Dari semua buku yang tidak bisa ditulis oleh siapa pun, buku tentang bangsa dan kharakter bangsa yang paling mustahil dituliskan.
- Jacques Barzun, 1943[1]
Layaknya lukisan impresionis, kharakter bangsa mengemuka ketika tubuh orang sebangsa dilihat dari jarak yang tepat.
- Don Martindale, 1967[2]
Orang-orang pintar di antara kaum intelektual masa kini meremehkan gagasan dasar bahwa ada sesuatu yang namanya "kharakter nasional".
- Thomas Sowell, 2009[3]
Stereotip tentang kharakter nasional, sebuah generalisasi tentang kualitas abadi sebuah kelompok etnis, mungkin tampak seperti obrolan kosong dalam sebuah pesta. Lebih sebagai pengamatan terhadap penjaga hotel penderita sakit kuning. Atau kesan para pelancong yang dangkal tentang sebuah persoalan. Tetapi stereotip jauh lebih banyak lagi. Memang, ada tradisi panjang yang mengesankan dari para politisi elit, intelektual, dan ilmuwan sosial yang memberikan pendapat mereka tentang topik ini.
Yang termasuk memberikan pendapat tentang topik ini adalah para pemimpin politik Amerika Serikat (Theodore Roosevelt)[4], Kerajaan Inggris (Stanley Baldwin, John Major, David Cameron),[5] Prancis (Georges Clemenceau), [6] Jerman (Otto von Bismarck, Adolf Hitler), [7] India (Narendra Modi), [8] Cina (Hu Jintao), [9] Indonesia (Joko Widodo),[10] juga Jepang (Tsutomu Hata).[11] Para tokoh intellektual seperti Theodor W. Adorno,[12] Walter Bagehot,[13] Lawrence Durrell,[14] David Hume,[15] T.E. Lawrence,[16] Theodor Mommsen,[17] Montesquieu,[18] John Ruskin,[19] dan Max Weber[20] juga pernah mendiskusikan persoalan kharakter nasional.
Para ilmuwan sosial mencurahkan banyak upaya yang luar biasa untuk meneliti, mensistematisasi kemudian membuat teori tentang topik kuno ini. Terutama para ilmuwan Amerika era Perang Dunia II. Sebuah bibliografi tentang "tulisan utama ilmuwan sosial dan sejarawan tentang budaya dan kepribadian, kharakter nasional dan kharakter Amerika" antara 1940 dan 1963, berikut anotasinya, mengisi 17 halaman buku. Bibliografi itu menampilkan banyak tokoh kenamaan. Ada Daniel Bell, Morroe Berger, Daniel J. Boorstin, Henry Steele Commager, Marcus Cunliffe, Merle Curti, Erich Fromm, Francis L.K. Hsu, Harold J. Laski, Max Lerner, Seymour Martin Lipset, Talcott Parsons, David Riesman, Walt W. Rostow, Arthur M. Schlesinger, Jr., Edward A. Shils, Melford Spiro, Thorstein Veblen, dan William H. Whyte, Jr.[21]
Upaya ilmiah bidang sosial abad pertengahan yang agung itu sebagian besar memang gagal. Meski demikian, ia harus diamati dari dekat supaya bisa menikmati klaim penuh warna istimewa sekaligus untuk belajar dari kesalahannya. Singkatnya, para sosiolog, antropolog, psikiater dan lain-lain yang terbawa oleh antusiasme bidang keahlian mereka membuat kesalahan mendasar karena mengabaikan perubahan dari waktu ke waktu, dengan kata lain, peran sejarah.
Pembicaraan tentang asal-usul kharakter nasional, biasanya negatif. Soalnya, bagi orang lain ia bisa saja dirujuk hingga jauh ke belakang. Hippocrates menghubungkan kualitas bela diri orang Eropa dengan iklim mereka. [22] Secara lebih luas, orang Yunani kuno mengembangkan konsep nomos, yang berarti konvensi, aturan, dan kebiasaan yang diterima begitu saja oleh manusia. Imam Mesir Manetho misalnya menjadi tokoh antisemit awal. Sementara itu, ketika berbicara tentang watak nasional, kaum muslim Abad Pertengahan berbicara tentang "seorang Turki pengecut, seorang Arab yang tamak, seorang Persia yang tidak beradab, atau seorang Negro yang mudah tersinggung."[23]
Mengingat kemajuan mencolok mereka atas dunia yang lainnya sejak sekitar 1700, Bangsa Eropa dan keturunan mereka memperhitungkan keberhasilan mereka sendiri dengan mengajukan penjelasan campur aduk yang memuaskan diri sendiri. Penjelasan itu mencakup superioritas ras Kaukasus, geografi dan iklim Eropa, warisan Yunani – Romawi agama Kristen dan nasionalisme. Pada 1742, misalnya, filsuf David Hume secara keras dan otoritatif melampiaskan pemikirannya dengan mengatakan, "Saya cenderung mencurigai Orang Negro secara alamiah lebih rendah daripada Orang Kulit Putih. ... orang kulit putih paling kasar dan biadab sekalipun... masih punya sesuatu yang menonjol dari mereka." [24] Seiring dengan berjalannya waktu, gagasan biasa ini berkembang menjadi teori-teori ambisius tentang kharakter bangsa dalam buku-buku tebal terpelajar. Richard Chenevix (1774-1830), seorang ilmuwan terkemuka, misalnya, menulis Essay on National Character dalam dua jilid. Dalam kedua buku itu, ia menghabiskan 1.121 halaman bukunya untuk menetapkan konsep bahwa Bangsa Inggris membangga-banggakan "peradabannya sebagai paling unggul" di dunia sementara Bangsa Prancis menjadi "bangsa yang mempertahankan sikapnya yang paling ganas."[25]
Leher patung David Hume di Edinburgh digantung secara memalukan pada September 2020 berikut kutipan pernyataannya pada 1742, "Saya cenderung mencurigai orang Negro secara alami lebih rendah daripada orang kulit putih." |
Seiring dengan berkembangnya disiplin ilmu sosiologi, antropologi dan psikologi, berkembang pula perdebatan besar seputar masalah karakteristik eksternal (soal iklim, geografi, jenis pemerintahan, dll.) versus soal keturunan. Yang pertama, opini yang tidak banyak didukung justru memperoleh dukungan dari sejarawan William Dalton Babington yang menegaskan bahwa "tidak ada teori leluhur tentang kharakter nasional yang benar "[26] Atau Sidney Gulick, seorang profesor teologi Amerika yang berdiam di Jepang, berpendapat bahwa "sebagian besar kharakteristik nasional yang lebih menonjol merupakan hasil dari kondisi sosial khusus, bukan kharakter nasional yang melekat."[27]
Tetapi sebagian besar sarjana mempertahankan ide lama tentang "darah" dan ciri-ciri ras sambil menambahkan analisis semu baru yang kaku-ketat (new pseudo-rigor) atas teori-teori tersebut. Dalam bukunya The Group Mind yang sangat berpengaruh, psikolog kenamaan Universitas Harvard, William McDougall, pada 1920 berpendapat bahwa ras "sangat penting dalam menentukan kharakter nasional." Ia juga menemukan bahwa "tidak diragukan lagi bahwa ada perbedaan besar antara ras. Dan bahwa perbedaan ini mungkin dalam banyak kasus, terus ada selama ribuan generasi." Secara khusus, ia memusatkan perhatian pada ukuran otak manusia kemudian membuat generalisasi seperti menganggapnya berasal dari ras negro "persoalan mental tertentu yang aneh... terutama mental suka bersenang-senang tidak mau susah, kekerasan emosional yang tak terkendali dan responsif."[28] Dalam sebuah penelitian pada 1893 tentang National Life and Character [29] sejarawan Charles Pearson mengandalkan kharakter nasional untuk memprediksi perang ras di mana "ras yang lebih rendah akan mendominasi" "ras yang lebih tinggi."[30]. Presiden masa datang AS, Theodore Roosevelt karena itu menyebut buku itu sebagai "salah satu buku paling terkenal abad ini.
