Judul yang disajikan dalam FoxNews.com: "Revolution Comes to the Middle East -- A Look at Libya, Egypt, Syria and Yemen"
Setelah beberapa dekade statis, Timur Tengah pun bergolak. Seiring dengan begitu banyak persoalan yang perlu diperhatikan pada satu tempat, berikut ini tinjauan atas perkembangan di empat negeri utama Timur Tengah.
Muammar Qaddafi dalam gemerlap pakaian militernya yang lengkap |
Libya: Sebagian besar masyarakat Amerika sungguh-sungguh tidak menyadari bahwa, pemerintah mereka secara serampangan melancarkan perang pada 19 Maret melawan Libya yang dipimpin oleh Muammar Qaddafi. Rasa permusuhannya nyaris tidak diakui tertutupi dengan eufemisme (dengan pernyataan seperti "ada aksi militer yang kinetik, terutama di garis depan"). Juga tidak punya tujuan yang jelas. Dua tokoh utama Pemerintahan Obama berada di luar negeri. Presiden Obama sedang berada di Chili. Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS berada di Prancis. Anggota Kongres, tanpa dimintai pendapat, menanggapi dengan marah di seluruh penjuru spektrum politik. Beberapa analis politik lantas melihatnya (discerned) sebagai sebuah preseden untuk melakukan serangan militer terhadap Israel.
Mungkin Obama bakal beruntung dan Qaddafi akan segera jatuh dari kekuasaannya. Tetapi tidak ada yang tahu siapakah pemberontak itu. Akibatnya upaya terbuka pun saja bisa berlarut-larut, mahal, penuh teror dan secara politik tidak popular. Jika demikian, Libya pun berisiko menjadi Irak-nya Obama . Atau lebih buruk lagi jika kaum penganut Islam radikal mengambil alih negara itu.
Obama menginginkan Amerika Serikat menjadi "salah banyak mitra" di Libya sambil berharap dia itu Presiden Cina, sehingga memperlihatkan bahwa perang ini justru malah menawarkan sebuah eksperimen raksana bagi Pemerintah AS untuk berpura-pura bahwa dia itu Belgia. Saya mengakui agak bersimpati terhadap pendekatan ini. Pada tahun 1997, saya mengeluh bahwa, berkali-kali, karena Washington bergegas masuk mengambil tanggung jawab untuk menjaga ketertiban, "Orang dewasa Amerika menjadikan orang lain seperti anak kecil." Saya karena itu mendesak Washington untuk lebih berhati-hati, membiarkan orang lain datang meminta bantuan.
Itulah yang Obama lakukan. Dengan caranya yang kikuk dan kurang persiapan. Hasilnya pasti bakal mempengaruhi kebijakan AS di masa depan.
Mesir: Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata mensponsori referendum konstitusi pada 19 Maret yang kemudian disahkan dengan 77 suara pendukung dan 23 suara menolak. Referendum berdampak pada meningkatnya jumlah kaum Ikhwanul Muslimin serta sisa-sisa Partai Demokratik Nasional pimpinan Hosni Mubarak, sambil pada saat yang sama menyingkirkan kaum sekuler Tahrir Square. Dengan melakukan itu, pimpinan militer yang baru menegaskan niatnya untuk melanjutkan kolusinya yang sudah sekian lama berlangsung dengan para penganut Islam radikal.
Dua fakta mendasari kolusi ini: Mesir telah diperintah oleh militer sejak kudeta tahun 1952. Selain itu, apa yang disebut Perwira Bebas yang melakukan kudeta itu sendiri memiliki hubungan dekat dengan sayap militer Ikhwanul Muslimin.
"Para perwira bebas" pada tahun 1952. Perhatikan Gamal Abdul Nasser yang duduk di ujung paling kiri berikut Anwar Sadat yang duduk paling kanan. |
Semangat Lapangan Tahrir nyata. Dan pada akhirnya akan menang. Tetapi untuk saat ini, bisnis berlangsung seperti biasa di Mesir. Pemerintah masih melanjutkan garis kuasi-Islam yang akrab dengan Mubarak.
Suriah: Hafez al-Assad memerintah negara itu selama tiga puluh tahun (1970-2000) secara brutal dan sangat licik. Dirasuki oleh klaim berbau monarki, dia lalu mewariskan kursi kepresidenan kepada putranya yang berusia 34 tahun, Bashar. Bashar sendiri berlatarbelakang pendidikan dokter mata. Dia baru bergabung dengan bisnis keluarga karena tekanan psikhologis hanya setelah kematian saudara laki-lakinya Basil yang lebih cakap pada tahun 1994. Pada dasarnya, Bashar pun mempertahankan kebijakan megalomaniak ayahnya, sehingga stagnasi, represi dan kemiskinan negara semakin lama bertahan.
Presiden Iran Mahmud Ahmadinejab menjamu Presiden Suriah Bashar al-Ashad di Teheran pada 2010. |
Ketika angin perubahan mencapai Suriah pada tahun 2011, gerombolan massa yang meneriakkan Suriya, hurriya ("Suriah dan kebebasan") tidak lagi takut terhadap "bayi" diktator itu. Panik, Bashar terombang-ambing antara bertindak keras kejam atau meredakan situasi yang kacau. Bagaimanapun, jika dinasti Assad tak lagi berkuasa, ia akan berpotensi menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan bagi komunitas minoritas Alawiyah dari mana dinasti itu berasal. Para penganut Islam radikal Sunni yang memiliki jalur dalam untuk menggantikan Assad mungkin bakal menarik Suriah dari blok perlawanan pimpinan Iran. Itu berarti bahwa perubahan rezim akan berimplikasi beragam bagi Barat, khususnya bagi Israel.
