A.S. title: "Why Ukrainian Refugees Are Different From Third-World Migrants"
Pasca-invasi Rusia 24 Februari (2022), pengungsi Ukraina berdatangan di Polandia. Mereka disambut dengan penuh suka cita. Mereka bahkan terkejut atas sambutan hangat masyarakyat Polandia. "Kami mendapatkan segalanya. Benar-benar segalanya. Bahkan terlalu banyak barang. Orang-orang di sini luar biasa. Sangat murah hati. Kami tidak mengharapkan banyak simpati." "Luar biasa, betapa mereka membantu. Mereka berikan kami semua yang mereka miliki." Masyarakat Polandia pun terkesan dengan diri mereka sendiri: "Tidak pernah saya kira kami memiliki ini di dalam diri kami. Tidak ada yang tahu kami dapat dimobilisasi seperti ini." "Dalam situasi kritis ini, kami berkumpul bersama. Dan, sungguh, saya tidak tahu siapa saja yang tidak membantu."
Tidak cuma masyarakat Polandia yang menyambut ramah migran Ukraina. Masyarakat Bulgaria, Denmark, Yunani, Hungari, Italia, Moldova, Rumania, Swiss dan lain-lain menanggapinya secara sama. Sebuah laporan awal Maret lalu menemukan bahwa "Jumlah warga Berlin yang menawarkan bantuan begitu besar sehingga sukarelawan pun ditolak supaya tidak ikut membantu." Republik Siprus "dengan hangat menyambut 6.000 pengungsi Ukraina, menyediakan suasana dingin yang membuat mereka betah." Masyarakat Amerika Serikat mendukung imigrasi Ukraina karena mereka tidak punya kelompok lain sejak 1939. Pembayar pajak AS karena itu mengirim hampir $1 miliar (sekitar Rp 14, 5 Triliun) untuk membantu pengungsi dalam bentuk perumahan, pengajaran bahasa Inggris dan layanan dukungan trauma. Walau belum pernah terjadi sebelumnya, masyarakat Jepang membuka pintu mereka bagi orang asing,
Para pendukung multikulturalisme dan pembukaan perbatasan negara banyak memanfaatkan Ukraina sebagai contoh untuk mengatakan bahwa tanggapan yang kurang ramah terhadap migran dari Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan merupakan ekspresi rasisme, xenofobia, atau "Islamofobia."
Sambutan itu penuh kehangatan. Berdatangan dari semua sisi spektrum politik. Meski demikian, mereka menyembunyikan bahaya yang nyaris tidak kentara. Para pendukung multikulturalisme dan pembukaan perbatasan negara banyak memanfaatkan Ukraina sebagai contoh untuk mengatakan bahwa tanggapan yang kurang ramah terhadap migran dari Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan merupakan ekspresi rasisme, xenofobia, atau "Islamofobia." Ketika perhatian yang luar biasa diberi kepada Ukraina, sedikit sekali dicatat bahwa setelah krisis masa kini usai dan migran non-Barat kembali menjadi sorotan, alur penalaran itu pasti bakal muncul menguat. Sekarang waktunya bersiap diri menghadapi serangan yang berdatangan atas persoalan perbatasan negara dan hukum dengan cara mengenali bahaya yang ditimbulkannya. Sekaligus menyiapkan argumen tandingan.
"Masyarakat Ukraina Senantiasa Didahulukan "
Pada masa lalu, tanggapan Polandia terhadap dua kelompok besar migran di perbatasan timur negerinya sangat berbeda.
Pada akhir 2021, diperkirakan 15,000 migran terbang secara legal ke Belarus. Di sana, pihak berwenang negeri itu membawa mereka menuju perbatasan Polandia kemudian mendorong atau kadang bahkan memaksa mereka melintasinya sebagai cara untuk menekan Uni Eropa. Sebagian besar migran berasal dari Timur Tengah. Polandia menanggapinya dengan keras. Patroli dilakukan di zona itu dengan kekuatan 13.000 personel keamanan. Juga dikerahkan meriam air, gas air mata, drone, kamera inframerah dan helikopter. Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki secara emosional menyatakan bahwa "Perbatasan negara ini suci. Perbatasan negara Polandia bukan sekedar garis-garis dalam peta. Beberapa generasi masyarakat Polandia telah menumpahkan darah mereka untuk perbatasan ini." Pemerintahnya mengesahkan sebuah undang-undang yang memungkinkannya menolak klaim suaka migran ilegal dan mengusir paksa mereka ke luar negeri beberapa kali jika perlu. Pemerintah Polandia terus mengusir calon migran ilegal dan kini sedang membangun tembok baja setinggi 5½ meter sepanjang hampir 200 kilometer senilai €350 juta (sekitar Rp 5, 150 Triliun) di perbatasannya dengan Belarus.
Polandia tengan membangun tembok baja senilai €350 million (sekitar Rp 5, 150 Triliun), nyaris sepanjang 200-kilometer untuk menghentikan para migran illegal dari Belarus. |
Hanya beberapa bulan kemudian, Warsawa menanggapi invasi Putin dengan cara yang persis berlawanan. Pada hari invasi itu sendiri, Menteri Dalam Negeri Polandia Mariusz Kamiński mengumumkan bahwa "Siapa saja yang melarikan diri dari bom, dari senapan Rusia dapat mengandalkan dukungan dari Negara Polandia." Meskipun jumlah pengungsi Ukraina yang terlibat mencapai lebih dari 3.5 juta orang, yang berarti lebih dari 200 kali lebih besar dibandingkan dengan migran di Belarus, Pemerintah Polandia dan rakyatnya menyambut gembira masyarakat yang menderita trauma ini sekaligus berdiri teguh bersama mereka melawan Putin.
