Tahun 2002 akan dikenang sebagai titik rendah dalam konflik panjang antara Palestina dan Israel. Kala itu, diplomasi terhenti, emosi mendidih, darah mengaliri jalanan. Dan, prospek perang habis-habisan semakin dekat. Kemarahan yang lahir dari sikap anti-Zionis dan sikap anti-Semit yang tampaknya telah berhasil dipadamkan tiba-tiba dibangkitkan kembali dengan semangat penuh keberanian yang menakjubkan. Keberadaan Israel tampaknya terancam karena belum pernah terjadi selama beberapa dekade.
Gambaran ini sejauh ini akurat. Tetapi ia menghilangkan satu gambaran penting lain dari lanskap tahun 2002. Tahun ini juga menyaksikan serangkaian rencana, inisiatif dan skema baru untuk memperbaiki situasi. Tak satu pun ide-ide ini datang dari pihak Palestina. Tidaklah mengherankan, mengingat bahwa Yaser Arafat tampaknya melihat kekerasan terhadap Israel sebagai solusi untuk semua masalahnya. Sebaliknya, berbagai ide itu dikeluarkan dari berbagai pihak di Israel dan Amerika Serikat dengan satu atau dua gemanya dari Eropa dan negara-negara Arab.
Rencana-rencana ini mulai dari yang tampak keras hingga yang berupaya menyenangkan hati (appeasing). Yang paling terkenal adalah "peta jalan" Pemerintahan Bush. Tetapi mereka punya dua kualitas yang sama. Semua tunduk pada asumsi era Kesepakatan Oslo soal sikap hormat antara Palestina - Israel sebagai dasar negosiasi. Tetapi pada saat yang sama, rencana-rencana itu bergerak dari pemahaman konflik yang salah secara fundamental. Oleh karena itu, jika benar-benar dilaksanakan, ia kemungkinan justru bakal meningkatkan ketegangan. Tak satu pun rencana itu yang mampu menghasilkan resolusi konflik; yang membutuhkan pendekatan yang sama sekali berbeda.
Meir Kahane penganjur "pemindahan" warga Palestina keluar dari Tepi Barat. |
Saran-saran bagi penyelesaian konflik termasuk dalam tiga kategori utama.
Penyelesaian konflik pertama terdiri dari proposal bagi Israel untuk mempertahankan sebagian besar wilayah yang dimenangkannya dalam perang pada tahun 1967 sambil memberlakukan pemisahan penduduk secara sepihak dari warga Palestina yang tinggal di sana. Gagasan terberat judul ini menyerukan "pemindahan paksa warga Palestina": mengusir keluar mereka dari Tepi Barat dan mungkin juga dari Gaza. Bilamana perlu pemindahan paksa yang bertentangan dengan keinginan mereka sendiri. Dulunya, pandangan ini tidak terlampau diperhitungkan. Kini, akibat kekerasan berkepanjangan yang dilakukan oleh Palestina, proposal ini mulai mendapat dukungan di Israel. Sebuah jajak pendapat Februari 2002 menunjukkan 35 persen responden ingin "memindahkan penduduk wilayah itu ke negara-negara Arab." Sebuah jajak pendapat Maret 2002, mengajukan pertanyaan yang lebih khusus tentang "pencaplokan wilayah sekaligus memindahkan warga pemukim," mendapatkan 31 persen mendukung.
Ada juga ide yang sama yang lebih lunak. Beberapa warga Israel menyerukan supaya mendorong dilakukannya pemindahan warga Palestina secara sukarela. Berdasarkan rencana ini, warga Palestina yang memilih meninggalkan wilayah kekuasaan Israel dapat menjual tanah mereka kepada Pemerintah Israel, yang pada gilirannya bakal membuat mereka senang dan bahagia di rumah baru mereka. Sebuah jajak pendapat yang diselenggarakan Oktober 2001 melaporkan 66 persen warga Israel mendukung skema ini.
Beberapa warga Israel ingin mengarahkan kembali aspirasi Palestina untuk bergabung dengan Yordania, negara yang sudah punya mayoritas warga Palestina. Benny Elon, Ketua Partai Moledet, kini menjadi eksponen paling menonjol dari gagasan ini. Dengan nama "Yordania itu adalah Palestina," ide ini pada masa lalu dikaitkan dengan tokoh-tokoh seperti Vladimir Jabotinsky, Yitzhak Shamir dan Ariel Sharon. Ada gagasan lain yang searah dengan pemikiran ini. Penganutnya adalah politisi Partai Buruh Ephraim Sneh. Gagasannya mencakup pertukaran wilayah: Otoritas Palestina akan memperoleh beberapa wilayah mayoritas Arab yang berdiam di dalam batas-batas wilayah Israel seperti yang ditetapkan pada tahun 1967 sebagai imbalan untuk melepaskan klaimnya atas beberapa wilayah mayoritas Yahudi di wilayah Tepi Barat.
