[Catatan penulis: Judul artikel sedikit diubah]
Bulan ini, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak mengumumkan bahwa Israel harus menarik diri dari kawasan Palestina. "Dunia tidak bersedia menerima --- dan kita tidak akan mengubah kebijakan itu tahun 2010--- sebuah harapan bahwa Israel memerintah bangsa lain selama beberapa dekade lagi," urainya. "Ini tidak ada di tempat lain di manapun di dunia."
Apakah dia benar? Apakah perdamaian sekalipun tidak mungkin terlaksana? Dan jika demikian, apakah bentuk kesepakatan akhir nanti seharusnya demikian? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang kami ajukan kepada para penulis National Post dalam suatu seri tulisan bertajuk, "What's Your Peace Plan?" (Apakah Rencana Damai Anda?)
http://www.danielpipes.org/8309/my-peace-plan-an-israeli-victory |
Rencana damai saya sederhana: Israel mengalahkan musuh-musuhnya.
Menang perang secara unik menciptakan situasi yang kondusif bagi perdamaian. Perang berakhir, catatan sejarah mengukuhkan, ketika satu pihak mengaku kalah sementara pihak lain menang. Ini membentuk kesadaran intuitif, karena sampai sebegitu jauh, ketika kedua pihak mendambakan untuk meraih ambisi mereka, maka pertempuran bakal berlanjut terus atau malah berpotensi mulai lagi.
Tujuan perang persisnya memang bukanlah hal yang mulia. Sun Tzu, ahli strategis Cina kuno menasehatkan bahwa dalam perang, "Biarlah tujuan terbesarmu adalah memenangkan perang." Raimondo Montecuccoli, seorang warga Austria abad ketujuhbelas pernah berujar bahwa "Tujuan dalam perang adalah menang." Carl von Clausewitz, seorang warga Prusia abad kesembilanbelas, menambahkan bahwa "Perang adalan tindak kekerasan yang memaksa musuh untuk memenuhi keinginan kita." Winston Churchill mengatakan kepada rakyat Inggris: "Kalian bertanya: apa tujuan kita? Bisa saya jawab dengan satu kata: Menang – menang - dengan korban apapun, menang, kendati semua terror terjadi, menang, betapapun mungkin saja lama dan sulit jalannya nanti." Dwight D. Eisenhower mengamati bahwa "Dalam perang, tidak ada gantinya selain menang." Pemikiran-pemikiran dari era-era sebelumnya itu masih diyakini, karena bagaimanapun banyaknya senjata berubah, hakikat manusia masih tetap sama.
Menang perang berarti menerapkan keinginan seseorang atas musuhnya, memaksanya untuk melepaskan tujuan-tujuan perang. Jerman dipaksa mengalah dalam Perang Dunia I, menahan tujuannya untuk menguasasi Eropa dan beberapa tahun kemudian berpaling kepada Hitler untuk mencapai tujuan ini. Penandatanganan lembaran-lembaran kertas itu penting hanya jika satu pihak menjerit "Paman": Karena itu, Perang Vietnam secara semu berakhir lewat diplomasi tahun 1973 tetapi kedua pihak terus memperjuangkan tujuan perang mereka sampai masyarakat (Vietnam) Utara meraih kemenangan puncak pada tahun 1975.
Kemauan keras menjadi kunci: menembak jatuh pesawat terbang, menghancurkan tank tempur, menghabiskan perlengkapan perang, memerintahkan tentara melarikan diri serta menjarah tanah, dalam dirinya sendiri tidaklah menentukan tetapi harus diikuti dengan kejatuhan psikologis. Korea Utara kalah pada tahun 1953, Saddam Hussein kalah tahun 1991 dan kaum Sunni Irak kalah pada tahun 2003 tidak berubah menjadi sikap putus asa. Sebaliknya, Prancis menyerah kalah di Aljazair tahun 1962, terlepas dari soal para musuhnya kekurangan manusia dan senjata, seperti yang terjadi pada Amerika di Vietnam pada tahun 1975 dan Soviet di Afghanistan tahun 1989. Perang Dingin berakhir tanpa ada yang fatal. Dalam semua kasus ini, pihak yang kalah masih menyimpan banyak senjata, pasukan serta ekonomi yang berfungsi (baik). Tetapi mereka sudah tidak bersemangat lagi.
Demikianlah, konflik Arab-Israel bakal terselesaikan hanya ketika satu pihak menyerah kalah.
Hingga kini, melalui putaran demi putaran perang, kedua pihak sama-sama mempertahankan tujuan mereka. Israel berjuang supaya bisa diterima oleh musuh-musuhnya sementara musuh-musuhnya berjuang untuk memusnahkan Israel. Tujuan-tujuan ini biadab, tidak berubah dan sama-sama bertentangan satu sama lain, Israel yang diterima baik atau yang dimusnahkan menjadi satu-satunya situasi damai. Tiap pengamat politik harus memilih satu solusi atau lainnya. Orang yang berbudaya bakal menginginkan Israel supaya menang, karena tujuannya defensif, untuk membela diri, untuk melindungi sebuah negara yang hidup dan berkembang subur makmur. Sementara musuhnya yang bertujuan merusak mengarah pada barbarisme, kekejaman brutal yang murni.
