam politik Israel, pendekatan-pendekatan itu sudah lama menjadi kebijakan Partai Likud itu sendiri. Pada 1920-an, Vladimir Jabotinsky pernah tegaskan bahwa Palestina adalah wilayah yang "gambaran geografis utamanya" adalah bahwa "Sungai Yordan tidak menggambarkan batas-batasnya tetapi mengalir melalui wilayah-wilayah tengahnya." Pada 1982, Perdana Menteri Yitzhak Shamir menulis bahwa, "dikurangi sampai pada proporsi yang sebenarnya, sehingga persoalannya jelas bukan lagi soal kurangnya tanah air bagi warga Arab Palestina. Tanah air itu adalah Trans-Yordania. Atau Palestina Timur. ... Negara Palestina kedua di sebelah barat Sungai adalah resep bagi adanya anarki." Sebuah perjanjian rahasia pada 1987 antara Partai Likud dan Faisal al-Husseini, aktivis Palestina, dilaporkan mengakui kedaulatan Palestina di sebelah timur Sungai Yordan.
Ide-ide ini menjadi lebih spesifik pada Juli 1989 ketika Shamir mengemukakan kemungkinan Negara Palestina didirikan di Yordania dalam diskusinya dengan warga Arab di Tepi Barat. Menurut sebuah laporan dari kalangan Palestina, Brigadir Jenderal cadangan Yo'el Ben-Porat merancang kerangka intelektual untuk upaya Shamir. Ketentuan-ketentuan utamanya termasuk:
- Kawasan Israel di sebelah timur Sungai Yordania akan menjadi Negara Palestina.
- Pada tahap awal, Negara Palestina akan didirikan di sebelah timur Sungai Yordan. Negara ini akan menikmati semua kekhasan kedaulatannya.
- Pada tahap kedua (setelah pembentukan Negara Palestina di sebelah timur Sungai Yordan), maka wilayah-wilayah tanah Israel di Tepi Barat berada di bawah kekuasan Israel dan wilayah-wilayah di dalam jalur hijau [yang membatasi kawasan Israel sebelum 1967] yang didiami oleh warga Palestina bakal menjadi bagian Negara Palestina.
- Tepi Barat dan Gaza tidak akan diserahkan atau ditempatkan di bawah kedaulatan Negara Palestina kecuali setelah ada perdamaian dengan negara ini yang dinyatakan dalam hubungan ekonomi, turis dan budaya bersama dan melalui kerja membangun proyek ekonomi dan air, di samping mengijinkan manusia dan barang bebas melintasi wilayah-wilayah itu.
Upaya Shamir untuk memulai pembicaraan tentang bahasan ini memunculkan ketegangan di antara negara-negara Arab. Soalnya Raja Hussein bertindak cepat guna memastikan bahwa kepemipinan Yaser Arafat dan Irak tidak berencana untuk sepakat dengan Israel.
Ataukah ini juga hanya pandangan para politisi. Mordechai Nisan, seorang cendekiawan, menjelaskan bahwa "tidak ada yang pernah menganggap kedua sisi Sungai Yordan sebagai bagian integral dari wilayah bernama Palestina." Banyak warga Amerika pendukung Israel menerima argumen Yordania-adalah-Palestina. Joan Peters membangun kajiannya, From Time Immemorial, pada gagasan ini. Secara rutin dia menyebut Israel sebagai "sudut Palestina" dan "Palestina Barat," sementara "Palestina Timur" merupakan istilah yang dia gunakan untuk Yordania. George F. Will menyatakan bahwa "Yordania adalah Palestina, secara historis, geografis dan etnis." Dua organisasi kecil tetapi aktif, Jordan Is Palestine Committee of Hyde Park, New York, dan CAMERA (Committee for Accuracy in Middle East Reporting in America) yang berbasis di Washington mendukung argumen ini dengan memasang iklan secara mencolok di media nasional AS.
Secara lebih rinci dapat dijelaskan, slogan Yordania-adalah-Palestina meyakini bahwa Palestina itu mencakup wilayah yang jauh di ujung Sungai Yordan. Oleh karena itu Yordania adalah negara Palestina. Bahkan jika tidak punya penguasa Palestina sekalipun. Alih-alih dua bangsa berjuang untuk satu tanah, Bangsa Yahudi dan Bangsa Arab Palestina digambarkan menguasai wilayah yang berbeda. Bangsa Yahudi di bagian barat Palestina, yang sekarang disebut Israel dan Bangsa Arab di bagian timur Palestina, yang sekarang disebut Yordania.
Perubahan nomenklatur ini bertujuan melemahkan Bangsa Arab manapun yang mengklaim berdaulat atas wilayah yang sekarang dikuasai Israel. Ia juga membuat Bangsa Palestina terlihat serakah. Mereka sudah punya satu roti utuh dan masih menginginkan roti lain. Ini menyiratkan bahwa ketika Bangsa Palestina harus meninggalkan Israel sendirian, mereka harus merasa bebas untuk melakukan perubahan di Kerajaan Hashemit. Ia juga memperlihatkan bahwa, karena Israel setidak-tidaknya punya klaim yang sah atas tepi timur sama seperti yang dilakukan oleh Bangsa Palestina di barat, maka memberikan kawasan timur Palestina kepada Bangsa Arab menjadi sebentuk kemurahan hati kaum Zionis. Akhirnya, ia menyiratkan bahwa Bangsa Israel bisa saja dibenarkan mengusir Bangsa Arab ke Yordania, warisan Palestina mereka yang sebenarnya. Dengan cara ini, gagasan yang sama tentang Yordania-adalah-Palestina dan Israel Raya menjadi isu-isu demografis dan politik yang kini dihadapi Israel untuk menciptakan agenda politik terkait dengan hak Israel.
Pendekatan terhadap kesulitan keamanan Israel ini memiliki daya tarik yang jelas bagi banyak orang Israel dan orang-orang di seluruh dunia yang bersimpati pada penderitaan Israel. Alangkah nyamannya jika Palestina sudah punya negara. Kegagalan mereka selama bertahun-tahun melawan kaum Zionis mereka tinggalkan lalu mulai membangun sesuatu yang produktif. Musuh Bangsa Israel dengan demikian akan berkurang satu. Kecemasan mereka yang meningkat terkait dengan persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh penduduk Arab Israel akan berkurang seiring dengan perpindahan penduduk di dalam kawasan Palestina sendiri.
Argumentasi Yordania itu Palestina berbasiskan pada empat presmis utama. Bahwa secara historis, Palestina mencakup Yordania. Bahkan Mandat Palestina yang diperintah Inggeris itu mencakup seluruh wilayah Israel dan Yordania masa kini. Bahwa kedua wilayah secara geografis tidak dapat dibedakan. Dan bahwa para pemimpin Palestina dan Yordania sendiri yakin bahwa Yordania dan Palestina itu identik. Persoalannya, jejak sejarah atau peta tidak secara jelas mendukung proposisi ini. Sebaliknya, jejak sejarah dan peta malah berbasiskan pengetahuan yang selektif tentang sejarah dan geografi, pembacaan yang sempit dan eksentrik atas Mandat Inggris dan distorsi terhadap dinamika politik antarbangsa Arab.
Sementara itu beberapa argumentasi yang kedengarannya bagus cenderung berakibat jelek. Dan taktik Yordania-adalah-Palestina pun tidak terkecuali. Pada akhirnya, ia mungkin mengejar tujuan adanya negara Palestina di Tepi Barat dan juga di Timur Sungai Yordan sehingga dengan penuh bahaya bangkit menentang kepentingan Israel dan Amerika.
I. Tepi Timur Selalu Menjadi Bagian dari Palestina
Pertama, para pendukung ide Yordania-adalah-Palestina berpendapat bahwa tepi timur Sungai Yordan senantiasa dianggap sebagai bagian dari Palestina. Tetapi melihat dari dekat wilayah yang sekarang menjadi Yordania menunjukkan bahwa kadang kala ia dilihat sebagai bagian dari Palestina, tetapi di lain waktu tidak. Lebih jauh lagi, "Palestina" selama berabad-abad adalah sebuah konsep. Bukan entitas yang berkaitan dengan peta yang tetap (cartographic entity). Jadi makna politiknya bahkan lebih ambigu daripada perbatasannya.
