Artikel ini dibuat berdasarkan versi-versi tulisan sebelumnya yang lebih pendek
- "If I Forget Thee: Does Jerusalem Really Matter to Islam?" The New Republic, 28 April 1997.
- "[Jerusalem:] Not So Holy City," Spectator (London), 22 Nopember 1997.
Untuk melihat sumber untuk artikel ini, lihat 111 catatan akhir pada versi tulisan yang dipublikasikan dalam http://www.meforum.org/490/the-muslim-claim-to-jerusalem.
Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Camp David II dan "intifada membela Masjid Aqsa" yang mengikutinya mengkonfirmasi apa yang sekian lama semua orang ketahui: Bahwa Yerusalem adalah masalah paling rumit yang dihadapi oleh para negosiator Arab dan Israel.
Sebagian, masalahnya bersifat praktis: Palestina bersikeras bahwa ibu kota Israel itu juga berfungsi sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Sikap ini memuakaan untuk diterima oleh orang Israel. Tetapi sebagian besar, masalahnya adalah agama. Kota kuno itu punya hubungan yang suci bagi orang Yahudi dan kaum Muslim (Umat Kristen juga, tentu saja. Tetapi orang Kristen kini tidak lagi membuat klaim politik mandiri atas Yerusalem). Dan keduanya bersikeras mengklaim berdaulat atas kawasan suci mereka yang tumpang tindih.
Di Yerusalem, klaim teologis dan historis itu penting. Secara fungsional, keduanya sepadan dengan akta sehingga berdampak operasional langsung. Hubungan orang Yahudi dan Muslim terhadap kota itu dengan demikian perlu dievalusi.
Membandingkan Klaim Agama
Pemandangan dari udara atas Bait Suci. |
Hubungan Bangsa Yahudi dengan Yerusalem itu sudah sejak zaman dulu dan kuat. Yudaisme menjadikannya kota suci selama lebih dari tiga ribu tahun lalu. Dan selama itu Bangsa Yahudi tetap teguh mempertahankannya. Mereka berdoa ke arahnya, terus menyebutkan namanya dalam doa, menutup Ibadat Paskah dengan pernyataan bernada muram, "Tahun depan di Yerusalem." Mereka juga mengenang kota itu dalam berkat setiap kali seusai makan. Penghancuran Bait Suci sangat kuat mencengkram membayangi kesadaran orang Yahudi. Kenangan itu mewujudkan diri sebagai hari khusus untuk berkabung, sebagian rumah dibiarkan tidak diselesaikan, riasan atau perhiasan wanita dibiarkan tidak lengkap dan sebuah kaca dipecahkan saat upacara pernikahan berlangsung. Selain itu, Yerusalem mempunyai peran sejarah yang menonjol. Ia satu-satunya ibu kota negara Yahudi. Satu-satunya kota dengan mayoritas masyarakat Yahudi selama sepanjang abad lalu. Dalam kata-kata walikotanya saat ini, Yerusalem merepresentasikan "ungkapan paling murni dari semua masyarakat Yahudi yang didoakan, diimpikan, diratapi dan rela mati demi kota itu selama dua ribu tahun sejak Bait Suci Kedua dihancurkan."
Bagaimana dengan Muslim? Di manakah tepatnya letak Yerusalem dalam Islam dan sejarah kaum Muslim? Ia bukan tempat mereka mengkiblatkan sholat. Namanya tidak pernah sekalipun disebutkan dalam sholat mereka. Tidak pernah ia terkait dengan kejadian-kejadian duniawi dalam hidup Nabi Muhammad. Tak pernah dia menjadi ibu kota negara Muslim yang berdaulat. Tak pernah dia menjadi pusat budaya atau ilmiah. Sedikit sekali impor politik oleh Muslim dimulai di sana.
Ada satu perbandingan membuat poin ini sangat jelas: Yerusalem muncul 669 kali dalam Alkitab Yahudi dan Sion (yang biasanya berarti Yerusalem, terkadang berarti Tanah Israel) muncul 154 kali. Atau seluruhnya 823 kali. Alkitab Kristen menyebut Yerusalem 154 kali dan Sion 7 kali. Sebaliknya, kolumnis Moshe Kohn mencatat, Yerusalem dan Zion itu sama seringnya muncul dalam Al-Qur'an "seperti dalam Kitab Bhagavad-Gita Agama Hindu, Kitab Tao-Te Ching penganut Tao dan Kitab Dhamapada Agama Budha dan Kitab Zend Avesta milik Agama Zoroaster." Jadi, dia mau mengatakan, bahwa tidak pernah sekalipun Yerusalem disebutkan dalam Al-Qur'an.
Kota ini jelas tidak punya banyak kepentingan religius. Lalu, mengapa ia sekarang tampak begitu besar bagi umat Islam, sampai-sampai Zionisme Muslim tampaknya sedang dibangun di seluruh dunia Muslim? Mengapa para demonstran Palestina turun ke jalan-jalan sambil berteriak "Kami akan korbankan darah dan jiwa kami untukmu, Yerusalem" dan saudara-saudara mereka di Yordania berteriak "Kami korbankan darah dan jiwa kami untuk Al-Aqsa?" Mengapa Raja Fahd dari Arab Saudi menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk melindungi "kota suci [yang] milik semua Muslim di seluruh dunia?" Mengapa dua survei terhadap kaum Muslim Amerika menemukan Yerusalem sebagai masalah kebijakan luar negeri mereka yang paling mendesak?
Karena politik. Sebuah survei sejarah memperlihatkan bahwa status kota dan emosi yang menyelimutinya, pasti meningkat bagi umat Islam ketika Yerusalem memiliki signifikansi politik. Sebaliknya, ketika Yerusalem tidak lagi bermanfaat, begitu pula statusnya dan hasratnya. Pola ini pertama kali muncul pada masa hidup Nabi Muhammad pada awal abad ketujuh. Sejak itu, pola itu diulangi dalam lima kesempatan: Pada akhir abad ketujuh, dalam Kontra Perang Salib abad kedua belas, dalam Perang Salib abad ketiga belas, selama era pemerintahan Inggris (1917-48), dan sejak Israel mengambil alih kota itu pada 1967. Terus-menerus munculnya pola itu dalam kurun waktu yang begitu lama memberikan sudut pandang yang penting atas konfrontasi saat ini.
I. Nabi Muhammad
Menurut sumber-sumber sastra Arab, Muhammad pada 622 M meninggalkan kota kelahirannya Mekkah menuju Madinah, sebuah kota dengan populasi Yahudi yang besar. Setibanya di Madinah, jika tidak sedikit lebih awal, Al-Qur'an mengadopsi sejumlah praktik yang sudah biasa di kalangan orang Yahudi: puasa yang mirip dengan Yom Kippur, tempat sholatyang mirip dengan sinagoga, izin untuk makan makanan halal dan persetujuan untuk menikahi wanita Yahudi. Yang paling penting, Al-Qur'an menolak praktik pra-Islam orang Mekah untuk sholat menghadap ke Kakbah, bangunan batu kecil di tengah-tengah masjid utama Mekkah. Sebaliknya, itu mengadopsi praktik Yudais menghadap Bukit Bait Bait di Yerusalem selama sholat. (Sebenarnya, Al-Qur'an hanya menyebutkan arah sebagai "Suriah", Informasi lain menjelaskan bahwa Yerusalem yang dimaksudkan.)
Kiblat pertama (arah sholat) Islam ini tidak bertahan lama. Orang Yahudi mengkritik agama baru itu dan menolak sikap Islami yang ramah. Tidak lama kemudian, Al-Qur'an memutuskan diri dari mereka. Mungkin pada awal tahun 624. Penjelasan tentang perubahan ini muncul dalam ayat Al-Qur'an yang memerintahkan umat beriman untuk tidak lagi sholat menghadap ke Suriah tetapi sebaliknya menuju Mekkah. Kisah dalam (2: 142-52) dimulai dengan mengantisipasi pertanyaan-pertenayaan seputar perubahan mendadak ini:
Orang bodoh di antara orang-orang akan berkata: "Apa yang membuat mereka [Muslim] mengalihkan arah kiblat dari kiblat yang selalu mereka gunakan?"
Tuhan kemudian memberikan jawabannya:
Kami menetapkan kiblat yang biasa kalian gunakan, hanya untuk menguji mereka yang mengikuti Rasulullah [Nabi Muhammad] dari mereka yang akan memalingkan diri [pada Islam].
Dengan kata lain, kiblat baru berfungsi sebagai cara untuk membedakan kaum Muslim dari orang Yahudi. Mulai sekarang, Mekkah akan menjadi arah sholat:
sekarang kami akan arahkan kalian menuju satu kiblat yang akan menyenangkan kalian. Kemudian putarkanlah wajah kalian ke arah Masjid Suci [di Mekkah]. Di manapun kalian berada, arahkan wajah kalian ke arah itu.
Alquran kemudian menegaskan kembali pemikiran tentang tidak lagi memberikan perhati kepada orang Yahudi:
Bahkan jika kalian harus membawa semua tanda kepada kaum Ahlul Kitab [yaitu, orang Yahudi], mereka tidak akan mengikuti kiblat kalian.