Salah satu tes tinta Rorschach yang asli. |
Para antropolog pun terjun ke lapangan hendak membuktikan berbagai teori. Setelah memberikan tes tinta Rorschach kepada sejumlah "orang desa sederhana" di Maroko barat, Manfred Bleuler dan rekan penulisnya, misalnya, melompat kepada kesimpulan bahwa orang Maroko tidak punya "kecenderungan untuk membuat generalisasi abstrak" seperti yang dimiliki Bangsa Eropa, sehingga mudah terombang-ambing oleh "antusiasme nyata akibat pengaruh peristiwa-peristiwa yang sesaat." Juga bahwa "orang Maroko tidak berusaha secara sistematis, penuh semangat yang gigih untuk mengejar kesuksesan lahiriah" yang menjadi ciri bangsa Eropa. [31]
Dalam kasus khusus Jepang, penjelasan soal ras mampu menjelaskan keterbelakangan sekaligus pencapaian mereka. Johannes Justus Rein, seorang profesor geografi Jerman, menilai orang Jepang sebagai "ras anak-anak, yang tidak berbahaya, mudah percaya orang, gembira dan pada segala usia cenderung menyukai permainan yang kekanak-kanakan, mudah tertarik pada apapun yang baru bahkan pada titik tertentu antusias. Tetapi ketika hanya setengah-setengah mengetahuinya, mereka pun cepat bosan dengan semuanya itu."[32] Ide-ide Barat semacam itu juga meyakinkan beberapa orang Jepang. Seorang profesor filsafat terkemuka, Tetsujiro Inoue, misalnya, setelah meneliti bentuk kepala manusia mengatakan bahwa otak Bangsa Barat itu lebih berkembang. Karena itu, pada 1889 ia menulis bahwa "Bangsa Jepang sangat rendah dibanding dengan orang Barat dalam hal kecerdasan, kemampuan finansial, fisik dan yang lainnya."[33]
Tetapi ras dan kharakter nasional juga menyumbangkan kualitas positif masyarakat Jepang. Seorang kapten dan penulis Inggris menemukan bahwa Bangsa Jepang pada 1859 merupakan "ras yang sangat luar biasa" sehingga memaklumkan bahwa "mustahil untuk tidak mengenali aliran darah Semitis (Semitic stock) dalam warna, fitur, pakaian dan adat istiadat mereka, dari mana mereka seharusnya berasal." Ia pun lantas membuat kesimpulan dengan memprediksi kesuksesan masa depan mereka.[34] Pada 1905, Gulick mengklaim bahwa Jepang membuktikan bahwa "teori fisiologis kharakter nasional tidak memadai." Buktinya? "Seandainya orang Oriental pasti tidak berubah sebagai orang Oriental, maka tidak mungkin Jepang begitu dekat dan punya sentuhan simpatik dengan Bangsa Barat." Selanjutnya, dia memprediksi bahwa "Bangsa Jepang punya masa depan cemerlang ke depan, karena ... kharakter nasionalnya."[35] Sosiolog Thorstein Veblen pada 1915 menulis bahwa Jepang melakukannya dengan sangat baik berkat "paralelisme komposisi rasnya [dengan orang Barat] ]."[36] Sekali lagi, apresiasi ini berdampak pada Jepang. Pada 1909, seorang pakar berbagai bidang ilmu (polymath) Inazō Nitobe menulis bahwa "dalam kemampuan reseptif ras Jepang, pasti ada sesuatu yang membuatnya mirip dengan ras Eropa. Apakah itu karena darah Arya yang mungkin diwariskan kepada kita melalui para penganut Hindu, seperti ... dibuktikan dengan bukti kronologisnya?" [37]
Para cendekiawan romantik dan nasionalis Jerman karena itu meneliti Volksgeist (semangat nasional) mereka sendiri dan milik bangsa lain secara sistematis dengan harapan bisa membuat semacam ilmu pasti yang mampu membedakan atribut unik sebuah bangsa. Tokoh-tokoh terkemuka dalam upaya ini termasuk para tokoh seperti Johann Gottfried von Herder (1744-1803), Alexander von Humboldt (1769-1859) dan beberapa pendiri psikologi rakyat (Völkerpsychologie), Heymann Steinthal (1823 99) dan Moritz Lazarus ( 1824-1903). Seiring waktu, para cendekiawan Jerman mempromosikan gagasan bangsa secara keseluruhan yang terikat secara mistis melalui warisan rasial bersama. Wilhelm Wundt, pendiri Ilmu Psikologi, menulis sebuah buku di tengah Perang Dunia I dan mengatakan bahwa masa perang memunculkan kharakter nasional yang lebih jelas dibanding dengan pada masa damai.[38]
Terinspirasi oleh ideologi Nazi, ilmuwan sosial Jerman melanjutkannya dengan mengembangkan sebuah ilmu semu yang luas berdasarkan karakteristik rasial. Untuk itu, psikolog terkemuka Erich R. Jaensch menggunakan prestise, kekuatan dan hasil penelitiannya tentang visi dan memori untuk menyusun tipe bio-psikologis dan dasar ilmiah inferioritas rasial Yahudi, [39] sehingga disukai Hitler. Rezim Nazi, antropolog Margaret Mead mencatat, bahkan melakukan "upaya sistematis untuk mengubah kharakter nasional [Jerman]."[40] Jerman berupaya mengilhami gagasan kharakter nasional yang dalam kata-kata sosiolog Austria Frederick Hertz, dengan "memberinya arti penting baru yang jahat." [41]
Perang Dunia II – Berbagai Kajian
John Stuart Mill (1806-73). |
Semenjak 1872, filsuf liberal kenamaan John Stuart Mill meyakini bahwa "hukum kharakter nasional (atau kolektif) sejauh ini merupakan sebuah kelompok hukum sosiologis yang terpenting." Dia lalu mendesak supaya sebuah disiplin ilmu dikembangkan. Ia menjulukinya "Etologi politik. Atau Ilmu Kharakter Nasional." [42] Tetapi hingga Perang Dunia II meletus dia tidak mengupayakan pengembangan disiplin ilmu baru itu. Orang-orang lain pun tidak. Perang bagaimanapun mendorong terjadinya tiga perubahan penting di antara para ilmuwan sosial negara-negara mayoritas berbahasa Inggris (Anglophone ): mereka sepakat bahwa "masalah kharakter nasional adalah kepentingan mendasar, kini dan pada masa depan." [43] Mereka meninggalkan pendekatan rasial demi memusatkan perhatian pada kepribadian dan pengasuhan anak; dan mereka berusaha menerapkan wawasan kharakter nasional ke dalam kebijakan publik.
Tujuan mereka tinggi terkait dengan soal pengaruh. Jurnal Inggris Nature menjelaskan dalam editorial tahun 1941:
Bagi para negarawan yang harus menangani isu-isu kebijakan masa depan yang luas, ciri-ciri kharakter nasional yang langgeng berikut tren perkembangannya menjadi persoalan yang sama-sama penting. Bisa saja ilmu-ilmu sosial memiliki beberapa tugas yang lebih penting dibandingkan dengan memberikan kontribusi terhadap pemahaman penuh tentang kharakter, suasana hati dan kepentingan umum negara-negara yang terlibat perang yang sedang berlangsung, dan karena itu, tatanan internasional harus dibangun kembali. [44]
Selain itu, cendekiawan negara-negara Sekutu berusaha memahami populasi mereka sendiri, supaya bisa menjangkau teman mereka di wilayah musuh dan meningkatkan hubungan dengan sekutu, sekaligus memberikan pedoman untuk pasukan pendudukan. Seorang penulis dalam Majalah Science News bahkan berharap berbagai kajian tentang kharakter nasional dapat menghindari "kesalahpahaman dan salah tafsir yang mungkin mengarah pada perang."[46]
Memperhatikan tawaran bantuan ini, Pemerintah AS lalu meminta jasa para akademisi terkemuka untuk menafsirkan (kharakter nasional) negara-negara Poros. Terutama Jepang. Kantor Informasi Perang (The Office of War Information) lembaga-lembaga Pemerintah AS lain lalu mulai mengundang para antropolog dan psikolog terkemuka untuk ikut terlibat. Pertanyaan mereka, seperti dilaporkan oleh antropolog Ruth Benedict, meliputi:
Apakah mungkin Jepang menyerah kalah perang tanpa ada invasi? Haruskah kita mengebom Istana Kaisar? Apa yang bisa kita harapkan dari tawanan perang Jepang? Apa yang harus kita katakan dalam propaganda kita kepada pasukan Jepang dan tanah air Jepang sehingga dapat menyelamatkan nyawa masyarakat Amerika dan mengurangi tekad Jepang untuk berperang sampai titik darah penghabisan? ... Ketika perdamaian tercapai, apakah masyarakat Jepang itu adalah orang-orang yang membutuhkan undang-undang darurat militer yang terus-menerus supaya mereka bisa tertib? Akankah tentara kita harus bersiap melawan musuh nekad di setiap benteng pegunungan Jepang? Apakah harus ada revolusi di Jepang setelah Revolusi Prancis atau Revolusi Rusia sebelum perdamaian internasional dimungkinkan? Siapa yang akan memimpinnya? Apakah alternatifnya adalah memberantas Bangsa Jepang?[47]
Yang pantas dicatat adalah usaha yang dijuluki "pekerjaan lapangan dari jarak jauh" di negara-negara yang tidak dapat dimasuki oleh para peneliti. Para antropolog, yang penelitiannya biasanya memusatkan perhatian pada masyarakat skala kecil, lalu beralih menekankan soal ciri kehidupan sosial. Terutama soal ikatan kekerabatan, hubungan keluarga dan kepercayaan komunal. Para psikolog lantas sangat menekankan konsep kepribadian ala Freudian, praktik pengasuhan masa kanak-kanak dan seksualitas. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa masyarakat Burma, Jerman, Jepang, Rumania dan Thailand sangat berbeda dari masyarakat kecil Pasifik Selatan atau Afrika yang mereka pelajari (sehingga para antropolog ini pun berhati-hati membuat generalisasi), namun orientasi profesional tertentu mereka tetap saja terbawa.
Geoffrey Gorer (1905-85). |
Studi-studi oleh Geoffrey Gorer, Weston La Barre, dan Ruth Benedict menonjol. Semuanya berkaitan dengan Jepang. Analisis terobosan Gorer yang dilakukannya pada Maret 1942[48] meninjau tiga aspek pengasuhan anak di Jepang kemudian menarik kesimpulan yang luas tentang politik dan militer negara itu.