Warsawa menyambut hangat para pengungsi dari Ukraina. |
Pemerintah benar-benar mengizinkan para pengungsi yang kekurangan dokumen untuk memasuki negerinya. Pemerintah juga segera mengesahkan legislasi yang memberikan akses bagi warga Ukraina untuk memperoleh perawatan kesehatan, pendidikan dan tumpangan gratis di kereta api yang dikelola negara. Termasuk memberi tunjangan harian kepada warga Polandia yang menampung pengungsi Ukraina di rumah mereka. Populasi Warsawa pun meningkat nyaris 20 persen dalam hitungan minggu. Namun kota terus berjalan normal dan semangatnya tetap tinggi. Selama sebulan terjebak perang, Polandia sudah tidak punya kamp pengungsi menyusul curahan limpahan bantuan dari badan amal, bisnis, perorangan dan pemerintah daerah.
"Semua orang yang melarikan diri dari bom Putin diterima dengan baik di Eropa" urai Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengumumkan. Dalam sebuah langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, Uni Eropa (EU) mengaktifkan "mekanisme perlindungan sementara." Sebuah mekanisme yang memberikan hak hidup dan bekerja setidaknya selama satu hingga tiga tahun di semua 27 negara anggota bagi pengungsi Ukraina. Juga untuk memberikan jaminan untuk memperoleh perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan. Uni Eropa juga mengajukan cara baru bagi migran Ukraina untuk membelanjakan uang mereka hryvnia senilai €300 (sekitar Rp 4,42 juta). Perusahaan bus, kereta api dan maskapai penerbangan mengangkut orang Ukraina secara gratis ke negara-negara yang lebih jauh untuk membebaskan tetangga dekat Ukraina dari menanggung seluruh beban pengungsi.
Namun, migran non-Barat menceritakan kisah yang berbeda. Mengaku diusir keluar dari tempat penampungan guna memberikan jalan bagi Ukraina, seorang migran Afghanistan di Jerman mengakhiri kisahnya dengan mengatakan bahwa "Ukraina adalah pengungsi kelas satu dan kami hanya kelas dua."
Najeeb, seorang penerjemah yang sebelumnya bekerja untuk Pemerintah AS di Afghanistan, bertanya, "Orang Ukraina dapat bebas pergi ke negara-negara Eropa. Tetapi ke mana kami harus melarikan diri?" Otoritas Polandia yang sama yang menyambut orang Ukraina bahkan tidak bakal "menawarkan kami segelas air," protes seorang migran Suriah. Migran Afrika mengeluh bahwa "Migran Ukraina senantiasa didahulukan, meski kami orang Afrika berada di sana selama berhari-hari dan kadang-kadang selama tiga hari tanpa makanan. Semua orang benar-benar kehabisan tenaga. Setiap kali orang Ukraina datang, mereka menyuruh kami kembali [pulang ke negara kami]. Mereka berteriak pada kami, 'kembali'."
Pengalaman migran di Calais, Prancis, di Selat Inggris, dijadikan kontras yang sangat gamblang. Sebuah laporan menemukan bahwa "Beberapa jam setelah tiba di Calais, [seorang ibu muda Ukraina] dan anaknya disambut baik oleh pejabat imigrasi Inggris kemudian dinaikkan ke bus menuju Inggris. Bertahun-tahun setelah tiba di Calais, [Ahmed, seorang pria berusia 41 tahun pria dari Sudan Selatan] tetap terjebak di tempatnya. 'Mereka itu orang Eropa,' kata Ahmed tentang pengungsi Ukraina, sambil menggulung lengan jaketnya yang berkerudung memperlihatkan kulitnya. 'Afrika – itulah yang berbeda.'" Laporan itu menemukan bahwa migran non-Eropa memenuhi tenda kemah sementara pihak berwenang menampung orang Ukraina di losmen tepi pantai. Laporan lain dari Calais mengisahkan tentang migran Ukraina yang disambut oleh walikota kota itu dan disediakan penginapan gratis serta makan ayam panggang dan chocolate mousse, suguhan-suguhan yang tak terbayangkan bagi migran non-Barat.
"Mata Biru Berambut Blonde"
Para politisi dan wartawan pun lantas menawarkan berbagai penjelasan aneh sekaligus memalukan untuk perlakuan yang tidak sama terhadap para migran.
Menghadapi kesenjangan perlakuan ini, politisi dan wartawan pun lantas menawarkan berbagai penjelasan aneh sekaligus memalukan.