Proposal pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah proposal yang tidak mempersyaratkan perpindahan orang. Proposal ini adalah membangun tembok fisik antara dua populasi. "A Protective Fence: the Only Way" menjadi stiker bemper mobil yang populer di Israel sebelum Pemerintah Sharon mulai membangun semacam perbatasan elektronik sepanjang garis kira-kira 192 mil (sekitar 309 Km) antara Israel dan Tepi Barat. Perdana Menteri Ariel Sharon lebih menyukai versi rencana ini ditingkatkan. Yaitu dengan menambahkan parit dan ladang ranjau pada pagar tersebut. Alasannya, dengan paduan ini, tembok dan zona penyangga "akan berkontribusi pada keamanan semua warga Israel."
Kelompok proposal kedua berkonsentrasi pada cara mengatasi kebuntuan saat ini menuju semacam upaya untuk mengakomodasi usulan pemikiran yang timbal balik. Di sini perbedaan utamanya terletak antara mereka yang menekankan perubahan dalam kepemimpinan Palestina dan mereka yang menekankan mekanisme untuk memperbaiki iklim ketidakpercayaan yang kini berkembang. Yang pertama, fokus pada persoalan mengeluarkan Yaser Arafat serta membagi urusan kepemimpinan antara beberapa tokoh (seperti Benjamin ben Eliezer dari Partai Buruh) yang mendukung kebijakan menunggu sampai kepemimpinan baru Palestina muncul dengan sendirinya. Kalangan lain lagi (seperti Benjamin Netanyahu dari Partai Likud) mendesak Israel untuk aktif mengeluarkan Arafat dari kepemimpinan dan menggantikannya dengan kepemimpinan yang lebih pragmatis dan fleksibel yang menurut Netanyahu "menunggu di sayap" (waiting in the wings).
Sedangkan bagi mereka yang menekankan mekanisme baru, mereka akan menawarkan keuntungan-keuntungan kepada Palestina dengan syarat bahwa Palestina membuat perubahan tertentu dalam pengaturan internal mereka. Salah satu syaratnya adalah good governance. Awalnya tawaran itu diusulkan oleh Natan Sharansky, Wakil Perdana Menteri Israel. Ide ini kemudian diambil alih oleh George W. Bush, yang mengabdikannya sebagai pidato kebijakan pentingnya atas masalah tersebut pada Juni 2002. Dengan memproklamasikan bahwa "warga Palestina tidak dapat dipertahankan lagi untuk hidup melarat dan dijajah," Presiden Amerika Serikat menguraikan visinya sebagai sarana untuk memperoleh negara yang akan hidup damai bersama Israel. Untuk itu, Palestina membangun "lembaga politik dan ekonomi yang sama sekali baru berdasarkan demokrasi, ekonomi pasar dan beraksi melawan terorisme." Secara khusus dia menyebutkan adanya lembaga keuangan yang transparan, audit independen, dan peradilan yang independen.
"Peta Jalan", pertama kali diadopsi pada bulan September. Mungkin saja dia dianggap sebagai jawaban yang terlambat dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat atas usulan presiden pada Juni 2002. Ia merupakan hasil dari konsultasi "Kuartet" (Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan PBB). Dengan menyandang nama ("peta jalan implementasi tiga fase nyata ") ia memperlihatkan kualitas tambahannya. Fase pertama diusulkan untuk awal tahun ini. Fase itu menyerukan Palestina supaya mengadakan "Pemilihan umum yang bebas, adil dan dapat dipercaya" dan Israel mundur kepada posisinya pada 28 September 2000 "saat situasi keamanan membaik." Fase kedua akan dimulai akhir tahun ini. Akan "fokus pada opsi untuk menciptakan Negara Palestina dengan perbatasan sementara berdasarkan konstitusinya yang baru." Fase terakhir (2004-05) akan menyaksikan negosiasi Israel-Palestina "yang bertujuan membuat solusi status yang permanen." Begitu hal ini tercapai, Israel akan mundur dari wilayah yang dimenangkannya pada 1967 "untuk mengamankan dan mengakui perbatasannya."
Pemerintah Amerika menganggap tanggal-tanggal dalam peta jalan sebagai pedoman. Sedangkan tiga pihak lainnya lebih suka menganggapnya keras dan cepat. Yang lain lagi menganggap seluruh proses peta jalan terlalu lamban. Dengan demikian, Israel Policy Forum (Forum Kebijakan Israel), yaitu sebuah kelompok advokasi Amerika, membuat empat langkah rinci "jalur jalan" (on ramp) untuk mengantisipasi mulai dijalankannya peta jalan. Tak kalah sabarnya, Perdana Menteri Inggris Tony Blair pun mengumumkan serangkaian pertemuan di London yang melibatkan negara-negara Kuartet dan PBB, Palestina dan pejabat dari Mesir, Arab Saudi, dan Yordania. (Supaya kesepakatan lebih mudah dicapai, Blair meninggalkan Israel.)
