Joan Peter memulai buku ini dengan keinginan untuk menulis seputar Bangsa Arab yang melarikan diri dari Palestina pada 1948-49 tatkala angkatan bersenjata negara-negara Arab berupaya menghancurkan Negara Israel yang baru berdiri. Selama melakukan riset, dia pun menemukan perbedaan yang "tampaknya wajar" antara defenisi standar tentang pengungsi serta defenisi yang digunakan oleh Bangsa Arab Palestina. Dalam kasus lain, pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal tetap atau rumah yang biasa didiaminya. Bagaimanapun, dalam kasus ini, pengungsi didefenisikan sebagai orang-orang yang berdiam di Palestina selama dua tahun sebelum melarikan diri dari negeri itu yang berawal pada 1948.
Perbedaan defenisi ini pertama-tama tidak terlampau mengesankannya, kenang Peters. Tetapi ketika melanjutkan penelitiannya, anomali seputar Bangsa Palestina "mulai mengemuka sehingga membongkar kerangka berpikir bukunya. Mengapa ada defenisi yang berbeda tentang pengungsi bagi Bangsa Palestina? Ada apakah dengan mereka sehingga harus dimasukan dalam penjelasan resmi supaya bisa dipilih untuk status pengungsi? Ketika membaca tulisan-tulisan bersejarah seputar Palestina bertahun-tahun sebelum 1948, Peters menemukan sebuah pernyataan dari Winston Churchill yang dikatakannya, membuka matanya terhadap situasi di Palestina. Pada tahun 1939, Chuchil menentang gagasan yang umum berkembang pada masa itu, bahwa imigrasi Bangsa Yahudi menuju Palestina menyebabkan akar-akar para pemukim Bangsa Arab tercabut. Sebaliknya, menurut dia, "Sama sekali tidak ada penganiayaan. Bangsa Arab memadati negeri itu dan berlipat ganda hingga jumlah mereka jauh lebih meningkat meski seluruh dunia Bangsa Yahudi sekalipun mampu mengumpulkan seluruh populasi Yahudi."
Bangsa Arab memadat memenuhi Palestina? Ketika Peters mencoba menjelaskan sudut pandang ini, dia menemukan banyak sekali informasi kabur yang mengukuhkan pengamatan Winston. Berdasarkan sebuah statistik sensus dan sejumlah besar catatan masa kini, dia memilah bersama berbagai dimensi imigrasi Arab menuju Palestina sebelum 1948. Meskipun berbagai pihak lain sudah mencatat fenomena ini, dialah orang pertama yang mendokumentasika persoalan ini, yang berupaya mengkwantifikasikannya kemudian menarik kesimpulan dari sana. Karya bernuansa detektif bersejarahnya ini memberikan hasil-hasil yang mengagumkan yang seharusnya secara material mempengaruhi arah perdebatan masa depan seputar persoalan Palestina.
Buku Joan Peters, "From Time Immemorial". |
Sebelum membahas persoalan statistik dan laporan yang bagaimanapun Peters gunakan unutk mengajukan argumentasinya, saya harus sampaikan satu kata peringatan seputar buku From Time Immemorial. Harus saya katakan bahwa pengarangnya bukanlah sejarahwan atau orang yang biasa menulis persoalan politik. Dia karena itu cenderung membiarkan semangatnya mengalir membawanya jauh dari sana. Akibatnya, penjajian buku kacau balau, terlampau berat sebelah berbarengan dengan sejumlah kesalahan yang sangat mengganggu dampak dari buku itu sendirinya. Meski demikian, kekurangan-kekurangan itu tidak mengurangi pentingnya berbagai fakta yang disajikan. Terlepas dari berbagai kekurangannya, buku From Time Immerorial berisi informasi yang sangat kaya yang sangat pantas diperjuangkan perolehannya sekaligus untuk diungkapkan.