Umat Muslim kemudian menerima pemikiran yang tersirat dalam penjelasan Al-Qur'an, bahwa Yerusalem digunakan sebagai kiblat sebagai langkah taktis agar orang Yahudi mau beralih masuk Islam. "Dia memilih Rumah Suci di Yerusalem agar para Ahli Kitab [yaitu, orang Yahudi] mau berdamai," catat At-Tabari, seorang ahli tafsir Muslim awal tentang Al-Qur'an, "dan orang-orang Yahudi pun senang." Para sejarawan modern pun sepakat soal itu: W. Montgomery Watt, seorang penulis biografi terkemuka Nabi Muhammad, menafsirkan "konsesi Nabi Muhamad yang sangat jauh menjangkau peraraan orang Yahudi karena didasari oleh dua motif. Salah satunya adalah "keinginan untuk berekonsiliasi dengan orang Yahudi."
Setelah Al-Qur'an menolak Yerusalem, umat Muslim pun menolaknya. Penjelasan mendetil pertama seputar Yerusalem di bawah kekuasaan Muslim muncul dari kunjungan Uskup Arculf, seorang peziarah Prancis pada 680. Uskup Arculf melaporkan melihat "sebuah rumah ibadah berbentuk bujur sangkar, yang dibangun umat Muslim dengan papan-papan yang tegak lurus dan balok-balok besar di atas beberapa reruntuhan bangunan." Bukan untuk terakhir kalinya, aman di bawah kekuasaan kaum Muslim, Yerusalem malah mengalami kemunduran."
Episode ini menjadi pola yang berulang berkali-kali selama abad-abad berikutnya: Kaum Muslim menaruh minat religius terhadap Yerusalem karena tekanan yang bersifat sementara. Kemudian, ketika berbagai kekhawatiran itu hilang, perhatian mereka kepada Yerusalem dan kedudukan kota itu akan sangat berkurang.
II. Dinasti Umayyah
Putaran kedua perhatian terhadap Yerusalem terjadi ketika Dinasti Umayyah yang berbasis di Damaskus, memerintah (pada 661-750). Namun, pada 680, seorang pemimpin pembangkang di Mekkah, 'Abdullah b. az-Zubayr mulai melancarkan pemberontakan melawan Bani Umayyah. Pemberontakan berlangsung sampai dia meninggal dunia pada 692. Saat berperang melawannya, penguasa Dinasti Umayyah berusaha mengagung-agungkan Suriah dengan mengorbankan Arab (mungkin juga untuk membantu merekrut tentara melawan Kekaisaran Bizantium). Mereka melakukan beberapa langkah untuk menyucikan Damaskus. Tetapi banyak kampanye mereka melibatkan apa yang Amikam Elad dari Universitas Ibrani sebutkan sebagai "upaya" besar-besaran untuk "mengangkat sekaligus memuliakan Yerusalem." Mereka bahkan mungkin saja berharap untuk bisa menyetarakannya dengan Mekkah.
Penguasa Dinasti Umayyah pertama, Mu'awiya, memilih Yerusalem sebagai tempat dia naik menjadi Kalifah. Ia dan penerusnya terlibat dalam program pembangunan; bangunan keagamaan, istana dan jalan-jalan kota. Umayyah mungkin berencana menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota politik dan administratif mereka. Memang, Elad menemukan bahwa akibatnya, para penguasa Umayyah memperlakukan Yerusalem seperti itu. Tetapi Yerusalem pertama-tama adalah kota iman (faith). Dan, seperti dijelaskan oleh ilmuwan Israel Izhak Hasson, "Rezim Umayyah tertarik untuk mempertautkan aura Islam pada benteng dan pusatnya." Untuk mencapai tujuan ini (serta untuk menegaskan kehadiran Islam dalam persaingannya dengan Kristen), khalifah Umayyah membangun bangunan agung pertama Islam. Namanya Masjid Kubah Batu. Tepat pada tempat Bait Allah Yahudi berdiri pada 688-91. Bangunan luar biasa ini bukan sekedar bangunan monumental suci Islam pertama tetapi juga satu-satunya bangunan yang masih berdiri hingga kini yang secara kasar dalam bentuk aslinya.
Masjid Kubah Batu Emas, Yerusalem. |
Langkah Umayyah berikutnya halus dan rumit. Perlu jeda untuk memperhatikan satu ayat Al-Qur'an (17: 1) yang menggambarkan Perjalanan Malam Nabi Muhammad ke surga (isra '):
Terpujilah Dia yang membawa hamba-Nya pada malam hari dari Masjid Suci menuju masjid yang terjauh. (Subhana allathina asra bi-'abdihi laylatan min al-masjidi al-harami ila al-masjidi al-aqsa.)
Ketika ayat Al-Qur'an ini pertama kali diturunkan, sekitar tahun 621, tempat bernama Masjid Suci sudah ada di Mekkah. Sebaliknya, "masjid terjauh" itu lebih sebagai perubahan anak kaliman (turn of phrase). Bukan tempat. Beberapa Muslim awal memahaminya sebagai sebuah metafora atau tempat di surga. Dan jika "masjid terjauh" benar-benar ada di bumi, Palestina tampaknya tidak mungkin menjadi lokasinya karena karena berbagai alasan. Beberapa dari mereka:
Dalam bagian lain dalam Al-Qur'an (30: 1), Palestina disebut "tanah terdekat" (adna al-ard).
Palestina belum ditaklukkan oleh kaum Muslim dan tidak ada satu masjid pun di sana.
"Masjid terjauh" tampaknya diidentifikasi dengan tempat-tempat di dalam kawasan Arab sendiri. Baik Madinah atau kota bernama Ji'rana, sekitar sepuluh mil dari Mekkah, yang dikunjungi Nabi pada 630.
Catatan Muslim paling awal tentang Yerusalem, seperti misalnya deskripsi tentang kunjungan Khalifah 'Umar yang dilaporkan ke kota itu tepat setelah penaklukan Muslim pada 638, tidak mengidentifikasi Bukit Bait Allah (Temple Mount) dengan "masjid terjauh" dalam Al-Qur'an.
Prasasti Al-Qur'an yang membentuk dekorasi mosaik sepanjang 240 meter di dalam Kubah Batu tidak menyertakan Al-Qur'an 17: 1 dan kisah Perjalanan Malam. Prasasti itu menunjukkan bahwa hingga tahun 692 gagasan Yerusalem sebagai titik pijak Perjalanan Malam Nabi belum ditetapkan. (Memang, prasasti pertama Al-Qur'an 17: 1 yang merujuk kepada Yerusalem baru berasal dari abad kesebelas.)
Muhammad Ibnu al-Hanafiya (638-700), kerabat dekat Nabi Muhammad, dikutip merendahkan gagasan bahwa Nabi pernah menginjakkan kaki di Masjid Batu Karang di Yerusalem. "Orang-orang Suriah terkutuk ini," yang dia maksudkan dengan Dinasti Umayyah, "berpura-pura bahwa Tuhan menginjakkan kakiNya di atas Masjid Batu Karang di Yerusalem, meskipun [hanya] satu orang yang pernah menginjakkan kakinya di atas batu itu, yaitu Nabi Ibrahim."
Kemudian, pada 715, untuk membangun prestise wilayah kekuasaan mereka, Bani Umayyah melakukan hal yang sangat cerdik: Mereka membangun tempat suci kedua di Yerusalem. Sekali lagi di Bukit Bait Allah. Mereka menyebutkan tempat yang satu ini Masjid Terjauh (al-masjid al-aqsa, Masjid Al-Aqsa). Dengan ini, Bani Umayyah secara surut memberikan peran kota itu dalam kehidupan Nabi Muhammad. Ikatan dengan Yerusalem dengan al-masjid al-aqsa cocok dengan kecenderungan yang lebih luas di kalangan Muslim untuk mengidentifikasi nama-nama tempat yang ditemukan dalam Al-Qur'an. Karena itu: "di mana pun Al-Qur'an menyebutkan nama suatu peristiwa, maka ceritanya pun diciptakan untuk memberikan kesan bahwa entah bagaimana, di suatu tempat, ada orang, tahu tentang tempat-tempat itu."
Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. |
Persoalannya, bagaimana sebuah masjid yang dibangun hampir seabad setelah Al-Qur'an diturunkan menetapkan apa yang dimaksud Al-Qur'an? Terlepas dari semua logika membangun Masjid Al-Aqsa yang sebenarnya, sejarawan Palestina AL Tibawi menulis, "memberikan kenyataan pada nama kiasan yang digunakan dalam Al-Qur'an." Memasukkan Yerusalem post hoc ke dalam Al-Qur'an pun berdampak sangat besar dan membuatnya semakin penting bagi Islam. Selain itu, perubahan pun lain terjadi. Beberapa ayat Al-Qur'an ditafsirkan ulang untuk merujuk pada kota ini. Yerusalem lantas dilihat sebagai tempat Penghakiman Terakhir (Last Judgment). Untuk itu Bani Umayyah mengesampingkan nama Romawi yang tidak berbau relijius atas kota tersebut, Aelia Capitolina. Dalam bahasa Arab, Iliya. Ia pun menggantinya dengan nama-nama bergaya Yahudi. Entah Al-Quds (Yang Suci) atau Bayt al-Maqdis (Bait Allah). Mereka mensponsori suatu bentuk literatur yang memuja-muja "kebajikan Yerusalem", sebuah genre yang oleh seorang penulis tergoda untuk menyebutnya "Zionis". Berbagai kisah seputar perkataan atau perbuatan Nabi (hadits, sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "Tradisi") yang menguntungkan Yerusalem muncul pada saat ini, Beberapa di antaranya menyamakan kota itu dengan Mekkah. Bahkan ada upaya untuk memindahkan haji dari Mekkah ke Yerusalem.
Para cendekiawan setuju bahwa Bani Umayyah punya motivasi untuk menegaskan kehadiran Muslim di kota suci memang punya tujuan yang sangat bermanfaat. Sejarawan Irak Abdul Aziz Duri melihat ada "alasan politik" di balik tindakan mereka. Hasson pun setuju:
Pembangunan Masjid Kubah Batu dan Masjid al-Aqsa berikut ritual yang dilembagakan oleh Bani Umayyah di Bukit Bait Allah (Temple Mount) dan penyebaran Tradisi berorientasi Islam terkait dengan kesucian tempat itu, semuanya mengarah pada motif politik yang mendasari pemujaan terhadap Yerusalem di antara kaum Muslim.
Demikianlah program pembangunan Bani Umayyah yang diilhami politik mengarah pada pengudusan Islam di Yerusalem.
Kekuasaan Dinasti Abasiyah
Dinasti Umayyah kemudian jatuh pada 750. Seiring dengan kejatuhannya, ibu kota kekhalifahan pun berpindah ke Baghdad. Pada saat itu, "perlindungan kekaisaran atas Yerusalem pun terabaikan." Akibatnya, nama Yerusalem hampir tidak muncul lagi. Selama tiga setengah abad berikutnya, buku-buku yang memuji kota ini tidak lagi disukai. Pembangunan gedung-gedung megah tidak hanya berakhir, yang sudah ada pun hancur (Masjid Kubah Batu runtuh pada 1016). Emas dibongkar dari kubah masjid untuk membayar pekerjaan perbaikan Masjid Al-Aqsa. Tembok kota runtuh. Lebih parahnya lagi, para penguasa dinasti baru mencemari Yerusalem dan negara wilayah itu melalui apa yang oleh F. E. Peters dari Universitas New York disebut sebagai "keserakahan dan ketidakpedulian mereka yang ceroboh." Kota itu merosot. Sampai-sampai menjadi reruntuhan puing yang berantakan. "Orang terpelajar sedikit, dan orang Kristen banyak," keluh seorang Muslim abad kesepuluh yang berasal dari Yerusalem. Hanya para sufi (mystics) yang masih terus mengunjungi kota itu.
Dalam sebuah tulisan yang khas, penulis abad kesepuluh lainnya menggambarkan kota itu sebagai "kota provinsi yang terhubung dengan Ramla." Ramla merujuk pada sebuah kota kecil tidak penting yang berfungsi sebagai pusat administrasi Palestina. Elad menjelaskan Yerusalem pada abad-abad awal pemerintahan Muslim sebagai "kota terpencil yang semakin tidak penting". Sejarawan besar S. D. Goitein mencatat bahwa kamus geografi al-Yaqut menyebutkan nama Kota Basra 170 kali, Damaskus 100 kali, namun nama Yerusalem hanya disebutkan satu kali. Dan yang satu kali itupun sepintas. Dari sini berikut bukti-bukti lainnya, ia menyimpulkan bahwa, selama enam abad pertama pemerintahan Muslim, "Yerusalem menjalani sebagian besar waktunya sebagai kota provinsi terpencil yang pernah diserahkan kepada para pejabat dan tokoh rakus. Sering kali juga ia mengalami masa sengsara di tangan kaum fellahin [petani] atau pengembara yang suka menghasut...Yerusalem pasti tidak bisa membanggakan keunggulannya dalam bidang ilmu Islam atau bidang lainnya."
Pada awal abad kesepuluh, catat Peters, pemerintahan Muslim atas Yerusalem punya kualitas yang "nyaris biasa-biasa saja". "Tidak ada signifikansi politik tertentu". Belakangan, Al-Ghazali, pernah mengunjungi Yerusalem pada 1096. Tokoh yang kadang kala disebut sebagai "Thomas Aquinas dari Islam," itu pun sama sekali tidak menyebutkan soal Tentara Salib yang sedang menuju ke arah kota tersebut.
III. Awal Perang Salib
Tentara Salib menaklukan Yerusalem pada 1099. Awalnya, hanya sedikit Muslim menanggapi penaklukan itu. Keluarga Frank tidak terlalu mempedulikannya; Sastra Arab yang ditulis di kota-kota yang diduduki Tentara Salib cenderung tidak menyebutkannya. Jadi, "seruan untuk berjihad awalnya tidak didengar," tulis Robert Irwin, mantan dosen University of St Andrews di Skotlandia. Emmanuel Sivan dari Hebrew University menambahkan bahwa "orang tidak bisa melihat rasa 'shock' atau rasa kehilangan dan penghinaan agama" di kalangan Muslim.
Hanya ketika upaya untuk merebut kembali Yerusalem berkembang menjadi serius, pada 1150, para pemimpin Muslim lalu berusaha membangkitkan sentimen jihad dengan cara memperbesar ikatan emosi kaumnya terhadap Yerusalem. Caranya, dengan menggunakan sarana yang mereka miliki (seperti hadits, buku-buku "kebajikan Yerusalem"dan puisi). Dengan semua, itu, para propagandis mereka menekankan kesucian Yerusalem dan pentingnya pemerintahan kembali kepada pemerintahan Muslim. Hadits yang baru dicetak pun membuat Yerusalem semakin kritis bagi iman Islam. Salah satu hadit itu, memasukkan kata-kata ke dalam mulut Nabi Muhammad yang mengatakan bahwa, setelah kematiannya sendiri, kejatuhan Yerusalem ke tangan orang kafir menjadi bencana terbesar kedua yang dihadapi Islam. Meskipun tidak satupun buku "kebajikan Yerusalem" muncul pada periode 1100-1150, banyak buku itu yang keluar setengah abad berikutnya. Pada 1160-an, Sivan lantas mencatat, "propaganda al-Quds berkembang subur." Dan ketika Shalahuddin (Salah ad-Din) memimpin umat Islam memenangkan perang atas Yerusalem pada 1187, "kampanye propaganda ... mencapai serangannya yang mendadak (paroxysm)." Dalam sepucuk surat kepada lawannya Tentara Pasukan Salib, Shalahuddin karena itu menulis bahwa kota itu "bagi kami seperti halnya bagimu. Bahkan ia jauh lebih penting bagi kami".
Kegembiraan atas kemenangan penaklukan kembali Yerusalem bertahan selama beberapa dekade sesudahnya. Keturunan Shalahuddin (dikenal sebagai Dinasti Ayyubiyah, yang memerintah sampai 1250) misalnya melanjutkan program pembangunan dan restorasi besar-besaran di Yerusalem. Dia memberi kota itu karakter yang lebih Muslim. Sampai pada titik ini, Yerusalem Islam hanya terdiri dari tempat-tempat suci di Bukit Bait Suci. Tetapi, kini, untuk pertama kalinya, khususnya bangunan-bangunan bernuansa Islami (seperti biara kaum sufi dan sekolah) dibangun di kota sekitarnya. Pada saat inilah, Oleg Grabar dari Institute of Advanced Study Universitas Princeton mencatat, bahwa Masjid Kubah Batu sudah mulai dilihat sebagai tempat yang tepat di mana Nabi Muhammad naik ke surga (mi'raj) terjadi selama Perjalanan Malamnya. Dengan demikian, jika "masjid terjauh" ada di Yerusalem, lalu Perjalanan Malam Muhammad dan kunjungannya ke surga secara logis terjadi di Bukit Bait Suci. Dan memang, di atas batu karang itulah, Yesus dianggap telah naik ke surga.
IV. Dinasti Ayyubiyah
Tapi begitu Yerusalem kembali dengan aman ke tangan Muslim, minat terhadap kota itu kembali merosot. "Fakta sederhana pun segera muncul. Fakta bahwa al-Quds bukanlah sesuatu yang begitu penting bagi keamanan kekaisaran yang berbasis di Mesir atau Suriah. Karena itu, pada saat krisis politik atau militer, kota itu terbukti dapat digunakan jika memang diperlukan dan diabaikan jika tidak," tulis Donald P. Little dari McGill University. Tudingan itu, secara khusus dapat dilihat pada 1219. Ketika orang Eropa menyerang Mesir dalam Perang Salib Kelima kala itu, cucu Saladin bernama al-Mu'azzam memutuskan untuk merobohkan tembok keliling Yerusalem. Soalnya, dia takut jika kaum Frank merebut kota sekalian dengan tembok-temboknya, "mereka akan membunuh. semua yang mereka temukan di sana dan menentukan nasib Damaskus dan tanah Islam di tangan mereka. "Meruntuhkan benteng Yerusalem berdampak mendorong terjadinya eksodus massal dari kota itu sehingga kota pun merosot tajam.