Peta jalan pun tidak jelas soal syarat yang akan dikenakan pada Palestina. Khususnya tentang apakah, jika ada, hukuman yang akan dijatuhkan atas mereka jika tidak patuh. Tetapi ada beberapa kalangan, dan mereka merupakan kelompok ketiga dalam konstelasi ide-ide baru, yang sama sekali tidak menyukai adanya syarat-syarat itu. Mereka lebih memilih melanjutkan peta jalan dengan harapan bahwa pasokan tawaran menarik yang berlimpah ruah (supply of carrots) yang cukup akan memberikan hasil yang diinginkan. Henry Hyde, Ketua Komite Hubungan Internasional DPR AS, mengusulkan "Marshall Plan" bagi Timur Tengah yang menjanjikan program pembangunan ekonomi yang komprehensif bagi Palestina (dan lainnya). Gagasan ini memperoleh dukungan Tom Lantos, anggota komisi tinggi Partai Demokrat. Inti gagasan ini, dalam kata-kata Hyde, bahwa "masyarakat yang mengharapkan kehidupan yang lebih baik dalam hal ekonomi tidak akan menggunakan kekerasan."
Martin Indyk, Mantan Duta Besar AS untuk Israel, menyukai perangkat yang lebih kuat dan lebih cepat. Dia menyerukan pasukan internasional untuk membangun "perwalian" atas Tepi Barat dan Gaza dan dengan demikian meletakkan dasar untuk "lembaga yang kredibel, representatif, akuntabel dan transparan." Thomas Friedman, kolumnis Harian New York Times, mengusulkan skema di mana "pasukan keamanan gabungan Amerika-Palestina" akan menggantikan kendali Israel atas wilayah tersebut, diikuti oleh pasukan Amerika yang akan tinggal di sana "tanpa batas waktu."
Ketiga, ada ide yang paling populer dari semuanya. Ide itu adalah tidak ada pemindahan warga Palestina, tidak ada tembok, tidak ada perubahan kepemimpinan, tidak ada persyaratan-persyaratan, tidak ada peta jalan dan tidak ada pasukan asing. Sebaliknya, Israel harus segera menarik semua pasukannya dari wilayah itu, membongkar semua kota dan pos terdepan Yahudi di sana, dan menutup apa pun yang tersisa dari mesin pengendalinya. Tujuannya adalah untuk menginspirasi lahirnya suasana akomodatif yang timbal balik oleh Palestina atau, jika gagal, adanya pemisahan de-facto yang akan menguntungkan kedua belah pihak. "Tinggalkan Pemukiman, Kembali kepada Diri Sendiri" (Leave the Settlements, Return to Ourselves) adalah cara organisasi sayap kiri Israel Peace Now mempromosikan gagasan ini. Varian dari ide yang sama pernah dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti Amram Mitzna (Calon Perdana Menteri Partai Buruh baru-baru ini), oleh Putra Mahkota Saudi Abdallah, oleh hampir setiap pemerintah negara-negara Eropa dan oleh mayoritas kaum sayap kiri, akademisi, jurnalis dan diplomat di seluruh dunia, belum lagi para pemimpin agama dan bisnis.
Masing-masing rencana ini punya kekurangan yang penting. Pengusiran paksa warga Arab Palestina dari wilayah yang dikuasai Israel memang bakal mengurangi korban dari pihak Israel. Tetapi harga politik, baik di luar negeri maupun di dalam Israel, tidak dapat dihitung. Hal ini menyebabkan opsi ini lebih fantastis daripada nyata. Bahkan lebih tidak realistis lagi warga Palestina pergi dari sana secara sukarela. Yordania-adalah-Palestina adalah non-starter karena berbagai alasan. Satu-satunya yang paling penting adalah bahwa baik Yordania maupun Palestina tidak menunjukkan kesiapan sedikit pun untuk menjalankannya.* Karena tidak ada warga Palestina yang cenderung untuk menerima Yordania sebagai pengganti untuk Palestina. Apalagi untuk menerima Amman untuk Yerusalem. Satu-satunya hasil yang mungkin dapat diterima dari kebijakan semacam itu, jika diterapkan, adalah menambahkan Yordania sebagai basis bagi Palestina untuk menaklukan Israel.