Sejarah Yahudi mengandung banyak batasan (boundaries) terkait dengan tanah Israel. Batasan pertama, tanah terjanji tetapi tidak terwujudkan. Adalah tanah peninggalan Bapak-Bapak Bangsa Israel. Dan mereka menetapkan Sungai Yordan sebagai daerah perbatasan. Buku-buku Alkitab yang belakangan (seperti Kitab Ulangan dan Yosua) menggambarkan perbatasan wilayah itu membentang hingga sisi timur kerajaan Saul pada abad kesebelas sebelum masehi. Jadi termasuk bagian-bagian wilayah Yordania masa kini yang bukan padang gurun. Begitu pula dengan wilayah kekuasaan Raja Daud. Dan itu berbeda dengan wilayah kekuasaan Yahudi pada abad kedua belas sebelum masehi yang berakhir dengan sungai. Sama seperti yang terjadi pada sebagian besar masa kembalinya Bangsa Yahudi dari Pembuangan Babilonia selama sepertiga bagian akhir abad keenam sebelum masehi hingga penghancuran Bait Allah kedua oleh Bangsa Romawi pada tahun 70 sesudah masehi yang disebut sebagai Negara Persemakmuran Israel Kedua (Second Commonwealth).
Apa pun situasinya di lapangan, tradisi Yahudi dengan jelas membedakan antara wilayah tempat Bangsa Yahudi berdiam secara historis dan tanah Perjanjian sebagaimana didefinisikan dalam Alkitab. Hanya daerah terakhir, yang lebih dibatasi, yaitu "tanah susu dan madu", inti dari janji Allah kepada Israel. Taurat (Kitab Bilangan 34:1-12) menjelaskannya dengan sangat spesifik tentang batas-batas tanah Perjanjian bahwa Sungai Yordan adalah batas timur dari Eretz Yisrael: "Dan perbatasan itu akan menurun melewati lereng Laut Kineret ke arah timur. Dan batas itu akan menurun menuju Sungai Yordan dan keluar dari sana hingga Laut Asin." Hal ini menjelaskan mengapa wafatnya Nabi Musa di Gunung Nebo, di kawasan Yordania sekarang ini dipandang sebagai hukuman bagi Nabi Musa. Ia juga mengungkapkan bahwa Tuhan menetapkan syarat-syarat atas dua suku (Suku Ruben dan Gad) yang mewarisi tanah di sebelah timur sungai. Masing-masing poin itu menyiratkan bahwa sisi timur Sungai Yordan punya status yang lebih rendah.
Di luar tradisi Yahudi, ada lagi sejarah politik yang lebih luas yang perlu dipertimbangkan. Palestina ketika diperintah dalam berbagai divisi di bawah kekuasaan Babilonia, Persia, Ptolomeus, Seleukus dan Romawi, kadang-kadang menggabungkan sisi timur dan barat. Kadang-kadang tidak. Ambil contoh zaman Romawi; Sungai Yordan awalnya menjadi batas. Tetapi setelah tahun 66 Masehi, tidak lagi. Sebaliknya, pemberontakan Yahudi pertama meluas hingga seberang Sungai Yordan dan pemberontakan yang kedua berakhir di sungai.
Bangsa Romawi memperkenalkan kata "Palestina" sebagai cara untuk menghapus nama Yudea dari peta. Yang merupakan hukuman terhadap pemberontakan Bar Kochba yang ditindas pada tahun 135 sebelum masehi. Dengan memberikan nama wilayah itu sesuai dengan nama penduduk Filistin yang berdiam sepanjang pantai, mereka lantas menyebutnya Palestina. Tetapi nama baru itu tidak mengurangi upaya Kerajaan Romawi untuk terus membangun distrik / kawasan baru. Pada 1284, bagian selatan Propinsi Roma di Arabia ditambahkan pada Palestina. Pada tahun 358, kawasan tenggara Laut Mati dipisahkan dan diberi nama Palestina Salutaris. Segera setelah itu, kawasan Palaestina Primavera (dengan ibukotanya Cesaria) dan Palaestina Secunda (ibukotanya Scythopolis, yaitu kawasan Beith Shean modern) pun muncul. Palestina Salutaris belakangan diganti lagi dengan nama Palaestina Tertia (dengan Petra sebagai ibukotanya). Sungai Yordan dengan demikian, tidak membagi kawasan itu.
Ketika Bangsa Arab menaklukkan daerah itu pada 634, mereka mewarisi dan mempertahankan pembagian wilayah yang dibuat Romawi selama lebih dari tiga abad, sehingga provinsi mereka pun membentang sepanjang sungai. Selama Perang Salib, sebagian besar Sungai Yordan memisahkan Palestina dari wilayah Muslim. Pada masa penjajahan Dinasti Mamluk (1250-1516), batas administrasi tanah berubah lagi dengan sungai berfungsi sebagai batas di utara, tetapi tidak di selatan. Kekaisaran Utsmaniyah (1516-1918) awalnya meninggalkan divisi Mamluk pada tempatnya, tetapi kemudian melakukan serangkaian perubahan yang meningkatkan peran sungai sebagai batas.
Perbatasan tidak hanya bolak-balik berpindah-pindah selama Pemerintahan Romawi dan Muslim, tetapi Palestina pun tidak pernah menjadi satu kesatuan politik antara kembalinya Bangsa Yahudi dari Pembuangan Babilonia pada tahun 68 M dan 1917. Hanya ada satu pengecualian, yaitu selama Perang Salib. Oleh karena itu, tidak masuk akal berbicara tentang Palestina "bersejarah" seolah-olah ia adalah satu pemerintahan yang sudah lama berdiri. Palestina tinggal di hati orang-orang yang menyukainya. Dan itu berada di alam tanpa batas. Di Eropa abad pertengahan, misalnya, "Palestina" mengacu pada daerah yang diduduki oleh orang Ibrani sebelum Diaspora, tetapi karena daerah ini telah berkali-kali berubah ukurannya definisi tersebut menyiratkan tidak ada batas yang tepat pada peta.
Pada zaman modern juga, umat Kristen dan Yahudi yang saleh terus melihat Palestina dari sudut teks dan sejarah Alkitab. Mereka tidak terlalu memperhatikan perpecahan nyata di lapangan. Mereka menggambar peta mereka untuk memperlihatkan Palestina seperti yang ditetapkan untuk suku-suku Israel. Perpustakaan penuh dengan catatan perjalanan dengan judul seperti Het and an Moab atau The Land of Gilead. Secara alami, Palestina bagi mereka berarti untuk kedua sisi Sungai Yordan, khususnya Tanah Perjanjian. Dalam semangat ini, Palestine Exploration Fund mensponsori The Survey of Western Palestine.
Tidak mengherankan, kaum Zionis awal dan pendukung Kristen mereka berasumsi bahwa bagian dari tepi timur akan dimasukkan ke Palestina Yahudi. Ini membantu menjelaskan mengapa tentara Yahudi bertempur di tepi timur untuk merebutnya dari Turki Utsmaniyah. Atau mengapa, pada 1919, kaum Zionis mengusulkan kepada Konferensi Perdamaian Versailles (Versailles Peace Conference) bahwa perbatasan negara masa depan mereka meluas jauh ke tepi timur. Atau Resolusi Kongres Zionis ketiga belas, pada Agustus 1923: "Mengakui bahwa Palestina timur dan barat dalam kenyataan dan de facto merupakan satu kesatuan historis, geografis, dan ekonomi, Kongres menyatakan harapannya bahwa masa depan Transyordania akan ditentukan sesuai dengan tuntutan yang sah dari Bangsa Yahudi." Atau mengapa Dana Nasional Yahudi memiliki tanah di tepi timur sampai akhir 1940-an.
Terlepas dari klaim-klaim ini, catatan sejarah memperlihatkan bahwa Palestina tidak senantiasa mencakup tepi timur. Juga bahwa Sungai Yordan sering kali berfungsi sebagai divisi militer dan politik. Sejarah daerah itu selama zaman kuno, abad pertengahan dan modern tidak memberi hak kepada seseorang untuk menegaskan bahwa "Deklarasi Balfour tahun 1917 dipahami sebagai pengakuan Inggris atas Tanah Air Nasional Yahudi secara keseluruhan dari Palestina yang bersejarah" seperti yang dilakukan para pendukung ide Yordania-adalah-Palestina. Artinya, Yordania dan Israel saat ini. Wilayah yang dijanjikan oleh Deklarasi Balfour dapat dibenarkan ditafsirkan sebagai berakhir di Sungai Yordan atau meluas lebih jauh.
II. Delapan Bulan Mandat Inggris
Premis kedua argumen Yordania-adalah-Palestina mengacu pada fakta bahwa selama delapan bulan pada 1920-21, Pemerintah Inggris menempatkan wilayah Yordania di bawah yurisdiksi tituler Mandat Palestina.
