Negara Israel merayakan ulang tahunnya yang ke-75 pada tahun 2023. Sebuah tahun yang sekaligus menandai tonggak penting namun umumnya tidak diperhatikan dalam konflik Arab-Israel.
Selama 25 tahun pertama Israel, sejak 1948 hingga 1973, Israel terlibat dalam lima perang melawan angkatan bersenjata yang konvensional. Negara-negara Arab dibawa pimpinan Mesir, Yordania dan Suriah dan kemudian diikuti oleh Irak, Arab Saudi dan Libanon berperang melawan Israel. Mereka membangun pasukan besar, bersekutu dengan blok Soviet melawan Israel di medan perang yang sesungguhnya. Setelah 1973, negara-negara itu diam-diam mundur. Mereka tetap tidak berhubungan dengan Israel selama 50 tahun berikutnya. Artinya, dapat dikatakan, waktunya dua kali lebih lama dari era di mana mereka secara aktif memerangi Israel.
Beberapa pengecualian pada perdamaian yang dingin ini membantu menjelaskan maksud yang sebenarnya. Pantas dicatat, konfrontasi udara Suriah pada 1982 dan serangan rudal Irak pada 1991. Akibat kelangkaan senjata, keterbatasan dan kegagalan mereka dalam konfrontrasi militer memaksa mereka untuk membuat kebijakan untuk tidak berkonfrontasi melawan Israel. Angkatan Udara Suriah kehilangan 82 pesawat tempur, sementara Angkatan Udara Israel tidak kehilangan satu pun. Delapan belas serangan rudal Irak yang terpisah langsung menewaskan satu orang Israel. Rezim Irak dan Suriah sama-sama memulai program nuklir tetapi menghentikannya setelah diserang Israel masing-masing pada 1981 dan 2007.
Sebagian besar negara Arab masih terus menyerang Israel secara verbal dan ekonomi setelah tahun 1973. Meski demikian, mereka berhati-hati menarik diri dari konfrontasi militer. Mereka pun lalu memusatkan perhatian pada isu-isu lain. Seperti soal ancaman Iran, gelombang munculnya penganut Islam radikal, perang saudara di Libya, Yaman, Suriah dan Irak serta Turki yang berubah menjadi jahat serta tidak adanya air akibat kekeringan. Akibatnya, persoalan tabu anti-Zionis pun tidak banyak lagi dianut di negara-negara berbahasa Arab.
Enam negara Arab bergerak maju dengan membuka hubungan diplomatik penuh dengan Israel. Mesir membuka hubungan diplomatik pada tahun 1979. Yordania pada tahun 1994. Dan, semua negara Uni Emirat Arab (UAE), Bahrain, Maroko dan Sudan pada 2020. (Dua negara Arab lain mulai bergerak ke arah ini tetapi batal yaitu Libanon pada 1983 dan Suriah pada 2000.) Arab Saudi umumnya diperkirakan menyusul setelah Pemerintahan Raja Salman yang berusia 87 tahun berakhir, sehingga secara signifikan bakal menggerakkan pusat gravitasi Arab yang mendukung untuk menerima Israel.
Ketika negara-negara Arab keluar dari arena anti-Zionis, berbagai aktor lain justru masuk. Mereka adalah rakyat Palestina, para penganut Islam radikal, Pemerintah Iran dan Turki serta kaum kiri.
Perubahan terjadi dalam berbagai hal. "Hatikvah", Lagu Kebangsaan Israel, dimainkan di Abu Dhabi pada 2019 sehingga membuat Menteri Olahraga Israel menangis. Lagu itu dikumandangkan setelah seorang atlet Israel memenangkan pertandingan. Pada September 2020, khatib Masjidil Haram Mekkah mengenang hubungan baik Nabi Muhamad, S.A.W dengan orang Yahudi, negara-negara Liga Arab menolak resolusi anti-Israel yang disponsori Palestina dan Pemerintah UAE "meminta" semua hotel "agar memasukkan pilihan makanan Kosher" (baca: halal bagi orang Yahudi) dalam semua tawaran menu makanan mereka.