Pada saat ini juga, penguasa Muslim Mesir dan Palestina, al-Kamil menawarkan hendak menjual Yerusalem kepada orang Eropa jika saja yang terakhir meninggalkan Mesir (al-Kamil adalah cucu Shalahuddin yang lain dan saudara dari al-Mu'azzam), Tetapi tidak ada orang Eropa berminat. Sepuluh tahun kemudian, pada 1229, kesepakatan seperti itu dicapai ketika al-Kamil menyerahkan Yerusalem kepada Kaisar Friedrich II. Sebagai imbalannya, pemimpin Jerman itu menjanjikan bantuan militer kepada al-Kamil melawan al-Mu'azzam, yang sekarang menjadi raja saingannya. Al-Kamil bersikeras bahwa Bukit Bait Suci tetap di tangan Muslim dan "semua praktik Islam" akan terus dilaksanakan di sana. Syarat itu dipatuhi oleh Friedrich. Merujuk pada kesepakatannya dengan Frederick, al-Kamil menulis dalam deskripsi yang sangat mengejutkan tentang Yerusalem, "Saya mengakui kepada kaum Frank hanya gereja dan rumah yang hancur." Dengan kata lain, kota yang secara heroik direbut kembali oleh Saladin pada 1187 secara sukarela diperdagangkan oleh cucunya hanya empat puluh dua tahun kemudian.
Ketika tahu bahwa Yerusalem kembali ke tangan umat Kristen, kaum Muslim dapat diramalkan merasakan emosi yang sangat kuat. Seorang sejarawan Mesir menulis bahwa hilangnya kota itu "merupakan suatu kemalangan besar bagi kaum Muslim. Banyak celaan ditimpakan kepada al-Kamil. Banyak caci-maki dilontarkan kepadanya di seluruh negeri." Pada 1239, penguasa Dinasti Ayyubiyah lainnya, an-Nasir Da'ud, berhasil mengusir kaum Frank dari kota.
Tapi belakangan, an-Nasir Da'ud juga kembali menyerahkan kota itu kepada Tentara Salib dengan imbalan bantuan untuk salah satu kerabatnya. Kali ini, umat Kristen kurang menghormati tempat-tempat suci Islam sehingga mereka mengubah Masjid Bukit Bait Suci menjadi gereja.
Gangguan yang mereka timbulkan tidak berlangsung lama. Pada 1244 sebuah pasukan dari Asia Tengah menyerang Palestina. Akibatnya, Yerusalem pun kembali jatuh ke tangan kekuasaan seorang penguasa Dinasti Ayyubiyah. Selanjutnya kota itu tetap aman di bawah pemerintahan Muslim selama hampir tujuh abad. Bagaimanapun, Yerusalem tetap saja pion dalam Realpolitik masa itu. Kenyataan itu terungkap dalam sebuah surat seorang penguasa Ayyubiyah yang kemudian, yaitu as-Salih Ayyub kepada putranya. Dalam surat itu dia menulis: jika Tentara Salib mengancam kau di Kairo, tulisnya, dan mereka menuntut meminta pantai Palestina dan Yerusalem dari kau, maka "berikanlah tempat-tempat ini kepada mereka. Tidak perlu ditunda. Dengan syarat mereka tidak boleh berkuasa di Mesir."
Psikologi yang berlaku di sini mencatat: bahwa para ksatria Kristen yang melakukan perjalanan dari negeri yang jauh untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota mereka membuat kota itu dilihat semakin berharga lagi di mata kaum Muslim juga. "Itu adalah kota yang sangat didambakan oleh musuh-musuh agama. Karena itu, ia menjadi semacam sindroma takut terhadap bayangan cermin sendiri (mirror-image syndrome), yang sangat berharga dalam hati kaum Muslim," jelas Sivan. Dengan demikian, berbagai opini yang terpecah-pecah berubah menjadi rasa peka yang sangat kuat. Dan beriring dengan desakan politik umat Islam pun lantas memandang Yerusalem sebagai kota paling suci ketiga dalam Islam (thalith al-masajid).
Dinasti Mamluk dan Kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah
Selama era Dinasti Mamluk (1250-1516), Yerusalem semakin jauh terbelakang. Seperti biasa, keadaannya semakin tidak jelas. Dia tidak lagi menjadi ibukota sebuah dinasti yang berkuasa. Ekonominya lamban. Budayanya tertinggal. Padahal, kala itu, kewibawaan dan kebanggaan yang baru ditemukan sebagai sebuah situs Islam tetap utuh. Selain itu, Yerusalem juga menjadi tempat favorit bagi para pemimpin politik yang diasingkan. Soalnya, dia dekat dengan Mesir dan tidak ada tembok yang memang sudah dihancurkan pada 1219 dan tidak dibangun kembali selama lebih dari tiga abad. Akibatnya, Yerusalem menjadi mangsa empuk bagi para perampok. Para tokoh yang diasingkan memberi bantuan dana kepada lembaga-lembaga keagamaan. Terutama sekolah-sekolah agama. Tindakan mereka secara keseluruhan berdampak pada penegakkan kembali Islam di kota itu. Tetapi bagaimanapun, tidak adanya minat masyarakat secara umum menyebabkan kota tetap merosot dan miskin. Banyak gedung megah, termasuk cagar alam Bukit Bait Suci ditinggalkan begitu saja menjadi bobrok karena kota tidak berpenghuni. Seorang penulis abad keempat belas meratapi kurangnya kaum Muslim mengunjungi Yerusalem. Habis-habisan Dinasti Mamluk menghancurkan Yerusalem sehingga seluruh penduduk kota pada akhir pemerintahan mereka hanya berjumlah 4.000 jiwa yang malang.
Periode Kekaisaran Utsmaniyah (1516-1917) berawal dengan sangat bagus. Sultan Sulaiman yang Agung membangun kembali tembok-tembok kota, menghabiskan banyak uang untuk Yerusalem pada 1537-41. Sebagai contoh, pasokan airnya dijamin. Tetapi situasinya kemudian cepat kembali seperti yang diharapkan. Yerusalem malah menderita penghinaan. Ia diperlakukan sebagai ladang pajak untuk pejabat yang tidak berdiam di sana lebih dari satu tahun (yang sangat rakus). "Setelah menguras habis Yerusalem, pasha (pejabat tinggi dalam Kekaisaran Utsmaniyah) pergi," kata penjelajah Prancis François-René Chateaubriand pada 1806. Kadang-kadang, keserakahan ini memang bisa memicu pemberontakan. Otoritas Turki juga mengumpulkan dana untuk diri mereka sendiri dengan cara menipu pelancong Eropa. Secara umum, hal ini menyebabkan mereka tidak banyak berusaha untuk membangun di Yerusalem dibandingkan dengan kota-kota lain untuk mempromosikan ekonomi kota. Daftar barang dan property yang terkena pajak memperlihatkan sabun sebagai satu-satunya produk ekspor kota itu. Begitu tidak pentingnya Yerusalem, sehingga kadang-kadang ia hanya menjadi embel-embel Pemerintahan Gubernur di Nablus atau Gaza. Dunia ilmu juga tidak berkembang. Pada 1670, seorang musafir melaporkan bahwa standar keilmuan kota itu merosot begitu rendah sehingga imam Masjid Al-Aqsa pun berbicara dengan standar sastra Bahasa Arab yang rendah. Banyak sekolah agama pada era sebelumnya menghilang. Pada 1806, populasi turun lagi. Kali ini menjadi di bawah 9.000 penduduk.
Selama era yang panjang ini, umat Muslim bisa saja mengabaikan Yerusalem, tulis sejarawan James Parkes. Karena itu, tulisnya, kota itu "ada sesuatu di sana, dan tidak pernah terpikir oleh seorang Muslim bahwa ia tidak akan selalu ada," aman di bawah pemerintahan Muslim. Selama berabad-abad ini, tidak terhitung banyaknya laporan dari para peziarah, turis, dan diplomat Barat di Yerusalem yang menceritakan tentang kondisi kota yang mengerikan. George Sandys pada 1611 menemukan bahwa "Ada banyak kebohongan. Bangunan lama (kecuali beberapa) semuanya hancur. Sementara bangunan-bangunan barunya tidak dirawat." Constantin Volney, salah satu pengamat paling ilmiah, mencatat pada 1784 sebagai berikut; "tembok-tembok Yerusalem hancur. Parit-parit penuh puing. Jalanan kotanya dipenuhi reruntuhan". "Betapa sedih dan sengsaranya!" tulis Chateaubriand. Gustav Flaubert pengarang novel Madame Bovary yang terkenal berkunjung ke kota itu pada 1850 menemukan "Reruntuhan berserakan di mana-mana. Di mana-mana tercium bau kuburan. Sepertinya kutukan Tuhan melayang-layang di atas kota. Kota Suci tiga agama ini membusuk karena bosan, ditinggalkan dan diabaikan." "Yang malang adalah favorit surga," komentar Herman Melville pada 1857. Mark Twain pada 1867 menemukan bahwa Yerusalem "kehilangan semua kemegahan kunonya dan menjadi desa yang miskin."