Adapun soal pagar pemisah dan zona penyangga, mereka tidak menawarkan perlindungan yang bagus. Teroris bisa saja melewati pagar dengan pesawat layang, mengelilinginya dengan perahu, atau melintasi di bawahnya lewat terowongan. Mereka dapat menembakkan mortir atau roket ke pagar pemisah, melewati pos pemeriksaan dengan menggunakan kartu tanda penduduk palsu, dan merekrut orang Arab Israel atau simpatisan Barat yang berada di sisi lain tembok. Lagi pula, begitu tembok dibangun, Israel akan efektif membatasi pengaruhnya atas apa yang terjadi di luarnya, di dalam Otoritas Palestina, termasuk kemampuan Otoritas Palestina untuk mengimpor senjata dan pasukan asing. Juga, akhirnya, bersembunyi di balik pagar tidak akan mengirimkan pesan yang dimaksudkan kepada warga Palestina, meyakinkan mereka untuk berhenti melakukan kekerasan. Sebaliknya, hal itu mungkin justru akan memperkuat kesan Israel sebagai masyarakat yang ketakutan yang pada dasarnya pasif, sehingga memicu kekerasan lebih lanjut. Singkatnya: pagar mungkin memiliki kegunaan sebagai alat taktis untuk menyelamatkan nyawa, tetapi tidak ada sebagai dasar untuk mengakhiri konflik.
Bagaimana dengan soal perubahan kepemimpinan Palestina? Setiap bukti memperlihatkan dan setiap jajak pendapat menegaskan, bahwa serangan terhadap Israel selama dua setengah tahun terakhir sangat populer di kalangan warga Palestina. Memang, ada banyak alasan untuk percaya bahwa "jalanan" jauh lebih agresif anti-Zionis daripada kepemimpinan. Meski Arafat menyebarluaskan ambisinya untuk menghancurkan Israel, dia bukanlah sumber ambisi itu, dan mengeluarkannya dari kepemimpinan Palestina tidak akan menghilangkan anti-Zionisme. Lebih khusus lagi, rencana ben Eliezer, yaitu menunggu perubahan kepemimpinan, bersandar pada anggapan yang jauh dari jelas bahwa para pemimpin berikutnya akan lebih baik daripada yang sudah ada. Sementara itu, rencana Netanyahu itu menderita sindrom ciuman kematian (kiss-of-death syndrome) yang berlaku bagi setiap kepemimpinan Palestina yang dipilih oleh Israel.
Persoalan manakah yang membawa kita kepada berbagai proposal yang bermanfaat bagi warga Palestina dengan harapan mengurangi rasa permusuhan mereka. Alasan di sini tidaklah memadai (backward). Meski tata pemerintahan yang baik, misalnya, pada prinsipnya tentu disambut baik, namun ia kurang diinginkan selama Palestina terus berupaya menghancurkan Israel. Ini mengingatkan kita pada gagasan untuk mengakhiri perang dingin dengan mendorong "lembaga politik dan ekonomi yang sama sekali baru" di Uni Soviet bahkan ketika ideologi inti sistem itu tetap utuh sepenuhnya. Mengapa ada orang ingin meningkatkan kompetensi dan jangkauan ekonomi penyerang?
Kritik yang sama, dan lebih banyak lagi, berlaku untuk pembaruan Marshall Plan yang diusulkan oleh Anggota Kongres Hyde. Sejauh Marshall Plan yang asli berhasil,† maka ia memenuhi kebutuhan akan modal, yang bukan merupakan tantangan utama ekonomi Palestina.† Kepemimpinan PA yang sangat korup akan mengantongi banyak bantuan. Perang Palestina melawan Israel tidak ada hubungannya dengan kemiskinan atau masalah ekonomi lain. Namun, pada dasarnya, proposal Hyde punya kesalahan konseptual yang sama dengan pemerintahan yang baik. Soalnya, usulan itu berjanji memberikan penghargaan kepada warga Palestina bahkan ketika mereka berperang melawan Israel sekalipun. Apakah terlalu dangkal untuk dicatat bahwa Marshall Plan sebenarnya dilembagakan tiga tahun setelah Nazi Jerman kalah telak dalam perang?
Lalu ada peta jalan, yang meminta warga Palestina untuk sementara waktu mengurangi aksi kekerasan dan sebagai imbalannya mereka memiliki negara. Dengan demikian, peta jalan tidak terlampau banyak menuntut warga Palestina dibanding dengan proses Kesepakatan Oslo yang gagal yang dirancang untuk menggantikannya. Bahkan tidak terlampau banyak berpura-pura mengharapkan Palestina mematuhi persyaratannya. "Jalur-jalur jalan" dan rencana serupa lainnya punya kesalahan yang persis sama. Beberapa bahkan lebih besar kesalahannya. Dan berbagai proposal untuk menggunakan tentara dan perantara asing di tempat yang sekarang menjadi zona perang jelas tidak bisa dijalankan. Dapatkah orang bayangkan masyarakat Amerika, Kanada dan Eropa menerima adanya orang yang tewas hanya supaya bisa mencegah warga Palestina menyerang warga Israel? Ini tidak masuk akal. Tidak peduli seberapa beraninya mereka berbicara sebelumnya.