Mantan Wakil Kepala Kejaksaan Ukraina, David Sakvarelidze membuka jalan dengan komentarnya. Dikatakannya, bahwa ketika menyaksikan situasi di Ukraina "saya sangat emosional karena saya saksikan orang Eropa bermata biru berambut pirang dibunuh ... setiap hari." Perdana Menteri Bulgaria Kiril Petkov menegaskan bahwa orang Ukraina "itu orang Eropa" lalu menambahkan bahwa "Orang-orang ini cerdas, mereka orang terpelajar ... Ini bukan gelombang pengungsi yang biasa kita saksikan, orang-orang yang tidak kita yakini identitasnya, orang-orang dengan masa lalu yang tidak jelas, yang bahkan bisa saja teroris. Dengan kata lain, tidak satu pun negara Eropa sekarang yang takut dengan gelombang pengungsi saat ini."
Menteri Migrasi Yunani Notis Mitarachi juga mencatat "ada perbedaan besar" antara orang Ukraina yang datang ke Yunani dan migran dari tempat yang lebih jauh: "Pengungsi Ukraina mengalami perang di negara yang berbatasan dengan Uni Eropa." Sementara itu, banyak migran lain memasuki blok itu "secara illegal." Sebanyak "7 dari 10o orang [yang terakhir] dianggap bukan pengungsi" oleh Pemerintah Yunani. Seorang jurubicara Éric Zemmour, yang kala itu menjadi calon presiden Prancis, yang memusatkan perhatiannya pada upaya mengucilkan migran Muslim, menjelaskan bahwa ia "membedakan antara pengungsi Ukraina Eropa dan Kristen yang terlantar dan migran ekonomi dari dunia Arab-Muslim."
Para wartawan kemudian membahas tema superioritas Bangsa Eropa selengkapnya:
- Charlie D'Agata, seorang koresponden luar negeri senior CBS News menulis: Kyiv, "bukanlah tempat, yang dengan semua penghormatan sepantasnya, seperti Irak atau Afghanistan, sudah menyaksikan kobaran konflik selama beberapa dekade. Ini relatif Eropa yang berbudaya, relatif Eropa. Harus saya pilih kata-kata itu dengan hati-hati. Ia juga kota. Sebuah kota yang tidak bakal anda sangka (expect) atau harapkan (hope) bahwa konflik bakal terjadi."
- Daniel Hannan, seorang wartawan Inggris kenamaan menulis: "Mereka tampak begitu mirip dengan kita. Itulah yang membuatnya begitu mengejutkan. Ukraina ini negara Eropa. Masyarakatnya menonton Netflix dan punya akun Instagram, mengikuti Pemilu yang bebas dan membaca surat kabar yang tidak disensor. Perang bukan lagi sesuatu yang melanda menghancurkan populasi miskin yang jauh. Ia bisa saja terjadi pada siapapun."
- Lucy Watson, seorang wartawati stasiun televisi ITV: "Kini, hal yang tidak terpikirkan terjadi atas mereka. Dan, ini bukanlah bangsa (nation) yang sedang berkembang, dunia ketiga dunia. Ini Eropa!"
- Peter Dobbie, penyiar Bahasa Inggris Al Jazeera mengatakan: "Menariknya, cukup dengan melihat mereka, cara mereka berpakaian. Mereka orang-orang yang hidup makmur ... orang-orang kelas menengah. Ini jelas-jelas bukan pengungsi yang mencoba melarikan diri dari daerah-daerah di Timur Tengah yang masih dalam keadaan perang besar. Ini bukan orang-orang yang berupaya melarikan diri dari daerah-daerah di Afrika Utara. Mereka terlihat seperti keluarga Eropa mana pun yang akan tinggal di sebelah Anda."
- Phillipe Corbé, seorang jurnalis Prancis: "Kita tidak sedang berbicara di sini tentang warga Suriah yang melarikan diri dari pemboman oleh rezim Suriah yang didukung Putin. Kita berbicara tentang orang Eropa yang berangkat dengan mobil yang mirip dengan mobil kita, untuk menyelamatkan nyawa mereka. "
- Ulysse Gosset, seorang wartawan Prancis: "Kita berada di abad kedua puluh satu, di sebuah kota Eropa, dan rudal jelajah ditembakkan seolah-olah kita berada di Irak atau Afghanistan - bayangkan itu!"
Perlu dicatat bahwa persentase komentar semacam itu sangat kecil yang diambil dari banyaknya komentar seputar para pengungsi Ukraina. Meskipun demikian, mereka menonjol karena keterusterangan mereka. Berapa banyak lagi pengamat yang berpikir seperti mereka tetapi berhati-hati mengungkapkannya?
"Implikasinya Bagi Kaum Orientalis dan Rasis"
Perpaduan dari penerimaan migran yang sangat berbeda berikut penjelasan yang tidak tepat ini memicu lahirnya tuduhan yang bias, fanatik, diskriminatif dan "orientalistis". Harian Washington Post misalnya, tak henti-hentinya mengobrak-abrik poin ini dalam artikel demi artikel.
- Abigail Hauslohner: "Dorongan penuh semangat Presiden Biden untuk benar-benar membantu hingga 100.000 pengungsi Ukraina membangkitkan kemarahan di antara berbagai kalangan yang ramai-ramai menuntut pemerintah untuk membantu mengeluarkan puluhan ribu warga Afghanistan yang putus asa hendak melarikan diri dari Pemerintahan Taliban."
- Chico Harlan dan Piotr Zakowiecki: Mereka mengutip pernyataan seorang wanita Polandia yang bertanya, "Orang Ukraina diperhitungkan sebagai pengungsi perang sementara warga Yaman dianggap migran. Mengapa? Apa bedanya?"