Pemerintah Inggris pun mengakui rendahnya minat kaum Muslim terhadap Yerusalem selama Perang Dunia I. Dalam negosiasi dengan Sharif Husayn dari Mekkah pada 1915- 1916 terkait dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pemberontakan Bangsa Arab terhadap Kekaisaran Utsmaniyah, London memutuskan untuk tidak memasukkan Yerusalem ke dalam wilayah yang akan diberikan kepada Bangsa Arab. Alasannya, seperti yang dikatakan oleh ketua negosiator Inggris, Henry McMahon, "tidak ada tempat ... yang cukup penting ... lebih jauh ke selatan" Damaskus "yang bagi orang Arab sangat penting."
Sesuai dengan semangat ini, penguasa Turki di Yerusalem meninggalkan Yerusalem pada 1917. Perlawanan sama sekali tidak mereka lakukan untuk mempertahankan kota. Di depan mata pasukan Inggris, mereka keluar dari sana. Sebuah kisah memperlihatkan bahwa para penguasa Turki bahkan bersiap diri hendak menghancurkan kota suci. Jamal Pasha, Panglima tertinggi Kekaisaran Utsmaniyah sudah menginstruksikan sekutunya, pasukan Austria untuk "meledakkan Yerusalem menjadi seperti neraka" jika Inggris memasuki kota. Pasukan Austria karena itu mengarahkan senjata mereka ke Masjid Kubah Batu dengan amunisi yang cukup untuk selama dua hari penuh melanjutkan pemboman intensif atas kota. Menurut Pierre van Paassen, seorang jurnalis, bahwa jika masjid itu masih ada hingga kini maka itu karena aksi berani seorang kapten artileri Yahudi yang bergabung dalam tentara Austria. Namanya Marek Schwartz. Bukannya menanggapi serangan pasukan Inggris yang semakin mendekat ke tempat-tempat suci Islam, Marek Schwartz "diam-diam menancapkan senjatanya sendiri kemudian berjalan ke garis Inggris."
V. Kekuasaan Inggris
Pada zaman modern, tulis cendekiawan Israel Hava Lazarus-Yafeh, "hanya pada abad [kedua puluh] Yerusalem menjadi pusat perhatian aktivitas agama dan politik Bangsa Arab." Dia menganggap perubahan itu terutama terjadi karena "Bangsa Yahudi sudah kembali melakukan aktivitas di kota dan (Agama) Yudaisme mengklaim berhak atas Tembok Ratapan Barat". Pemerintahan Inggris atas kota itu, yang berlangsung dari 1917 hingga 1948, belakangan berhasil membangkitkan semangat baru terhadap Yerusalem. Politisi Arab menjadikan Yerusalem sebagai tujuan utama selama periode Mandat Inggris. Para pemimpin Irak kerap kali muncul di Yerusalem, menjalankan sholat di Masjid Al-Aqsa dan menyampaikan kotbah-kotbah yang emosional. Yang paling terkenal, Raja Faisal dari Irak. Ketika berkunjung, dia mengadakan upacara di depan pintu masuk Masjid Bukit Bait Suci. Pada gerbang masjid yang sama seperti yang dilakukan oleh Khalifah 'Umar ketika kota itu pertama kali dia taklukkan pada 638." Irak juga terlibat menggalang dana untuk sebuah universitas Islam di Yerusalem, dan mendirikan konsulat dan sebuah kantor informasi di sana.
Pemimpin Palestina (dan mufti Yerusalem) Haji Amin al-Husayni menjadikan Bukit Bait Suci sebagai pusat perjuangan politik anti-Zionisnya. Pernah ia membawa satu kontingen Muslim terkemuka ke Yerusalem pada 1931 untuk menghadiri kongres internasional yang hendak memobilisasi opini kaum Muslim global atas nama Palestina. Dia juga memanfaatkan gambar tempat-tempat suci Islam di Yerusalem untuk meraih dukungan Muslim internasional atas kampanyenya melawan Zionisme. Dia misalnya, terlibat menggalang dana di beberapa negara Arab untuk membangun kembali Masjid Kubah Batu dan Masjid Al-Aqsa. Kadang-kadang, dia mengirim gambar Masjid Kubah Batu di bawah Bendera Bintang Daud. Upayanya berhasil mendapatkan dana untuk memulihkan monumen-monumen ini sama seperti pada masa jayanya semula.
Yang mungkin paling memperlihatkan perubahan suasana hati adalah klaim bahwa Nabi Muhammad pernah menambatkan kudanya pada dinding barat Bukit Bait Suci. Seperti ditulis oleh Shmuel Berkowitz, selama berabad-abad para cendekiawan Muslim banyak berteori tentang nabi yang mengikat kudanya ke tembok timur atau selatan masjid itu. Tetapi tidak satupun dari cendekiawan itu pernah mengaitkan insiden ini dengan sisi barat Bukit Bait Suci sebelum bentrokan Muslim-Yahudi di Tembok Barat terjadi pada 1929. Sekali lagi, politik mendorong kesalehan Muslim terkait dengan Yerusalem.
Pemerintahan Yordania
Yordania pernah menguasai Yerusalem pada 1948 – 1967. Masa kekuasannya terjepit antara era kekuasaan Inggris dan Israel. Masa Pemerintahan Yordania dengan demikian, menawarkan suatu kasus penguasaaan wilayah yang bermanfaat. Seperti diperkirakan, ketika merebut Kota Tua Yerusalem (yang berisi tempat-tempat suci) kaum Muslim justru tidak lagi berminat terhadap kota itu. Kegembiraan awal mereka memang bergejolak ketika pasukan Yordania merebut kota bertembok itu pada 1948. Tetapi kegembiraan dan minat itu belakangan merosot lagi seperti yang biasa terjadi. Kegembiraan awal mereka terbukti karena upacara penobatan Raja 'Abdullah dilakukan oleh Uskup Koptik Katolik sebagai "Raja Yerusalem" pada Nopember tahun itu. Kaum Hashemit memang tidak terlalu senang dengan Yerusalem. Soalnya, di sana, beberapa musuh mereka yang paling mengerikan bermukim. Apalagi, di sana pula Raja 'Abdullah dibunuh pada 1951. Faktanya, kaum Hasyemit bersama-sama berupaya mengurangi pentingnya status kota suci demi ibu kota mereka sendiri, Amman. Yerusalem memang pernah berfungsi sebagai ibu kota administratif Inggris. Tetapi sekarang, semua kantor pemerintah di sana (kecuali kantor pariwisata) ditutup. Yerusalem tidak lagi punya otoritas. Bahkan atas bagian lain kawasan Tepi Barat sekalipun. Yordania juga menutup beberapa lembaga lokal (misalnya, Komisi Tinggi Arab, Dewan Muslim Tertinggi) dan memindahkan kantor-kantor yang lain ke Amman (seperti kantor perbendaharaan wakaf, atau wakaf keagamaan).
Yordania berhasil mengurangi pentingnya status Yerusalem. Sekali lagi, Yerusalem Arab dengan demikian, menjadi kota provinsi yang terisolasi, kurang penting dibandingkan dengan Nablus. Perekonomiannya begitu stagnan sehingga ribuan orang Arab Yerusalem meninggalkan kota. Sementara populasi Amman meningkat lima kali lipat dalam periode 1948-67, populasi Yerusalem tumbuh hanya tumbuh 50 persen. Untuk mengambil pinjaman bank misalnya, orang harus bepergian ke Amman. Kota Amman mendapat hak istimewa menjadi tuan rumah universitas pertama negara itu dan banyak tempat tinggal keluarga kerajaan. Orang Arab Yerusalem tahu betul apa yang sedang terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh salah satu keluhan yang sangat terkenal tentang tempat tinggal keluarga bangsawan: "istana-istana itu seharusnya dibangun di Yerusalem, tetapi dipindahkan dari sini, sehingga Yerusalem tidak akan tetap menjadi kota, tetapi semacam Desa." Dewan Kotamadya Yerusalem Timur pun pernah secara resmi dua kali mengeluhkan diskriminasi otoritas Yordania terhadap kota mereka.