Pertama, dia meyakini bahwa "latihan menggunakan toilet yang drastis" merupakan dasar sistem nilai masyarakat Jepang. Sistem ini menjelaskan mengapa masyarakat Jepang tidak punya kesadaran moral mutlak sehingga kurang peduli dengan soal benar dan salah dibandingkan dengan melakukan hal yang benar pada waktu yang tepat. Ia juga menjelaskan "perbedaan mencolok antara sikap lembut yang meresapi seluruh hidup masyarakat Jepang di Jepang ... dan kebrutalan dan sadisme orang Jepang yang mengerikan dalam perang." Ini menyebabkan masyarakat Jepang asyik dengan urusan ritual, mendorong lahirnya sikap untuk memaksa orang lain bahkan neurosis. Pada gilirannya, masalah ini menjelaskan sifat masyarakat Jepang yang tak seimbang. Dan, karena obsesi berdampak pada terjadinya agresi, masyarakat Jepang adakalanya perlu melampiaskan dorongan berbahaya mereka melalui petualangan-petualang yang aneh.
Kedua, Gorer meyakini bahwa anak laki-laki Jepang tunduk kepada ayah mereka tetapi mendominasi ibu mereka. Ingatan ini menyebabkan penguasa Jepang melihat negara lain sebagai persoalan maskulin atau feminin. Yang pertama (baca: maskulin) mereka hormati, yang terakhir mereka hina. Dengan pernyataan itu, Gorer sebenarnya membandingkan serangan brutal Jepang atas Manila (Filipina) dengan "anak laki-laki pemarah" yang ingin "menghancurkan tatanan rambut ibunya kemudian mematahkan jepitan rambut ibunya yang mahal."
Ketiga, dia memikirkan betapa pentingnya kebiasaan masyarakat Jepang yang tidak masuk akal untuk mengejek anak-anak supaya berperilaku baik. Kebiasaan ini menyebabkan masyarakat Jepang merasa terancam hidupnya "kecuali jika seluruh lingkungan dipahami dan sejauh memungkinkan dikendalikan." Dari sini, ia sekedar sebuah lompatan pendek menuju dominasi dunia. "Bangsa Jepang tidak akan pernah bisa merasa aman kecuali, seperti pernah diusulkan oleh beberapa pembicara militer mereka yang lebih bombastis, Mikado (baca: Kaisar Jepang) menguasai seluruh bumi."
Lompatan berpikir Gorer yang menakjubkan dari anak menjadi dewasa dan dari rumah hingga ranah politik mengilhami banyak kepustakaan.
La Barre menemukan bahwa "sikap keras atau kejam" yang diterapkan dalam melatih anak-anak menggunakan toilet menyebabkan masyarakat Jepang menjadi " orang yang mungkin paling kompulsif di museum etnologi dunia." Memang, seluruh kepribadian masyarakat Jepang "dibentuk oleh perjuangan untuk melawan dan bereaksi" terhadap tuntutan latihan yang menyertai "pengkondisian lingkaran otot pengunci tubuh yang diwarnai secara budaya." Secara khusus, tekanan untuk menjaga "wajah" membuat masyarakat Jepang terlibat agresi secara sembunyi-sembunyi. Ini mungkin menjelaskan perilaku masyarakat Jepang dalam Perang Pearl Harbor. Hubungan antara jenis kelamin juga berpengaruh langsung pada politik internasional, karena "dominasi sikap brutal yang terus-menerus yang mudah dilakukan laki-laki atas perempuan di Jepang, seperti di Jerman, berpengaruh langsung terhadap sikap mereka terhadap bangsa yang lebih lemah dan karena itu 'inferior'." La Barre bahkan berpendapat bahwa "masyarakat Amerika berutang kepada masyarakat Jepang untuk memodifikasi sistem sosial masyarakat Jepang dengan tujuannya yang menyeluruh secara sangat drastis dan pasti." [49]
Sampul buku Ruth Benedict bertajuk The Chrysanthemum and the Sword (1946). |
Benedict mengubah tekanan Gorer dan La Barre pada praktik pengasuhan anak dan teori erotis anal ala Freud agar tidak terlampau ekstrim dalam bukunya tentang kajian lapangan jarak jauh yang sangat mengesankan dan abadi. Judulnya, Chrysanthemum and the Sword. Di dalam buku itu ia mengungkapkan kharakter masyarakat Jepang yang terbentuk dari latihan menggunakan toilet yang ketat dan budaya malu sehingga menciptakan sebuah bangsa dengan individu yang sangat terobsesi untuk bersih, sopan dan patuh. Namun, dia juga melihat hubungan antara keluarga dan negara yang siap dimanfaatkan. Sikap hormat terhadap ayah, misalnya, "menjadi pola di seluruh masyarakat Jepang."[50]
Perang Dunia II – Rekomendasi Kebijakan
Analisis-analisis ini menyentuh nada yang responsif yang (secara kasar) disebarluaskan. Sebuah laporan yang disiapkan pada 1944 untuk Jenderal Douglas MacArthur meyakini bahwa kecilnya ukuran fisik masyarakat Jepang menjelaskan mengapa mereka menjadi agresi: "Dalam setiap arti kata, masyarakat Jepang adalah orang-orang yang berbadan kecil. Beberapa pengamat mengklaim Perang Pearl Harbor tak bakal terjadi seandainya masyarakat Jepang itu tiga inci (sekitar 7, 62 Cm) lebih tinggi." [51] MacArthur sendiri menggambarkan mentalitas nasional masyarakat Jepang sebagai "seperti orang berusia dua belas tahun" [52] sehingga memprokmasikan tujuannya di Jepang sebagai "upaya pembentukan kembali kharakter nasional dan individu masyarakat Jepang."[53]
Ada satu pengecualian yang memperlihatkan bahwa rekomendasi kebijakan yang lahir dari analisis ini ternyata buruk. Ketika para ahli kharakter nasional secara khusus memprediksikan bahwa Jepang dan Jerman harus mengalami perubahan mendalam sebelum mereka dapat menyerap cara-cara demokratis pasca-Perang Dunia II berakhir. Pada 1946, antropolog Douglas G. Haring menulis tentang Jepang. Dikatakannya bahwa demokrasi "tidak dapat diciptakan oleh otorisasi resmi antarorang-orang yang perasaan terdalamnya bertentangan dengan tradisi demokrasi. Hanya dengan mengubah pola pengalaman sosial masa kanak-kanak, masyarakat dapat menjalani reformasi yang permanen, baik menuju demokrasi atau menuju otokrasi."[54]] Sayangnya bagi Haring, saat dia menulis kalimat-kalimat itu, MacArthur berhasil memaksakan demokrasi di Jepang dengan otorisasi resmi – dan tanpa campur tangan dalam praktik pengasuhan anak di negara itu.
Jurnal Inggris Nature menarik kesimpulan bernada pesimistis tentang Jerman. Dalam sebuah tajuk rencananya pada 1941, majalah itu menulis bahwa karena "tidak banyak generasi anak-anak [Jerman] yang tumbuh selama periode ketika cita-cita kerjasama demokratis yang popular diterima di antara populasi orang dewasa," maka Jerman pasca-perang tidak mungkin berubah dari rasa ngeri masa perangnya.[55]] Morris Ginsberg sependapat dengan pemikiran tersebut. Dia, pada 1942, menulis bahwa
kebutuhan akan otoritas berakar kuat dalam kehidupan Jerman dan bahwa hubungan inferior dan superior meresapi semua bidang aktivitas mereka. Oleh karena itu, periode pendidikan yang berkepanjangan dalam bentuk-bentuk organisasi lain akan diperlukan sebelum orang Jerman dituntun untuk meninggalkan bentuk-bentuk tatanan yang bertumpu pada otoritas dan subordinasi hierarkis.[56]
Diagnosis Richard Brickner pada 1943 tentang kharakter nasional Jerman membuatnya meresepkan perlunya melakukan tindakan kejam di Jeman pascaperang. Seperti misalnya mengizinkan pasangan menikah dengan syarat mereka setuju pemerintah yang membesarkan anak-anak mereka. [57] Setelah perang usai dan Pemerintahan Militer Amerika dimulai, Bertram Schaffner, setelah terlibat dalam Pengadilan Nuremberg dan bekerja untuk melakukan denazifikasi, khawatir bahwa bahkan orang-orang Jerman anti-Nazi pun "tidak menyadari faktor-faktor mendasar dalam kehidupan pribadi dan keluarga Jerman sehingga membuat mereka segera bergerak menjadi bersifat otoritarianisme, intoleran, tidak percaya, agresi berikut memiliki perilaku nasional yang kaku." Dia menganjurkan supaya dilakukan pendudukan yang panjang dan menyerukan tidak hanya reformasi ideologis dan kelembagaan tetapi dengan merombak "hubungan antarpribadi dan kehidupan keluarga."[58]
Namun kenyataannya, masyarakat Jerman tidak membutuhkan "masa pendidikan yang panjang" atau anak-anak mereka diasuh oleh pemerintah sebelum mereka menjadi demokratis. Pemilihan Bundestag berhasil berlangsung hanya empat tahun setelah rezim Nazi runtuh.