Dengan memanfaatkan karya Kemal Karpat berkaitan dengan catatan seputar Kekaisaran Ottoman, Peters memastikan jumlah penduduk non-Yahudi pada tahun 1893 di kawasan yang belakangan membentuk Palestina di bawah Mandat Inggris. Kawasan itu kemudian dia bagi dalam tiga bagian: satu tanpa pemukiman Yahudi, satu lagi dengan sedikit pemukiman Yahudi dan satunya dengan banyak pemukim Yahudi. Dia lalu membandingkan populasi non-Yahudi dari setiap bagian pada 1893 dan 1947, selama perayaan Kemerdekaan Israel. Di kawasan pemukiman Yahudi, populasi non-Yahudi menonjol pada 1893 dengan jumlah 337.200; pada tahun 1947, jumlah mereka meningkat mencapai 730.000, artinya terjadi peningkatan 116 persen. Di kawasan dengan sedikit pemukiman Yahudi, penduduk non-Yahudi bertumbuh selama masa yang sama, dari 38.900 orang menjadi 110.900 atau naik 185 persen. Akhirnya, di kawasan dengan banyak pemukiman Yahudi, populasi non-Yahudi bertumbuh dari 92.300 pada 1893 menjadi 462.000 pada 1947 atau 401 persen pertumbuhan. Dari angka-angka ini, Peters menyimpulkan bahwa "populasi Arab tampaknya sudah berkembang sesuai proporsi presensi kaum Yahudi."
Banyaknya angka biasanya mengaburkan kenyataan karena ketiga kawasan itu disatukan dan diperhitungkan sebagai satu unit tunggal. Memang, populasi seluruh kawasan Mandat Palestina meningkat menjadi 178 persen dalam kurun 54 tahun. Peningkatan itu dapat dijelaskan secara memuaskan lewat reproduksi alamiah. Meskipun demikian, ia justru memunculkan sejumlah pertanyaan. Angka 401 persen tidak bisa dijelaskan dengan cara ini, karena bagaimanapun, agak tidak mungkin terjadi perbedaan angka pertumbuhan yang sangat besar di antara ketiga bagian kawasan.
Sekarang, bagaimana menjelaskan secara memuaskan angka yang beragam ini? Berdasarkan perpindahan manusia. Walaupun Bangsa Yahudi saja berpindah menuju Palestina karena alasan-alasan ideologis, namun mereka tidak sendirian beremigrasi ke sana. Dalam jumlah besar, Bangsa Arab bergabung bersama mereka, mulai dari aliyah pertama pada tahun 1882 hingga pembentukan Negara Israel pada 1948. "Bangsa Arab berpindah menuju kawasan-kawasan yang sudah lebih dulu diisi dengan pemukiman Yahudi yang memikat mereka untuk berdiam di sana juga." Meski demikian, para imigran Arab tidak banyak mendapat perhatian karena Pemerintah Turki dan Inggris (sebelum dan sesudah 1917, secara berturut-turut) tidak banyak berminat terhadap mereka. Di bawah kekuasaan pemerintahan yang belakangan (baca: Inggris) misalnya, "bahkan tida ada perhitungan serius di sana untuk memperhitungkan banyaknya peristiwa imigrasi Bangsa Arab ke Palestina." Kepulangan kembali kaum Zionis ke tanah nenek moyang mereka menjadi topik yang benar-benar menarik dunia, positif maupun negatif. Jadi, Bangsa Arab yang melintasi perbatasan-perbatasan negara buatan yang baru berdiri tidak diperhatikan.
Akibatnya, para pejabat di Palestina hanya memperhitungkan sedikit persentasi imigran Arab. Catatan Inggris selama tahun 1934 memperlihatkan hanya 1,734 orang non-Yahudi menjadi imigran legal dan sekitar 3.000 orang lainnya imigran illegal. Meski demikian, menurut sebuah wawancara media pada Agustus 1934 dengan Gubernur Distrik Hauran di Suriah, "Dalam beberapa bulan terakhir ada 30.000 hingga 36.000 warga Hauran memasuki Palestina dan menetap di sana." Pada 1947, para pejabat Inggris hanya memperhitungkan 37.000 warga Arab sebagai kumpulan imigran non-Yahudi di Palestina sejak 1917--- agaknya lebih dari jumlah itu yang datang dari satu distrik Suriah, dalam kurun waktu kurang dari satu tahun saja.