Bersama dengan bagian Timur Tengah lainnya, sejarah politik modern Palestina dan Yordania dimulai dengan Perang Dunia Pertama. Inti transformasi ini adalah upaya Inggris untuk membangun aliansi bagi perjuangannya untuk berperang melawan Jerman. London lalu memberi janji-janji yang tidak jelas tentang wilayah Kekaisaran Utsmaniyah di Levant kepada tiga pihak yang berbeda. Dalam Korespondensi Hussein-McMahon (Hussein-McMahon Correspondence), ada sepuluh surat yang saling dikirimkan satu sama lain antara Juli 1915 dan Maret 1916, menjanjikan bagian-bagian geografis Suriah kepada Gubernur Mekkah yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah, Syarif al-Hussein ibnu Ali, tetapi tidak diberikan batas-batas wilayahnya secara jelas. Perjanjian rahasia Sykes-Picot Mei 1916 membagi wilayah yang sama (dan lebih banyak lagi) antara Inggris dan Prancis. Deklarasi Balfour (The Balfour Declaration) pada November 1917 mendukung "didirikan di Palestina rumah nasional bagi Bangsa Yahudi."
Tiga sekutu Inggris melayani tujuan masa perangnya dengan cukup baik. Dalam kampanye perang dua tahunnya yang berakhir Oktober 1918, pasukan Inggris berhasil menguasai wilayah yang membentang dari Laut Mediterania hingga Iran. Tetapi pasca-perang, eksklusivitas timbal balik yang nyata akibat perjanjian-perjanjian ini memunculkan banyak masalah. Awalnya karena berupaya menyeimbangkan komitmen Bangsa Arab, Prancis, dan Zionis, maka Inggris membagi Levant menjadi tiga administrasi militer pada Oktober 1918. London mengelola zona yang kira-kira setara dengan apa yang kemudian menjadi Israel dan membuka imigrasi Yahudi ke sana. Prancis mengambil alih wilayah pesisir antara Israel dan Turki. Putra sharif, Pangeran Faisal, menerima apa yang kemudian dikenal sebagai Transyordania serta segala sesuatu yang jauh dari Mediterania di Lebanon dan Suriah saat ini dengan Damaskus sebagai ibukotanya.
Bagaimanapun sesuai dengan perjanjian Sykes-Picot, Pemerintah Prancis bercita-cita hendak menguasai Damaskus dan pedalamannya sehingga mengusir Pangeran Faisal dari Damaskus pada Juli 1920. Namun Prancis tidak mengklaim bagian selatan wilayah kekuasaan Faisal, yang kini jatuh di bawah kekuasaan yurisdiksi Inggris.
Di sini kita sampai pada titik kritis dari konsepsi Yordania-adalah-Palestina. Inggris kini untuk pertama kalinya menyebut seluruh wilayah mereka di Levant sebagai "Mandat untuk Palestina". Dengan kata lain, mulai Juli 1920, Yordania menjadi bagian dari Palestina, setidaknya sejauh menyangkut Inggris.
Tapi sebutan itu tidak bertahan lama. Pada Maret 1921 Winston Churchill, sekretaris kolonial, merasa "perlu segera menduduki Trans-Yordania secara militer." Bukannya menggunakan pasukan Inggris untuk melakukan ini, dia memutuskan menguasainya secara tidak langsung. Untuk mencapai tujuan ini, dia membagi Mandat Palestina menjadi dua bagian sepanjang Sungai Yordan, sehingga menciptakan Emirat Transyordania di tepi timur tanpa memasukan imigran Bangsa Yahudi ke dalamnya. Dia menawarkan wilayah ini kepada kakak laki-laki Faisal, yaitu Pangeran Abdullah, yang setelah ragu-ragu lalu menerimanya. Dinasti Hashemit dari Pangeran Abdullah, putranya Pangeran Tallal dan cucunya Raja Hussein telah memerintah Transyordan (atau Yordania, seperti namanya pada tahun 1949) sejak saat itu. Setelah Maret 1921, wilayah tepi timur Sungai Yordan bukan lagi Palestina.
Kisah rumit ini menyimpulkan bahwa Yordania adalah bagian dari Mandat Palestina hanya selama delapan bulan. Dari Juli 1920 hingga Maret 1921. Mandat itu pun bahkan dirusak oleh dua fakta: Liga Bangsa-Bangsa secara resmi memberikan tanggung jawab wajib kepada Inggris Raya hanya selama Juli 1922. Pemberian tanggung jawab itu menyebabkan periode delapan bulan pun tidak lagi relevan secara hukum. Inggris nyaris tidak punya otoritas di Transyordan selama bulan-bulan itu ketika mereka secara teoritis menganggapnya sebagai bagian dari Palestina. Faktanya, tepi timur tidak punya penguasa. Soalnya, Paris menjauh, London tidak berupaya menguasainya secara langsung, dan Dinasti Hashemit punya prioritas lain. "Pada saat itu," lapor Herbert Samuel, Komisaris Tinggi Inggris untuk Palestina, "Trans-Jordania ditinggalkan secara politik."
Beberapa bulan pemerintahan tidak de facto atau de jure bukanlah alasan untuk tujuh puluh tahun kemudian mengatakan Yordania sebagai bagian Palestina. Selain itu, tidak masuk akal pula untuk mendasarkan keputusan besar tentang perang dan perdamaian masa kini pada kepentingan sementara Kerajaan Inggris pasca-Perang Dunia I. Bahwa Yordania dalam waktu singkat pernah menjadi bagian Mandat Palestina tidak ada kaitan penting. Ia sekedar mengenang kembali rasa ingin tahu sejarah. Seperti diamati oleh L. Dean Brown, "Yordania adalah Palestina hanya dalam arti bahwa Nebraska, yang merupakan bagian dari Pembelian Louisiana (Louisiana Purchase), itu masih Louisiana."
III. Sungai Yordan mengalir dalam dan lebar
Premis ketiga menyatakan bahwa Yordania dan Palestina hanya membentuk satu wilayah karena pembagian di antara mereka secara geografis tidak berarti dan penduduk Arab kedua tepi sungai punya banyak kesamaan. Lagi pula, untuk apakah Sungai Yordan selain aliran airnya yang meluap? Bagi banyak pengamat, gagasan bahwa sungai itu pernah merupakan perbatasan tampaknya konyol.
Tidak banyak yang tersisa: Sungai Yordan pada 2012. |
Namun Sungai Yordan secara historis membagi kedua tepi sungai seperti halnya sungai besar. Seperti ditulis Henry Van Dyke pada tahun 1908, Sungai Yordan "adalah simbol perpecahan yang mengalir abadi." Lebih jauh lagi, sungai itu adalah bagian dari unsur geografis yang jauh lebih besar. Sebuah Lembah dengan padang curam dan terjal (Rift Valey). Yang benar-benar menghalangi hubungan antara kedua belah pihak. Dengan demikian, wilayah tepi barat dan timur Sungai Yordan lama terpisah. Orang Yordania bukanlah orang Palestina. Begitu pula sebaliknya.
Sungai Yordan tampak kecil sekarang ini. Padahal, tidak selalu demikian. Aliran airnya jauh berkurang karena banyak sekali digunakan selama beberapa dekade terakhir. Pada masa lalu sungai itu biasanya lebarnya sekitar 27 meter hingga 34 meter dan dalamnya sekitar satu hingga 3 meter. Hujan musiman membuat sungai kadangkala nyaris hampir tidak dapat dilalui karena arusnya yang deras cepat. Hal itu tentu tidaklah mengherankan mengingat bahwa Sungai Yordan itu menurun sangat tajam dibandingkan dengan sungai mana pun di bumi. Nyaris sekitar 3 meter lebih menurun untuk setiap mil yang dilewatinya. Kecuali tidak bisa disamakan dengan Sungai Sacramento di Kalifornia,
Lt. William F. Lynch, Komandan ekspedisi ke Sungai Yordan dan Laut Mati pada 1847. |
Letnan William F. Lynch, Komandan Ekspedisi Angkatan Laut AS tahun 1847 ke Sungai Yordan menulis sebuah kisah tentang perjalanannya. Buku hariannya yang rinci memasukkan frasa-frase seperti "sungai yang berbuih" (foaming river), "air berbuih yang mengalir cepat" (foaming rapid), "suara air yang bergemuruh" (tumultuous waters), "air terjun yang bergelora" ( desperate-looking cascade), "kolam yang berpusar", "kuali yang berbuih", "aliran air yang deras", "arus deras," dan "aliran air yang berbahaya." Seolah-olah tidak cukup, dia menggambarkan "cepatnya aliran air yang membuat orang menahan napas," (breathless velocity), "air terjun kecil yang berbahaya" (ugly sheer), "aliran air yang jatuh ke dalam jurang dan bergemuruh", "aliran air yang sangat berbahaya ", "air terjun yang menakutkan," dan "aliran alir yang bergelombang saling mengejar ". Salah satu kapal Lynch tenggelam karena berulang kali menghantam karang; sementara kapal lain terus-menerus menghadapi bahaya. Surat Lynch kepada Menteri Angkatan Laut AS menjelaskan mengapa tidak ada yang mencoba melayari Yordania:
Kami harus membersihkan alur sungai lama supaya bisa membuat alur sungai baru. Kadang-kadang, kami mengandalkan kepercayaan kami yang kuat pada Tuhan, terjebak dalam aliran air berkecepatan tinggi menuju jurang yang mengerikan. Kesulitannya benar-benar luar biasa. Pada malam kedua kami sudah berada di jalur yang langsung mengarah, hanya dua belas mil dari Danau Tiberias. Pada pagi ketiga saya terpaksa meninggalkan kerangka perahu karena kondisinya sudah hancur. Tidak ada perahu lain di dunia ini selain yang kami miliki. Ia sangat kuat dipadukan dengan daya apung, yang mampu menahan guncangan yang mereka hadapi. Karena jalur di tepi sungai dianggap sangat berbahaya, sama dengan bahaya dari aluran sungai dan risiko terjadinya serangan, maka saya merasa itu adalah tugas saya untuk saya lakukan sendiri, seperti yang pernah saya sarankan kepada Anda.