Para ilmuwan sosial memang membuat rekomendasi kebijakan berbasis kharakter bangsa yang ternyata berhasil baik. Seperti dijelaskan oleh John Dower, berbagai rekomendasi itu meminta Sekutu untuk "menahan diri untuk tidak menyerang kaisar dan institusi kekaisaran, simbol yang sempurna" dalam budaya Jepang. Bahkan di sini, bagaimanapun, Dower menemukan bahwa argumen akademisi "punya dampak yang dapat diabaikan ketika merumuskan kebijakan perang Sekutu," bukan meremehkan pentingnya.[59] Singkatnya, pegawai pemerintah yang keras kepala membuat keputusan yang baik, sama sekali tidak terpengaruh oleh analisis yang salah dari para ilmuwan sosial.
Pasca-Perang Dunia II – Kritik
Awalnya, bahkan para pengkritik analisis Gorer-La Barre-Benedict sekalipun cenderung menerima pendekatan umum mereka. Antropolog John F. Embree misalnya mendiskusikan hal-hal sepele yang terkait dengan rincian analisis [60]. Sementara itu, Psikolog Fred N. Kerlinger mengkritik mereka tanpa henti (mengatakan, analisis itu "tidak dapat dipertahankan", "salah dan bias serius"). Tetapi diakuinya, dia menemukan "ada banyak hal baik dalam pekerjaan mereka."[61] Akibatnya, belakangan segera sesuai perang berakhir, bagaimanapun, berkurangnya kajian tentang era Perang Dunia II didiskreditkan, ditolak dan kadang diejek. Clyde Kluckhohn malah menyebutkan berbagai kajian itu sebagai "interpretasi Sejarah Tisu WC (Scott Tissue) [62].
Embree mencatat pada 1945 bahwa masyarakat Jepang secara kasar menggunakan teknik pelatihan menggunakan toilet yang kurang lebih sama selama dua abad masa damai negeri itu. [63] Hamilton Fyfe, seorang antisemit dan simpatisan Komunis, menulis sebuah buku pada 1946 untuk membuktikan bahwa "kharakter nasional itu ilusi, dan salah satu yang sangat merugikan di dunia."[64] Haring menulis pada 1947 bahwa "'kharakter nasional' menyediakan tempat berburu yang menyenangkan bagi kaum sentimentalis, penghasut dan kolektor barang antik. Penyelidikan ilmiah sudah terlambat."[65] Sebuah jurnal Jepang karena itu, menerbitkan lima artikel pada 1949 tentang "Berbagai Persoalan yang Diangkat oleh Buku The Chrysanthemum and the Sword."
Tahun 1951 menyaksikan terjadinya ledakan kritik. Bertram Wolfe, seorang spesialis tentang Rusia, mengejek berbagai tesis tentang pengasuhan bayi. Katanya, "dalam waktu yang lebih singkat daripada ketika kalian mampu membuka bedong bayi atau mengganti popoknya, mereka sudah memberi tahu MacArthur (baca: Jenderal MacArthur) cara mengelola Jepang, memberi tahu Truman (baca: Presiden Amerika Serikat) bagaimana cara menghadapi Rusia dan [administrator John Jerman yang diduduki negara-negara Sekutu]. Memberi tahu McCloy bagaimana menangani semua masalah pemikiran dan institusi Jerman." [66] Psikolog Maurice Farber menolak upaya masa perang sebagai "dihasilkan oleh sebuah metodologi impresionistik, yang pada dasarnya serampangan."[67] Antropolog Ralph Linton menemukan bahwa "berbagai kajian terbaru tidak lebih atau tidak kurang dari upaya untuk mengklaim akurasi ilmiah dibandingkan dengan tulisan-tulisan Tocqueville atau Charles Dickens"[68]. Sementara itu, Haring menemukan tesis-tesis itu "mendekati hal-hal yang fantastis."[69] Sosiolog Morroe Berger dengan demikian, memperingatkan bahwa "para antropolog, sosiolog dan psikolog ... harus belajar untuk menghindari analogi yang mudah antara perilaku individu dan nasional."[70]
Dua tahun kemudian, antropolog David Mandelbaum mengatakan bahwa kajian tentang kharakter nasional "masih berada dalam tahap awal dan mungkin saja masih meraba-raba."[71] Sejarawan David Potter lantas mengamati pada 1954 bahwa "konsep [kharakter nasional] berada di bawah awan gemawan yang serius, jika tidak dikatakan sepenuhnya didiskreditkan."[72] Bayangan tentang ngerinya upaya Nazi semakin mendiskreditkan gagasan kharakter nasional, mendorong jurnalis Milton Mayer untuk pada 1955 mencatat dalam sebuah bukunya yang berpengaruh bahwa "ada hal yang namanya kharakter nasional dan bahkan para anggota Nazi sekalipun mengatakan ada."[73] Persoalan memburuk pada 1960-an, ketika hampir tidak ada perempuan, kaum kulit hitam dan minoritas lain dari diskusi tentang kharakter nasional menyinggung banyak orang. Karena itu, E. Adamson Hoebel mengamati pada 1967 bahwa kharakter nasional "kehilangan cita rasanya" bagi para antropolog, yang sebagian besar menganggapnya sebagai "bidang rusak yang tidak menjanjikan."[74]
Pakar lain menganggap konsep itu benar-benar tidak berguna. Pakar tentang Jepang Ezra F. Vogel pada 1979 merasa perlu untuk menolak pendekatan kharakter nasional untuk menjelaskan Jepang: "Keberhasilan Jepang tidak banyak berkaitan dengan ciri-ciri kharakter tradisional (traditional character traits) daripada dengan struktur organisasi tertentu, program kebijakan, dan perencanaan yang sadar."[75] Dalam 1980, antropolog Peter T. Suzuki [76] membedah isi metodologis La Barre yang jelek dan kesimpulannya yang dangkal dalam studinya pada 1945 tentang kharakter nasional Jepang yang dilakukannya di kamp interniran Utah. [77] Pada tahun yang sama, sejarawan Richard Minear membuat generalisasi bahwa "pernyataan tentang kharakter nasional [itu] berbahaya secara intrinsik."[78] Dalam sebuah buku tentang kharakter nasional, psikolog Dean Peabody menulis tentang topik ini bahwa "jarang dalam sejarah intelektual ada begitu banyak argumen yang keliru yang berbasis pada begitu sedikit bukti yang relevan."[79] Psikolog sosial Hiroshi Minami pada 1988 mengkritik Benedict karena menulis buku yang "terlalu statis dan ahistoris untuk menggambarkan dinamika nyata psikologi sosial Jepang."[80]
Dalam sebuah buku terbitan 2001 tentang kharakter nasional Amerika, analis pengikut Jung (Jungian) Michael Gellert mengakui bahwa "gagasan kharakter nasional adalah salah satu gagasan yang paling kabur dan paling misterius dalam sejarah."[81] Pada 2006, Robert R. McCrae dan Antonio Terracciano mengulas profil kepribadian orang di 51 negara. Mereka menyimpulkan bahwa "persepsi tentang kharakter nasional adalah stereotip yang tidak berdasar."[82] Entri "kharakter nasional" dalam Psychology Dictionary terbitan 2013 mendefinisikan kharakter nasional sebagai "pertama-tama terdiri dari stereotip yang jarang akurat."[83] Pada 2016, Charles Hill dari Lembaga Kajian Hoover Institution meremehkan kajian tentang kharakter nasional. Ia mencatat bahwa kharakter nasional "pernah diakui sebagai unsur bahasan" tetapi sekarang, sebagai sebuah topik, yang "bersembunyi di suatu tempat antara persoalan yang tidak peka dan arogan yang tidak diizinkan."[84]
Pasca Perang Dunia II – Berbagai Kajian
Terlepas dari serangkaian kritik yang ada, "Kajian tentang kharakter nasional menjadi fitur utama sejarah intelektual pasca-Perang Dunia II. Ia menjadi sebuah proyek yang melibatkan semua cabang ilmu sosial; sejarah, psikologi, sosiologi, antropologi, ekonomi dan ilmu politik."[85] Pada 1951, Berger masih mengungkapkan harapannya untuk "pertumbuhan ilmu kharakter nasional yang hebat."[86] Antara 1945 dan 1955, para antropolog menerbitkan buku-buku tentang tema itu. Antara lain buku seputar kharakter nasional masyarakat Amerika,[87] Brasilia,[88] Cina,[89] Inggris, [90] Jerman,[91] dan Rusia.[92]
Karya-karya ini memenuhi berbagai tuntutan: untuk membedakan kharakter nasional dari stereotip nasional, [93] untuk menyusun kebijakan tentang pendudukan di Jerman dan Jepang dan untuk mengembangkan kebijakan dan strategi militer[94]. Psikoanalis terus membuat seluruh warga negara untuk siap bertindak. Henry V. Dicks karena itu pada 1950 menemukan bahwa orang Jeman itu punya hal yang khas. Mereka punya "struktur kharakter yang ambivalen dan kompulsif yang menekankan kepatuhan yang mau tunduk/atau kepatuhan yang dominan, dorongan kuat untuk melawan (counter-cathexis) tugas yang bajik, berkaitan dengan 'pengendalian' diri sendiri, terutama yang ditopang oleh simbol-simbol super-ego yang diproyeksikan ulang."[95] Hingga 1967, Akademi Ilmu Politik dan Sosial Amerika mendedikasikan satu edisi Majalah The Annals untuk "Karakter Nasional dalam Perspektif Ilmu Sosial." Edisi khusus itu diedit oleh sosiolog terkemuka Dan Martindale.