Empat menteri luar negeri Arab menghadiri pertemuan yang diselenggarakan Israel pada awal 2022. Pertemuan bertajuk Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Negev itu menyimbolkan sikap penerimaan yang baru ini. Ada perubahan yang lebih mendasar lagi; Israel menjual peralatan militer canggih kepada UEA, Bahrain dan Maroko. Total penjualannya lebih dari $3 miliar (setara Rp 46,5 Triliun) dalam dua tahun. Pada 2021, penjualan itu menyumbang 7 persen dari $11,3 miliar (setara Rp 170 Triliun) penjualan militer global Israel. Jelas, orang hanya menjual senjata kepada pemerintah yang diharapkan tetap menjadi sekutu jangka panjangnya.
KTT Negev pada 2022 di Bersheba menampilkan para menteri luar negeri. Dari kiri ke kanan, Bahrain, Mesir, Israel, Amerika Serikat, Maroko, dan Uni Emirat Arab. |
Tetapi, ketika negara-negara Arab keluar dari arena anti-Zionis, berbagai aktor lain justru masuk. Mereka adalah rakyat Palestina, para penganut Islam radikal, Pemerintah Iran dan Turki serta kaum kiri. Kekuatan senjata konvensional seperti kapal perang, tank, pesawat tempur dan roket, nyaris lenyap dari medan tempur tergantikan oleh metode serangan lain. Seperti dengan penikaman, mempersenjatai layang-layang, bom bunuh diri, senjata perusak masal serta Gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS).
Mengapa pergeseran sikap yang terabaikan itu terjadi dan apa implikasinya? Beberapa sejarah membantu menjawab persoalan-persoalan ini.
Negara Arab Mengundurkan Diri
Para pemimpin Arab bersikeras. Sikap itu mereka perlihatkan selama masa 25 tahun berkonfrontasi melawan Israel. Bersikeras bahwa mereka selalu bertahan. Namun, sikap keras berakhir memalukan hanya empat hari setelah Perang Enam Hari berakhir, pada 10 Juni 1967. Orang kuat Aljazair Houari Boumédiène misalnya mengumumkan; "Jika kita kalah dalam satu pertempuran, kita tidak akan kalah perang ... perang harus terus berlanjut... sampai hak-hak dikembalikan kepada tempatnya yang semestinya, sampai agresi dihancurkan dan sampai apa yang dipaksakan dengan kekerasan dibatalkan. ... Tidak boleh kita meletakkan senjata." Sehari kemudian, dia menegaskan lagi pesannya. Dia berbicara tentang "jalan menuju kemenangan, ... melanjutkan pertempuran terlepas dari berapa pun sulitnya atau harga yang harus kita bayar." Terlepas dari keberanian seperti itu, negara-negara itu justru meninggalkan senjata hanya enam tahun kemudian.
Banyak faktor menyebabkan negara-negara Arab mundur; akibat kekalahan di medan perang, publik yang teradikalisasi, pesimisme, ekonomi, anarki, Islamisme, dan Iran.
Kekalahan di medan perang: Negara-negara Arab berperang melawan Israel lima kali (pada tahun 1948-1949, 1956, 1967, 1970, dan 1973). Dan, mereka kalah semuanya secara mengerikan. Kekalahan pada tahun 1948-49 dan 1967 khususnya membuat para pemimpin Arab terguncang. Israel yang baru lahir tampak begitu rentan sementara Perang Enam Hari menjadi satu-satunya bencana paling berat sebelah dalam sejarah militer. Selain itu, aksi penghancuran udara 82-0 yang dilakukan Israel pada 1982 dan konfrontasi langsung yang dilakukannya menyebabkan konfrontasi langsung dengan Israel menjadi tidak menarik lagi. Negara-negara itu pun diam-diam pergi.
Publik yang diradikalisasi: Retorika anti-Israel yang membakar semangat jauh lebih menjanjikan daripada yang bisa para pemimpin negara-negara Arab berikan. Sejak awal, mereka melihat bahwa membangkitkan dan menyalurkan permusuhan melalui propaganda melawan Israel mampu mengalihkan perhatian rakyat mereka dari masalah di dalam negeri dan dengan demikian sangat menguntungkan mereka. Gamal Abdel Nasser, yang memerintah Mesir antara tahun 1954 dan 1970, menguasai seni ini. Dia karena itu sangat disetujui karena mengaitkan hampir semua masalah dengan "kaum Zionis". Akan tetapi, pada 1973, para pemimpin Arab pun menyadari bahwa sikap anti-Zionisme yang tak henti-hentinya justru menciptakan macan yang hampir tidak dapat mereka tunggangi, sehingga mereka lalu mengurangi retorika dan tindakannya.