Segera setelah ekspedisi tersebut, H.B. Tristam melihat sungai itu sudah "berlumpur, melebar ke mana-mana dan keruh airnya." Sebuah "aliran air yang deras." Van Dyke mengatakan Sungai Yordan "bukan sungai kecil yang dicintai. Ia penghalang untuk dilewati." Baginya, sungai itu "tidak menawarkan apa pun kepada manusia selain bahaya, kesulitan, dan masalah. Situasi yang menakutkan (fierce), yang dihadapi dengan waspada (sullen) dan sikap yang keras.... tidak ada tempat yang menyenangkan di sepanjang jalurnya .... Aliran airnya cepat sekali dengan pusaran tersembunyi." Nelson Glueck, penulis buku bertajuk The River Jordan, menulis bahwa "aliran airnya mengalir turun seperti air terjun yang nyarus terus menerus melalui ngarai basal hitam terlarang. Berbuih bercampur lumpur, keluar dari jurang."
"Lika-liku arus air yang berbahaya" mempunyai effek tambahan karena ia cepat sekali mengikis tepian sungai. Parahnya lagi sungai itu sering berganti arah. Jelas tidak praktis untuk mendirikan gedung atau jembatan sepanjang tepian sungai. Ini berarti, Frank G. Carpenter mengamati pada tahun 1923, menyebabkan Sungai Yordan "tidak punya dermaga, tidak ada perahu dan tidak ada kota atau desa dalam arti apa pun. Ada banyak penyeberangan tetapi tidak ada jembatan dengan ukuran berapa pun." Ketika Alexander W. Kinglake menyeberangi Sungai Yordan pada tahun 1834-35, dia bisa satu kali melewati satu-satunya jembatan Sungai Yordan (peninggalan zaman Romawi kuno) dan kembali menyeberanginya dengan menggunakan kulit binatang. John L. Stoddard mencatat bahwa banyak peziarah tenggelam setiap tahun di arus sungai "yang bergelora."
Sungai Yordan yang berkelok-kelok, sebagaimana biasanya. |
Bukan sekedar ganasnya sungai yang membuat Sungai Yordan sulit dilalui. Sungai itu tidak punya unsur alami yang membuat sebagian besar sungai integratif. Sungai itu berkelok-kelok tajam sekali sehingga perjalanan menjadi lambat, tidak bisa dilayari dengan nyaman. Bahkan untuk jarak pendek sekalipun. Jarak Sungai Yordan dari Danau Galilea ke Laut Mati jika ditarik garis lurus hanya sekitar 65 mil (sekitar 106 Km). Tetapi, Sungai Yordan berputar ke belakang sedemikian rupa, sehingga jalurnya di antara dua aliran air itu mencapai 200 mil (sekitar 325 Km). Dalam foto udara, ia terlihat sangat mirip dengan usus manusia.
Lembah yang berisi sungai, terutama sisi timurnya merupakan tempat liar yang sulit di mana tanaman, binatang dan manusia semuanya menghambat perjalanan manusia. Tristam melihat tepian sungai itu sebagai "sabuk hutan pepohonan yang tidak bisa ditembus" yang "menutupi jalan masuk sungai pada dua sisinya." Ketika melakukan perjalanan pada 1867, John Franklin Swift berhasil melukiskan pemandangan kawasan itu yang hidup: "Batas sungai di bawah tepiannya dipenuhi alang-alang lebat yang bercampur dengan pepohonan oleander dan gandarusa (willow) sehingga tidak ada tempat yang dapat... didekati kecuali dengan memaksi diri melewati semak-semak yang nyaris tidak bisa dilewati ini. Dan di sini konon babi hutannya banyak sekali sehingga membahayakan." Setelah banjir, daerah sekitar sungai menjadi "genangan lumpur yang dalam " yang benar-benar menghentikan para pelancong.
Lalu ada juga binatang buas di sana. Kitab Nabi Yeremia 49:19 menyinggung soalnya ganas binatang buas ketika ia membandingkan Tuhan dengan "singa dari semak-semak terpadat Sungai Yordan." Hewan lain yang ditemukan di tepi sungai termasuk hyena, serigala, harimau (lynx), landak, kerbau, babi hutan dan serangga "ganas". Jauh dari tepi sungai, wilayahnya merupakan tanah tandus atau apa yang disebut Lynch sebagai "gurun yang sempurna yang dilalui oleh suku-suku yang suka berperang." Anak-anak yang lahir di musim semi atau musim panas di kawasan itu sering kali meninggal saat masih bayi karena malaria.
Parahnya lagi, sungai itu hanyalah salah satu unsur dari rintangan yang jauh lebih besar. Padang lembah itu curam dan terjal (Rift Valley). Sebuah fenomena geografis unik yang membentang dari Turki hingga Mozambik. Di Palestina yang termasuk di dalamnya, jauh dari sungai dan semak belukarnya, tempat paling rendah di muka bumi; suhu yang sangat panas dan kering; tanjakan yang curam dan terlarang; dan beberapa lintasan - semuanya menjadi batas alami utama antara tepi barat dan timur. Menurut Encyclopaedia Judaica, "Lembah padang yang terjal dan curam sepanjang sejarah adalah salah satu faktor utama pembagian wilayah menjadi dua bagian, sangat jarang - dan kemudian hanya sebagian - bersatu menjadi satu negara bagian."
Seperti yang dijelaskan oleh G. Robinson Lees, "Lembah Yordan membagi Tanah Suci menjadi dua bagian. Yang satu berisi perkumpulan-perkumpulan (associations) suci kehidupan Tuhan kita di bumi ... Yang lain, di luar Yordan ... menunjukkan gambaran alam yang berbeda dari barat, sama lengkapnya seperti sejarahnya." Glueck mencatat bahwa padang terjal dan curam Yordan dan kawasannya yang membentang ke selatan berfungsi sebagai penghalang dan batas antarnegara-negara berdaratan tinggi di timur dan baratnya. ... Sebagian besar penduduk lembah tidak pernah keluar dari situ. Tetangga mereka dari dataran-dataran tinggi di atasnya juga tidak punya banyak kesempatan untuk melihat, atau tertarik untuk mengetahui Lembah Yordan. Apalagi Hutan Yordan, yang terornya mungkin sudah dengar berkali-kali lipat besarnya. ... Hubungan antara bagian-bagian Israel yang dipisahkan oleh Lembah Yordan dengan demikian menjadi rapuh.
Sulitnya menyeberangi sungai dan bentangan padang gurun yang curam (rift) dan terjal menyebabkan perdagangan dan perjalanan wilayah utara-selatan hanya terpusat pada wilayah masing-masing, pada sisi timur dan sisi barat. Berbatasan atau tidak, lembah itu senantiasa menghadirkan kuatnya batasan militer dan kepemilikan beberapa tempat di mana sungai dapat diseberang dengan berjalan kaki menjadi sumber kekuatan strategis. Populasi kecil di sisi timur sungai juga membatasi perdagangan (exhanges) antara dua tepi sungai. Tepi timur tidak pernah mengembangkan dunia pertanian seperti halnya lahan di tepi barat, sebagian karena tanah yang kurang subur dengan curah hujan yang lebih rendah di atas lembah. Sebagian lagi karena lembah itu sebagian besar merupakan rawa malaria.
Sungai itu secara sangat tepat menggambarkan gurun berbed dari tanah pertanian yang bisa ditanami dan daripada padang rumput. Sudah sejak zaman Alkitab, wialayah sisi timur sungai merupakan daerah pedalaman tempat orang yang diburu melarikan diri dan menghilang. Sama seperti yang dilakukan Daud setelah pemberontakan Absalom. Kurangnya kontak antara kedua tepi sungai menyebabkan adanya perbedaan identitas yang melekat. Dua pengembara Amerika pada awal abad ini, William Libbey dan Franklin E. Hoskins lebih jauh mengamati bahwa sungai itu membuat penduduk di tepi timur dan barat menjadi "orang asing atau musuh, satu sama lain."