- Dan Rosenzweig-Ziff dan para sahabatnya: "Sementara Eropa relatif bersatu ingin membantu orang Ukraina, beberapa kalangan pun bertanya mengapa perlindungan sementara yang sama tidak diberikan kepada orang Afghanistan yang melarikan diri misalnya atau untuk membantu para pencari suaka lainnya mencapai pantai-pantai Eropa."
- Isaac Stanley-Becker dan sahabat-sahabatnya: "Ketika skala krisis menjadi jelas, para pemimpin Eropa memaksakan [sebuah] konsensus politik yang tidak ada dalam bencana kemanusaan sebelumnya, mengabaikan prosedur yang masih digunakan untuk menghalangi para pencari suaka secara berbeda yang terbentuk oleh ras, geografi dan geopolitik."
- Marc Stern: "Negara-negara [di Eropa] yang baru beberapa tahun silam bangkit memprotes kedatangan migran yang melarikan diri dari perang dan ekstremisme di Timur Tengah dan Afrika Utara mendadak menyambut dengan senang hati ratuan ribu pengungsi."
- Rick Noack: "mengingat gelombang pengungsi dan migran sebelumnya menghadapi prosedur suaka yang berkepanjangan dan kerapkali gagal, pemerintah Eropa tergesa-gesa hendak membelokkan dan menangguhkan aturan-aturan yang ada supaya bisa menerima orang Ukraina. Sementara para penyelundup lain yang dibayar hendak menyeberangi Laut Mediterania, perusahaan-perusahaan kereta api Eropa malah membebaskan biaya tiket kereta api bagi para pengungsi Ukraina.
- Sarah Dadouch: "Orang-orang di negara-negara yang dilanda krisis seperti Suriah, Afghanistan, Irak dibuat marah oleh beberapa liputan media yang menggambarkan konflik Ukraina sebagai sepenuhnya berbeda dari pertumpahan darah yang dialami di negara-negara mereka sendiri.."
- Sarah Ellison dan Travis M. Andrews: Mereka mengutip pernyataan para pengkritik yang mengecam 'konsep peradaban Orientalis'" dan "rasisme yang kebetulan terjadi."
Dalam semangat yang sama, Harian New York Times melaporkan bahwa empati untuk Ukraina "diwarnai dengan rasa pahit getir" dari orang-orang Timur Tengah yang menyaksikan masyarakat Polandia dan Barat lainnya "memperlihatkan sikap yang lebih welas asih terhadap pengungsi Ukraina daripada yang mereka lakukan dalam beberapa tahun terakhir terhadap migran Arab dan Muslim yang berusaha mati-matian mencapai pantai Eropa dengan selamat." Majalah The Economist mencatat bahwa "Banyak orang Eropa merasa lebih nyaman menyambut sejumlah besar pengungsi Ukraina daripada orang Suriah atau Afghanistan" dan menganggap rasisme "pasti merupakan sebuah faktor" yang membedakannya.
Dan begitulah seterusnya terjadi. Asosiasi Wartawan Arab dan Timur Tengah (The Arab and Middle Eastern Journalists Association), sebuah organisasi AS, menolak "implikasi orientalis dan rasis" yang mengatakan bahwa populasi atau negara mana pun itu "tidak beradab" dan dengan demikian, "merendahkan derajat manusia" (dehumanize) orang-orang non-Barat. Moustafa Bayoumi, seorang akademisi Amerika, mengeluh bahwa memberikan perlindungan "berdasarkan faktor-faktor seperti kedekatan fisik atau warna kulit," atau simpati hanya untuk mereka "yang terlihat seperti kita atau sembahyang seperti kita" mencerminkan "nasionalisme yang sempit dan bodoh."
Di Israel, menteri imigrasi dan asimilasi (absorption) Pnina Tamano-Shata, yang berasal dari Ethiopia, menyebutkan rekan-rekannya sebagai "kemunafikan orang kulit putih." Pernyataan itu disampaikannya terkait dengan perlakuan pemerintah terhadap pengungsi dari Ukraina versus mereka dari Ethiopia.
Satu orang Nigeria di Athena menambahkan, "Saya dengar orang mengatakan, 'Semua orang itu penting,' tetapi tidak. Tidak semuanya sama. Orang kulit hitam itu kurang penting." Ayo Sogunro, seorang penulis Nigeria, karena itu menulis tweet bahwa dia "Tidak bisa saya pahami bahwa Eropa meratapi 'krisis migran' pada tahun 2015 terhadap 1,4 juta pengungsi yang melarikan diri dari perang di Suriah, namun dengan cepat menyerap sekitar 2 juta orang Ukraina dalam beberapa hari, lengkap dengan bendera dan musik piano. Eropa tidak pernah mengalami krisis migran. Ia mengalami krisis rasisme."
"Semua Orang Berkekurangan"
Para pengkritik menginginkan supaya tanpa kecuali, semua migran disambut gembira sama seperti para migran dari Ukraina.
Kritik-kritik itu punya tujuan yang jelas. Membuat agar masyarakat Barat merasa bersalah. Dan karena itu, bersedia mengubah pengalaman pengungsi Ukraina menjadi pola kebijakan bagi seluruh dunia. Semua migran, tanpa kecuali, harus disambut baik sama seperti yang berasal dari Ukraina.
Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman al-Thani pun berbicara lantang tentang pengungsi Ukraina yang bernasib lebih baik dibanding pengungsi Suriah, Palestina, Libya, Irak dan Afghanistan. Dia karena itu menuntut supaya krisis Ukraina menjadi semacam "panggilan untuk membangunkan orang dari tidur" untuk masalah Timur Tengah supaya ditangani "dengan tingkat komitmen yang sama." Presiden Emmanuel Macron dari Prancis lalu membicarakan pemikiran yang sama dengan nada lebih miring dengan memperlihatkan bagaimana "Krisis ini mengingatkan beberapa perunding yang menunjukkan kurangnya solidaritas ketika tekanan migrasi muncul dari perbatasan lain Eropa sehingga baik jika Eropa benar-benar mendukung dan bertanggung jawab bersama."
Akademisi seperti Lamis Abdelaaty dari Universitas Syracuse (AS), seorang pakar dalam bidang tanggapan politik terhadap pengungsi pun sependapat. "Tanggapan yang sangat ramah kepada pengungsi Ukraina sangat bagus untuk diamati. Harapan saya adalah bahwa tanggapan semacam ini akan diterapkan hingga kelompok pengungsi lain yang melarikan diri dari situasi yang sangat mirip dan yang sama-sama layak mendapatkan belas kasih dan bantuan kita. Semoga, momen ini benar-benar membuat orang secara kritis merenungkan mengapa mereka berpikir beberapa orang layak dilindungi dan yang lainnya tidak."
ReliefWeb, sebuah layanan yang disediakan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Coordination of Humanitarian Affairs) pun langsung memuji perlakuan terhadap pengungsi Ukraina sebagai "bagaimana seharusnya sistem perlindungan pengungsi internasional bekerja." Dalam pandangan itu, negara-negara harus
membuka perbatasan negara mereka bagi mereka yang melarikan diri dari perang dan konflik. Pemeriksaan identitas dan keamanan yang tidak perlu dihindari. Mereka yang melarikan diri dari peperangan tidak dihukum karena datang tanpa identitas dan dokumen perjalanan yang sah. Tidak perlu ada penahanan. Pengungsi dapat dengan bebas bergabung dengan anggota keluarga mereka di negara lain. Komunitas dan pemimpin mereka menyambut pengungsi dengan murah hati dan semangat solidaritas.
Pernyataan ini terdengar cukup masuk akal sampai orang ingat bahwa dalam bahasa PBB, istilah pengungsi itu mencakup hampir semua migran. Dengan demikian, seruannya mengacu pada kebanyakan orang di luar perbatasan negaranya.
Berbagai kelompok advokasi imigran pun diduga ikut-ikutan dalam persoalan ini. Harian Washington Post pun dengan simpatik melaporkannya. Dikatakannya, mereka "menghargai perlakuan yang lebih ramah terhadap pengungsi Ukraina, namun mereka ingin melihat orang lain diberikan tingkat kemanusiaan yang sama." Pernyataan mereka mengulangi hal yang sama dengan kata-kata yang berbeda:
- Andy Hewett dari Dewan Pengungsi Inggris (UK's Refugee Council): "Tidak ada perbedaan antara risiko menghadapi pengungsi Ukraina dan risiko menghadapi pengungsi dari zona konflik lain dari seluruh penjuru dunia. Dan, tanggapan Pemerintah Inggris perlu konsisten. Mereka tidak bisa menyuruh buka pintu untuk satu kelompok dan pada waktu yang sama, membanting menutup pintu bagi kelompok lain."
- François Guennoc dari L'Auberge des Migrants: "Mengagumkan menyaksikan semua ini ditempatkan pada tempatnya [bagi orang Ukraina]. Tetapi kita bakal senang bila setiap orang yang melarikan diri dari perang diperlakukan seperti ini... Pengungsi itu pengungsi. Tidak boleh ada diskriminasi."
- Jenny Yang dari World Relief: "Tidak diragukan lagi, kita perlu memukimkan kembali banyak orang Ukraina melalui berbagai sarana. Tetapi saya berharap, komitmen kita bagi orang Ukraina juga memperdalam komitmen kita kepada kelompok pengungsi lain yang membutuhkan perlindungan."
- Nikolai Posner dari Utopia 56: perbedaan penyambutan pengungsi itu menjadi "niat baik versus perlakuan yang buruk."
- Judith Sunderland dari Human Rights Watch: "empati dan solidaritas yang luar biasa [bagi pengungsi Ukraina] harus diulurkan kepada semua orang yang membutuhkannya."
Perhatikan kata-katanya: "semua orang yang membutuhkan." Ini mendefinisikan sekelompok orang dengan potensi tidak terbatas. Jika dinyatakan secara semantik, maka pengungsi = pencari suaka = migran = semua orang yang membutuhkan.
Tidak bisa saya pikirkan, jika ada cara yang lebih cepat dan efisien untuk meruntuhkan peradaban Eropa dan Barat.
Pernyataan-pernyataan ini mensinyalkan sejauh mana hal yang dipikirkan oleh para politisi, lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat (LSM), intelektual dan aktivis yang mengadvokasi para migran. Salah satu contoh: apakah aturan baru ini diterapkan atas Melilla dan Ceuta, dua daerah kantong Spanyol di Maroko. Dengan demikian, siapa pun yang mencapai Maroko dapat masuk ke salah satu dari dua enklaf itu, dikirim tanpa ditanya dan gratis ke daratan Spanyol, memperoleh tunjangan finansial, perumahan, pendidikan dan medis dan tetap berlangsung selama bertahun-tahun atau selama-lamanya.