Pesimisme: Ideologi kiri yang kuat, termasuk anti-imperialisme, sosialisme Arab, dan Dunia Ketiga, menjadi ciri politik Arab sampai kira-kira menjelang Nasser wafat pada 1970. Selama periode itu, pemerintah memancarkan optimismenya, betapapun kasar dan buruknya isinya, terkait dengan kemampuan mereka sendiri. Berbagai drama seputar Perang Enam Hari, misalnya, menunjukkan nyaringnya keyakinan diri yang bodoh ini, ketika Nasser mengumumkan bahwa "perang akan dilakukan secara total, dan tujuannya adalah untuk menghancurkan Israel. Kita merasa yakin bahwa kita dapat menang dan sekarang siap perang melawan Israel."
Optimisme sembrono akhirnya mereda. Berganti dengan kesadaran atas realisme, rasa tenang dan keterbatasan diri yang pahit. Kegagalan militer yang berulang melawan Israel memicu perubahan ini. Di samping juga karena ada kekecewaan yang lebih luas. Soalnya, ketika melihat sekeliling, para penutur bahasa Arab mendapati diri mereka terjebak oleh penindasan, perlakuan tidak setara, keterbelakangan dan kemiskinan, sebagaimana dilambangkan oleh Laporan Pembangunan Manusia Arab 2002 yang banyak dibahas dan sangat negatif. Situasi suram menggantikan harapan. Introspeksi diri yang serius menggantikan ambisi yang meluap-luap.
Gamal Abdel Nasser dan Raja Yordania Hussein menandaikan perjanjian pertahanan bersama beberapa hari sebelum Perang Enam Hari. |
Ekonomi: Kesulitan menyusul ledakan minyak selama era 1970-80-an memperburuk pergeseran ini. Pendapatan minyak yang besar menghasilkan pertumbuhan nasional yang luar biasa selama tahun-tahun yang memabukkan sekagigus menggembirakan. Produsen minyak tentu saja membuka jalan menuju pergeseran, tetapi negara-negara yang melayani produsen, seperti Mesir dan Yordania juga diuntungkan. Lebanon mempertahankan standar hidup ekonomi yang sangat tinggi melalui sebagian besar perang sipilnya, dari tahun 1975 hingga 1990. Banjir uang tidak hanya membangkitkan kekuatan ekonomi dan diplomatik, tetapi juga kesadaran bahwa trauma modernisasi telah direkayasa. Kesalahan masa lalu terlihat tersapu saat masa depan yang cerah memberi isyarat. Selama beberapa tahun yang gemilang, minyak bumi tampaknya berhasil memecahkan masalah bangsa Arab, bahkan mungkin saja mampu membunuh Israel, yang mendapati dirinya diperas tanpa ampun (25 negara Sub-Sahara Afrika misalnya, memutuskan hubungan dengannya setelah perang tahun 1973).
Tapi pesta jarang dibiarkan berlalu begitu saja. Keadaan memabukkan pada era 1970-an berdampak pada kemabukan era 1980-an. Sama seperti ledakan virtual menjadi berkat bagi negara-negara Arab, kehancuran pun dengan demikian melanda hampir setiap negara. Menghancurkan raihan prestasi sebelumnya. Dampak penurunan minyak dapat ditelusuri dengan persis nyaris seperti grafik dalam banyak bidang. Mulai dari harga karya seni Islam di rumah lelang London hingga negara-negara Afrika yang kembali membangun relasi politik dengan Israel (akhirnya, 42 dari 44 negara Sub-Sahara Afrika yang bukan anggota Liga Arab melakukannya).