Kinglake mencatat bahwa Yordan "merupakan batas antara orang-orang yang menetap di suatu tempat dengan suku-suku tenda yang mengembara di sisi yang lebih jauh." Lynch karena itu berkomentar "desa-desa hancur, di mana para petani (fellahin) yang damai terusir oleh perampok perusak." Tristam hanya melihat satu desa berpenghuni di sepanjang tepi timur Sungai Yordan dan berkomentar bahwa "tidak ada pemerintah yang diakui di sisi timur."
Selama 150 tahun berikutnya, kedua wilayah tepian sungai Yordan semakin maju sepanjang jalur yang terpisah. Wilayah barat bagaimanapun mendapatkan keuntungan dari pemerintahan yang terpusat sehingga ekonominya jauh lebih maju dengan budaya perkotaan yang kosmopolitan. Sungai dan bentangan padang terjal dan curam dengan demikian menjadi semacam pemisah psikologis, yang memotong Transyordania yang kurang penting dari Palestina yang penting dunia.
Pada saat dibentuk pada tahun 1921, Transyordania kesulitan air, miskin dan tidak punya banyak penduduk. Ia hanya punya satu pelabuhan kecil yang tidak terurus. Hanya punya sebidang garis tipis tanah subur kecil dengan populasi di bawah 250.000. Hampir separuhnya nomaden. Tidak banyak jalan raya di sana. Tristam menemukan bahwa "seluruh gambaran peta Palestina trans-Yordania hanya tebakan menyesatkan yang tidak mengarahkan para pelancong." Tidak heran bahwa ketika kembali menyeberangi Sungai Yordan menuju tepi barat sungai membuat kelompoknya merasa "kembali memasuki peradaban. Tampaknya menjadi semacam langkah pulang ke rumah yang seolah-olah tidak pernah kami jalani sejak kami meninggalkan Inggris." Keadaan tidak banyak membaik hampir seabad kemudian, seperti yang dijelaskan Ladislas Farago pada tahun 1936: "Sekarang ini, sisi Palestina dari Jembatan Allenby semuanya tampak teratur. Tetapi kita nyaris tidak pernah pergi sejauh tiga ratus meter pada sisi lain jembatan ketika Palestina moderen tiba-tiba berhenti dan – terantuk, terantuk - kami berkendara di jalan alam yang primitif.... Sekarang saya paham mengapa Sir Arthur Wauchope [Komisaris Tinggi Palestina] selalu naik pesawat menuju Amman."
Yang jauh lebih penting lagi adalah bahwa Transyordania tidak punya kota-kota besar atau pusat kekuasaan historis. Laurence Oliphant menulis pada tahun 1881 bahwa Ajlun "merupakan pusat populasi terbesar, sebuah desa terbaik yang dibangun yang pernah kami lihat di sebelah timur Sungai Yordan, meskipun hanya pujian kecil, karena populasinya mungkin tidak melebihi lima ratus orang." Pada 1924, Nyonya Steuart Erskine masih menganggap 'ibu kota Dinasti Abdullah, Amman, sebagai "desa yang terlantar." Dan dari sudut pandang apa pun, ia adalah kota yang kotor dan jorok.
Tidak adanya banyak kota berarti peradaban masih rendah. Transyordan tidak punya masjid penting dengan asosiasi Islam yang penting pula. Mesin cetak, perpustakaan dan institusi pendidikan tinggi pun tidak ada. Begitu juga fasilitas medis. Negara ini tidak punya prangko sendiri sampai tahun 1927. Tetapi tidak masalah karena tidak ada layanan pos yang perlu dibicarakan. Perdagangan dan industri tidak ada. Seorang sejarawan, Suleiman Mousa, memperkirakan tingkat melek huruf Transyordania sekitar 1 persen pada akhir abad kesembilan belas. Orang pun bisa terus membicarakannya, seperti yang dilakukan James Morris, tentang kekurangan Transyordania:
Transyordania tidak menghasilkan barang yang berguna. Tidak menghasilkan apa-apa. Secara ekonomi tidak layak dan secara geografis tidak masuk akal. Kota pentingnya adalah kota kecil Amman. Tempat-tempatnya yang terkenal (Jerash, Petra, Kerak) semuanya reruntuhan puing. Hutannya lenyap menjadi tumpukan kayu bagi Kereta Api Hijaz, untuk dijadikan bahan bakar atau sambungan bantalan rel kereta api. Hampir tidak ada jalan. Hanya ada satu jalur kereta api. Hampir tidak ada sekolah. Tidak ada polisi. Dan tidak ada raison d'être yang benar-benar logis.
Ia lebih tepatnya adalah gunung-gunung tandus yang banyak sekali berikut gurunnya yang tak berujung.
Sampai baru-baru ini saja, tepi timur menjadi daerah pedalaman yang menyedihkan yang tidak punya identitas diri. Ia sama sekali bukan bagian dari Palestina yang terlantar.
Yang pasti, ekonomi dan masyarakat Yordania belakangan berkembang. Amman, kini ibu kota negara yang sangat mapan. Adalah kawasan metropolitan besar yang penuh dengan banik- bank, perusahaan multinasional dengan infrastruktur modern. Universitas-universitas bermunculan. Populasi negara berkembang pesat dan kehidupan nomaden menghilang cepat. Raja Hussein pun dihargai dunia internasional dan Yordania bahkan tampil sebagai perantara kekuatan regional di bawah bayang-bayang perang Irak-Iran dan perpecahan Suriah-Irak.
Namun terlepas dari semua ini, Yordania tetap menjadi negara (polity) yang lemah, penuh pura-pura dan berbahaya yang tak pernah sepenuhnya mampu mengatasi kelemahan geografisnya. Negara ini terus menderita karena sangat sedikitnya sumberdaya budayanya sehingga sebuah satu kota bersejarah sekalipun jauh lebih diperhitungkan secara politis. Sejak zaman Nabatean tidak ada hal penting yang terjadi di sisi Timur sungai. Tempat pariwisata (sights) buatan manusia yang paling mengesankan di Yordania bahkan hingga hari ini puing-puing dari abad kedua SM di Petra.
Memang harus diakui, Palestina nyaris bukanlah pusat industri atau kekuatan militer internasional pada awal abad ini juga. Tetapi dia agak jauh lebih maju dan mendapat keungan dari statusnya sebagai Eretz Yisrael dan Terra Sancta - sepotong wilayah yang ratusan juta umat Yahudi dan Kristen anggap sebagai pusat geografis dunia spiritual mereka. Kaum Muslim pun melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa, karena Yerusalem merupakan salah satu tempat paling suci agama mereka. Perkumpulan-perkumpulan keagamaan ini memberikan kualitas-kualitas yang unik wilayah itu
Kedua tepian sungai itu kini semakin jauh berbeda dibanding sebelumnya. Ada perkembangan terjadi di Palestina pada abad kedua puluh. Berkat kaum Zionis yang membawa pembelajaran, institusi, dan perdagangan Eropa, Palestina semakin berbeda dari daerah sekitarnya. Ia pun menjadi berhutan dan produktif, tidak seperti yang terjadi selama berabad-abad lalu. Kawasan itu terhubung dengan budaya Barat serta politik dalam diri Inggris Raya dan Amerika Serikat. Man-for-man, manusia bagi manusia, kekuatan militer Yahudi menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
Yang paling penting, kaum Zionis mengartikulasikan visi yang meyakinkan tentang masa depan Palestina sebagai tanah air Bangsa Yahudi. Dan ketika satu pihak sangat merindukan sesuatu (an object), maka tidaklah aneh jika pihak lain juga semakin menghargainya. Intensitas nasionalisme Yahudi dan perubahan di lapangan mengilhami tanggapan serupa dari pihak Bangsa Arab. Yaitu, munculnya nasionalisme Palestina hampir dalam semalam. Pada akhirnya, sentimen ini bersumberkan dari Zionisme. Jika bukan karena aspirasi Bangsa Yahudi, maka Bangsa Arab tidak diragukan lagi akan lama terus memandang Palestina sebagai sebuah provinsi dari negara (entity) yang lebih besar, baik Suriah Raya atau bangsa Arab. Jika bukan karena orang lain yang melihat Palestina sebagai rumah nasional mereka, maka sikap Bangsa Arab terhadap wilayah tersebut akan mirip dengan sikap tidak peduli mereka terhadap Yordania. Sikap (coolness) yang sejuk yang hanya perlahan terkikis melalui upaya pemerintah selama bertahun-tahun oleh Amman.
Jika tepi timur dan barat Sungai Yordan tidak jelas sekalipun pada masa lalu, maka itu bukan lagi kasusnya pada malam Perang Dunia I. Dan tentu saja tidak demikian hari ini.