Akademi Ilmu Politik dan Sosial Amerika mendedikasikan satu edisi majalahnya Annals pada tahun 1967 untuk topik "Karakter Nasional dalam Perspektif Ilmu Sosial." |
Pada 1985, Peabody mensurvei berbagai opini seputar kharakter nasional di enam negara, baik ingroup maupun outgroup sebagai proses untuk menemukan kesepakatan mengesankan yang menyeluruh mengenai kharakteristik masing-masing negara. [96] Pada 1990, Harian The New York Times menerbitkan artikel bertajuk, "Why I Fear the Germans," (Mengapa Saya Takut kepada Orang Jerman) yang memperlihatkan agresi orangtua yang lebih besar terhadap anak-anak serta lebih banyak tindakan agresi ditemukan di antara anak-anak di Jerman dibandingkan dengan anak-anak di Denmark atau Italia. [97] Sosiolog Alex Inkeles kemudian pada 1990 mengumpulkan makalahnya, melakukan survei lapangan yang menekankan persoalan kharakter nasional masyarakat Jerman, Rusia, dan Amerika Serikat. Dia pun menyimpulkan bahwa masih banyak pekerjaan yang masih harus dilakukan. [98] Berbagai buku tentang kharakter nasional Amerika,[99] Cina,[100] Inggris,[101] India,[102] Eropa Timur[103] , termasuk soal perbandingan perkembangan kharakter nasional [104] beserta tingkat kecemasan, [105] muncul pada abad kedua puluh satu, meskipun cenderung lebih bersifat retrospektif daripada deskriptif.
Perdebatannya masih tetap hidup dengan minat yang kuat. JSTOR, sebuah perpustakaan digital dengan hampir 2.000 jurnal akademik dan beberapa bahan lainnya, mencantumkan lebih dari 42.000 artikel yang menyertakan istilah "kharakter nasional."[106] Entri kharakter nasional dalam International Encyclopedia of the Social Sciences sudah dibaca lebih dari 2,5 juta kali.[107] Google Ngram yang mendokumentasikan persentase buku yang menggunakan kata atau frasa itu di dalamnya menunjukkan rendahnya penggunaan istilah kharakter nasional sejak 1800 hingga 1925. Tetapi angka itu belakangan melonjak sepuluh kali lipat dan memuncak pada 1955-65, kemudian sedikit menurun pada masa-masa sesudahnya. [108]
Ngram Google mengukur seberapa sering sebuah kata atau istilah muncul setiap tahun dalam berbagai buku. Perhatikan peningkatan dramatis kata atau istilah itu seiring dengan Perang Dunia II dan hanya menurun secara wajar sejak saat itu. |
Pembahasan seputar kharakter nasional sekarang ini mempertahankan banyak hal yang spesifik dari berbagai penyelidikan sebelumnya. Memang sebagian besar teori fantastis menguap lenyap dan para intelektual yang menjulangnya namanya sudah lama mundur dari arena atau berhenti melakukan penyelidikan. Penyelidikan pun dengan demikian menyempit menjadi persoalan akademis yang masih menggemakan sapuan besar tradisi tersebut. Karena itu, ketika meninjau karya ""National Character School," atau Sekolah Berkarakter Nasional, antropolog Sujay Rao Mandavilli menyimpulkan bahwa karya itu meninggalkan "tanda yang tak terhapuskan" pada antropologi sosial dan budaya. [109]
Apa yang harus dilakukan dari eksperimen agung abad kedua puluh untuk mengubah persoalan kharakter nasional menjadi topik analisis yang objektif? Para cendekiawan yang brilian hadir dengan ide-ide orisinal yang menawan yang diungkapkan secara jelas. [110] Sayangnya, sebagian besar ilmuwan sosial mengabaikan dimensi penting: sejarah. Tidak adanya dimensi itu bergerak jauh sehingga malah merusak manfaat pekerjaan mereka.
Sederhananya, kharakter bangsa yang tidak berubah tidak mampu menjelaskan perubahan dari waktu ke waktu. Bahkan jika orang menerima teori pengasuhan anak di Jepang dan Rusia sekalipun, kharakter ini tidak dapat menjelaskan agresi rezim mereka pada saat tertentu. Dalam kata-kata Farber: "Tidak ada kunci menuju sejarah ... yang dapat dilengkapi dengan metode yang, pada intinya, anti-historis."[111] Ilmuwan sosial terlalu percaya diri mengabaikan aturan ini. Akibatnya, mereka berupaya menjelaskan perkembangan sejarah tanpa mengacu pada sejarah. Ada bentuk keyakinan diri berlebih mereka yang paling absurd. Yaitu ketika pengetahuan mereka seputar praktik latihan menggunakan toilet justru membuat mereka mengabaikan pemahaman mereka tentang sejarah Jepang sementara membedung bayi berarti mengabaikan evolusi Rusia. Berbagai struktur sosial dibangun untuk menggantikan semua kekuatan penyebab lainnya. Termasuk kepribadian individu, pertikaian birokrasi, ideologi politik, emosi keagamaan, dan kepentingan ekonomi.
"Seiring dengan gelombang tongkat sihir para antropolog," tulis Minear, "realitas sejarah menghilang sementara analisis psiko-budaya tetap ada." Dia kemudian melanjutkan pernyataannya dengan memusatkan perhatian pada upaya untuk memahami tindakan Jepang:
para peneliti masa perang adalah para antropolog. Bukan sejarawan. Namun dengan penuh percaya diri mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat sebagian besar sejarawan tersentak. ... sementara itu, para peneliti tentang kharakter nasional Jepang pada masa perang adalah sejarawan yang kurang memahami persoalan. Mereka tidak peka terhadap latar sejarah tempat mereka bekerja yang mereka coba abstraksikan kharakter nasionalnya. Apalagi kebanyakan dari mereka datang ke sana untuk melihat analisis mereka tentang kharakter nasional Jepang sebagai penjelasan atas sejarah Jepang. Sebuah jawaban atas pertanyaan seperti mengapa Jepang menginvasi Cina dan mengapa Jepang menyerang Amerika Serikat. ... mereka menyaksikan hubungan langsung antara kharakter nasional Jepang dan kebijakan luar negeri Jepang, sebuah pertautan yang membebaskan mereka dari segala kebutuhan untuk memeriksa latar sejarah aktual tahun l930-an.
Minear kemudian melanjutkan, dengan membuat referensi khusus terhadap buku karya Benedict bertajuk, Chrysanthemum and the Sword: "Bagaimana jika penyebab perang adalah persoalan kekaisaran atau ekonomi ketimbang persoalan budaya? Ini bukanlah kemungkinan yang secara serius dipertimbangkan oleh Benedict. Pada akhirnya, penjelasannya seputar sejarah masyarakat Jepang, isinya lebih menekankan persoalan historis. Dengan demikian ia menjadi penjelasan tentang kharakter sejarah. ... Analisis Benedict dengan demikian malah mengisolasi perilaku Jepang dari konteks sejarahnya."[112]
Gagasan tentang "ilmuwan sosial" menyiratkan kemungkinan untuk mengkaji persoalan umat manusia seperti halnya amuba atau asteroid. Serangan ilmiah yang singkat namun sangat mendalam dalam dunia kharakter nasional yang kelam memperlihatkan sangat terbatasnya metode ilmiah "yang tidak berbasis sejarah" [113] ketika diterapkan pada manusia. Seperti biasa, sejarah menyediakan pendekatan yang diperlukan. Dalam foemulasi Jacques Barzun: "bentuk yang diperlukan untuk menyampaikan penjelasan tentang suatu bangsa itu bersifat historis. Jadi, jangan dideskripsikan! Kisahkan apa yang terjadi, siapa yang ada di sana dan siapa mengatakan apa."[114]
Beberapa ilmuwan sosial memang mengaku salah. Sudah sejak 1944, psikolog Otto Klineberg dengan sedih mengakui bahwa kajian sejarah "merupakan prasyarat mutlak untuk memperoleh gambaran yang lengkap. Tanpa itu, kita akan membuat kesalahan demi kesalahan."[115] Pada 1953, antropolog Haring mengakui bahwa kharakter nasional masyarakat Jepang harus dilihat dari sudut perkembangan sejarah. Secara implisit dia dengan demikian, menarik kembali tulisan-tulisannya sebelumnya (terutama artikel tahun 1946, "Aspects of Personal Character in Japan").[116]
Apakah ilmuwan sosial pernah serius untuk kembali kepada topik ini. Mereka bisa melakukannya karena seperti dicatat oleh sosiolog Don Martindale, "Sebuah warisan gagasan beserta observasi tentang kharakter nasional tersedia" bagi mereka [117]. Mereka seharusnya belajar dari gagasan yang agung. Tetapi mereka gagal mempelajari kharakter nasional untuk menjadikan sejarah sebagai pusat penyelidikan mereka pada masa depan.