Tidak bisa saya pikirkan, jika ada cara yang lebih cepat dan efisien untuk meruntuhkan peradaban Eropa dan Barat.
Menjelaskan Perbedaan
Memusatkan perhatian pada yang bias, bagaimanapun, mengabaikan banyak alasan yang menjelaskan perbedaan perlakuan ketika menyambut migran Ukraina dan non-Barat:
Pengungsi vs. migran ekonomi: Orang Ukraina jelas-jelas melarikan diri dari perang. Sementara itu, pengungsi non-Barat kebanyakan mencari kehidupan yang lebih layak. Orang Ukraina yang melarikan diri pertama-tama adalah perempuan dan anak-anak laki-laki di bawah usia 16 tahun atau di atas 60 tahun (Pemerintah Ukraina melarang laki-laki berusia di antara dua rentang umur itu meninggalkan negaranya). Pengungsi non-Barat sebagian besar sebaliknya. Pengungsi adalah laki-laki usia yang tepat untuk mengikuti kegiatan militer. Sangat sedikit wanita, anak-anak, dan orang tua. Dalam migrasi massal tahun 2015, misalnya, 73 persen migran itu laki-laki. Sebanyak 42 persen berusia antara 18 dan 34 tahun. (Angka-angka ini termasuk 17 persen migran Eropa. Jadi persentase non-Barat jauh lebih tinggi.) Pengungsian juga bukan sekedar persoalan demografi. Soalnya pengungsi non-Barat jarang berhenti di negara Uni Eropa pertama yang mereka masuki, seperti yang disyaratkan oleh Peraturan Dublin. Mereka sebaliknya tetap pergi ke tujuan favorit. Seperti Jerman dan Swedia. Dengan demikian, menegaskan motivasi ekonomi mereka.
Sangat sedikit wanita, anak-anak dan orang lanjut usia dalam rombongan massa migran illegal yang sedang berbaris jalan pada tahun 2015 lalu. |
Rasa enggan vs rasa ingin: Pengungsi Ukraina meninggalkan rumah karena merasa tertekan. Mereka melihat pengasingan sebagai situasi darurat yang bersifat sementara. Bukan sebagai pemukiman permanen. Memang, begitu banyak dari mereka yang kembali pulang ke rumah kediaman sehingga masyarakat Polandia selama beberapa hari ini justru menyaksikan lebih banyak pengungsi Ukraina meninggalkan negeri itu dibanding yang datang. Dan itu menyebabkan lamanya waktu tunggu di perbatasan negara. Seorang ibu dengan lima anak yang mengekor di belakangnya mengaku, "Setiap negara Eropa memberi kami makanan gratis, tempat tinggal gratis. Kami berutang budi banyak kepada mereka dan sangat berterima kasih," katanya. "Tetapi kami ingin pulang." Seorang wanita muda yang meninggalkan neneknya di Italia, menjelaskan bahwa "Setiap hari nenek saya berusaha meyakinkan kami supaya untuk tetap tinggal. Tetapi sulit untuk hidup di negara asing tanpa uang kami, tanpa pekerjaan. Orang tidak ingin menjadi pengungsi. Kami tidak ingin memulai hidup baru di luar negeri. Saya ingin berada di tempat saya, negara saya. Semua yang kami miliki dalam hidup kami ada di sana." Atau, dalam kata-kata seorang pengungsi Ukraina berusia 70 tahun yang berurai air mata, "Kami ingin pulang. Negeri asing bakal selalu asing. Kami berterima kasih kepada semua orang di berbagai negara. Tetapi kami akan selalu ingin pulang. Segera setelah pengeboman berhenti, kami akan kembali pulang." Sebaliknya, pengungsi non-Barat secara sukarela meninggalkan tanah air mereka. Kadang kala dengan perpisahan meriah. Dengan harapan bisa menetap permanen di Barat.
Kedekatan vs. jarak yang jauh: Pengungsi Ukraina itu tetangga geografis atau tetangga dekat. Tuan rumah mereka mungkin pernah mengunjungi Ukraina, mengenal orang-orang di sana, berbicara dalam bahasa yang sama atau memiliki tautan lain. Ini memberi mereka minat pribadi di Ukraina yang biasanya tidak ada di tempat-tempat terpencil. Ekonom Skotlandia Adam Smith pada tahun 1817 karena itu memperlihatkan bahwa, jika orang Eropa yang manusiawi tidak punya hubungan pribadi dengan Cina, maka dia akan "bersedia mengorbankan nyawa seratus juta saudaranya" di Cina daripada kehilangan satu jarinya sendiri. Karena umumnya datang dari jauh, pengungsi non-Barat tidak banyak mendapatkan simpati.
Solidaritas vs. perselisihan: Orang Barat punya kesamaan politik dengan orang Ukraina. Ada hubungan instan dan emosional dengan penderitaan orang yang tidak bersalah. Orang Kurdi dan Somalia mungkin punya kisah yang sama tetapi cerita-cerita ini umumnya tetap tidak jelas bagi orang Barat. Ambiguitas moral yang ekstrem dari negara seperti Suriah memperburuk sikap tidak peduli ini.