Mungkin yang paling menghina dari semuanya adalah merosotnya kedudukan religius Yerusalem sendiri. Masjid-masjid kekurangan dana. Bukannya dari Masjid Al-Aqsa, Radio Yordania justru menyiarkan sholat Jumat dari sebuah masjid baru terkenal di Amman. (Ironisnya, Radio Israel malah mulai menyiarkan layanan sholat dari Masjid Al-Aqsa segera setelah Israel menang pada 1967.) Ini adalah bagian dari pola yang lebih besar. Soalnya, pihak berwenang Yordania berusaha meraih keuntungan dari kewibawaannya menguasai Yerusalem bahkan saat mereka meruntuhkannya: Marshall Breger dan Thomas Idinopulos mencatat bahwa meskipun Raja 'Abdullah "menyebut dirinya pelindung situs-situs suci, dia tidak berbuat banyak untuk mempromosikan kepentingan relijius Yerusalem kepada umat Islam."
Para penguasa Yordania tidak sendirian mengabaikan Yerusalem. Kota itu nyaris menghilang dari peta diplomatik Arab. Sebuah studi yang terkenal oleh Malcolm Kerr tentang hubungan antar-Arab selama periode ini (Perang Dingin Arab) tampaknya tidak sekali pun menyebutkan kota itu. Tidak ada pemimpin Arab asing yang datang ke Yerusalem selama sembilan belas tahun ketika Yordania menguasai Yerusalem Timur. Raja Husain (berkuasa 1952- 1999) sendiri jarang berkunjung. Setelah 1967, Raja Faisal dari Arab Saudi memang sering berbicara tentang kerinduannya untuk menjalankan sholat di Yerusalem, namun dia tampaknya tidak merasa terganggu untuk sholat di sana ketika mendapatkan kesempatan untuk itu. Mungkin yang paling luar biasa adalah bahwa dokumen pendirian Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yaitu, Perjanjian Nasional Palestina pada 1964, tidak sekali pun menyebutkan Yerusalem atau bahkan menyinggungnya.
VI. Pemerintahan Israel
Namun, sikap yang mengabaikan pentingnya Yerusalem tiba-tiba berakhir setelah Juni 1967. Tepatnya, ketika Kota Tua Yerusalem berada di bawah kekuasaan Israel. Masyarakat Palestina kala itu sudah kembali menjadikan Yerusalem sebagai pusat program politik mereka. Gambar Masjid Kubah Batu pun bermunculan di mana-mana. Mulai dari kantor Yaser Arafat hingga toko kelontong di sudut-sudut kota. Slogan-slogan tentang Yerusalem berkembang biak. Kota pun segera menjadi satu-satunya masalah paling emosional dari konflik Arab-Israel. PLO pun pada 1964 memperbaiki kealpaanya (baca: ketika membuat dokumen pendiriannya) dengan secara khusus menyebutkan Yerusalem dalam konstitusinya pada 1968 sebagai "kedudukan Organisasi Pembebasan Palestina".
"Seperti pada era Tentara Salib," kata Lazarus-Yafeh memperlihatkan, para pemimpin Muslim "mulai kembali menekankan sucinya Yerusalem dalam tradisi Islam." Dalam prosesnya, mereka bahkan mengandalkan beberapa argumen yang sama (misalnya, menolak hubungan agama penguasa pendudukan dengan kota itu) berikut beberapa hadits yang sama untuk mendukung tuduhan tersebut. Mereka juga mulai menggemakan penghormatan masyarakat Yahudi yang mendalam atas Yerusalem. Arafat karena itu menyatakan bahwa "Al-Quds ada dalam perasaan terdalam kami, perasaan rakyat kami dan perasaan semua orang Arab, Muslim dan umat Kristen di dunia." Pernyataan-pernyataan agung itu berkembang menjadi norma (seperti misalnya, Yerusalem dikatakan "sama sucinya" dengan Mekkah dan Madinah. Atau bahkan "tempat kami yang paling suci"). Nama Yerusalem lantas secara teratur muncul dalam resolusi Liga Arab dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pemerintah Yordania dan Saudi kini dengan murah hati memberi banyak dana kepada lembaga-lembaga agama Yerusalem, padahal, sebelum 1967, mereka begitu pelit.
Masyarakat Palestina juga tidak sendirian ketika menekankan pentingnya status Yerusalem. Kota itu sekali lagi berperan menjadi kendaraan yang kuat untuk memobilisasi opini Muslim secara internasional. Hal ini sangat jelas pada September 1969. Kala itu, Raja Faisal memanfaatkan satu kebakaran di Masjid Al-Aqsa menjadi dorongan semangat untuk mengumpulkan dua puluh lima kepala negara Muslim yang kemudian mendirikan Organisasi Konferensi Islam (OKI), sebuah institusi bergaya Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi kaum Muslim.
Mata uang 50 riyal Arab Saudi yang memperlihatkan Masjid Kubah Batu Emas dan Al-Aqsa. |
Di Libanon, faksi fundamentalis Hizbullah melukiskan gambar Masjid Kubah Batu pada semua benda. Mulai dari poster dinding hingga syal penutup kepala. Di bawah gambar itu sering kali ditulis ulang slogan kelompok itu: "Kami sedang bergerak maju." Tokoh Syiah Libanon yang terkemuka, Muhammad Husayn Fadlallah, secara teratur mengeksploitasi tema pembebasan Yerusalem dari kekuasaan Israel untuk menginspirasi rakyatnya sendiri. Dia lakukan demikian, jelas penulis biografinya, Martin Kramer, bukan karena alasan yang tidak jelas tetapi "untuk memobilisasi sebuah gerakan untuk membebaskan Libanon bagi Islam".
Sebuah mural di Teheran utara menunjukkan Ayatollah Khomeini sedang mengawasi sebuah gambar Masjid Kubah Batu yang mengingatkan warga Iran tentang pentingnya pemimpin revolusioner mereka tempatkan atas situs suci itu. |
Republik Islam Iran pun demikian. Yerusalem dijadikanya isu sentral. Mereka ikuti perintah pendirinya, Ayatollah Khomeini, yang mengatakan bahwa "Yerusalem adalah milik Muslim dan harus kembali kepada mereka." Segera setelah rezim itu berdiri, koin 1 rial dan uang kertas 1.000 rialnya menampilkan gambar Kubah Batu (meskipun, yang memalukan, masjid yang terakhir pada awalnya diberi nama yang salah sebagai "Masjid Al-Aqsa"). Tentara Iran yang berperang melawan pasukan Saddam Husain pada 1980-an menerima peta sederhana yang menunjukkan keberhasilan mereka menyisir Irak dan selanjutnya hingga ke Yerusalem.
Ayatollah Khomeini juga memfatwakan Hari Jumat terakhir Ramadhan sebagai Hari Yerusalem. Perayaan itu berfungsi sebagai acara besar untuk menyampaikan berbagai pidato panjang anti-Israel di banyak Negara. Termasuk Turki, Tunisia, dan Maroko. Republik Islam Iran merayakan liburan itu dengan meluncurkan perangko berikut poster yang menampilkan pemandangan Yerusalem disertai slogan-slogan peringatan penuh desakan. Pada Februari 1997, sekitar 300.000 orang merayakan Hari Yerusalem di hadapan para tokoh terkemuka seperti Presiden Hashemi Rafsanjani. Hari Yerusalem dirayakan jauh hingga di Dearbon, Michigan, Amerika Serikat (lengkap dengan daftar pidato, pameran seni, pertunjukan kebudayaan dan program pemuda.
Uang kertas 1,000 rial Iran yang telah dikoreksi. |
Karena kaum Muslim umumnya mengklaim diri terikat erat dengan Yerusalem, maka ziarah Muslim ke kota itu pun berlipat ganda dalam beberapa tahun terakhir. Literatur baru tentang "kebajikan Yerusalem" pun berkembang. Begitu emosionalnya Yerusalem bagi Muslim sehingga mereka menulis berbagai buku puisi tentangnya (terutama dalam bahasa Barat). Dan di ranah politik, Yerusalem menjadi isu unik pemersatu bagi penutur bahasa Arab. "Yerusalem adalah satu-satunya masalah yang tampaknya menyatukan Bangsa Arab. Ia adalah seruan yang mampu mengumpulkan orang," kata seorang diplomat senior Arab pada akhir tahun 2000.
Semangat untuk Yerusalem kadang kala menantang sentralitas Mekkah sekalipun. Tidak kurang dari sosok Putra Mahkota 'Abdullah dari Arab Saudi pernah berulang kali mengatakan bahwa baginya, "Yerusalem itu sama seperti kota suci Mekah." Hasan Nasrallah, pemimpin Faksi Hizbullah melangkah lebih jauh. Dalam sebuah pidatonya yang penting, dia mengatakan: "Kami tidak akan menyerah soal Palestina. Seluruh Palestina dan Yerusalem akan tetap menjadi tempat di mana semua pejuang jihad mengarahkan sholat mereka."
Klaim yang Meragukan
Seiring dengan emosi yang tinggi ini, ada empat klaim mempromosikan klaim Islam terhadap Yerusalem yang meragukan secara historis yang mengemuka.