Imigran non-Yahudi berdatangan dari semua bagian Timur Tengah termasuk Turki, Suriah, Irak, Libanon, Transyordania (yang dikenal orang sebagai Yordania), Arab Saudi, Yaman, Mesir, Sudan dan Libya. Sikap Inggris yang tidak peduli menyebabkan imigran Arab biasanya dibiarkan begitu saja masuk dan diijinkan bermukim di daerah Mandat Palestina. Begitu banyak Bangsa Arab datang ke sana, sehingga Peters memperkirakan, bahwa "jika semua orang itu dipaksa meninggalkan kawasan itu sekarang, maka sangatlah mungkin terjadi dua eksodus dengan sedikitnya jumlah orang yang sama banyak. Dengan demikian, kawasan Palestina bakal sekali lagi tidak berpenghuni."
Sejumlah pejabat pemerintah Inggris mengeluhkan sikap yang kurang tegas terhadap warga imigran Arab, tetapi tidak banyak berhasil. Pengarang buku itu mencurahkan 16 halaman bukunya untuk membahas tentang berbagai memo yang dikirimkan pada penghujung tahun 1937 oleh Konsul Inggris di Damaskus, Kolonel Gilbert MacKereth. Dalam berbagai memo itu, sang konsul mendesak supaya patroli keliling kawasan Palestina dilakukan lebih efektif. MacKereth ternyata gagal dalam upaya ini karena perhatian Inggris terhadap urusan imigrasi senantiasa tetap terpusat pada kaum Yahudi.
Apakah yang mendorong ratusan ribu warga Arab berpindah ke Palestina? Peluang ekonomi. Kaum Zionis bagaimanapun membawa serta ketrampilan dan sumberdaya dari Eropa. Bangsa Yahudi di Palestina kemudian mengawali berbagai kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan dan kekayaan yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan penduduk pribumi, seperti yang terjadi pada pemukiman Eropa lainnya yang mendiami kawasan-kawasan jarang penduduk pada masa itu,---seperti di Australia, Afrika Selatan atau Amerika Barat. Akibatnya, sejumlah besar warga Arab berpindah mendekati para pemukim itu supaya bisa mendapatkan pekerjaan.
Gambaran yang lazim menggambarkan bahwa para imigran Yahudi membeli tanah milik warga Arab, sehingga memaksa para bekas pemiliknya menjadi penganggur. Penjelasan Peters benar-benar bertolak belakang, yaitu ketika mengatakan bahwa Bangsa Yahudi menciptakan peluang baru yang menarik minat emigran dari tempat-tempat yang jauh. Soal seberapa besar jumlah pengangguran terjadi di antara Bangsa Arab, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar terjadi di kalangan para imigran yang baru datang.
Pemutarbalikan interpretasi yang lazim ini secara tersirat mengatakan cara yang benar-benar berbeda dalam melihat posisi Bangsa Arab di Mandat Palestina. C.S. Jarvis, Gubernur Sinai pada 1923-1936 [Daniel Pipes: angka itu mengoreksi teks yang diterbitkan pada tahun 1984 yang secara salah menganggap kutipan berikut berasal dari Winston Churchill] memperhatikan bahwa, "Sangatlah sulit untuk menjelaskan persoalan kemiskinan di kalangan Bangsa Arab jika pada saat yang sama, para kerabat mereka dari negara-negara tetangga tidak dipisahkan supaya tidak terlibat dalam kemiskinan itu." Data yang diungkapkan oleh Joan Peters mengindikasikan bahwa Bangsa Arab meraih keuntungan ekonomis begitu banyak berkat kehadiran pemukiman Yahudi dari Eropa sehingga bersedia bepergian ribuan kilometer supaya bisa mendekati mereka.
Pada gilirannya, inilah yang menjelaskan mengapa defenisi pengungsi Palestina pada tahun 1948 adalah orang yang sudah berdiam di sana selama dua tahun: karena banyak pemukim Arab pada tahun 1948 baru berimigrasi ke sana. Defenisi yang lazim bakal memangkas sebagian besar orang yang belakangan mengklaim diri sebagai para pengungsi dari Palestina.