IV. Saling Klaim Palestina dan Yordania
Premis keempat berkaitan dengan pernyataan Bangsa Arab bahwa Palestina dan Yordania adalah satu wilayah. Klaim ini dapat dilacak hingga tahun 1921 dan tetap kuat secara politik bahkan sampai hari ini.
Organisasi Pembebasan Palestina sering menyatakan Yordania itu adalah bagian Palestina. Dan kadang-kadang dia mengklaimnya secara resmi. Konferensi kedelapan Dewan Nasional Palestina (PNC), yang bertemu pada Februari-Maret 1971, memutuskan bahwa " yang mempertautkan Yordania dengan Palestina adalah ikatan nasional dan persatuan nasional yang dibentuk sejak dahulu kala oleh sejarah dan budaya. Pembentukan satu entitas politik di Transyordania dan lainnya di Palestina merupakan sebuah perbuatan yang ilegal." Rancangan program Konferensi PNC kesepuluh (pada April 1972) bahkan lebih gamblang lagi mengatakan: "Perlu perjuangan untuk menggulingkan rezim agen di Yordania, yang merupakan garis depan pertahanan negara Zionis dan secara organik terkait dengan Israel, tidak kurang mendesaknya dibandingkan dengan kebutuhan untuk berjuang melawan pendudukan Zionis." Bahwa warga Palestina merupakan 60 persen dari populasi tepi timur Sungai Yordan dan memainkan peran utama dalam semua aspek kehidupan di sana "menyiratkan bahwa kedua bangsa itu disatukan dalam front pembebasan nasional Yordania-Palestina."
Ada juru bicara tertentu membuat klaim yang lebih spesifik lagi. Pimpinan pertama PLO, Ahmad ash-Shuqayri berpendapat bahwa pencaplokan Tepi Barat oleh Yordania pada 1950 sebenarnya merupakan pencaplokan tepi timur bagi Palestina. Baginya, Palestina itu "terbentang dari Laut Mediterania di barat hingga gurun Suriah-Irak." Pada 1966, seorang perwakilan PLO untuk Lebanon menyatakan Yordania "adalah bagian integral dari Palestina, persis seperti Israel."
Yordania juga menekankan hubungan antara kedua wilayah. Kedua penguasa utama Yordania, Raja Abdullah (yang memerintah dari tahun 1921 hingga 1951) dan Raja Hussein (1953 hingga sekarang), pun berbicara secara blak-blakan tentang masalah ini. Sejak 1926, Raja Abdullah menegaskan bahwa "Palestina itu satu kesatuan. Memisahkan Palestina dari Transyordania itu adalah buatan dan pemborosan," sebuah pandangan yang kemudian diulanginya berkali-kali.
Berdirinya Israel pada 1948 hampir tidak mempengaruhi klaim Hashemite atas Palestina. Perdana menteri Yordania menyatakan pada Agustus 1959: "Kami di sini di Yordania, dipimpin oleh raja agung kami [Hussein] adalah Pemerintah Palestina, tentara Palestina dan kami adalah pengungsi." Raja sendiri menyatakan pada 1965 bahwa "kedua bangsa telah berintegrasi; Palestina telah menjadi Yordania, dan Yordania menjadi Palestina." Dia juga menyatakan bahwa "organisasi-organisasi yang berusaha membedakan antara Palestina dan Yordania adalah pengkhianat yang membantu Zionisme yang bertujuan memecah-belah kubu Arab.... Kami hanya punya satu tentara, satu organisasi politik dan satu sistem perekrutan populer di negara ini."
Kehilangan Tepi Barat pada tahun 1967 juga membuat klaim Yordania sedikit berubah. Perdana Menteri Zayd ar-Rifa'i mengatakan kepada seorang pewawancara pada tahun 1975:
Yordania adalah Palestina. Mereka tidak pernah diperintah sebagai dua negara bagian yang terpisah kecuali selama Mandat Inggris. Sebelum 1918, kedua tepi Sungai Yordan adalah satu negara bagian. Ketika mereka kembali menjadi satu negara setelah 1948, maka itu adalah masalah membangun persatuan sebelumnya. Mereka satu keluarga. Begitu pula kesejahteraan, afiliasi, dan budaya mereka.
Raja Hussein kembali menegaskan pada tahun 1981 bahwa "Yordania adalah Palestina dan Palestina adalah Yordania."
Setelah upaya diplomatik antara Yordania dan PLO gagal pada Februari 1986, Raja Yordania mengumumkan bahwa dia berbicara "sebagai orang yang merasa dia adalah orang Palestina." Segera setelah itu, 'Akif al-Fayiz, Ketua Parlemen Yordania, menyatakan bahwa "Yordania tidak membedakan antara rakyatnya di Timur dan Tepi Barat. Bangsa kami itu satu dan keluarga kami itu satu. Kami menantikan hari itu ketika satu keluarga akan melanjutkan peran bersejarahnya." Kemudian, Anwar al-Khatib, Mantan Walikota Yerusalem Timur yang berasal dari Yordania menggemakan sentimen ini pada tahun 1986: "Palestina, Yordania dan Suriah merupakan satu keluarga sampai pendudukan Inggris dan Prancis pada tahun 1918, yang memaksakan adaya batasan-batasan di antara kami. Kami tidak membedakan antara orang-orang kami, apakah mereka tinggal di Yordania, Suriah, atau Palestina." Orang meemang bisa saja terus menerus mengutip bahasa seperti itu. Biasalah! Sama seperti lebah madu di daun semanggi.
Bagi para pendukung ide Yordania-adalah-Palestina, klaim semacam itu memperlihatkan bahwa Bangsa Arab sepakat bahwa Palestina dan Yordania itu identik. Tetapi interpretasi ini justru memutarbalikkan karakter dari pernyataan-pernyataan ini yang sebenarnya, yang bukan saja merupakan analisis tanpa pamrih, melainkan juga sebuah taktik propaganda dan pernyataan niat bermusuhan. Minimal, mereka membentuk posisi diplomatik dalam kancah antar-Arab. Secara maksimal, mereka menekankan hak untuk berekspansi menguasai daerah lain. PLO berharap untuk mengawsi (stake out) adanya klaim atas wilayah yang tidak dikuasainya. Amman berusaha melindungi wilayah yang dikuasainya atau berharap suatu hari nanti bisa dikendalikan lagi (dalam hal ini Tepi Barat).
Bangsa Palestina sesekali melirik ke arah wilayah-wilayah pedalaman. Upaya ini membantu menjelaskan sebagian perang Yordania-PLO pada 1970. Klaim berkala mereka atas kerajaan yang diperintah oleh Raja Hussein juga mencerminkan niat mereka untuk menjatuhkan Dinasti Hasyemit sebagai bantuan untuk menaklukkan Palestina. Sementara itu, orang Yordania sering melirik wilayah garis pantai dengan penuh iri. Raja Abdallah menghabiskan waktu bertahun-tahun bersekongkol untuk menancapkan kehadirannya di Tepi Barat dan cucunya Raja Hussein, dengan lebih halus dan tidak terlampai dipaksakan, juga mencurahkan banyak upaya untuk tujuan ini.
Setiap kali Hussein menyatakan bahwa "Yordania adalah Palestina dan Palestina adalah Yordania," setidaknya dia punya tiga tujuan. Pertama, seperti diamati Asher Susser, itulah caranya untuk menegaskan bahwa "Yordania pantas memainkan peran sentral yang menentukan dalam penentuan nasib politik Palestina." Kedua, pernyataan sang raja itu ditujukan kepada orang-orang Palestina di bawah pendudukan Israel, di mana pertempuran antara Dinasti Hashemite - PLO untuk kepentingan Palestina paling berkecamuk. Ketiga, pernyataan dari Hashemit itu harus dilihat dari upaya untuk menyatukan dan mengelola warga Palestina di tepi timur. Banyaknya orang Palestina di tepi timur, diperkirakan antara 40 dan 70 persen dari total populasi, memaksa raja menunjukkan komitmennya terhadap masalah Palestina. Berbagai pertimbangan ini menjelaskan mengapa selama empat puluh tahun Amman secara retoris mengadopsi aspirasi Palestina.
Pemutusan sebagian hubungan yang dramatis dengan Palestina Juli lalu menunjukkan bahwa dia sekarang tidak terlalu khawatir tentang stabilitas internal daripada soal bahaya yang diciptakan oleh sikap masyarakat Tepi Barat yang sangat membingungkan. Juga, penolakan Yordania baru-baru ini atas klaim berdaulat di Tepi Barat adalah perubahan taktis yang mengingatkan pada deklarasi serupa pada periode 1974-75. Raja Hussein mengatakan dia tunduk pada PLO. Dengan pernyataan itu dia sebenarnya berharap untuk membelah, menghancurkan dan kemudian kembali ke negara asalnya. Sifat konfliknya dengan PLO tetap tidak berubah.