Hubungan Islam ke Yerusalem lebih lama dari pada hubungan Yahudi dengan Yerusalem. "Menteri" urusan wakaf Palestina menegaskan bahwa Yerusalem "senantiasa" berada di bawah kedaulatan Muslim. Demikian pula, Ghada Talhami, seorang polemis, menegaskan bahwa "Ada kota suci lain dalam Islam, tetapi Yerusalem punya tempat khusus di hati dan pikiran umat Islam karena nasibnya selalu terjalin rumit dengan mereka." Selalu? Yerusalem berdiri jauh sebelum Islam. Sekitar dua millennium lebih awal. Jadi bagaimana mungkin dia terjalin dengan Islam? Ibrahim Hooper dari Council on American-Islamic Relations (Dewan Hubungan Amerika – Islam---CAIR) yang berbasis di Washington menjelaskan anakronisme ini: "keterikatan Muslim ke Yerusalem tidak dimulai dengan Nabi Muhammad. Ia sudah dimulai dengan Nabi Ibrahim, Daud, Sulaiman dan Yesus, yang juga nabi dalam Islam." Dengan kata lain, para tokoh sentral Yudaisme dan Kristen benar-benar adalah kaum Muslim perdana. Pernyataan ini menyebabkan orang Palestina yang berdemo di jalanan meneriakkan bahwa "Yerusalem itu sudah milik Arab sejak hari penciptaan." Bahkan beberapa cendekiawan dari Universitas 'Ayn Shams, Mesir menuding bahwa Masjid Al-Aqsa itu lebih tua umurnya daripada barang-barang antik Yahudi di Yerusalem. Tidak kurang dari dua ribu tahun.
Al-Qur'an menyebutkan Yerusalem. Begitu lengkapnya identifikasi Perjalanan Malam Nabi Muhamad dengan Yerusalem ditemukan dalam banyak publikasi Al-Qur'an. Terutama dalam terjemahan-terjemahannya. Beberapa terjemahan menyatakannya dalam catatan kaki bahwa "masjid terjauh" "harus" merujuk pada Yerusalem. Terjemahan lain mengambil langkah (bernada menghujat?) dengan menyisipkan langsung kata Yerusalem ke dalam teks setelah "masjid terjauh". Jadi berbagai cara dilakukan untuk ini. Terjemahan Sale menggunakan huruf miring:
dari masjid suci Mekkah menuju masjid terjauh di Yerusalem
Sementara terjemahan Asad bergantung pada tanda kurung siku:
dari Rumah Ibadah yang Tidak Dapat Diganggu Gugat [di Mekkah] hingga Rumah Ibadah Terpencil [di Yerusalem].
Versi Behbudi-Turner menempatkan Yerusalem tepat dalam teks tanpa membedakannya sama sekali: dari Masjid Suci di Mekah hingga Masjid Al-Aqsa di Palestina.
Jika terjemahan Al-Qur'an sekarang memasukan Yerusalem dalam teksnya, maka tidaklah mengherankan untuk menemukan bahwa berbagai kalangan yang mengandalkan terjemahan itu yakin bahwa Yerusalem "disebutkan dalam Al-Qur'an". Dan inilah tepatnya yang diklaim oleh konsorsium berbagai lembaga Muslim Amerika pada 2000. Salah satu dari jumlah mereka melangkah lebih jauh. Menurut Hooper, " Al-Qur'an merujuk Yerusalem dengan inti Islamnya, Masjid al-Aqsa." Kesalahan ini memiliki konsekuensi praktis. Ahmad 'Abd ar-Rahman, Sekretaris Jenderal "Kabinet" PA, membasiskan klaimnya atas kedaulatan Palestina atas dasar ini: "Yerusalem tidak dapat dirusak. Tidak dapat diganggu gugat. Dan tidak ada yang dapat merusak karena ia adalah teks Al-Qur'an."
Nabi Muhammad benar-benar mengunjungi Yerusalem. Biografi Islam tentang kehidupan Nabi Muhammad sangat lengkap dan jelas tidak menyebutkan bahwa dia meninggalkan Jazirah Arab. Apalagi pergi ke Yerusalem. Oleh karena itu, ketika Karen Armstrong, seorang pakar Islam, menulis bahwa "teks-teks Muslim menjelaskan bahwa ... kisah Perjalanan Malam mistik Nabi Muhammad ke Yerusalem ... bukanlah pengalaman fisik tetapi pengalaman visioner," maka dia hanya sekedar menyatakan persoalan yang sudah jelas. Memang, frasa ini terkandung dalam sebuah artikel berjudul, "Islam's Stake: Why Jerusalem Was Central to Muhammad" (Taruhan Islam: Mengapa Yerusalem Sangat Penting bagi Nabi Muhammad" yang menyatakan bahwa "Yerusalem adalah pusat identitas spiritual Muslim sejak awal iman mereka." Pernyataan yang tidak cukup baik. Armstrong mendapati dirinya diserang karena "penafsirannya yang tidak tahu malu" (shameless misrepresentation) tentang Islam sehingga mengklaim bahwa "Muslim sendiri tidak mempercayai mukjizat nabi mereka sendiri."
Yerusalem tidak penting bagi orang Yahudi. Langkah pertama adalah dengan menyangkal hubungan masyarakat Yahudi dengan Tembok Barat (atau Tembok Ratapan), salah satu dari sedikit bagian Bait Allah yang masih berdiri. Dalam sebuah kesempatan pada 1967, seorang pejabat tinggi Islam di Bukit Bait Allah menggambarkan keterikatan Yahudi pada tembok itu sebagai suatu "agresi terhadap masjid al-Aqsa." Almarhum Raja Faisal dari Arab Saudi pun dengannya cemooh yang lantang jelas, mengatakan: "Tembok Ratapan itu adalah bangunan yang mereka tangisi. Mereka tidak punya hak historis atasnya. Tembok lain dapat dibangun untuk mereka tangisi." 'Abd al-Malik Dahamsha, seorang Muslim anggota parlemen Israel, dengan tegas menyatakan bahwa "Tembok Barat tidak terkait dengan sisa-sisa Bait Allah Yahudi." Tentang tembok itu, situs web Otoritas Palestina menyatakan bahwa "Beberapa orang Yahudi Ortodoks reljius menganggapnya sebagai tempat suci mereka. Juga mengklaim bahwa bangunan itu adsalah bagian dari bait suci mereka. Persoalannya, semua studi sejarah dan penggalian arkeologi tidak menemukan bukti apa pun untuk klaim semacam itu." Mufti Otoritas Palestina (PA) menggambarkan Tembok Barat sebagai "hanya pagar yang masuk dalam situs suci Muslim" kemudian menyatakan bahwa "Tidak satu batu pun di Tembok Ratapan yang berkaitan dengan sejarah Yahudi." Dia juga meremehkan hubungan masyarakat Yahudi terhadapnya lalu secara gegabah (dismissively) mengatakan kepada seorang pewawancara Israel, "Saya dengar bahwa Bait Suci kalian itu ada di Nablus atau mungkin Betlehem." Yaser Arafat pun sama. Dia mengumumkan bahwa orang Yahudi "menganggap Hebron lebih suci daripada Yerusalem". Rektor Universitas Al-Azhar di Kairo, Mohammed Sayyed Tantawi, pun memaklumkan bahwa "Bait Allah itu tidak dapat ditemukan di bawah dasar Masjid Al-Aqsa seperti yang diklaim oleh orang Yahudi."
Dalam semangat ini, institusi Muslim menekan media Barat untuk menyebut Bukit Bait Allah dan Tembok Barat dengan nama Islam mereka (Al-Haram ash-Sharif, Al-Buraq). Tidak menyebut keduanya dengan nama Yahudi mereka yang jauh lebih tua. (Al-Haram ash-Sharif, misalnya, hanya berasal dari era Kekaisaran Utsmaniyah.) Ketika wartawan Barat tidak turuti, Arafat menanggapi dengan marah. Kantor beritanya pun lantas menggambarkan sikap ini sebagai bagian dari "konspirasi yang terus-menerus melawan kesucian kami di Palestina" sementara mufti-nya menganggap ini bertentangan dengan hukum Islam.
Langkah kedua adalah dengan menutup akses orang Yahudi menuju Tembok Barat/Tembok Ratapan. "Orang Yahudi dilarang berdoa di sana," tegas seorang pemimpin Islam yang berdiam di Israel. Direktur Masjid Al-Aqsa menegaskan bahwa "Ini tempat umat Islam. Hanya umat Islam. Tidak ada Bait Allah di sini. Hanya Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu." Stasiun radio Voice of Palestine menuntut agar politisi Israel tidak diizinkan bahkan untuk menyentuh tembok sekalipun. 'Ikrima Sabri, mufti Otoritas Palestina, melarang orang Yahudi memperbaiki tembok lalu memperluas klaim Islam lebih jauh: "Semua bangunan di sekitar Masjid Al-Aqsa adalah wakaf Islam."