Yaman: Yaman memunculkan kemungkinan terbesar bahwa rezim akan digulingkan dan penganut Islam radikal sangat berpeluang untuk meraih kekuasaan. Betapapun kurangnya kemampuannya sebagai otokrat dan betapapun terbatasnya kekuasaannya, Ali Abdullah Saleh yang licik telah menjadi sekutu yang diharapkan Barat. Ia sudah menjabat sejak 1978. Terlepas dari hubungannya dengan Saddam Hussein dan Republik Islam Iran, Ali Abdulah Saleh berhasil meningkatkan kekuasaannya atas daerah-daerah pedalaman Yaman, membatasi aksi penghasutan serta memerangi Al-Qaeda.
Penanganan protesnya yang tidak kompeten membuatnya terasing. Bahkan kepemimpinan militer (dari mana dia berasal) dan sukunya sendiri, Suku Hashid, memperhitungkan bahwa dia akan meninggalkan kekuasaan dengan sedikit kendali atas apa yang mengikutinya. Mengingat struktur kesukuan negara itu, luasnya penyebaran senjata, perpecahan Sunni-Syiah, medan pegunungan, dan kekeringan yang menghambat, serta berbagai anarki bernuansa Islami (seperti yang terjadi di Afghanistan) tengah mengintip sebagai hasil yang mungkin terjadi.
Di Libya, Suriah, dan Yaman, namun kurang terasa di Mesir, penganut Islam radikal mempunya peluang yang signifikan untuk memperluas kekuasaan mereka. Seberapa baikkah mantan Muslim (baca: Obama) yang menghuni Gedung Putih,* begitu bersikeras dengan soal "saling menghormati" dalam hubungan AS dengan Muslim, melindungi kepentingan Barat dari ancaman ini? ***
Pipes adalah Direktur Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan dosen tamu Hoover Institution di Universitas Stanford.
Pemutakhiran 2 April 2011: Di dalam tulisan di atas saya menulis bahwa "sekarang, dinamikanya berjalan seperti biasa di Mesir." Harian Washington Post pun memperkuat pernyataan ini, dalam sebuah artikel hari ini bertajuk, "Egypt's military keeping repressive practices in place." (Militer Mesir mempertahankan praktik represif). Berikut kutipannya:
Angkatan bersenjata Mesir telah menahan dan mengadili ribuan orang sejak mengambil kekuasaan negara tahun ini. Demikian dikatakan oleh aktivis hak asasi manusia dan hukum, yang melihatnya sebagai tanda bahwa penggulingan presiden hanyalah awal dari perjuangan rakyat Mesir untuk demokrasi. Selama minggu-minggu setelah Presiden Hosni Mubarak digulingkan pada 11 Februari, kata mereka, badan-badan keamanan negara justru melemah, tetapi militer terus melanjutkan banyak praktik represif sehingga undang-undang darurat yang dibenci masyarakat memungkinkan penangkapan acak masih berlaku.
"Kami melancarkan pertempuran lain sebelumnya melawan tentara," kata Mona Seif, seorang aktivis Pusat Hukum Hisham Mubarak, sebuah firma hukum yang bekerja di bidang hak asasi manusia. "Tentara sebagian besar masih setia pada rezim lama. Mereka memiliki kepentingan ekonomi dalam sistem lama. Tidak akan mereka lepaskan dengan mudah." ... Jauh dari upaya untuk menggiring Mesir menuju demokrasi, kata para aktivis itu, militer memerintah menurut dekrit yang serupa dengan yang diandalkan oleh Mubarak.
Pemutakhiran 6 April 2011: Pimpinan militer Mesir bersikeras bahwa ini dinamika negaranya berlangsung seperti biasa. Dari cerita Kantor Berita Associated Press, bertajuk "Egypt's military says no to extremists taking over": (Militer Mesir mengatakan kaum ekstremis tidak bisa merebut kekuasaan) berikut ini kutipannya:
Para jenderal yang berkuasa di Mesir mengatakan dalam komentar yang diterbitkan Selasa bahwa mereka tidak akan membiarkan kelompok-kelompok ekstremis mengambil alih negara itu. Juga bahwa mereka lebih suka melihat ideologi agama moderat berlaku di negara yang mayoritas Muslim itu. Komentar tiga anggota Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata yang berkuasa tampaknya dirancang untuk menenangkan kekhawatiran yang berkembang bahwa kelompok Islam militan yang kini beroperasi secara terbuka akan berupaya memaksakan penafsiran mereka yang ketat tentang Islam di Mesir. Komentar-komentar itu tampaknya menjadi peringatan bagi kelompok-kelompok militan agar tidak mengambil keuntungan dari keamanan negara yang genting dan kebebasan yang diizinkan setelah penggulingan pemimpin yang sekian lama berkuasa Hosni Mubarak pada Februari untuk melanggar hukum.
* FoxNews.com mengubah anak kalimat itu menjadi "Seberapa baikkah presiden kita, penghuni Gedung Putih sekarang ini."
Topik Terkait: Pola Timur Tengah, Kebijakan AS
Artikel Terkait:
- Innocents Abroad Build Foreign Armies
- Where Can You Pray in Peace in the Middle East?
- The Paranoid Style in Mideast Politics
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.