Akhirnya, kita punya rencana yang sangat populer yang mewajibkan penarikan mundur sepihak Israel dari Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan imbalan yang pasti tidak ada sama sekali, yang sejauh ini merupakan pilihan terburuk dari semuanya. Jika perlu bukti, presedennya ada. Yaitu, seluruh dekade terakhir, ketika, berdasarkan Kesepakatan Oslo, Israel mengambil "langkah-langkah perdamaian" yang tidak diperhitungkan yang justru diganjari "mitra" Palestinanya dengan rasa permusuhan yang jauh lebih agresif. Contoh yang luar biasa, bagaimanapun, tetap penarikan mundur sepihak Israel dari Libanon pada Mei 2000. Penarikan mundur itu dilakukan dengan keyakinan kuat bahwa ia akan mendapatkan ketenangan di perbatasan utara Israel. Tidak hanya ketenangan tidak terjadi, tetapi, mengingat banyaknya persenjataan besar dan rasa percaya diri Hizbullah yang terlampau berlebih, aksi kekerasan di sana kemungkinan akan menjadi jauh lebih intens. Mungkin mengarah ke perang habis-habisan. Sementara itu, penarikan Israel dari Libanon sangat berperan dalam memacu pecahnya aksi kekerasan Palestina pada September 2000. Orang hanya bisa bergidik menyaksikan pembantaian yang bakal terjadi setelah Israel segera melarikan diri dari wilayah-wilayah mayoritas warga Palestina.
Sebenarnya, semua rencana ini bergerak menuju arah yang salah. Menyebabkan resolusi konflik semakin jauh disbanding sebelumnya. Kemajuan yang sebenarnya mempersyarakatkan cara yang berbeda yang jauh lebih jujur dalam melihat konflik sebagai keseluruhan. Mari kita mulai dengan mengenang poin-poin dasar tertentu:
- Istilah netral seperti "konflik Arab-Israel" terdengar seolah-olah kedua belah pihak sama-sama harus disalahkan atas perang yang berlangsung puluhan tahun. Dan oleh karena itu harus diajak berkompromi sembari memilahkan perbedaan antara mereka. Seperti yang dengan nada keras Norman Podhoretz mengatakan ini "label yang menipu." Istilah yang lebih akurat adalah "perang Arab melawan Israel".
- Penguasaan Israel atas Tepi Barat dan Gaza tidak bisa menjadi inti masalahnya. Perang Bangsa Arab melawan Israel sudah terjadi sejak sebelum Israel mengambil alih wilayah-wilayah itu pada tahun 1967. Pada kenyataannya, perang sudah berlangsung bahkan sebelum Israel secara resmi muncul sebagai sebuah negara.
- Lebih tepat, akar penyebab konflik yang tetap terjadi pada masa kini senantiasa terjadi pada masa lalu. Bangsa Arab menolak kehadiran Bangsa Yahudi yang berdaulat antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania.
- Konflik berlanjut hingga dekade keenam karena Bangsa Arab berharap mereka dapat mengalahkan dan kemudian menghancurkan Negara Israel.
- Israel tidak dapat mengakhiri konflik ini secara sepihak dengan aksinya sendiri. Ia hanya bisa mengambil langkah-langkah yang lebih memungkinkan sehingga Bangsa Arab bakal menghapuskan harapan-harapan itu.
Inti persoalannya, dengan kata lain, adalah menentang penolakan dari Bangsa Arab. Betapapun cerdiknya penyusunannya, rencana-rencana untuk berusaha mengepung, melompati atau dengan cara lain mempermainkan fakta yang keras kepala ini bakal gagal. Alih-alih mengabaikannya, para calon pembuat perdamaian akan lebih baik memulainya dengan menyadari bahwa konflik akan berkurang hanya bila Bangsa Arab akhirnya menghentikan impian mereka untuk melenyapkan negara Yahudi, dan kemudian berkonsentrasi untuk menemukan cara agar Bangsa Arab menjalani apa yang saya sebut "perubahan hati" (change of heart). Bagaimana mungkin hal itu tercapai?
Beberapa petunjuk terlihat ketika dilakukan tinjauan sekilas terhadap beberapa konflik abad ke-20. Konflik-konflik memang berakhir demikian karena satu pihak sepenuhnya melepaskan tujuan perangnya. Perang berhenti ketika dan karena tidak ada lagi perang. Inilah yang terjadi dalam Perang Dunia II dan perang dingin. Juga dalam perang antara Cina dan India. Antara Vietnam Utara dan Amerika Serikat. Antara Inggris Raya dan Argentina. Antara Afghanistan dan Uni Soviet. Dan yang terbaru antara Amerika Serikat dan Afghanistan. Konflik berakhir bukan melalui negosiasi atau karena pagar tembok, tetapi karena satu pihak yang menerima kekalahannya.