Nyaris selama 60 tahun, Bangsa Arab menolak. Kini Iran serta mitranya yang berhaluan kiri turut bergabung, berusaha menghancurkan Israel melalui beragam strateginya: mereka berusaha merusak legitimasi intelektualnya, membuatnya kewalahan secara demografis, mengisolasinya secara ekonomis, mengendalikan pertahanannya secara diplomatis, memeranginya secara konvensional, menjatuhkan semangatnya dengan terror serta mengancam menghancurkannya dengan senjata pemusnah massal. Ketika musuh-musuh Israel mengejar tujuan mereka dengan tenaga dan tekad, Israel justru meraih beberapa keberhasilannya.
Ironisnya, seiring dengan berjalannya waktu Israel menanggapi serangan tanpa henti atas negara mereka dengan mengabaikan kebutuhannya untuk menang. Kalangan yang berhaluan kanan (di negeri itu) mengembangkan skema untuk memanfaatkan kemenangan, kaum berhaluan tengah atau moderat bereksperimen dengan upaya untuk menyenangkan hati pihak lawan serta unilateralisme, sedangkan kaum berhaluan kiri membenamkan diri dalam perasaan bersalah dan menganggap diri sebagai jahat. Sangat sedikit masyarakat Israel memahami bisnis memenangkan perang yang tidak berakhir ini, yaitu untuk menghancurkan niat musuh serta memaksanya untuk menerima keberadaan permanen Negara Yahudi.
Beruntunglah Israel karena dia hanya perlu mengalahkan Palestina, bukan seluruh Arab atau populasi Muslim, yang akhirnya bakal mengikuti gebrakan Palestina dalam menerima Israel. Sayangnya juga meskipun Palestina telah membangun reputasi diri sebagai kaum yang tabah mengagumkan, mereka bisa dikalahkan. Jika Jerman dan Jepang bisa dipaksa menyerah pada tahun 1945 dan Amerika bisa dipaksa pada tahun 1975, bagaimana bisa Palestina dikecualikan untuk menerima kekalahan?
Dewan Keamanan PBB (DK-PBB), satu faktor yang memperpanjang konflik Arab-Israel. |
Tentu saja, Israel menghadapi hambatan untuk meraih kemenangan. Negeri itu, secara umum terkurung oleh harapan dunia internasional (dari DK-PBB), misalnya dan secara khusus oleh kebijakan sekutu utamanya, Pemerintah AS. Karena itu, jika Yerusalem ingin menang, maka itu dimulai dengan mengubah kebijakannya di Amerika Serikat serta negara-negara Barat lainnya. Pemerintah-pemerintah itu seharusnya mendesak Israel untuk berupaya meraih kemenangan dengan meyakinkan Palestina bahwa justru mereka sudah kalah.
Ini berarti melepaskan persepsi tentang Israel yang lemah yang mengemuka selama proses Oslo (1993-2000) dan belakangan karena Israel melakukan dua penarikan mundur dari Libanon dan Gaza (2000-2005). Yerusalem tampaknya sudah kembali ke jalurnya selama tiga tahun Ariel Sharon menjabat sebagai perdana menteri,tahun 2001-2003. Sikapnya yang tegas kala itu menandai kemajuan nyata dalam usaha perang Israel. Hanya ketika jelas-jelas pada penghujung tahun 2004 Sharon melakukan rencananya untuk menarik diri secara unilateral dari Gaza, suasana hati Palestina pun kembali bangkit. Dan saat itulah Israel berhenti menang. Selain itu, Pemerintahan Perdana Menteri Ehud Olmer yang melemah secara parsial dipulihkan oleh Binyamin Netanyahu selama tahun silam.
Ironisnya, kemenangan Israel justru memberikan keuntungan yang lebih besar kepada Palestina dibanding kepada Israel. Israel memang bakal memperoleh keuntungan karena terlepas dari perang yang bisa saja kembali bangkit, untuk memastikannya. Tetapi negara mereka adalah sebuah masyarakat yang berfungsi bagus dan moderen. Bagi Palestina, sebaliknya, dengan menerima kemenangan Israel ia melepaskan impian irasional kosongnya untuk memusnahkan tetangga mereka yang akhirnya menawarkan kepada mereka peluang untuk mengubah taman yang sudah salah bentuk, untuk mengembangkan pemerintah, ekonomi, masyarakat dan budaya mereka yang tidak baik.
Dengan demikian, rencana perdamaian saya mengakhiri perang sekaligus memberi keuntungan yang unik kepada semua pihak yang terlibat langsung.***
Pipes adalah Direktur dari Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan mitra Taube kenamaan di Institut Hoover, Stanford University.
Topik Terkait: AKonflik dan diplomasi Arab-Israel
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.