Jadi, "persoalan Palestina" tidak punya dasar yang kokoh. Banyak kalangan yang kini menganggap diri pengungsi Palestina adalah para imigran sebelum tahun 1948 atau anak-anak mereka. Fakta bersejarah itu mereduksi klaim mereka atas tanah Israel; sekaligus memperkuat pemikiran bahwa persoalan sebenarnya di Timur Tengah tidak banyak berkaitan dengan hak-hak Bangsa Arab Palestina.
Surat kepada Editor
Oleh Daniel Pipes
New York Review of Books
27 Maret 1986
Buku karya Joan Peters, From Time Immemorial, secara luas dapat dikatakan, diterima dengan dua cara dalam dua kurun waktu yang berbeda. Berbagai tinjauan buku sebelumnya menganggap bukunya sebagai sumbangan penting bagi kajian konflik Arab-Israel. Sedangkan tinjauan buku yang belakangan muncul mengabaikan kenyataan bahwa buku itu merupakan buku propaganda. Terbit nyaris dua tahun setelah penerbitan buku tersebut, tinjauan buku karya Prof. Yehoshia Porath, 16 Januari 1986 mungkin nyaris mendekati kelompak kedua, yang mengabaikan fakta bahwa buku itu merupakan sebuah propaganda. Sebagai satu dari orang-orang yang pernah membuat tinjauan atas buku itu ketika pertama kali terbit---dan orang yang merujuknya karena alasan ini dalam tinjuaun Profesor Porath --- harus saya katakan kali ini saya senang untuk mengomentari perdebatan seputar buku itu.
Perbedaan kedua putaran penerbitan tinjauan buku tidak sulit untuk dijelaskan. Sebagian besar tinjauan awal, termasuk tinjauan saya, memusatkan perhatian pada substansi tesis utama Nona Peters; sedangka tinjauan-tinjauan selanjutnya, sebaliknya menekankan kesalahan-kesalahan bukunya--- berkaitan dengan persoalan teknis, historis serta literer.
Tidak saya perdebatkan berbagai kesalahan dalam buku tersebut. From Time Immemorial secara ngawur membuat kutipan, tidak rapih memanfaatkan statistik serta mengabaikan fakta-fakta yang tidak menyenangkan. Banyak bagian buku tidak relevan dengan tesis sentral yang Nona Peters ajukan. Kemampuan bahasa serta kecendekiawananannya pantas dipertanyakan. Tanda-tanda kutipan yang digunakan secara berlebihan diikuti dengan catatan kaki yang aneh sekaligus bernada polemik dan kurang menyenangkan (historical undertone) sangat merusak. Ringkasnya, From Time Immemorial itu buku yang mengerikan.
Meskipun demikian, faktanya tetap saja ada. Bahwa Profesor Porath atau penulis tinjauan buku lainnya sampai sebegitu jauh tidak berhasil menolak tesis buku tersebut. Tesis utama Nona Peters adalah bahwa imigrasi Bangsa Arab yang sangat besar menuju Palestina terjadi selama paruh pertama abad keduapuluh. Untuk itu, dia mendukung argumentasi ini dengan banyak sekali statistik demografis serta kisah kontemporer dan banyak kisah itu tidak dipertanyakan oleh seorang penulis tinjauan buku pun, termasuk Profesor Porath.
Bagaimanapun, Prof. Porath menolak mengatakan bahwa argumentasi Nona Peters itu "aneh." Karena itu dikatakannya bahwa "alasan utama" populasi Arab berkembang subur adalah karena (angka) kelahiran yang stabil sementara mortalitas bayinya justru menurun di kalangan Bangsa Arab. Dia kemudian menyimpulkan bahwa perpindahan penduduk tidaklah signifikan dibandingkan dengan peningkatan alamiah.
Jadi, sekarang tidak ada lagi soal bahwa perbaikan kondisi kesehatan memberikan sumbangan terhadap meningkatnya populasi Bangsa Arab. Meskipun demikian, persoalannya tidak langsung jelas bahwa berkurangnya mortalitas bayi memang lebih penting dibandingkan dengan imigrasi. Profesor Porath menekankan persoalan ini, tetapi dia tidak memberikan bukti yang perlu untuk meyakinkan seorang pembaca.