Kalangan yang berpendapat bahwa Yordania-adalah-Palestina segera mengabaikan sikap tulus Raja Hussein yang hendak melindungi argumentasi mereka. Betapapun benarnya hal yang terkait dengan Raja Hussein, argumen umum tetap tidak valid. Soalnya, ia mengabaikan kutipan yang menyatakan bahwa Palestina sama dengan Yordania itu di luar konteks. Hanya karena para pemimpin Arab sudah mengatakannya dari waktu ke waktu itu tidak membuatnya menjadi benar.
Undang PLO ke Amman?
Bagaimana jika, mengikuti logika Yordania-adalah-Palestina, Israel memfasilitasi PLO untuk menggulingkan Raja Hussein kemudian mendorong Yaser Arafat mengambil alih kekuasaan di Amman? Skenario ini bukanlah murni fantasi, karena sejumlah pemimpin Israel kenamaan mengatakan mereka senang menyaksikan perkembangan seperti itu. Ketika dia menjadi Menteri Dalam Negeri, Ariel Sharon menjalankan kebijakan yang bertujuan mendorong Tepi Barat dan Arab Gaza untuk menyeberangi sungai. (Memang, setelah 200.000 warga Arab melarikan diri dalam kekacauan perang Juni 1967, setidaknya 350.000 warga Arab lainnya menyeberang sejak September 1967.) Tujuan tersembunyi dari penyeberangan itu adalah untuk memberikan keseimbangan etnografis di tepi timur dan dengan demikian menjatuhkan Dinasti Hashemit. Bahkan para analis Amerika yang cerdas seperti Charles Krauthammer bahkan melihat pengambilalihan kekuasaan oleh PLO di Amman sebagai perkembangan positif bagi Israel.
Bangsa Israel melakukan ini karena tiga alasan. Beberapa kalangan mengatakan bahwa karena Palestina terbentuk oleh begitu banyak populasi Yordania itu jauh lebih dinamis dan tidak bakal pernah bisa diyakinkan untuk melihat diri mereka sebagai orang Yordania, maka mereka pada akhirnya akan mengambil alih negara itu. Upaya Yordaniaisasi yang dilakukan oleh Dinasti Hashemit selama 40 tahun pasti gagal. Akibatnya, Yordania sebetulnya sudah menjadi negara Palestina. Sebagai jawaban, orang harus melihat bahwa ini sungguh-sungguh keliru untuk membaca keterampilan, komposisi, dan elan militer Yordania secara serius. Palestina mengambil alih Yordania itu jauh dari tidak terelakkan. Selain itu, catatan dari beberapa pemerintahan oleh kaum minoritas di Timur Tengah (khususnya Suriah dan Irak) menunjukkan bahwa Dinasti Hashemit bisa bertahan lama. Bahkan jika Pemerintahan Palestina itu tidak bisa dihindari, lalu mengapa mempercepat prosesnya? Mengapa membantu menghapus rezim yang dapat ditoleransi demi sebuah rezim yang hampir pasti akan sangat bermusuhan?
Kedua, argumen Yordania-adalah-Palestina secara halus membahas masalah paling mendasar Israel. Membahas fakta bahwa jumlah populasi Arab itu meningkat. Warga Yahudi Israel sedang menghadapi pilihan yang tidak menyenangkan: jika mempertahankan wilayah-wilayah pendudukan, maka itu berarti Israel mempertahankan karakter negara Yahudi dengan mengorbankan demokrasinya. Atau sebaliknya. Argumen Yordania-adalah-Palestina yang menyiratkan diperbolehkannya "memindahkan" penduduk Arab Palestina "Barat" ke bagian Timur, berperan penting di sini, karena itu menjadi satu-satunya cara agar Israel Raya dapat tetap menjadi Yahudi dan demokratis.
Tetapi apa pun yang mendorong adanya godaan ini sangat disayangkan. Soalnya, agaknya biaya untuk cita-cita itu bagi Israel akan sangat tinggi. Selain biaya moral yang remeh-temeh, jalan ini mungkin bakal membatalkan perjanjian damai antara Israel-Mesir, benar-benar akan Pemerintah AS dan sebagian besar Bangsa Yahudi diaspora terpinggirkan sekaligus mengakhiri pemulihan hubungan Soviet-Israel (dan seiring dengan itu harapan imigrasi yang luas dari warga Yahudi Soviet). Mengusir warga Arab keluar dari Israel mungkin menyebabkan emigrasi yang lebih besar dari Israel. Tepatnya terusirnya orang-orang terpelajar dan profesional yang sangat tidak bisa diterima oleh Israel.
Ketiga, beberapa orang melihat keamanan Israel diuntungkan dari addanya PLO di Amman. Mereka berpendapat bahwa PLO, setelah menggantikan Dinasti Hashemit, akan meninggalkan Israel. Bahwa Israel akan jauh lebih mudah menangani PLO begitu 'Arafat menghadapi cobaan administrasi sehari-hari. Juga bahwa tekanan internasional terhadap Israel akan berkurang begitu Palestina menguasai negara mereka sendiri, bahkan satu negara di tepi timur Sungai Yordan. Tapi spekulasi ini mungkin semuanya salah. Jika PLO menggantikan Raja Hussein di Amman, maka beberapa konsekuensi akan muncul yang benar-benar menyenangkan dari sudut pandang Israel dan Amerika.
Sejak awal, PLO tak akan pernah menerima Yordania sebagai pengganti Palestina. Kesimpulan ini sama dekatnya dengan hal-hal tertentu karena apa pun bisa terjadi dalam persoalan manusia. Kaum nasionalis Palestina berpikir bahwa tepi timur adalah milik mereka, maka kepentingan mereka yang sebenarnya tetap memusatkan perhatian kepada wilayah barat sungai. Dan tidak ada yang akan mengubah ini. Salah Khalaf pernah secara terus terang mengatakan: "Tidak ada alternatif selain tanah Palestina untuk mendirikan negara kami yang merdeka.... Kami tak akan menerima solusi apa pun di luar Palestina." Jika orang Palestina menguasai tepi timur, mereka tidak akan berpuas diri, tetapi menggunakannya sebagai basis untuk menaklukkan Palestina, seperti yang dilakukan Bangsa Ibrani di bawah Pemerintahan Yosua kira-kira 32 abad yang lalu. Atau seperti yang baru saja empat puluh tahun lalu dilakukan oleh Raja Abdullah.
Kemudian, harus dilihat bagi banyak warga Palestina yang berdiam di Tepi Barat, nasionalisme Palestina mereka itu jauh lebih besar daripada kesadaran nasonalisme (national feeling) mereka terhadap Yordania sehingga berdampak terhadap lahirnya semacam skizofrenia politik. Jika tanah itu direbut oleh PLO, maka, mereka pun akan digembleng agar supaya bisa melancarkan perang melawan Israel. Banyak dari mereka yang sekarang puas dengan minuman ringan yang disajikan raja kepada mereka akan tersentak oleh tonik PLO yang jauh lebih kuat.
Lebih jauh lagi, pengalaman menunjukkan bahwa para pemimpin agresif terdorong oleh sukses akan meraih semakin banyak lagi. Mengingat rekam Bangsa Palestina yang penuh dengan rekam jejak kekerasan dan maksimalisme yang panjang, maka aman untuk berasumsi bahwa aturan ini akan benar-benar berlaku pada para pemimpinnya. Mulai dari Haji Amin al-Husseini hingga Ahmad ash-Shuqayri hingga Yaser Arafat hingga tokoh-tokoh bayangan di balik kerusuhan Tepi Barat beberapa bulan terakhir, para pemimpin nasionalis Palestina pada setiap kesempatan yang kritis akan tunduk menyerah kepada godaan ekstremis. Upaya untuk mengambil alih di Amman hanya menegaskan gunanya sikap PLO yang gigih sehingga meningkatkan elemen-elemennya yang paling kejam. Dengan orang-orang Dinasti Hashemit di bawah kekuasaan mereka, para pemimpin PLO akan mundur menggunakan kebijakan dua puluh tahun sebelumnya. Dan sekali lagi akan sungguh-sungguh berharap bahwa mereka benar-benar dapat menghancurkan Israel. Harga yang dibayar Israel untuk senantiasa waspada selama bertahun-tahun berikut kesabaran yang diinvestasikan dalam sikap Bangsa Arab yang bersedia bersikap wajar (moderation), akan sia-sia jika gelombang baru romantisme melanda orang Palestina dan mengilhami mereka untuk meningkatkan tuntutan mereka.