Invasi vs. masalah dalam negeri: Limpahan perhatian terhadap pengungsi Ukraina mengingatkan orang pada tanggapan serupa terhadap penderitaan masyarakat Kuwait pada 1990-91. Dalam setiap kasus, negara kuat yang lebih besar yang suka berperang menyerbu dan berupaya menelan megara tetangganya. Kasus-kasus ini – dan kemungkinan yang akan datang terkait dengan Taiwan, Bahrain atau Israel – jauh lebih banyak menginspirasi simpati daripada masalah kerusuhan sipil dan tirani yang lebih meluas.
Kepentingan pribadi vs sikap tidak peduli: Dalam diri Putin, Barat berbagi musuh dengan Ukraina dan sangat ingin agar dia dikalahkan sebelum dia menyebabkan tragedi lebih lanjut. Seorang pakar kebijakan luar negeri Polandia mencatat bahwa "ada pemahaman yang luas bahwa rakyat Ukraina tidak hanya berperang untuk diri mereka sendiri tetapi untuk tujuan kita. Cita-cita Putin tidak berakhir di Ukraina. ... Jika berhasil di Ukraina, dia akan melangkah lebih jauh." Sementara pemerintah Barat bakal memperdebatkan persoalan kepentingan keamanan di tempat seperti Somalia atau Irak, hanya sedikit warga Polandia yang merasa sangat prihatin ketika negara-negara itu bukanlah negara demokrasi.
Keterampilan untuk hidup vs. pengangguran: Pengungsi Ukraina punya kemampuan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan kebanyakan migran non-Barat sehingga membuat mereka lebih mungkin menjadi anggota masyarakat yang produktif. Bukan sebagai penerima tunjangan kesejahteraan. Ini, jelas, membuat mereka jauh lebih disambut baik.
Pekerjaan vs. kesejahteraan: Pengungsi Ukraina menyuarakan etos kerja yang kuat yang beriring jalan dengan kesadaran terhadap nilai luhur pekerjaan. Dengan bahasa yang fasih dan sederhana seorang pelukis cacat berusia 42 tahun mengatakan, "Saya tidak ingin menjadi beban. Saya ingin terus mencari nafkah, sehingga saya dapat menyumbangkan uang untuk perang dan akhirnya membangun kembali hidup saya di Ukraina." Banyak migran non-Barat, sebaliknya, lebih suka hidup dibiayai negara yang dalam beberapa kasus terkenal punya banyak istri dan banyak anak.
Kewarganegaraan yang baik vs. kriminalitas: Pada saat artikel ini ditulis, 5.8 juta warga Ukraina meninggalkan negara mereka. Pencarian serius dan tekun melalui berbagai media beberapa bahasa, tidak menemukan satu laporan tentang gelombang kejahatan. Sebaliknya, migran non-Barat tidak hanya meningkatkan angka kejahatan ke mana pun mereka pergi, tetapi bahkan merancang bentuk-bentuk kriminalitas baru yang memerlukan nama baru. Seperti geng grooming, taharrush (serangan seksual massal) dan förnedringsrån (perampokan sekaligus penghinaan terhadap korban).
Peringatan yang ada pada kolam renang Jerman pada tahun 2013 ini tidak perlu bagi para pengungsi Ukraina. "Tidak ada perundungan verbal dan fisik terhadap para wanita atas apapun pakaian mereka!" |
Moderasi vs. Islamisme: Ukraina tidak mempunyai kelompok jihadis atau penganut Islam lainnya yang bertumbuh-kembang di dalam negeri. Populasi Muslimnya yang kecil tidak terlibat dalam kekerasan atau bentuk supremasi lain atas nama Islam. Keadaan ini berbeda dengan begitu banyak migran Muslim. (Ada sejumlah jihadis di Ukraina. Sebagian besar terdiri dari orang-orang asing yang datang untuk berperang bersama atau melawan pasukan Rusia.)
Kesamaan budaya vs perbedaan budaya: Orang berupaya mencari hal-hal yang serupa dengan diri mereka sendiri, lalu menjadikan kecenderungan budaya menjadi kekuatan yang memaksa (powerful). Peradaban masyarakat Ukraina itu sama dengan peradaban orang Barat lainnya. Mulai soal masa Romawi kuno, agama Kristen hingga kesamaan linguistik dan Abad Pencerahan. Sebaliknya, banyak orang non-Barat mempertahankan sikap bermusuhan terhadap peradaban Barat.
Asimilasi vs. separatisme: Pengungsi Ukraina melihat diri mereka sama seperti warga negara tetangga mereka. Tidak seperti banyak migran non-Barat, terutama Muslim, yang mendirikan komunitas mereka sendiri. Presiden Prancis Emanuel Macron karena itu menyebut ini "separatisme Islam." Negara-negara tuan rumah Barat dapat yakin bahwa pengungsi Ukraina dan keturunan mereka tidak bakal membakar mobil polisi, mengganggu ibadah Ortodoks Timur mereka dengan suara keras berisik melalui pengeras suara, berbaris berdemo untuk Hamas, atau memenggal kepala seorang guru yang memperlihatkan kartun di kelas.