Bantahan terhadap tesis Nona Peters mempersyaratkan adanya pendekatan yang terinci terhadap catatan kelahiran dan kematian, daftar imigrasi dan emigrasi, catatan kerja, pola pemukiman nomaden dan selanjutnya. Mungkin saja dia salah; tetapi ini hanya akan terbukti ketika peneliti lain meneliti bukti-bukti yang diajukannya kemudian memperlihatkan bahwa imigrasi memang tidak penting. Tentu saja, ada atau tidaknya imigrasi Bangsa Arab dalam skala besar, tidak ada hubungannya, dengan motif atau kekurangan yang jelas-jelas ada dalam buku Nona Peters. Fakta tentang perubahan populasi tidak bisa dibuat dengan menghimpun caci-maki terhadap Nona Peters, tetapi hanya dengan memeriksa kembali arsip-arsip.
Meskipun presentasinya salah, hipotesis Nona Peters sudah diajukan untuk diperdebatkan. Orang yang berkuasa di kalangan peengkrtiknya perlu berhenti memaki-maki kemudian berupaya serius untuk memperlihatkan kesalahannya dengan menunjukkan bahwa ribuan warga Arab tidak beremigrasi ke Palestina selama masa yang dipersoalkan.
Hingga ini terjadi, apakah yang orang pikirkan? Adakah alasan untuk menerima versi peristiwa yang Nona Peters ajukan? Saya percaya itu; walau, From Time Immemorial tidak menempatkan imigrasi Arab ke Palestina dalam konteks historis, tidaklah sulit untuk menemukan rasional atau alasan perpindahan meeka. Bangsa Arab yang pergi ke Palestina berupaya mencari peluang ekonomi yang diciptakan oleh kaum Zionis. Sebagai orang Eropa, kaum Zionis membawa serta ke Palestina berbagai sumberdaya daya serta ketrampilan yang lebih maju dalam bidang apapun dibandingkan dengan yang dimiliki penduduk lokal. Kaum Yahudi memulai aktivitas ekonomi yang menciptakan pekerjaan dan kekayaan sehingga kemudian menarik bangsa Arab masuk. Kaum Zionis itu menyerupai Bangsa Inggris, Jerman dan Bangsa Eropa modern lain yang bermukim di kawasan-kawasan jarang penduduknya ---seperti di Australia, Afrika Selatan, atau Amerika Barat --- kemudian menarik penduduk pribumi ke tempat mereka sendiri.
Tidak ada yang mengejutkan dalam semua ini. Dan karena itu masuk akal, saya yakin dengan argumentasi bahwa sejumlah besar warga Arab berpindah ke Palestina. Tentu, akan saya betulkan pandangan saya jika bukti yang memaksa yang ditemukan memperlihatkan hal yang sebaliknya. Tetapi ini mempersyaratkan bahwa para pengkritik Nona Peter bergerak jauh di luar polemik dan benar-benar membuktikan bahwa tesis pemikirannya salah.
Pemutakhiran 1 Januari 2003: Untuk mendapatkan vesi lebih ringkas dan dapat dipercaya seputar tesis Peters, lihat buku karya Fred M. Gottheil, "The Smoking Gun: Arab Immigration into Palestine, 1922-1931," (Senjata Berasap: Imigrasi Bangsa Arab Menuju Palestina) Middle East Quarterly, Winter 2003.
Meski terlambat disebutkan, pantas dibicarakan juga kajian penting yang dilakukan oleh Aryeh L. Avneri bertajuk, The Claim of Dispossession: Jewish land-Settlement and the Arabs, 1878-1948. Terbit perdana dalam Bahasa Hebrew pada tahun 1980, buku itu tampil dalam terjemahan Inggris dari Penerbit Transaction Books pada 1984, pada tahun yang sama dengan lahirnya analisis Nona Peters.