Ketika melakukannya, mereka pun akan menemukan bahwa mereka dianggap penting serta dihormati. Sejarawan David Potter melaporkan bahwa "Di antara para penulis sejarah Amerika yang lebih terkemuka, hampir tidak ada yang sesekali atau terus-menerus, secara eksplisit atau implisit, memunculkan gagasan tentang kharakter nasional Amerika." Bagi para sejarawan nasionalis umumnya, Potter mencatat, bahwa "konsep kharakter nasional menjadi ... satu-satunya asumsi yang dominan tentang sejarah yang meresapi perlakuan terhadap semua bahan kajian mereka." Meski demikian, diakuinya, tidak banyak yang dapat mereka lakukan untuk menjelaskan konsep tersebut.[118] Dia memang seorang sejarahwan langka yang memasukkan penelitian tentang kharakter nasional dalam karyanya, sebuah studi tentang kharakter Amerika. Dalam sebuah tinjauan sejarah nan rumit, ia menemukan kuncinya bukan terletak dalam kategori individualisme atau kepatuhan yang biasa. Tetapi dalam komitmen tunggal terhadap kesamaan derajat.[119]
Jadi, memang ada dasar untuk penyelidikan yang sehat tentang kharakter nasional.***
Daniel Pipes adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) sekaligus pendiri Campus Watch: DanielPipes.org, @DanielPipes, daniel.pipes@gmail.com. Dia meraih gelar BA dan Ph.D. dalam sejarah. Kedua-duanya dari Universitas Harvard. Artikel terakhirnya untuk Academic Questions (AQ), "The Wreckage of Endowed Chairs," muncul dalam AQ edisi Musim Gugur 2021.
Appendix: Berbagai defenisi tentang kharakter nasional
Sebuah daftar para pengarang kenamaan telah mendefenisikan kharakter nasional. Berikut ini, beberapa defenisi. Kata-kata kunci dibuat dalam huruf tebal.
- Gordon Allport: "anggota sebuah bangsa, yang terlepas dari perbedaan etnis, ras, agama atau individu antarmereka, memang mirip satu sama lain dalam pola keyakinan dan perilaku mendasar tertentu, lebih daripada kemiripan mereka dengan bangsa lain."[120]
- Jahangir Amuzegar: "Jika mayoritas sebuah bangsa rutin memperlihatkan pola sikap dan perilaku yang tidak ditemukan sebagai hal yang biasa atau kerap di tempat lain, maka mereka bisa dikatakan memiliki kharakter nasional tertentu."[121]
- Ernest Barker: adalah "sejumlah kecenderungan yang diperoleh seseorang, yang dibangun oleh para pemimpinnya dalam setiap ranah aktivitasnya, dengan persetujuan dan kerja sama komunitas umum, yang aktif dalam beberapa orang tetapi lebih atau sedikit pasif dalam diri orang lain."[122]
- Morroe Berger: "anggota sebuah bangsa terlepas dari berbagai perbedaan yang diakui antarmereka, yang mirip satu sama lain dalam pola dasar perilaku dan keyakinan tertentu ... lebih daripada kemiripan mereka dengan bangsa-bangsa lain."[123]
- Richard Chenevix: adalah sejumlah gambaran menonjol yang terkenal, yang membedakan bangsa itu dengan bangsa lain."[124]
- Henry V. Dicks: "Ciri watak dan motivasi tertentu yang menonjol yang luas dan teratur serta sering berulang muncul dari sebuah etnis atau kelompok budaya tertentu. "[125]
- Morris Ginsberg: "perbedaan ciri atau barangkali tipe watak dalam berbagai kelompok yang berbeda."[126]
- Geoffrey Gorer: "Kharakter nasional adalah sebuah upaya untuk mengisolasi sekaligus mengidentifikasi ... motif, nilai dan kecenderungan bersama."[127]
- Sania Hamady: "ia merangkum sebutan umum untuk kharakteristik dengan beragamnya individu darinya dalam berbagai arah dan tingkat."[128]
- Vidya Hattangadi: "kharakteristik dan pola kepribadian kuno (archetypical) yang ada di kalangan anggota muda sebuah masyarakat."[129]
- Frederick Hertz: " keseluruhan adat-istiadat, kebiasaan dan keyakinan yang berkembang luas dalam sebuah bangsa."[130]
- Alex Inkeles and Daniel J. Levinson: adalah "kharakteristik dan pola kepribadian yang relatif bertahan lama yang menjadi nilai dasar (modal) kalangan anggota muda masyarakat."[131]
- Alex Inkeles: "watak yang terbangun dalam kepribadian individu yang membentuk sebuah masyarakat " dan kharakter nasional adalah "sejumlah kwalitas pribadi berbagai individu yang membentuk sebuah populasi nasional."[132]
- Hans Kohn: "Hidup dalam kawasan bersama, tunduk kepada pengaruh alam dan ... sejarah serta sistem hukum yang sama menghasilkan perilaku dan ciri watak yang sama kerapkali disebut kharakter nasional." [133]
- Don Martindale: "Kharakter nasional adalah kategori ciri-ciri watak yang diperlihatkan individu dalam kelompok bangsa."[134]
- John Stuart Mill: Itulah "kharakter, yaitu, opini, perasaan berikut kebiasaan-kebiasaan manusia."[135]
- Raphael Patai: adalah "jumlah seluruh motif, ciri watak (traits), keyakinan dan nilai yang dimiliki berkat keragaman dalam populasi nasional."[136]
- Richard Pipes: ia "merepresentasikan semangat bukan dari seluruh bangsa, tetapi hanya dari kelompok sosial itu yang pada waktu tertentu kebetulan mengendalikan instrumen kekuasaan dan organ pembentukan pendapat masyarakatnya."[137]
[1] Jacques Barzun, "The English," The Nation, 14 Agustus 1943, hal. 188. [2] Don Martindale, "The Sociology of National Character," The Annals of the American Academy of Political and Social Science, 370 (1967): hal. 31. [3] Thomas Sowell, "The Character of Nations," National Review, 10 Juni 2009. [4] Theodore Roosevelt, "National Life and Character," The Sewanee Review, Mei 1894. [5] Stanley Baldwin, "What England Means to Me", pidato di depan Royal Society of St George, 6 Mei 1924. Baldwin juga menulis sebuah buku tentang topik ini, bertajuk: The Englishman (London: Longmans Green & Co., 1940). "Mr Major's Speech to Conservative Group for Europe," johnmajorarchive.org, 22 April 1993, diakses 12 Desember 2020. David Cameron, "Speech to the Foreign Policy Centre Thinktank," The Guardian, 24 Agustus 2005. [6] John Maynard Keynes, The Economic Consequences of the Peace (London: MacMillan, 1919), p. 29; dikutip dalam sebuah Secret memorandum oleh Martin Bormann, 2 Oktober 1940, diterbitkan dalam buku Nuremberg Trial Proceedings, jilid 7, pada 9 Februari 1946. [7] Dikutip dalam Alfred Fouillée, Esquisse psychologique des peuples européens (Paris: Félix Alcan, 1903), hal.1; Dikutip dalam sebuah Secret memorandum oleh Martin Bormann, 2 Oktober 1940, diterbitkan dalam buku Nuremberg Trial Proceedings, jilid 7, 9 February 1946. [8] "Nation Building Should Become a National Movement: Modi on Teachers' Day," India Today, 5 September 2014. [9] Kedutaan Republik Rakyat Cina di Amerika Serikat, " Teks lengkap laporan Hu Jintao pada Kongres Partai ke-18," 27 November 2012. [10] Sri Lestari, "Who Are Indonesia's Election Rivals?" BBC Indonesian, 22 Juli 2014. [11] Associated Press, 17 Desember 1987. [12] Theodor W. Adorno et. al., The Authoritarian Personality (New York: Harper & Bros., 1950). [13] Walter Bagehot, Physics and Politics (1872) dalam buku The Works and Life of Walter Bagehot, editor Nyonya Russell Barrington (London: Longmans, Green, and Co., 1915), jilid 8. [14] Lawrence Durrell, "Landscape and Character," The New York Times Magazine, 12 Juni 1960. [15] David Hume, "Of National Characters," The Philosophical Works (Edinburgh: Black and Tait, 1826,), jilid 3. [16] T. E. Lawrence, Seven Pillars of Wisdom: A Triumph (Garden City, N.Y.: Doubleday, Doran & Company, 1935), hal. 38. [17] Theodor Mommsen, The History of Rome, diterjemahkan oleh William Purdie Dickson, buku 1, hal. 291. [18] Montesquieu, "Essai sur les causes qui peuvent affecter les esprits et les caractères" (1743) dalam Mélanges inédits de Montesquieu (Bordeaux: G. Gounouilhou, J. Rouam et Cie, 1892), hal. 107-48. [19] John Ruskin, The Poetry of Architecture: Or, The Architecture of the Nations of Europe Considered in Its Association with Natural Scenery and National Character (London: George Allen, 1893). [20] Max Weber, "The Junkers and German National Character," dalam From Max Weber: Essays in Sociology, diterjemahkan oleh Hans Gerth dan C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1958), hal. 386-95. [21] Michael McGiffert, "Selected Writings on American National Character," American Quarterly, 15 (1963) 271-288. [22] Hippocrates, De aere aquis et locis, ed. W. H. S. Jones (Cambridge: Harvard University Press, 1962-69), Bagian 16, XVI. [23] Sebagaimana ditekankan oleh Ulrich Haarmann, "Ideology and History, Identity and Alterity: The Arab Image of the Turk from the 'Abbasids to Modern Egypt," International Journal of Middle East Studies 20 (1988): 177. [24] Hume, "Of National Characters," jilid 3, hal. 236. [25] Richard Chenevix, An Essay upon National Character: Being an Inquiry into Some of' the Principal Causes Which Contribute to Form and Modify the Characters of Nations in the State of Civilisation (London: James Duncan, 1832), jilid 2, hal. 216; jilid 1, hal. 