Sotheby kerapkali melelang kumpulan "Karya Seni Dunia Islam." Pelelangan yang satu ini terjadi pada 1 Mei 2009. |
Ekonomi akhirnya juga membawa negara-negara Arab lebih dekat kepada Israel. Pada tahun 2018, Perdana Menteri Israel kala itu Benjamin Netanyahu memperlihatkan "perubahan besar" di dunia Arab yang semakin meningkat terhubung dengan Israel karena kebutuhannya terhadap "teknologi dan inovasi, ... air, listrik, perawatan medis dan teknologi tinggi. "
Anarki: Pemerintah negara Arab dulu terkenal dengan pemerintahannya yang diktator (pikirkan saja Hafez al-Assad dan Saddam Hussein). Namun akhir-akhir ini pemerintah Arab menghadapi tantangan untuk mengendalikan rakyatnya. Sebagian besar Libya, Mesir (Semenanjung Sinai), Libanon, Yaman, Suriah dan Irak sudah menjadi anarkis. Jelaslah, rezim yang tidak sepenuhnya memerintah wilayah mereka sendiri nyaris tidak dapat memainkan peran yang kuat di luar perbatasan negara mereka.
Anti-Zionisme, ternyata, menjadi kemewahan. Sesuatu yang dipromosikan saat nyaman, dan disisihkan jika tidak.
Islamisme: Penganut Islam radikal bangkit muncul segera setelah perang 1973. Dengan cepat, mereka pun menghadirkan oposisi domestik yang paling kuat di hampir setiap negara Arab, memperparahkan kelemahan negara. Karena berdedikasi secara ideologis, mereka langsung mengancam pemerintah ketika Israel yang jauh dan ramah pernah melakukannya. Pemerintah Arab lantas memprioritaskan upaya menindas musuh Islam mereka dengan keras, sejak dari pembantaian Hama pada 1982 di Suriah hingga pembantaian Rabaa di Kairo pada 2013. Anti-Zionisme, ternyata, menjadi sebuah kemewahan. Sesuatu yang dipromosikan saat nyaman, dan disisihkan jika tidak.
Iran: Segera setelah Ayatollah Khomeini mengambil alih kekuasaan pada 1979, Teheran menjadi ancaman bagi semua negara Arab kecuali sekutu Suriahnya, yang selanjutnya membuat masalah Palestina pantas dipikirkan. Perang Irak-Iran 1980-88 benar-benar membuat perhatiannya teralihkan dari Israel. Subversi menggantikan perang langsung, sehingga memperbesar ancaman Iran sampai pada titik di mana para mullah menguasai ibu kota empat negara Arab (Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman). Juga membuat Iran mengirim drone guna menyerang instalasi minyak Saudi tanpa takut dihukum. Aliansi anti-Iran dengan Israel dimulai secara diam-diam segera setelah Revolusi Iran tetapi baru diakui secara terbuka hanya dengan Abraham Accords.
Pihak-pihak lain bergabung masuk
Tatkala negara-negara Arab surut, pihak-pihak lain pun bergegas masuk di dalamnya. Diawali dengan masuknya Palestina. Merekalah musuh Israel yang lebih berapi-api, meski jauh lebih kecil, akibat taruhan pribadi mereka yang lebih besar dalam konflik tersebut. Nenek moyang mereka mempelopori sikap anti-Zionisme sebelum 1948. Ingat Mufti Yerusalem, Haji Amin al-Husseini dan Pemberontakan Bangsa Arab pada 1936-39. Mereka kembali bangkit ke permukaan setelah 1967 dengan menghancurkan tiga angkatan bersenjata Arab dalam enam hari. Kegagalan tersebut mendorong Palestina menegaskan kembali keunggulan mereka dalam perjuangan anti-Zionis. Tetapi pengakuan yang mereka peroleh belakangan lebih bersifat simbolis daripada kenyataan, karena kepentingan negara tetap menjadi yang terpenting. Keunggulan Bangsa Palestina baru benar-benar diakui pada 1974. Ketika Liga Arab (Organisasi Negara-negara Arab) mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai "satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina," dan kemudian memberikan keanggotaan penuh kepadanya di dalam liga tersebut. Kesepakatan Oslo 1993 pun mengukuhkan sentralitas itu.