Kekuasaan yang berdaulat juga memungkinkan PLO untuk pertama kalinya menjadi tantangan militer serius kepada Israel. Ketika baru memusatkan pemerintahannya di Amman, hari-hari kepemimpinan PLO terbagi antara Tunisia dan Baghdad akan berakhir. Begitu PLO berbagi perbatasan yang panjang dan keropos dengan Israel, berakhir juga upaya-upaya yang menyedihkan untuk melancarkan operasi terhadap Israel dari Sudan. Ia juga tidak harus menghadapi Pasukan Pertahanan Israel yang tangguh hanya dengan persenjataan yang lebih baik dari senjata ringan. Ekonomi dan masyarakat Yordania hampir pasti dimobilisasi dengan gaya Soviet, untuk mendukung upaya militer besar-besaran. Termasuk yang harus kita asumsikan hari ini, rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak kimia. Jika Hafez al-Asad bisa mengubah tentara Suriah yang malang menjadi sebuah pasukan yang kuat, maka PLO pasti bisa berbuat lebih baik di Yordania. Perkembangan seperti itu membuat orang Israel merindukan hari-hari terorisme yang telah berlalu.
Juga, Israel akan kehilangan Pemerintah Arab yang selama tiga generasi terus melakukan yang terbaik supaya bisa mengakomodasi kepentingannya. Dua Raja Besar Yordania, Abdullah dan Hussein, konsisten mencari hubungan yang baik dengan Kaum Zionis dan mereka bekerja selama bertahun-tahun dengan Israel mengupayakan kepentingan bersama kedua belah pihak. Sebagai simbol dari kebutuhan timbal balik kedua negara, para pemimpin mereka bertemu satu sama lain sekitar dua puluh kali sejak Raja Abdallah bertemu dengan Perdana Menteri Golda Meir pada November 1947. Persekutuan diam-diam yang menjalankan urusan Tepi Barat setelah 1967 mencakup kesepakatan, dalam kata-kata Pejabat Israel, "dari anti-nyamuk hingga anti-terorisme." Juga mencakup hal-hal seperti regulasi mata uang, distribusi air dan pendidikan bagi para dokter. Pemerintah Israel akan sangat bodoh untuk membantu menghancurkan tetangga yang pantas dimiliki dan berperilaku baik demi sebuah kelompok yang terus-menerus bersikap keras kepala dan ekstrem.
Israel dan Yordania punya kepentingan yang sama. Karena nasionalisme Palestina yang radikal mengancam mereka berdua. Seperti Israel, Dinasti Hashemit pun memperoleh keuntungan dari apa pun yang mengurangi intensitas konflik Arab-Israel. Jadi, terlepas dari soal seberapa besar masalah yang ditimbulkan oleh tantangan PLO bagi Israel, solusinya tidak terletak pada pengorbanan monarki Yordania. Raja Hussein perlu dilindungi dari pemangsa utamanya. Bukan untuk diberi makan.
Akhirnya, perubahan rezim di Amman akan sangat merusak kepentingan Amerika. Yordania telah menyediakan pos terdepan yang relatif pro-Amerika yang tidak boleh ditinggalkan demi solusi sulap bagi konflik Arab-Israel. Yordania yang didominasi PLO akan menyakiti posisi Amerika di Timur Tengah pada saat yang sama sehingga meningkatkan posisi Soviet. Amerika Serikat tidak punya begitu banyak teman di kawasan itu sehingga hanya bisa membuang satu teman. Jika Yordania jatuh ke tangan PLO, maka apakah teman-teman Amerika yang tersisa di dunia Arab masih yakin dengan kemauan dan kebijaksanaan AS?
Meski Dinasti Hashemit tidak lama jatuh, ide Yordania-adalah-Palestina tetap akan berdampak merugikan. Menurut Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin, pemulihan hubungan antara Yordania dan Irak yang terjadi selama era 1980-an (dan memuncak pada dukungan Raja Hussein terhadap sikap Saddam Hussein atas Kuwait) "berasal dari ketakutan Amman terhadap pernyataan yang dibuat oleh lingkaran politik Israel. Rakyat Yordania takut bahwa Israel akan tegas menerapkan gagasan bahwa Yordania adalah negara Palestina." Jika ide ini separuh benar sekalipun, maka ia memperlihatkan harga yang dibayar Israel untuk retorika Yordania-adalah-Palestina.
Gagasan Yordania-adalah-Palestina tidak hanya salah secara historis, dangkal secara hukum, bodoh secara geografis dan secara politik memaksakan keseragaman dan kepatuhan tanpa mempedulikan keragamannya yang alamiah ( procrustean), tetapi implementasinya pun akan sangat berbahaya. Dukungan terhadap gagasan ini dari orang-orang yang benar-benar peduli terhadap keamanan Israel, juga yang ingin menciptakan konflik tidak terlalu sulit diatasi. Caranya, dengan memperluas cakupan wilayah solusinya. Meskipun demikian, dia tidak bisa mengurangi bahaya yang ditimbulkannya. Seberapa besar bodohnya ide Yordania-adalah-Palestina mulai terlihat ketika orang menggabungkan momok dari Israel yang terisolasi, yang terpecah secara internal dan melemah dengan Bangsa Filastin radikal yang didukung Soviet di tepi timur. Di sinilah jalan Yordania-adalah-Palestina mengarah. Dan itulah arah yang tidak boleh dilewati Israel.
Saat yang Sulit
Sangat sulit bagi Bangsa Israel untuk tidak memilih konsep Yordania-adalah-Palestina sekarang. Tepatnya ketika cara alternatif untuk berurusan dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza juga memudar. Rencana otonomi yang dirancangkan oleh Perjanjian Camp David telah dianggap usang akibat terjadinya pemberontakan Bangsa Arab. Sementara itu, opsi Yordania (di mana Yordania kembali ke Tepi Barat) hilang, ditolak oleh Raja Hussein.
Dengan hilangnya solusi yang lebih bahagia ini, Israel tampaknya hanya dihadapkan pada dua alternatif kejam yang mengerikan. Mencaplok Tepi Barat dan Gaza atau menyerahkannya kepada PLO. Dan masing-masing solusi ini lebih mengerikan daripada yang terlihat pertama. Pencaplokan wilayah bagaimanapun berdampak pada terjadinya krisis demografis di Israel. Atau terjadinya pemindahan penduduk secara paksa. Pada pihak lain, memberdayakan PLO berarti menobatkan sebuah negara yang bermusuhan sangat keras di perbatasan Israel. Yang pertama berarti memunculkan bencana bagi kehidupan internal Israel. Yang kedua memunculkan ancaman eksternal yang sama sekali baru. Dengan demikian, dapat dimaklumi bahwa mayoritas orang Israel menganggap kedua rute ini tidak dapat diterima.
Konsep ini pun buntu. Semakin membuat frustrasi warga Yahudi Amerika dan Foreign Service Officers (Pegawai Layanan Luar Negeri) khususnya yang merasa Israel harus melakukan sesuatu. Tetapi haruskah? Betapapun tidak memuaskannya, berada dalam kondisi statis mungkin yang terbaik saat ini. Tindakan yang dilakukan demi kepentingan itu sendiri tidak ada gunanya. Yang terbaik yang mungkin dapat dilakukan adalah bertahan sambil melihat apa yang akan dihasilkan oleh perjuangan yang mudah berubah-ubah ini selanjutnya. Lebih jauh lagi, berdiri diam tidak perlu terjadi dalam ruang hampa politik. Saatnya sekarang menyerukan supaya prinsip-prinsip pertama ditegaskan lagi. Upaya untuk mencari lawan bicara dari pihak warga Arab yang sudah dimulai lebih dari dua puluh tahun lalu, ketika Moshe Dayan mengumumkan bahwa dia menunggu panggilan telepon, harus dilanjutkan. Panggilan akhirnya memang datang dari Mesir dan Lebanon. Bahkan dari Yordania. Tetapi tidak pernah dari Palestina. Sampai rakyat Palestina benar-benar menyerukan itu, Israel perlu tetap waspada terhadap mereka yang akan menghancurkan negara mereka. Selanjutnya, mereka perlu mendukung upaya serupa monarki Yordania untuk menangkis para ekstremis.
Berbagai kalangan yang mendambakan penyelesaian seharusnya meminta Palestina berubah arah. Bukan Israel. Jika perubahan tidak terjadi maka prospek untuk memperbesar kegembiraan masa kini pun tidak akan terjadi. Kemungkinan untuk menyelesaikan persoalan pun akan terlihat suram. Dan tindakan tergesa-gesa bahkan lebih buruk.
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Jordania, Palestina
Artikel Terkait:
- Updates on the Jordan-Is-Palestine Thesis
- Solving the "Palestinian Problem" [with the No-State Solution]
- President Arafat? [and the Jordan-Is-Palestine Issue]
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.