Jumlah terbatas vs tidak terbatas: Sebelum invasi, populasi Ukraina itu 44 juta. Setiap orang Ukraina yang pergi berpindah ke Eropa (bukan Rusia) dan Amerika Utara, sudah siap diserap oleh sekitar 900 juta populasi. Ketika populasi Afrika tumbuh dari 1,4 miliar orang hingga diperkirakan 4 miliar orang pada 2100, ia bisa saja membanjiri bahkan menggantikan orang Barat.
Singkatnya, perbedaannya sangat mencolok. Di satu sisi berdiri orang Ukraina. Orang-orang dari negara tetangga dengan jumlah terbatas. Dengan budaya, bahasa, agama, dan keterampilan serupa yang melarikan diri dari serangan genosida eksternal. Pada sisi lain, berdiri orang-orang dari budaya asing, bahasa asing, sering kali sebuah agama yang secara historis merupakan saingan, yang menyimpan berbagai bentuk permusuhan, datang dalam jumlah besar tanpa izin demi memperbaiki ekonomi pribadi mereka meskipun pada umumnya tingkat keterampilannya rendah.
Menatap Masa Depan
Analisis ini mengarah kepada tiga kesimpulan. Pertama, tidaklah mengejutkan bahwa tanggapan Barat terhadap migran Ukraina dan bukan Barat itu beragam. Sama seperti halnya dengan dua kelompok migran itu sendiri. Seharusnya orang tidak perlu merasa malu. Tidak dapat disangkal bahwa ras dan agama memainkan beberapa peran dalam reaksi Barat yang berbeda. Tetapi banyak faktor lain yang jauh lebih penting menjelaskan sikap untuk lebih mudah menerima migran Ukraina. Bukannya memaksa mereka sendiri untuk menyambutnya, masyarakat Eropa dan Amerika harus berbangga dengan sikap murah hati mereka ini.
Sambutan yang disepakati diberikan kepada pengungsi Ukraina tidak dapat menjadi pola bagi semua migran dari semua tempat dalam segala keadaan setiap saat.
Kedua, sambutan yang disepakati diberikan kepada pengungsi Ukraina tidak dapat menjadi pola bagi semua migran dari semua tempat dalam segala keadaan setiap saat. Untuk mengingatkannya, ini benar-benar luar biasa. Masyarakat Ukraina dapat memasuki negara asing tanpa dokumen. Itu terjadi berkat "mekanisme perlindungan sementara" Uni Eropa (UE). Mereka tidak berakhir di kamp-kamp pengungsi tetapi mendapat akses otomatis kepada perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Mereka dapat menggunakan transportasi bus, kereta api dan pesawat udara gratis. Mereka dapat membelanjakan mata uang negara mereka senilai €300 (sekitar Rp 4.420.000). Hak istimewa tersebut tidak boleh menjadi standar bagi semua orang asing, yang dibangun berdasarkan gagasan yang salah bahwa migran tetaplah migran. Juga bahwa semua orang harus diperlakukan secara sama. Terlepas dari budaya, bahasa, agama, dan keterampilannya. Terlepas dari status hukum, jumlah, motif dan ideologinya. Tidak boleh lagi ada perbedaan. Tunduk mengalah pada tekanan yang mengembalikan Eropa kepada imigrasi tanpa hukum pada 2015-16, ketika siapa pun dari mana saja bisa masuk, sama dengan mengundang kekacauan dan runtuhnya peradaban Barat.
Barat adalah tempat perlindungan alami bagi masyarakatnya sendiri, bukan bagi seluruh dunia.
Ketiga, krisis Ukraina menunjukkan perlunya untuk berpikir tentang zona budaya, yang masing-masing zona menerima masyarakatnya sendiri. Masyarakat Timur Tengah dan Afrika umumnya harus menetap di wilayah mereka sendiri. Masyarakat Eropa di wilayah mereka. Apa yang bisa lebih alami? Masyarakat Timur Tengah yang hendak mencari kehidupan lebih baik dapat mencari saudara-saudara Arab dan Muslim mereka. Bukan Barat. Hal yang sama berlaku untuk masyarakat Afrika. Sama absurdnya bagi masyarakat Kurdi yang hendak mencari perlindungan di Jerman dan Somalia di Swedia seperti halnya bagi orang Ukraina mencari perlindungan di Uni Emirat Arab (yang menyebabkan visa perjalanan gratis migran Ukraina habis beberapa hari setelah perang meledak).[1] Sebaliknya, masyarakat Timur Tengah dapat mencari perlindungan di Arab Saudi dan negara-negara kaya dan stabil lain. Masyarakat Afrika dapat melakukannya di Gabon atau Afrika Selatan. Dan seterusnya, di seluruh dunia. Lonjakan pengungsi Ukraina telah memperlihatkan karena tidak ada peristiwa lain sejak Perang Dunia II bahwa Barat menjadi tempat perlindungan alami bagi rakyatnya sendiri, bukan bagi seluruh dunia.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2022 by Daniel Pipes. All rights reserved.
[1] Turki itu pengecualiannya. Karena kepemimpinan sebelum Erdoğan ingin dilihat sebagai Bangsa Eropa, pemerintahannya membatasi status pengungsi menuju negara-negara Eropa sehingga masih mengijinkan mereka masuk.
Topik Terkait: Imigrasi,