Palestina justru berhasil melakukan lebih daripada yang pernah dilakukan oleh negara-negara Arab.
Palestina tidak punya sumberdaya alam, kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya pun tidak terlalu baik. Meski demikian, ia justru berhasil melakukan lebih banyak daripada yang pernah dilakukan oleh negara-negara itu. Banyak perang Palestina kobarkan melawan Israel (1982, 2006, 2008-09, 2012, 2014, 2021). Mungkin saja perang itu tidak seimbang bagi Israel secara militer, tetapi semua itu bertujuan supaya Israel terlihat jahat. Tiga angkatan bersenjata negara-negara Arab kalah melawan Israel dalam perang enam hari tetapi PLO justru berhasil bertahan melawan Israel selama 88 hari pada 1982. Selain itu, negara-negara Arab kehilangan Semenanjung Sinai, Gaza, Yerusalem Timur, Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan kepada Israel, Palestina malah justru meyakinkan Israel supaya menyerahkan Gaza dan sebagian Tepi Barat kepada mereka. Sebagian besar pemerintah dan masyarakat Barat terus mengabaikan serangan negara-negara Arab terhadap Israel menyusul sikap antipati mereka tetapi secara luas mendukung serangan Palestina terhadapnya. Jika negara-negara Arab merasa terpaksa mematuhi perjanjian dengan Israel, terlepas dari betapapun dinginnya sikap mereka, Palestina nyaris bebas dari hukuman walau dia menghancurkan Kesepakatan Oslo dan setiap perjanjian lainnya. Kegigihan Palestina melawan Israel tidak hanya kontras dengan negara-negara Arab yang tak berdaya, namun keberhasilan mereka pun justru mempermalukan kegagalan negara itu.
Para penganut Islam radikal kemudian membuka fron lain. Mereka karena itu segera muncul sebagai kekuatan anti-Israel yang kuat dan mendunia setelah 1973. Kritik keras dan kerja mereka berpengaruh paling besar di negara-negara mayoritas Muslim. Baik dengan menekan pemerintah sebuah negara (Aljazair mengalaminya pada 1990-an), merebut kekuasaan (Kekuasan Mesir diambil alih di bawah pimpinan Mohamed Morsi), atau menghancurkannya (seperti dialami Suriah sejak 2011). Mereka juga efektif menyebarkan pesan anti-Zionis di Barat. Terutama ketika mereka bermitra dengan kaum Kiri, dan memberikan dampak pada institusi pendidikan, filantropi, media, sistem hukum dan politisi.
Shah Iran sementara itu mempertahankan hubungan kerja secara diam-diam dengan Israel. Namun, Revolusi Islam pada 1978-79 mengubah Pemerintah Iran menjadi musuh fanatik Israel, dengan anti-Zionisme berfungsi sebagai prinsip dasar sekaligus propaganda rezim. Sebagai simbol orientasi baru ini, Ayatollah Khomeini melakukan pertemuan pertamanya dengan pimpinan PLO Yasir Arafat sebagai pemimpin luar negeri pertama sekaligus melembagakan Hari Yerusalem (Jerusalem Day) setiap tahun. Teheran mengatur dan mendanai banyak organisasi untuk menyerang Israel, termasuk Hizbullah, Hamas, dan Jihad Islam Palestina. Sementara itu, program nuklirnya menjadi satu-satunya ancaman terbesar bagi keamanan Israel. Pada gilirannya, Israel pun menjadi hati nurani dunia dan senjata potensial vis-à-vis persenjataan nuklir Iran.
Yaser Arafat menium Ayatollah Khomeini untuk merayakan pertemuan pertama mereka, 18 Februari 1979. |
Hubungan Turki-Israel pernah menjadi model kerja sama kaum Muslim- kaum Yahudi yang memuncak pada akhir 1990-an. Hubungan bergeser pada 2002 dengan terpilihnya Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), sebuah organisasi penganut Islam radikal. Sementara reorientasi Turki berjalan lamban, tidak konsisten dan total dari Iran yang menjadi presedennya, namun ia terbukti berdampak. Negara itu kerap menjadi basis operasi melawan Israel, pendukung Hamas dan suara anti-Zionis yang signifikan secara internasional. Namun, kadang kala, Presiden Recep Tayyip Erdoğan memutuskan bahwa dia membutuhkan Israel lalu menghangatkan hubungan dengan cara yang jelas transaksional. Kerja sama perdagangan dan pariwisata pun karena itu terus berlanjut terlepas dari apapun kondisinya.