Pemutakhiran 20 Agustus 2009: Dalam artikelnya bertajuk, "The lost Palestinian Jews" (Hilangnya Bangsa Yahudi Palestina), David Shamah dari harian Jerusalem Post mengisahkan kepada kita tentang karya Tsvi Misinai yang agak sulit terjadi. Ringkasnya tulisan itu mengatakan:
Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian, Misinai mengatakan dia bisa memaklumi dengan pasti bahwa hampir 91 persen dari semua Bangsa Palestina adalah keturunan Bangsa Yahudi. "Dan lebih-lebih, sekitar separuh dari mereka menyadari hal itu," urainya.
Untuk mengetahui rinciannya, baca artikel menarik ini.
Pemutakhiran 7 Juni 2011: David P. Goldman mencatat dalam tulisannya, "Israel, Ireland and the peace of the aging" bahwa pola Bangsa Arab yang berjejalan mendekati Bangsa Yahudi karena alasan ekonomi berlangsung sama banyaknya seperti yang pernah terjadi sebelumnya:
Pemutakhiran 1 April 2013: Seorang pemimpin Hamas, Fathi Hammad, mengatakan pada 23 Maret 2012 lalu bahwa "separuh Bangsa Palestina adalah Bangsa Mesir dan separuhnya lagi Bangsa Saudi." Pernyataan itu memberikan bukti tertulis bagi Gideon M Kressel serta almarhum Reuven Aharoni seputar studi mereka yang berani dan asli bertajuk Egyptian Émigrés in the Levant of the 19th and 20th Centuries (Emigran Mesir di Levant pada Abad ke-19 dan 20). Dalam buku itu, mereka mengatakan banyak "warga Palestina' nyatanya berasal dari Mesir. Memang. "Populasi Mesir merupakan komponen yang sangat luas, yang secara relatif dapat dikatakan, hanya baru-baru ini saja tiba di Palestina.Ada 5,800 warga Palestina bekerja di berbagai perusahaan teknologi di Tepi Barat. Sektor piranti lunak Israel yang berkembang subur melakukan outsourcing atau membuat kontrak ke Tepi Barat dan sepertiga perusahaan perangkat lunak Palestina memenuhi pesanan untuk perusahaan Israel. Demikian dilaporkan oleh Bloomberg News, 15 Maret lalu.
Dan sekolah terbaik bagi para mahasiswa ilmu komputer Palestina adalah Universitas Ariel yang terletak di Samaria, di tengah-tengah sebuah pemukiman dekat Nablus. "Para pengelola di Pusat Universitas Ariel bangga memiliki para mahasiswa Arab. Mereka katakan bahwa pendaftaran mereka menjadi mahasiswa perguruan tersebut menjadi contoh kesetiaan dan kesamaan derajat di antara warga negara Israel. Bagi mereka, mahasiswa Arab tampaknya tidaklah merasa tidak nyaman mengikuti kuliah di perguruan tinggi tersebut, terlepas dari reputasi dan lokasinya, " tulis Chronicle of Higher Education.
"Di kampus fakta bahwa kita berada di kawasan pendudukan menjadi tidak relevan--- karena persoalan itu tidak mempengaruhi kita sama sekali. Kita tinggalkan semua persoalan politik di luar kampus," urai Harian Chronicle yang mengutip pernyataan Manar Dewany, seorang mahasiswa berusia 20 tahun, yang mengambil Jurusan Matematika dan Ilmu Komputer yang pulang pergi setiap hari dari kota Arab Israel, Taybeh. "Saya bahkan tidak menganggapnya sebagai alasan untuk tidak masuk kuliah di sini," tambah Nona Dewany. "Saya tidak punya masalah dengan ini. Mengapa tidak kuliah di sini? Tempat ini penuh dengan orang-orang Arab."
Tidak ada orang membuat kontrak atau pasokan teknologi komputer dengan Mesir. Sedikit sekali dari 700.000 tamatan yang dihasilkan perguruan tinggi negeri itu yang memenuhi standar dunia. Pendidikan yang diterima orang-orang muda Arab di universitas yang para pemukim (Israel) kelola di Tepi Barat itu jauh lebih baik dari kampus manapun di antara negara-negara tetangga Israel. Jadi, dengan cara diam-diam, para pemukim Samaria mungkin melakukan lebih banyak bagi perdamaian dibandingkan dengan para diplomati.