Redaksi yang terhormat:
Artikel David Mamet bertajuk "Sorry, Billionaires—There's No Escape" (Maaf, Para Miliarder—Tidak Ada Jalan Keluar" (7 Agustus) menegaskan bahwa, ketika kiamat tiba, uang sebanyak apa pun yang dimiliki tidak akan membantu kaum ultrakaya untuk selamat karena para pembantu mereka akan memberontak dan mengambil alih.
Untuk menekankan pemikirannya, Mamet menyertakan kalimat menarik tentang perbudakan militer yang bersejarah di Timur Tengah: "Kekaisaran Turki Utsmaniyah mengangkat orang-orang Mameluk yang diperbudak hingga status penjaga, lalu administrator. Semuanya baik-baik saja sampai orang-orang Mameluk memperhitungkan situasi dan sadar bahwa mereka tidak membutuhkan Turki."
Saya tidak ingin terdengar bertele-tele (pedantic), tetapi reputasi Jurnal yang akurat mendorong penulis buku Slave Soldiers and Islam (1981) ini untuk mengoreksi catatan tersebut. Ya, pemberontakan oleh tentara yang diperbudak memang terjadi di beberapa tempat – terutama Mesir, Irak dan India– tetapi tidak demikian halnya di Kekaisaran Utsmaniyah. Di sana, pada tahun 1826, Sultan Mahmud II memutuskan membubarkan korps tentara budaknya, yang dikenal sebagai Janissari, lalu membangun pasukan modern. Tindakannya atas mereka, dikenal sebagai "Insiden yang Menguntungkan." Tindakan tersebut berhasil membubarkan keberadaan kaum Janissari yang telah berusia empat abad.
Dengan kata lain, sang penguasa telah memperhitungkan dan menyadari bahwa ia tidak membutuhkan para budak.
Daniel Pipes
Middle East Forum
Philadelphia
Tambahan 11 Agustus 2025: Tambahkan Prancis di dalam kelompok negara pemberontakan para budak terjadi karena di sana ada tokoh Mamluk memberontak melawan tuannya seperti dikisahkan oleh David Mamet. Orang itu adalah Roustam Raza (1783-1845). Berasal dari Armenia. Ia bertugas sebagai tentara budak di Mesir. Karena dihadiahkan pemiliknya kepada Napoleon pada tahun 1798, Raza pun mengabdi kepada pemimpin Prancis tersebut selama enam belas tahun sebagai pelayan dan pengawal. Belakangan Raza meninggalkan Napoleon tepat sebelum sang kaisar turun takhta dan dibuang ke Elba pada tahun 1814. Tindakan ini membuat Napoleon murka dan para bangsawan Prancis terguncang. Harian New York Times pada tahun 1911 bahkan menyebut kasus itu sebagai "kasus pengabaian yang tak tahu malu."
Jonathan North, penerjemah memoar Raza ke dalam bahasa Inggris, menjelaskan reaksi terkejut tersebut:

Dalam masyarakat yang begitu menghargai pangkat dan tugas di atas keluarga, tindakan egois seorang pelayan tak terelakkan lagi akan dianggap sebagai penyimpangan oleh elit terpelajar, karena dirinya sendiri, bergantung pada pelayan semacam itu. Selain itu, Roustam tampaknya menjadi sasaran yang mengarah kepada pembentukan pemikiran aneh tentang orientalisme di mana budak seharusnya tetap setia kepada tuannya, bahkan sampai mati. Persepsi publik tentang pelayan dari dunia timur (oriental) adalah bahwa mereka tetap setia sampai-sampai membiarkan diri dibunuh dan dikubur bersama tuan mereka. Namun Roustam justru lebih memilih kehidupan yang nyaman (soft life) bersama keluarganya, sehingga Napoleon mengasingkan diri sendirian.
Bagi para pengikut Bonaparte, perilaku Roustam itu perilaku orang yang tidak tahu berterima kasih, orang yang telah diberikan promosi berlimpah yang seharusnya tetap setia apa pun yang terjadi.