Penyerahan diri ini dapat terjadi menyusul kekalahan militer. Atau menyusul akumulasi tekanan ekonomi dan politik. Bagaimanapun dicapai, hasilnya harus tegas. Jika pihak yang kalah mempertahankan tujuan perangnya, maka putaran pertempuran baru tetap saja ada bahkan mungkin terjadi. Pasca-Perang Dunia I, misalnya, kekalahan membuat Jerman masih mencari peluang lain untuk menguasai Eropa. Dengan cara yang sama, perang antara Korea Utara dan Selatan, Pakistan dan India, Irak dan Iran, dan Irak dan Kuwait belum berakhir, karena pihak yang kalah menafsirkan ia hanya kalah pada sebagian perang atau kekalahan itu hanya sementara.
Pola sejarah ini memiliki beberapa implikasi. Yang pertama dan terpenting, ini berarti musuh-musuh Israel harus diyakinkan bahwa mereka sudah kalah. Sebenarnya tidak semua musuhnya. Hanya warga Palestina. Meski lemah berdasarkan ukuran objektif apa pun disbanding dengan negara-negara Arab, warga Palestina adalah orang-orang yang diperjuangkan oleh perang ini. Jika mereka, setelah menderita kekalahan yang diperlukan, menyerah pada upaya untuk menghancurkan Israel, maka negara lain akan sulit untuk tetap menolak.
Yang membantu mengubah hati Palestina adalah kemampuan Israel untuk menangkis serangan (deterrence): Dengan mempertahankan militer yang kuat yang mengancam hendak menggunakan kekuatan ketika diserang. Ini bukan sekedar soal taktik keras yang diupayakan oleh setiap Pemerintahan Israel yang berhaluan Kiri atau Kanan. Ini masalah pandangan strategis jangka panjang. Yang menjadi masalah dengan menangkis serangan lawan dari sudut pandang Israel adalah bahwa, bukanlah menawarkan kesempatan untuk memulai, tetapi pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan yang reaktif: Pendekatan yang membosankan, yang tidak menyenangkan, yang mahal, yang tampaknya pasif dan tidak langsung, yang benar-benar tidak memuaskan, yang menyimpang dari langkahnya yang penuh dengan semangat penduduk Israel yang tidak sabar. Tapi ia berhasil, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Israel sendiri pada periode 1948-93.
Syarat dasar strategi semacam itu adalah bahwa Palestina bersedia menerima Israel. Proposisinya pun biner: ya atau tidak. Tidak ada yang lain di antaranya. Itulah salah satu syarat yang tidak kurang-kurangnya membuat frustrasi dalam jangka pendek. Ini menunjukkan, pada gilirannya, berbagai negosiasi menjadi sia-sia. Setidaknya sampai warga Palestina benar-benar menerima Negara Yahudi. Persoalan-persoalan seperti perbatasan negara, air, persenjataan, status Yerusalem, komunitas Yahudi di Tepi Barat dan Gaza, yang namanya pengungsi Palestina, singkatnya, merupakan isu-isu sentral periode Kesepakatan Oslo, tidak dapat dibahas secara produktif selama satu pihak masih bermaksud membunuh pihak lain. Pada prinsipnya, persoalan yang sejalan dengan Kesepakatan Oslo bisa diterapkan. Tetapi hanya setelah warga Palestina secara definitif dan tegas, dan dalam jangka waktu lama, memperlihatkan bahwa mereka telah berdamai dengan keberadaan Negara Israel sebagai fakta yang tidak dapat diubah.
Terlebih lagi, jika kita belajar sesuatu selama dekade terakhir, maka konsesi sementara Israel itu kontraproduktif dan karena itu harus dihentikan. Seperti dibuktikan oleh pengalaman Oslo, berbagai kesepakatan justru mengobarkan agresi Arab. Bukan meredamnya. Dengan menawarkan konsesi berulang kali bahkan ketika warga Palestina tidak memenuhi satu pun kewajiban mereka, Israel sebetulnya mengisyaratkan bahwa dia lemah. Itulah mengapa mulai 1993, kesepakatan Oslo memunculkan (take) situasi yang buruk. Ada beberapa aksi kekerasan pada akhir 1980-an dan awal 90-an. Tetapi sikap berhati-hati masih terjadi di pihak Palestina. Dan itu membuatnya jauh lebih buruk. Hanya ketika warga Palestina yakin tidak ada cara lain bahwa berakhirnya konflik dapat dipahami bersama dengan kesepakatan bersama yang mengikatnya (seal).
Diplomasi AS lama berpijak pada teori bahwa orang harus memulai dengan kesepakatan antara Israel dan para pemimpin Arab yang tidak dipilih oleh rakyatnya. Setelah pemimpin itu membubuhkan tanda tangannya pada secarik kertas, diperkirakan, bahwa pada waktunya rasa persahabatan akan berkembang di antara rakyatnya. Namun, hal itu tidak terjadi. Justru benar-benar berbeda: setiap kali para pemimpin seperti Anwar Sadat atau Raja Hussein - dan ini bahkan berlaku pada Arafat – sudah menandatangani perjanjian, populasi mereka menjadi semakin memusuhi Israel. Jadi, tidak berkurang rasa permusuhannya. Seolah-olah pemerintah dipahami untuk meneruskan beban anti-Zionis kepada institusi lain: media, sistem pendidikan, pemimpin agama, serikat pekerja, asosiasi perdagangan. Selembar kertas tidak dapat dengan sendirinya menghasilkan perubahan hati, tetapi hanya menjadi simbolnya. Perjanjian harus mengikutinya, bukan mendahului, perubahan mendalam ke arah yang lebih baik di pihak Arab.