190. [26] William Dalton Babington, Fallacies of Race Theories as Applied to National Characteristics (London: Longmans, Green, 1895), p. 11. [27] Sidney Lewis Gulick, Evolution of the Japanese: A Study of Their Characteristics in Relation to the Principles of Social and Psychic Development (New York: F. H. Revell, 1905), hal. 115. Lihat juga hal. 327. [28] William McDougall, The Group Mind: A Sketch of the Principles of Collective Psychology with Some Attempt to Apply Them to the Interpretation of National Life and Character (New York: G. P. Putnam's Sons, 1920), hal. 154-55, 164-65. Tetapi para ilmuwan sosial kenamaan lainnya seperti Morris Ginsberg secara spesifik menentang dasar rasial dari kharakter nasional. Lihat tulisannya, "National Character and National Sentiment," dalam editor J.A. Hadfield, Psychology and Modern Problems (New York: Longmans Green, 1936), hal. 29-50. [29] Theodore Roosevelt, "National Life and Character," Agustus 1894. Pandangan Roosevelt tentang ras berdampak pada keputusan supaya patungnya dibongkar dari American Museum of Natural History di New York City. Lihat Frank Miles, "NYC's Museum of Natural History to remove Teddy Roosevelt statue, officials say," Fox News, 21 Juni 2020. [30] Charles H. Pearson, National Life and Character: A Forecast (London: Macmillan, 1893). [31] M. and R. Bleuler, "Rorschach's Ink Blot Test and Racial Psychology: Mental Peculiarities of Moroccans," Character and Personality 4 (1935): 97-114. [32] J.J. Rein, Japan: Travels and Researches Undertaken at the Cost of the Prussian Government (London: Hodder and Stoughton, 1884), hal. 395. [33] Dikutip dalam Kenneth B. Pyle, The New Generation in Meiji Japan: Problems of Cultural Identity, 1885-1895 (Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1969), hal. 110. [34] Sherard Osborn, Quedah: A Cruise in Japanese Waters, The Fight on the Peiho, edisi baru. (Edinburgh; Blackwood, 1859), hal. 331. [35] Gulick, Evolution of the Japanese, hal. 13, xi. [36] Thorstein Veblen, "The Opportunity of Japan," dalam buku Essays in Our Changing Order, editor Leon Ardzrooni (New York: Viking Press, 1934), hal. 258. (Artikel ini aslinya diterbitkan pada 1915.) [37] Inazō Nitobe, "The Influence of the West upon Japan," in Shigénobu Okuma, editor, diterjemahkan oleh Marcus B. Huish, Fifty Years of Modern Japan (New York: Dutton, 1909), jilid 2, hal. 475. [38] Wilhelm Wundt, Die Nationen und ihre Philosophie: Ein Kapitel zum Weltkrieg (Leipzig: Alfred Kröner, 1915). [39] Erich R. Jaensch, Der Gegentypus: Psychologisch-anthropologische Grundlagen deutscher Kulturphilosophie, ausgehend von dem was wir überwinden wolle (Leipzig: Johann Ambrosius Barth, 1938). [40] Margaret Mead, "The Study of National Character," dalam Daniel Lerner dan Harold D. Lasswell (eds.), The Policy Sciences: Recent Developments in Scope and Method(Stanford: Stanford University Press, 1951), hal. 75. [41] Frederick Hertz, "War and National Character," The Contemporary Review, May 1947, hal. 275. [42] John Stuart Mill, The Logic of the Moral Sciences (Mineola, N.Y.: Dover, 2020), hal. 71. Pertama kali diterbitkan pada 1872. [43] Otto Klineberg, "A Science of National Character," The Journal of Social Psychology 19 (1944): 147. [44] "National Character," sebuah tajuk rencana berbasiskan pidato oleh Morris Ginsburg, Majalah Nature, 12 Juli 1941, hal. 33. [45] Misalnya, Margaret Mead, "Study of National Character," hal. 75-76. [46] Science News 18 (1939): 121. [47] Ruth Benedict, The Chrysanthemum and the Sword: Patterns of Japanese Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1946), hal.3. [48] Geoffrey Gorer, Japanese Character Structure and Propaganda (Committee on Intercultural Relations, Maret 1942), dirangkum dan diterbitkan pada 22 Februari 1943 dengan judul"Themes in Japanese Culture," New York Academy of Science, Transactions, 5 (1943): 106‑24. [49] Weston La Barre, "Some Observations on Character Structure in the Orient: The Japanese," Psychiatry 8 (1945): 326, 336, 342. [50] Benedict, Chrysanthemum and the Sword, hal. 301. [51] Dikutip dalam John W. Dower, War Without Mercy: Race and Power in the Pacific War (New York: Pantheon, 1986), hal. 142. [52] Dikutip dalam Gavan McCornack dan Yoshio Sugimoto, "Modernization and Beyond," dalam Gavan McCornack dan Yoshio Sugimoto, editor, The Japanese Trajectory: Modernization and Beyond (Cambridge, Eng.: Cambridge University Press, 1988), hal. 2. [53] Douglas MacArthur, "Address to Members of the Allied Council for Japan, April 5, 1946," dalam A Soldier Speaks: Public Papers and Speeches of General of the Army Douglas MacArthur, editor Vorin E. Whan, Jr. (New York: Praeger, 1965), hal. 167. [54] Douglas G. Haring, "Aspects of Personal Character in Japan," Far Eastern Quarterly 6 (1946): 15-16. [55] Nature, 12 Juli 1941, hal. 33. [56] Morris Ginsberg, "National Character," British Journal of Psychology 32 (1942): 196. [57] Richard M. Brickner, Is Germany Incurable? (Philadelphia: J.B. Lippincott, 1943). [58] Bertram Schaffner, Father Land: A Study of Authoritarianism in the German Family (New York: Columbia University Press, 1948), hal. 81, 105. Berbagai rencana yang lebih parah ada. Seperti rencana dari antropolog Harvard Earnest Hooten supaya meminta lelaki dan wanita Jerman berkencan dengan orang-orang bukan Jerman supaya mengurangi semangat perang warga Jerman dalam buku "Breed War Strain out of Germans" (PM, 4 Januari 1943). [59] Dower, War Without Mercy, hal. 121-22, 139. [60] John F. Embree, "Standardized Error and Japanese Character: A Note on Political Interpretation," World Politics 2 (1949‑50): 439‑43. [61] Fred N. Kerlinger, "Behavior and Personality in Japan: A Critique of Three Studies of Japanese Personality," Social Forces 31 (1953): 257-58. [62] Clyde Kluckhohn, Mirror for Man: The Relation of Anthropology to Modern Life (London: George G. Harrap and Co.: 1950), hal. 184. [63] John Embree, The Japanese Nation: A Social Survey (New York: Farrar & Rinehart, 1945), hal. 235-36. [64] Hamilton Fyfe, The Illusion of National Character (London: Watts, 1946), hal. 2. [65] Haring, "Aspects of Personal Character in Japan," hal. 14. [66] Bertram Wolfe, "The Swaddled Soul of the Great Russians," The New Leader, 29 Januari 1951, hal. 15. [67] Maurice L. Farber, "English and Americans: A Study in National Character," The Journal of Psychology 32 (1951): 241. Farber juga dengan sinis mencatat bahwa jika bedong bayi itu begitu penting, maka "perubahan institusi sosial, politik dan ekonomi tidak akan terlalu penting dibandingkan dengan apa yang dapat dicapai dengan memodifikasi praktik pengasuhan anak tertentu." Maurice L. Farber, "Psychiatric Interpretation of Russian History: A Reply To Geoffrey Gorer," American Slavic and East European Review 9 (1950): 153. [68] Ralph Linton, "The Concept of National Character," dalam Personality and Political Crisis: New Perspectives from Social Science and Psychiatry for the Study of War and Politics, editor Alfred H. Stanton dan Stewart E. Perry (Glencoe, Illinois: The Free Press, 1951), hal. 142-43. [69] Douglas G. Haring, "Re: Ethnocentric Anthropologists," letter, 53 (1951): 135. [70] Morroe Berger, "The Study of Man: 'Understanding National Character'—and War, Commentary, April 1951. [71] David Mandelbaum, "On the Study of National Character," American Anthropologist 55 (1953): 176. [72] David M. Potter People of Plenty: Economic Abundance and the American Character (Chicago: University of Chicago Press, 1954). [73] Milton Mayer, They Thought They Were Free: The Germans 1933-45 (Chicago: University of Chicago Press, 2013), p. 240. Aslinya diterbitkan pada 1955. [74] E. Adamson Hoebel, "Anthropological Perspectives on National Character," in The Annals of the American Academy of Political and Social Science, 370 (1967): 2, 4. [75] Ezra F. Vogel, Japan as Number One (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1979), hal. ix. [76] Peter T. Suzuki, "A Retrospective Analysis of a Wartime 'National Character' Study," Dialectical Anthropology, 5 (1980): 33-46. [77] Lihat rangkuman dalam catatan kaki 31 di atas. [78] Richard E. Minear, "The Wartime Studies of Japanese National Character," The Japan Interpreter, 13 (Summer 1980): 56. [79] Dean Peabody, National Characteristics (Cambridge, Eng.: Cambridge University Press, 1985), hal. 18. [80] Dikutip dalam Kawamura Nozomu, "The Concept of Modernization Re-examined from the Japanese Experience," dalam Gavan McCornack dan Yoshio Sugimoto, editor, The Japanese Trajectory: Modernization and Beyond (Cambridge, Eng.: Cambridge University Press, 1988), hal. 268. [81] Michael Gellert, The Fate of America: An