Pergesertan kaum Kiri dari Israel berawal ketika ia menemukan borok persoalan Palestina lalu menjadikan mereka sebagai korban yang paling disukai.
Kaum kiri global punya catatan yang tidak senantiasa sama soal Israel sebelum tahun 1967. Uni Soviet berperan penting dalam pembentukan negara itu dan kaum liberal Amerika memandangnya lebih baik daripada kaum konservatif (pikirkan Truman vs. Eisenhower). Pergeseran yang menjauh dari Israel ini berawal ketika kaum Kiri membuka borok (discover) persoalan Palestina lalu menjadikan mereka sebagai korban yang paling disukai. Antagonisme sikap kaum Kiri terhadap Israel memuncak pada 2001. Bersamaan dengan diselenggarakannya Konperensi Durban oleh PBB dengan tajuk "against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia and Related Intolerance," (melawan Rasisme, Diskriminasi Rasial, Xenofobia dan Intoleransi Terkait). Pada saat itu berbagai aliran pemikiran (strands) berkumpul bersama mengkritik dan mengucilkan Israel. Sejak itu, kaum Kiri, mulai dari opini publik Eropa hingga serikat pekerja Marxis di India hingga politisi Jeremy Corbyn di Inggris Raya dan Gabriel Boric di Cile, semakin memusuhi negara Yahudi.
Demonstrasi anti-Israel di luar acara pembukaan Konperensi Durban, 31 Agustus 2001. |
Dengan demikian, konflik Arab-Israel terpecah-belah menjadi konflik antara rakyat Palestina-Israel, konflik penganut Islam radikal – Israel dan konflik antara kaum kiri – Israel.
Refleksi
Perkembangan ini memunculkan dua implikasi besar bagi Israel.
Pertama, kemenangan Israel atas negara-negara Arab yang punya populasi, sumberdaya, ekonomi dan kekuatan diplomatik yang jauh lebih besar menjadi pencapaian penting yang layak mendapat perhatian lebih daripada yang diterimanya. Pada 1994, misalnya, Kepala Staf IDF kala itu Ehud Barak berpendapat bahwa "Pada masa mendatang, ancaman utama terhadap Negara Israel itu masih berupa serangan habis-habisan oleh tentara konvensional." Tahun ini, ahli strategi Israel Efraim Inbar menegaskan bahwa "ide bahwa negara-negara Yahudi dan Arab bakal hidup berdampingan secara damai ... mengabaikan kenyataan di lapangan."
Retaknya rasa permusuhan negara Arab menjadi pergeseran tektonik dalam konflik Arab-Israel.
Memang tidak ada negara Arab yang menandatangani dokumen menyerah kalah atau sebaliknya mengakui kekalahan. Tetapi kekalahan menjadi realitas mereka. Setelah berperang dengan senjata dengan semangat yang bernyala-nyala pada 1948 dengan harapan bakal mudah menghancurkan Negara Israel yang baru lahir, para penguasa di Kairo, Amman, Damaskus dan di tempat lain pun bertahap menyadari selama seperempat abad bahwa kaum Zionis yang dicemooh dapat mengalahkan mereka setiap saat. Tidak peduli siapa yang memulai serangan mendadak. Tidak peduli medan perangnya. Tidak peduli kecanggihan senjatanya. Tidak peduli kekuatan besar sekutunya. Retaknya rasa permusuhan negara Arab menjadi pergeseran tektonik dalam konflik Arab-Israel.