Dengan cara yang sama, maka keliru jika mau membahas masalah "status akhir." Yaitu, soal bagaimana keadaan terlihat ketika konflik selesai. Memang, ada banyak spekulasi tentang Negara Palestina masa depan. Terkait dengan soal batas-batas negaranya, sifat kedaulatan dan sebagainya. Semua pembicaraan semacam itu mendorong rakyat Palestina untuk berpikir bahwa mereka dapat memperoleh keuntungan dari sebuah negara tanpa menerima Israel. Ini tidak untuk mengatakan bahwa perencana kebijakan pada beberapa struktur kekuasaan yang paling dasar (sub-basement) tidak boleh memikirkan melalui kontur kesepakatan status akhir. Tetapi, ini bukan bagi mereka yang memiliki posisi kekuasaan yang bertanggung jawab untuk memulai perundingan.
Di luar pertimbangan umum tersebut, Pemerintah Amerika Serikat dapat mengambil langkah-langkah khusus. Karena satu hal, sudah tiba waktunya bagi Presiden AS untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Kini, nyaris setiap tahun Kongres membuat kebiasaan untuk mencoba memaksakan pemindahan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem. Tetapi inisiatif itu selalu gagal karena masalah kedutaan dipahami Gedung Putih sebagai murni masalah simbolisme dan harga yang harus dibayar di Arab. Kaum Muslim yang marah dengan gerakan simbolis murni selalu menganggap simbolisme itu terlalu tinggi. Tetapi masalahnya bukan hanya simbolis. Pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, terutama jikalau disampaikan dengan benar, bergerak semakin jauh hingga memperlihatkan kepada warga Palestina bahwa masalah eksistensial telah ditutup. Bahkan Israel ada di sana dan permanen, sehingga semakin cepat mereka menerima fakta ini, semakin baik.
Karena hal lain, semakin banyak tekanan dapat dan harus ditimpakan pada pihak Palestina untuk menghentikan aksi kekerasan. Pemerintah AS cenderung melihat kekerasan ini sebagai penyimpangan, sebuah perilaku anomali sementara warga Palestina. Padahal, pada titik tertentu kekerasan menjadi inti sikap Palestina terhadap Israel, dan karena itu untuk menghentikannya perlu menjadi prioritas kebijakan AS. Termasuk, dalam contoh pertama, dengan menolak memberi penghargaan finansial atau diplomatik. Jika Washington berharap bahwa, dengan mendapatkan lebih banyak lagi tujuan mereka, warga Palestina akan menghentikan aksi kekerasan mereka, maka pendekatan itu jelas telah gagal. Sudah tiba waktunya untuk memusatkan perhatian langsung pada kekerasan itu sendiri.
Washington juga banyak acuh tak acuh terhadap kampanye antisemitisme dan anti-Zionisme fanatik yang seram dan mengerikan yang dilakukan oleh berbagai lembaga Otoritas Palestina yang beberapa di antaranya disubsidi oleh pembayar pajak Amerika. Secara khusus Washinton tidak terlampau memperhatikan hasutan mengerikan atas anak-anak untuk terlibat dalam operasi "syahid." Ini kesalahan yang perlu segera diperiksa ulang.
Terakhir, ada yang namanya pengungsi Palestina. Satu-satunya bangsa di antara semua massa manusia yang tercerai-berai bertahun-tahun pasca-Perang Dunia II yang dibekukan dalam status pengungsi. Dalam beberapa kasus, status itu hingga generasi keempat. (Sebagian besar dari mereka yang mengklaim status pengungsi lahir setelah peristiwa 1948-49 yang menimbulkan masalah di tempat pertama.) Alasan anomali ini jelas: dorongan untuk menolak Israel ditopang oleh fantasi untuk "kembali ke Israel" secara massal. Dengan demikian, jumlah pengungsi yang diduga terus bertambah menjadi belati yang semakin tajam di tenggorokan Israel. Dalam sandiwara kejam ini, Pemerintah AS terlibat selama lebih dari setengah abad. Menyumbangkan persentase substansial dari dana yang digunakan untuk mempertahankan status pengungsi warga Palestina yang sekaligus mencegah mereka berintegrasi ke negara-negara Arab. Waktunya telah tiba untuk mendesak agar mereka berasimilasi.
Tidak ada jalan pintas. Dan tidak ada alternatif. Satu-satunya cara supaya bisa maju dalam konflik Palestina – Israel adalah dengan mempengaruhi warga Palestina untuk membuang niat jahat mereka vis-à-vis, berhadapan dengan Israel. Ganjaran terhadap masyarakat Palestina karena bersedia menghentikan niat jahat bukan saja bakal sangat besar tetapi, ironisnya, bakal lebih besar bagi mereka dibandingkan dengan bagi Israel sendiri.
Israel kini menderita akibat (pertumpahan) darah di jalanan dan ekonominya terjebak dalam resesi yang dalam. Ia satu-satunya negara Barat yang terus-menerus dipaksa untuk mempertahankan keberadaannya melalui kekuatan militer. Meskipun demikian, karena semua masalahnya, ia tetap sebuah masyarakat yang berfungsi dengan kehidupan politik yang riuh-rendah dengan budaya yang dinamis. Sebaliknya, warga Palestina kesulitan. Daerah-daerah yang secara nominal diperintah oleh Otoritas Palestina itu anarkis. Di sana ada jam malam, pemblokiran jalan dan kekerasan yang menentukan parameter langsung dan kediktatoran, korupsi, serta keterbelakangan. Ini salah satu konsekuensi yang lebih besar. Dalam kata-kata seorang pengamat yang simpatik, masyarakat Palestina telah "dirusak oleh kemiskinan yang tersebar luas, menurunnya status kesehatan, pendidikan yang terkikis, kerusakan fisik dan lingkungan dan tidak adanya harapan."
Masyarakat Palestina, dengan kata lain, lebih menderita akibat aksi kekerasan mereka sendiri dibanding Israel. Selama mereka masih ngotot bertahan dalam mimpi buruk untuk menghancurkan Israel, mereka akan dihantui oleh kegagalan dan frustrasi. Sebaliknya, hanya ketika mereka menerima bahwa Israel tetap hidup, mereka akan dibebaskan untuk memenuhi potensi besar mereka dengan membangun ekonomi yang makmur, sistem politik yang terbuka, dan budaya yang menarik.
Israel harus memperoleh keuntungan dari kemenangannya atas Palestina. Palestina justru memperoleh lebih banyak keuntungan akibat kekalahan itu. Dari sudut pandang kebijakan Amerika, mereka dibantu supaya bisa mengubah hati. Perubahan hati ini menjadi tujuan yang tidak dapat ditolak yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dan akhirnya terserah kepada Palestina untuk membebaskan diri dari setan perjuangan mereka sendiri untuk kembali kepada bekas tanah mereka. Pihak lain, terutama Israel dan Amerika, memang dapat membantu. Tentu saja, dengan berpegang teguh pada daya tarik penuh godaan dari peta jalan yang persis bergerak menuju arah yang salah.
* Adam Garfinkle dan saya mendiskusikan kekurangan-kekurangan dari pemikiran ini dalam artikel bertajuk "Is Jordan Palestine?" yang diterbitkan Commentary, Oktober 1988.
†† Almarhum P.T. Bauer secara tajam mengecilkan gagasan bahwa Marshal Plan pantas mendapatkan reputasinya sebagai program yang berhasil secara mengagumkan.
** Tinjauan sekilas seputar dinamika ini dapat dilihat pada 1993-94. Ketika sikap Palestina untuk menerima Israel tampaknya sedang terbentuk. Pemerintah Suriah dan Iran, antara lain, mendapati diri mereka tidak mampu mencegah Arafat bergerak ke arah ini atau memilih mantel anti-Zionisnya.
Pemutakhiran 1 Mei 2003: Bacalah berbagai jawaban terhadap artikel ini dan tanggapan saya dalam artikel "Arguing over "Does Israel Need a Plan?" Letters to the Editor."
Pemutakhiran 12 Juli 2006: Prediski di atas bahwa "melihat gudang senjata Faksi Hizbulah yang begitu banyak dan keyakinan dirinya yang sangat berlebih, maka kekerasan [di Libanon] agaknya bakal semakin intens. Mungkin saja akan mengarahkan kepada perang habis-habisan, "sudah menjadi nyata sekarang ini."
Pemutakhiran 21 September 2009: Saya membahas topik ini lagi dalam artikel bertajuk "Peace Process or War Process?" Analisis ini mencurahkan jauh lebih banyak perhatian terhadap upaya untuk melukiskan sekaligus menolak banyaknya "solusi" konflik. Agar orang memusatkan perhatian lebih pada biaya dari ilusi Kesepakatan Oslo.
Topik Terkait: Konlik dan diplomasi Arab-Israel, Israel Victory Project, Rakyat Palestina, Kebijakan AS
Artikel Terkait:
- Arguing over "The Way to Peace: Israeli Victory, Palestinian Defeat"
- Lift the "Siege" [on the Palestinian Authority]?
- Is the West Bank a Vital American Interest?
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.