Inquiry Into National Character (Dulles, Va: Potomac, 2001), Kata Pengantar. [82] Robert R. McCrae dan Antonio Terracciano, "National Character and Personality," Current Directions in Psychological Science, 15 (2006): 156-60. [83] Pam N., "national character," Psychology Dictionary, 7 April 2013. [84] Charles Hill, "The American Character," Hoover Institution, 21 Juni 2016, diakses pada 14 Desember 2020. [85] Adam Rittenberg, "The Study of National Character in the Post War Era: the work of Erich Fromm, David Riesman, and David Potter" tesis MA, (Portland, Ore.: Portland State University, 1988), hal. 1. [86] Morroe Berger, "The Study of Man: 'Understanding National Character'—and War, Commentary, April 1951. [87] Margaret Mead, And Keep Your Powder Dry: An Anthropologist Looks at America (New York: Wm. Morrow, 1942); Geoffrey Gorer, The American People: A Study in National Character (New York: W. W. Norton, 1948). [88] Dante Moreira Leite, O Caráter Nacional Brasileiro: História de uma Ideologia (Sao Paulo: Livraria pioneira editôra, 1954); lihat juga José Honório Rodrigues, The Brazilians: Their Character and Aspirations, diterjemahkan oleh Ralph Edward Dimmick (Austin: University of Texas Press, 2014); aslinya terbitan 1967. [89] Francis L.K. Hsu, Under the Ancestors' Shadow: Chinese Culture and Personality (New York: Columbia University Press, 1948). [90] Geoffrey Gorer, Exploring English Character (New York: Criterion, 1955). Tentang catatan yang lebih ringan lihat kartun-kartun yang dikoleksi dalam Pont [Graham Laidler], The British: Character (London: Collins, 1938). [91] R. H. Lowie, The German People (New York: Rinehart, 1945). [92] Geoffrey Gorer dan John Rickman, The People of Great Russia (London: Cresset, 1949); Margaret Mead, Soviet Attitudes toward Authority: An Interdisciplinary Approach to Soviet Character (New York: McGraw-Hill, 1951). [93] H.C.J. Duijker dan N.H. Frijda, National Character and National Stereotypes: A Trend Report Prepared for the International Union of Scientific Psychology(Amsterdam: North-Holland Publishing Co., 1960). [94] Washington Platt, National Character in Action: Intelligence Factors in Foreign Relations (New Brunswick: Rutgers University Press, 1961) [95] Henry V. Dicks, "Personality Traits and National Socialist Ideology: A War-time study of German Prisoners of War," Human Relations 3 (1950): 139. [96] Dean Peabody, National Characteristics (Cambridge, Eng.: Cambridge University Press, 1985). Tidaklah mengejutkan dia menemukan "menilai kelompok sendiri (ingroup) cenderung lebih disukai dibandingkan penilaian pihak luar (outgroups) atau penilaian-penilaian tentang kelompok luar (outgroup) (hal.61). [98] Alex Inkeles, National Character: A Psycho-Social Perspective (New Brunswick: Transaction, 1997). [99] Gellert, The Fate of America; Finn Pollard, The Literary Quest for an American National Character (New York: Routledge, 2009). [100] Warren [or Lung-kee] Sun, The Chinese National Character: From Nationhood to Individuality (London: Routledge, 2002). [101] Peter Mandler, The English National Character: The History of an Idea from Edmund Burke to Tony Blair (New Haven: Yale University Press, 2006). [102] Sanjay Srivastava, Constructing Post-Colonial India: National Character and the Doon School (London: Taylor & Francis, 2005). [103] Balázs Trencsényi, The Politics of "National Character": A Study in Interwar East European Thought (New York: Routledge, 2012). [104] Roberto Romani, National Character and Public Spirit in Britain and France, 1750–1914 (Cambridge, Eng.: Cambridge University Press, 2001); Helmut Kuzmics and Roland Axtmann, Authority, State and National Character: The Civilizing Process in Austria and England, 1700-1900 (Aldershot: Ashgate, 2007). [105] R. Lynn, Personality and National Character (Oxford: Pergamon, 2013). [106] "national character" at JSTOR.org, diakses 27 Oktober 2020. [107] "National Character," International Encyclopedia of the Social Sciences, diakses 19 Desember 2020, [108] "national character" dalam Google Ngram, diakses 8 November 2020. [109] Sujay Rao Mandavilli, "The relevance of Culture and Personality Studies, National Character Studies, Cultural Determinism and Cultural Diffusion in Twenty-first Century Anthropology: An assessment of their compatibility with Symbiotic models of Socio-cultural change," ELK Asia Pacific Journal of Social Science 4 (2018), hal. 12. [110] Prosa yang sarat jargon, yang semuanya terlampau akrab saat ini, hampir seluruhnya absen dari penyelidikan tentang kharakter nasional. Berikut ini pengecualian langka dari Alex Inkeles dan Daniel J. Levinson: "penggambaran struktur kepribadian unimodal dan penggambaran monolitik budaya dan struktur sosial yang disederhanakan seringkali mengarah kepada upaya untuk menghibur sehingga memperlihatkan kesan harmoni yang semu. Hal itu terjadi ketika mode-mode kepribadian dan fenomena sosio-kultural berkaitan satu sama lain. Mungkin saja memang ada 'tekanan untuk konsisten' dalam budaya." Alex Inkeles and Daniel J. Levinson, "National Character: The Study of Modal Personality and Sociocultural Systems," in Handbook of Social Psychology, edited by Gardner Lindzey (Reading, Mass.: Addison-Wesley, 1954), vol. 2, p. 1015. [111] Farber, "Psychiatric Interpretation," hal. 161. [112] Richard E. Minear, "The Wartime Studies of Japanese National Character," The Japan Interpreter, 13 (Summer 1980): 37, 44-45 [113] Bertram Wolfe, "The Swaddled Soul of the Great Russians," The New Leader, 29 January 1951, hal. 17. [114] Jacques Barzun, "The English," The Nation, 14 Agustus 1943, hal. 189. [115] Otto Klineberg, "A Science of National Character," The Journal of Social Psychology 19 (1944): 160. [116] Douglas G. Haring, "Japanese National Character: Cultural Anthropology, Psychoanalysis, and History," Yale Review, Spring 1953, hal. 375‑92. [117] Don Martindale, "The Sociology of National Character," The Annals of the American Academy of Political and Social Science, 370 (1967): 31. [118] Potter People of Plenty. Potter mencatat bahwa terlepas dari besarnya penolakan mereka atas adanya kharakter nasional, "para sejarahwan pun tidak banyak berusaha untuk mengklarifikasi atau memvalidasi konsep ini." [119] David M. Potter, "The Quest for the National Character," dalam The Reconstruction of American History, editor John Higham (New York: Humanities Press, 1962), hal. 213. [120] Gordon W. Allport, The Nature of Prejudice (Boston: Beacon, 1954), hal. 116. [121] Jahangir Amuzegar, The Dynamics of the Iranian Revolution: The Pahlavis' Triumph and Tragedy (Albany, N.Y.: State University of New York Press, 1991), hal. 99. [122] Ernest Barker, National Characters and the Factors in Its Formation, edisi ketiga. (London: Methuen, 1939), hal. 140. [123] Morroe Berger, "The Study of Man: 'Understanding National Character'—and War, Commentary, April 1951. [124] Chenevix, Essay, vol. 1, p. 1. [125] Henry V. Dicks, "Personality Traits and National Socialist Ideology: A war-time study of German Prisoners of War," Human Relations 3 (1950): 112. [126] Ginsberg, "National Character," hal. 183-205. [127] Geoffrey Gorer, Exploring English Character (New York: Criterion, 1955), hal. 29. [128] Sania Hamady, Temperament and Character of the Arabs (New York: Twayne, 1960), hal. 23. [129] Vidya Hattangadi, "Why study of National Character is important?" drvidyahattangadi.com, 13 Juni 2016.x [130] Frederick Hertz, "War and National Character," The Contemporary Review, May 1947, hal. 277. [131] Alex Inkeles dan Daniel J. Levinson, "National Character: The Study of Modal Personality and Sociocultural Systems," in Handbook of Social Psychology, diedit oleh Gardner Lindzey (Reading, Mass.: Addison-Wesley, 1954), jilid 2, hal 983. Dalam statistiks, modal berarti nilai (atau jumlah) yang kerapkali terjadi dalam perangkat tertentu. [132] Alex Inkeles, National Character: A Psycho-Social Perspective (New Brunswick: Transaction, 1997), Kata pengantar. [133] Hans Kohn, The Idea Of Nationalism: A Study In Its Origins And Background (New York: Macmillan, 1944), hal. 9. [134] Don Martindale, "The Sociology of National Character," The Annals of the American Academy of Political and Social Science, 370 (1967): 35. [135] John Stuart Mill, The Collected Works of John Stuart Mill, editor John M. Robson (London: Routledge, 1963-1991), jilid 8, hal. 905. [136] Raphael Patai, The Arab Mind (New York: Charles Scribner's Sons, 1976), hal. 18. [137] Richard Pipes, "A Historian's Reflections," Vital Speeches of the Day 36, no. 23 (October 1970): 729. Topik Terkait: Akademia The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL. |