Konon, kemenangan abadi memerlukan waktu beberapa dekade untuk dikonfirmasi. Rusia dan Taliban tampaknya dikalahkan masing-masing pada 1991 dan 2001. Tapi kebangkitan mereka pada 2022 membuat pernyataan ini diragukan. [1] Kebangkitan serupa tampaknya tak mungkin terjadi bagi negara-negara Arab. Tetapi kenyataannya, Ikhwanul Muslimin dapat kembali mengambil alih Mesir, monarki Yordania dapat jatuh ke tangan kaum radikal, Suriah bisa saja menjadi utuh kembali dan Lebanon dapat menjadi negara bersatu di bawah pemerintahan Hizbullah. Dapat kita katakan dengan yakin bahwa negara-negara Arab telah dikalahkan setidaknya untuk saat ini.
Kekalahan itu memunculkan pertanyaan yang jelas: Apakah ia menawarkan model bagi kekalahan Palestina? [2] Untuk sebagian ya. Jika negara-negara dengan populasi mayoritas Muslim yang besar dapat dipaksa untuk menyerah kalah, sehingga ia membantah anggapan umum bahwa Islam membuat umat Muslim tidak terkalahkan.
Tetapi sebagian besar tidak. Pertama, Israel adalah persoalan yang jauh lebih jauh bagi penduduk negara-negara Arab dibandingkan dengan bagi warga Palestina. Rakyat Mesir cenderung tidak terlampau peduli dengan upaya untuk menjadikan Yerusalem sebagai Ibu Kota Palestina dibanding dengan persoalan pemasangan sistem saluran pembuangan air yang tepat. Perang saudara telah melumat warga Suriah sejak 2011. Kedua, negara-negara itu lebih siap berkompromi dibanding dengan gerakan ideologis karena kepentingan penguasa yang berlipat ganda dan bersaing. Ketiga, pemerintah yang berstruktur hierarkis –terutama rezim otoriter Arab – adalah satu penguasa tunggal (seperti Anwar al-Sadat atau Mohammad bin Salman) dapat mengubah sendiri kebijakannya secara radikal. Tidak ada yang memiliki (disposes) kekuasaan seperti itu di PLO atau Hamas. Dengan demikian konflik negara dengan Israel lebih mudah diatur dan lebih mudah berubah dibandingkan dengan konflik Palestina.
Keempat, terlepas dari berbagai klaim tentang agresi imperialis yang diarahkan terhadap mereka, negara-negara Arab besar tidak pernah secara meyakinkan menggambarkan diri mereka sebagai korban Israel yang kecil. Sesuatu yang bahkan dilakukan oleh orang Palestina yang lebih kecil sekalipun dengan ketrampilan yang sangat luar biasa yang membuat mereka disayangi oleh organisasi internasional serta menjadi wahana yang mempertemukan beragam individu, komunitas dan organisasi seiring dengan berkembangnya berbagai bentuk kerja sama. Juga memberikan kepada mereka konstituen global yang unik. Akhirnya, perjanjian damai yang sekian lama dengan Mesir dan Yordania serta Abraham Accords baru-baru ini sangat penting dalam diri mereka sendiri tetapi hampir tidak berperan mengurangi permusuhan Palestina yang bernyala-nyala terhadap Israel. Berbagai kelompok Palestina seperti penganut Islam radikal, Teheran dan Ankara serta kaum Kiri global pun benar-benar mengabaikan kesepakatan itu. Mundurnya negara-negara Arab itu menjadi persoalan tidak relevan jika hanya masalah orang Palestina yang menjadi korban.
Karena alasan ini, negara-negara Arab menarik diri setelah hanya 25 tahun mulai menuduh Israel, namun Palestina tetap melakukannya selama 50 tahun.
Pipes adalah Presiden dari Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2022 by Daniel Pipes. All rights reserved.
[1] Persoalan ini mengingatkan orang kepada pernyataan yang terkenal dari Perdana Menteri Cina Zhou Enlai bahwa "terlampau awal" untuk menilai dampak dari Revolusi Prancis pada tahun 1789. Kenyataannya, dia kala itu merujuk kepada kerusuhan mahasiswa Prancis pada tahun 1968. Tetapi salah kutip itu justru mengungkapkan kebenaran yang mendalam.
[2] Saya membahas tujuan ini dalam tulisan bertajuk, "A New Strategy for Israeli Victory," dalam Commentary, Januari 2017.
Topik Terkait: Konflik dan diplomasi Arab-Israel, Proyek Israel Victory
Artikel Terkait: