Itulah kisah Reuters yang agaknya rutin—ah tetapi, drama apa di balik semua ini?
Segera setelah harga pertama minyak melonjak pada 1974 – 1974, penguasa Saudi memutuskan mereka perlu melindungi diri dari boikot yang sebaliknya bisa saja dilakukan negara adidaya pertanian. Mereka lalu mencurahkan sumberdaya yang sangat besar dalam program pemenuhan sendiri gandum. Ketika dimulai, pemerintah menawarkan harga luar biasa mahal kepada petani. Harga satu ton gandum adalah SR 3.500 ($ 933 atau Rp 12,2 juta). Harga itu, beberapa kali lebih tinggi daripada harga pasar. Harga itu kemudian dikurangi hingga tingkat harga yang juga masih mahal yaitu SR 1.000 (sekitar 267 dolar AS atau Rp 3,5 juta) per ton.
Selama tiga dekade, program itu secara luas menggerogoti keuangan pemerintah sekaligus sumberdaya air yang tidak perlu, karena negara-negara adidaya pertanian tidak pernah berniat untuk memblokade kerajaan. Selain itu, penyelundupan gandum ke Saudi menjadi bisnis besar (khususnya) dari Mesir yang berdekatan dengannya, temerintah menetapkan gandum dijual dengan harga lebih rendah daripada harga pasar.)
Perubahan terjadi bertahap. Ketika petani Saudi menghasilkan2,5 ton pertahun durum (sejenis gandum yang kaya lemak ) dan gandum lembut, yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar domestic, kementerian pertanian dan keuangan mengumumkan bahwa pembelian gandum lokal oleh pemerintah bakal berkurang hingga 12,5 persen per tahun. Upaya itu dilakukan setiap tahun selama delapan tahun, hingga sama sekali lepas dari harga produksi yang mahal pada 2006 (9 Januari 2008).
Pemutakhiran 21 Juli 2008: Ironisnya, ketika Saudi menyerah dan menghentikan program pemenuhan sendiri kebutuhan gandumnya, lompatan harga mendorong negara-negara tetangga menanam tanaman pangan sendiri. Andrew Martin dalam sebuah artikelnya yang berjudul, ""Mideast Facing Choice between Crops and Water" (Timur Tengah Hadapi Pilihan antara Tanaman dan Air) menulis;
Djibouti kini menamam padi dalam rumah-rumah kaca bertenaga suraya, disirami air tanah yang didinginkan dengan air laut dalam proyek yang menghasilkan apa yang oleh pakar ekonomi Bank Dunia Ruslan Yemtsov disebut "harga padi yang mungkin paling mahal di muka bumi." Sejumlah negara kaya minyak termasuk Saudi Arabia memang mulai mencari lahan pertanian di negara-negara yang subur tetapi secara politis tidak stablil seperti Pakistan dan Sudan. Upaya itu bertujuan untuk menanam tanaman pangan untuk dikapalkan ke negeri itu...Di Mesir, tempat berkurangnya subsidi roti memincu aksi kerusuhan selama bulan April lalu, para pejabat pemerintah mengatakan mereka berupaya untuk menanam gandum di atas lahan seluas dua juta akre lahan (sekitar 920 Hektar) yang di kawasan perbatasan dengan Sudan.
Para pakar ekonomi menganggap langkah itu bodoh. Karena itu, mereka lalu mendesak negara-negara Timur Tengah untuk menanam tanaman perdagangan yang intensif yang tidak membutuhkan banyak air namun bernilai nilai tinggi, seperti tanaman-tanaman produktif atau bunga. Bagaimanapun, untuk pertanian semacam ini, orang harus menengok kepada Israel di mana;
Doron Ovits, pria 39 tahun yang penuh percaya diri—dengan kaca mata ray-ban yang terdorong di dahinya yang berkulit coklat mengelola kebun tomat dan merica di Gurun Negev Israel. Tanaman-tanamannya dikembangkan dalam rumah kaca dengan terali-terali yang memannjang. Hasil ladangnya diekspor ke Eropa. Berbagai tanaman disirami tetesan air yang diaturnya, yang dikatakannya begitu murni sehingga dia terpaksa menambahkan mineral-mineral di dalamnya. Air dipompa melihat pipa irigasi yang meneteskan air sedikit demi sedikit serta ditutup rapat dengan plastik hitam guna mencegah penguapan.
Bak penampung air yang dipompa ditempatkan di luar rumah kaca dilengkapi dengan sebuah komputer. Alat canggih itu berfungsi melacak berapa banyak air dan pupuk yang dipergunakan. Ovits sendiri memperhatikan semuanya dari komputer mejanya. "Dengan irigasi sistem tetes, anda menghemat uang. Jauh lebih tepat," urainya. "Kau tidak akan mengelolanya seperti seorang petani. Kau mengelolanya seperti seorang pengusaha."
Israel pun sama-sama terobsesi dengan air seperti Ovits. Di sana, pada era 1950-an, ada seorang insinyiur menemukan pengairan lewat penetesan modern. Peralatan itu menghemat air dan pupuk karena menyalurkannya tetes demi tes pada akar-akar tanaman. Semenjak itu, Israel menjadi pemimpin dunia dalam upaya memaksimalkan hasil pertanian lewat sistem penetesan air. Banyak kalangan yakin ia berperan sebagi model yang terus bertahan hingga kini bagi negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Menariknya, terlepas dari asalnya dari Israel, pengairan sistem tetes sudah dipergunakan pula di Tunisia dan Mesir.
Pemutakhiran 1 September 2008: Jurnal Middle East Review of International Affairs menerbitkan rangkuman disertasi yang diterbitkan pada 2005 pada Universitas London, karya Elie Elhadj, seorang bankir keturunan Suriah. Judul disertasinya, ""Experiments in Water and Food Self-sufficiency in the Middle East: The Consequences of Contrasting Endowments, Ideologies, and Investment Policies in Saudi Arabia and Syria." (Eksperimen Swasembada Air dan Makanan di Timur Tengah: Konsekwensi dari Dukungan, Ideologi dan Kebijakan Investasi yang Berbeda di Saudi Arabia dan Suriah).Selain memberikan suatu analisis menyeluruh atas persoalan negara-negara Arab yang berkaitan dengan makanan, dia mengamati dari dekat pengalaman Saudi. Sejumlah intisari (untuk catatan kaki, lihat teks aslinya):
Pertanian merupakan hal asing bagi habitat padang gurun dan budaya masyarakatnya. Bagaimanapun, ketika Saudi Arabia menjadi kaya menyusul peningkatan empat kalo harga minyak pada 1973, para investor Saudi diperkenalkan dengan subsidi yang sangat besar dari pemerintah untuk mengimpor peralatan dan tenaga kerja pertanian untuk mewujudnyatakan strategi yang begitu dipropagandakan tentang upaya memenuhi sendiri kebutuhan makanan. Selama 12 tahun, antara 1980 dan 1992, produksi gandum meningkat 29 kali lipat --- mencapai 4,1 juta ton yang membuat padang gurun Saudi menjadi negara pengekspor gandum terbesar keenam dunia. Guna mencapai pertumbuhan yang sangat besar itu, kawasan produsen gandum ditingkatkan 14 kali lipat menjadi 924.000 Ha. Melihat luasnya lahan pertanian itu dalam perspektif, maka terlihat bahwa selama berabad-abad Mesir, dengan jumlah penduduk lima kali lebih besar dari Saudi, hanya punya lahan pertanian 3 juta hektar untuk semua jenis tanaman pangannya.
Berawal pada 1993, akibat tekanan harga minyak yang terus merosot sejak era 1980-an, pemerintah terpaksa mengurangi subsidi pertanian gandumnya. Defisit anggaran era 1984 hingga 1992 melonjak menjadi $130 miliar (sekitar Rp 170 Triliun). Likuiditas menjadi begitu ketat. Pemerintah terpaksa menunda (default) selama beberapa tahun kewajibannya untuk membayar lebih dari $70 miliar kepada ribuan pemasok, kontraktor dan para petani. Dalam kurun waktu empat tahun, pada akhir 1996, sebesar 76 persen ladang pertanian gandum baru ditinggalkan. Produksi gandum langsung merosot hingga 70 persen. Sedangkan pada 2000, produksi barley (sejenis gandum) pun merosot hingga 94 persen.
Biaya kerugian keuangan yang ditimbulkan antara 1984 dan 2000 itu diperkirakan mencapai 100 miliar dolar AS, belum termasuk berbagai subsidi yang tidak terhitung jumlahnya. Jika berbagai subsidi ini ditambahkan maka seluruh pengeluaran bisa saja dua kali lipat. Biaya gandum pun berlibat menjadi 1.000 dolar AS per ton. Padahal, harga internasional gandum selama periode itu rata-rata 120 dolar AS per ton.
Sedangkan berkaitan dengan air, makla terlihat bahwa antara 1980 dan 1999, jumlah air yang sangat besar sudah digunakan. Sekitar 300 juta meter kubik air atau sama dengan enam tahun jumlah air Sungai Nil yang mengalir ke Mesir telah dipergunakan. Jumlah air sebesar itu, identik dengan sekitar 15 juta meter kubik air pertahun, sama dengan jumlah air yang sama-sama diterima oleh Suriah dan Irak dari Sungai Eufrat. Dengan demikian, dua pertiga air yang digunakan itu dianggap tidak bisa didaur ulang, menurut perkiraan Menteri Pertanian dan Air. Dengan angka itu, tidak perlu menjadi jenius untuk meramalkan bhawa jika pengurasan air yang berlebihan itu tidak didihentikan maka cadangan air yang tidak bisa diperbarui akan cepat atau lambat bakal berkurang. Pengumuman yang dibuat pada 2008 mengukuhkan kenyataan ini.
Mandiri mengatur persoalan makanan merupakan hal yang tidak mungkin bagi negara seperti Saudi Arabia...Negara seperti Saudi Arabia jauh lebih baik menghentikan irigasi padang guru sama sekali guna menjaga air yang tersisa bisa dipergunakan untuk minum dan kebutuhan rumah tangga generasi mendatang,
Pemutakhiran 20 Januar 2011: "Rising food prices spell trouble for Arabs" (Peningkatan Harga Makan Memunculkan Masalah bagi Bangsa Arab), tulis berita utama Kantor Berita United Press International. Berikut ini intisarinya:
Kenaikan harga makanan memicu jatuhnya rejim Tunisia dan kerusuhan di Aljazair. Ia juga lebih jauh mengancam munculnya masalah di seluruh penjuru Timur Tengah dan Afrika Utara, sebuah kawasan yang sangat bergantung pada impor makanan. Krisis makanan bagaimanapun beriringan dengan bertambahnya penduduk bisa memperluas terbentuknya padang gurun serta mengurangi sumberdaya air sekaligus meningkatkan pengangguran. Akibatnya, kawasan yang mudah menguap itu menciptakan ledakan persoalan di seluruh kawasan, ketika banyak orang takut perang baru bakal meletus...
Dengan sektor pertanian yang sangat terbatas karena air yang sangat jarang, Timur Tengah menjadi sangat rawan terhadap goncangan-goncangan harga bahan makanan. Dalam laporannya baru-baru ini tentang keamanan pangan di dunia Arab, Bank Dunia memperhatikan bahwa "negara-negara Arab sangat rawan terhadap fluktuasi pasar komoditas internasional karena sangat bergantung pada makanan impor. Negara-negara Arab menjadi pengimpor terbesar produk biji-bijian di dunia" --- lebih dari 58 juta metrik ton pada 2007 --- "dan sedikitnya 50% kalori makanan yang mereka konsumsi hampir semuanya diimpor." Ditambahkannya bahwa "yang lebih memprihatinkan negara-negara Arab adalah kekuatan struktural dan siklus alamnya membuat sistemnya sangat peka terhadap kekurangan pasokan makan dan permintaan yang tetap meningkat yang membuat goncangan harga pada masa datang menjadi sangat mungkin."
Pemutakhiran 10 Februari 2011: Frederick Deknatel merangkum perjuangan Saudi untuk menanamkan gandum dalam sebuah resensi buku yang diterbitkan dalam Harian The Nation:
Sedikit sekali fakta yang diketahui tentang Saudi Arabia. Ia adalah negara yang hingga baru-baru ini menjadi pengekspor gandum terbesar dunia yang keenam. Sejak 1980 hingga 2005, Saudi menghabiskan $ 85 miliar (sekitar Rp 1.106 triliun) atau nyaris 20 persen dari seluruh akumulasi pendapatan minyaknya selama masa itu untuk mensubsidi para petani gandum. Di sebuah negara yang seperempat cadangan minyak dunianya diketahui tetapi tidak punya sungai alamiah atau danau, biaya lingkungan hidup bagi penanaman gandum menjadi sangat luar luar biasa. Menteri Pertanian dan Air memerintahkan sekitar 200 bendungan dibangun pada era 1980-an. Bendungan itu diharapkan bisa mencegah dan mengarahkan kembali air yang mahal namun terbatas dari oase dan lapisan air bawah tanah tua. Seorang pakar ekonomi memperkirakan bahwa biaya irigasi Saudi bagi pertanian gandum sejak 1980 hingga 2000— mencapai lebih dari 300 miliar meter kubik air. Jumlah itu sama dengan enam tahun jumlah air yang mengalir di Sungai Nil." Sebuah delegasi Amerika yang berkunjung ke kerajaan itu menyamakan lalu "penanaman tanaman biji-bijian dengan harga yang sangat mahal di padang gurun" dengan "menanam pisang dalam ruang kaca di Alaska.'