Langkah ketiga adalah dengan menolak segala bentuk pengawasan Yahudi di Yerusalem. Seperti yang dilakukan Arafat pada pertengahan 2000: "Saya tidak akan setujui kedaulatan Israel hadir di Yerusalem." Pernyataannya belakangan digaungkan oleh Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Abdullah, yang menyatakan bahwa "Tidak ada yang perlu dinegosiasikan dan dikompromikan ketika menyangkut Yerusalem." Bahkan Menteri Luar Negeri Oman Yusuf bin 'Alawi bin' Abdullah mengatakan kepada Perdana Menteri Israel bahwa Palestina seharusnya berdaulat penuh di Yerusalem "untuk memastikan keamanan dan stabilitasnya."
Langkah terakhir adalah dengan menutup akses orang Yahudi atas Yerusalem sama sekali. Untuk mencapai tujuan ini, sekumpulan kepustakaan yang berkembang subur ngotot mendesakkan klaim Islam yang eksklusif atas seluruh Yerusalem. Buku pelajaran sekolah menyinggung peran kota itu dalam agama Kristen dan Islam, tetapi mengabaikan Yudaisme. Sebuah organisasi di Amerika yang berafiliasi dengan Hamas mengklaim Yerusalem sebagai "kota suci Arab, Palestina dan Islam." Sebuah spanduk yang dibawa dalam protes jalanan secara ringkas menyatakan: "Yerusalem adalah Arab." Tidak ada tempat untuk orang Yahudi di sini."
Terlepas dari cinta kaum Muslim atas Zion ini, Islam memang berisi rangkaian sentimen anti-Yerusalem yang menetap dan terus-menerus. Dan sentimen itu berbasiskan gagasan bahwa menekankan status Yerusalem itu tidak Islami sehingga dapat merusak kesucian khusus Mekkah.
Pada periode awal Islam, sejarawan Universitas Princeton Bernard Lewis mencatat, "banyak teolog dan ahli hukum Islam menentang keras" gagasan Yerusalem sebagai kota suci. Mereka melihat ini sebagai "salah karena membuatnya menjadi khazanah Yudaisme (Judaizing error). Ketika satu di antara banyak upaya para mualaf Yahudi untuk menyusupkan ide-ide Yahudi ke dalam Islam." Pendukung anti-Yerusalem menyebarkan berbagai kisah untuk memperlihatkan bahwa gagasan kesucian Yerusalem itu merupakan sebuah praktik Yahudi. Di antara mereka ada satu mualaf Yahudi yang paling penting. Namanya, Ka'b al-Ahbar. Dia inilah yang menyarankan kepada Khalifah 'Umar agar Masjid Al-Aqsa dibangun berdekatan dengan Kubah Batu. Sang Khalifah lantas menanggapi dengan menuduh dia pindah agama agar bisa kembali kepada akar Yahudinya:
'Umar bertanya kepadanya: "Menurutmu di mana kita harus membangun tempat sholat?"
"Dekat Karang [Bukit Bait Suci]," jawab Ka'b.
Demi Tuhan, Ka'b, "kata 'Umar," kamu mengikuti Yudaisme. Saya melihat kau melepas sandal [mengikuti praktik Yahudi]. "
"Saya ingin merasakan sentuhan itu dengan kaki telanjang saya," kata Ka'b.
"Aku melihatmu," kata 'Umar. "Tapi tidak ... Pergilah! Kita tidak diperintahkan terkait soal Batu Karang, tapi kita diperintahkan tentang Ka'bah [di Mekkah]."
Versi lain anekdot ini membuat isi yang bernuansa Yahudi menjadi lebih tersurat. Dalam versi ini, Ka'b al-Ahbar berusaha membujuk Khalifah 'Umar untuk sholat di sebelah utara Batu Karang Suci. Dia memperlihatkan keuntungan dari tempat ini: "Kemudian seluruh Al-Quds, yaitu, Masjidil Haram akan ada di hadapan Anda." Dengan kata lain, mualaf dari Yudaisme itu tengah mengatakan, Batu Karang itu dan Mekkah akan berada dalam satu garis lurus sehingga umat Islam dapat mendirikan sholat ke arah keduanya pada saat bersamaan.
Bahwa kaum Muslim selama hampir satu setengah tahun selama masa hidup Muhammad, mengarahkan sholat mereka ke arah Yerusalem berdampak kontradiktif permanen pada posisi kota itu dalam Islam. Insiden itu sebagian memberikan prestise sekaligus kesucian bagi Yerusalem, terapi juga membuat kota itu tempat yang secara unik ditolak Allah. Beberapa hadits awal meminta kaum Muslim mengungkapkan sikap menolak ini dengan cara sengaja membelakangi Yreusalem ketika menjalankan sholat. Dan kebiasaan itu masih tersisa sekarang ini. Karena itu, bukankah kebetulan bahwa orang yang sholat di Masjid Al-Aqsa membelakangi tepatnya area Bait Allah tempat orang Yahudi berdoa. Atau, dalam rumusan yang tajam dari Perdana Menteri Ariel Sharon: ketika seorang Muslim berdoa di Al-Aqsa, "punggungnya tertuju padanya. Juga beberapa bagian bawah tubuhnya."
Ibn Taymiya (1263-1328), salah satu pemikir agama Islam yang paling keras dan berpengaruh, mungkin adalah jurubicara paling terkemuka dari pandangan anti-Yerusalem. Dalam upayanya yang luas untuk memurnikan Islam dari pertumbuhan yang tidak murni, dia menolak kesucian Yerusalem sebagai gagasan yang berasal dari orang Yahudi dan Kristen, juga dari persaingan antara Dinasti Umayyah dengan Mekkah sekian lama. Muridnya, Ibn Qayyim al-Jawziya (1292-1350), melangkah lebih jauh. Ia menolak hadits tentang Yerusalem sebagai salah. Lebih luas lagi, Muslim terpelajar yang hidup setelah Perang Salib itu tahu bahwa publisitas besar yang diberikan pada hadits yang memuji kesucian Yerusalem dihasilkan dari perjuangan melawan Perang Salib (Countercrusade). Dari desakan kepentingan politik dan karenanya memperlakukan semua itu dengan hati-hati.
Ada juga tanda-tanda lain dari posisi Yerusalem yang relatif rendah di tangga kesucian. Seorang sejarawan seni menemukan bahwa, "berbeda dari representasi Mekkah, Madinah, dan Ka'bah, gambaran tentang Yerusalem sangat sedikit." Keyakinan bahwa Penghakiman Terakhir bakal terjadi di Yerusalem dikatakan oleh beberapa penulis abad pertengahan sebagai pemalsuan yang hendak membujuk umat Islam mengunjungi kota tersebut.
Para penulis modern terkadang menentang upaya untuk menutupinya dengan kesalehan yang melingkupi Yerusalem. Muhammad Abu Zayd yang menulis sebuah buku di Mesir pada 1930 menepis gagasan perjalanan surgawi Nabi Muhamad melalui Yerusalem. Pemikirannya dinilai sangat radikal sehingga bukunya ditarik dari peredaran bahkan sudah lama hilang. Di dalamnya, di antara banyak poin lain, dia mengklaim bahwa terjemahan Alquran seharusnya mengacu pada hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah; Jadi "masjid yang lebih terpencil" (al-masjid al-aqsa) tidak ada hubungannya dengan Yerusalem, tetapi kenyataannya adalah sebuah masjid di Madinah.
Bahwa sudut pandang ini dilarang memperlihatkan sudut pandang pro-Yerusalem yang nyaris menang mutlak dalam Islam. Tetapi tetap saja, sesekali ekspresi itu kadangkala tembus. Pada pertemuan puncak para pemimpin Arab pada Maret 2001 misalnya, Pemimpin Libya Mu'ammar Kadafi mengolok-olok obsesi rekan-rekannya dengan Masjid Al-Aqsa. "Persetan dengan itu," urai sejumlah delegasi mengutip ucapannya, "Anda selesaikan atau tidak, ini hanya masjid dan saya bisa sholat di mana saja."
Kesimpulan
Politik, bukan persoalan agama yang peka, yang mendorong kaum Muslim mempunyai ikatan yang kuat dengan Yerusalem selama hampir empat belas abad. Karena itu, apa yang dituliskan sejarahwan Bernard Wasserstein tentang tumbuhnya perasaan itu di kalangan Muslim selama Perang Salib telah berlangsung berabad-abad lamanya: "sering kali dalam sejarah Yerusalem, peningkatan semangat religius dapat dijelaskan sebagian besar oleh kebutuhan politik." Pola ini punya tiga implikasi utama. Pertama, Yerusalem tak akan pernah lebih daripada sebuah kota sekunder bagi umat Islam; "Keyakinan pada kesucian Yerusalem," secara tepat Sivan simpulkan, "tidak dapat dikatakan tersebar luas atau berakar kuat dalam Islam." Kedua, kepentingan Muslim tidak banyak terletak pada penguasaan Yerusalem seperti yang terjadi ketika mereka menolak kota itu dikuasai pihak lain. Ketiga, hubungan Islam dengan kota itu lebih lemah dibanding hubungannya dengan masyarakat Yahudi karena ia banyak muncul dari pertimbangan fana dan duniawi seperti dari klaim iman yang tidak dapat diubah.
Mekkah, sebaliknya, adalah kota abadi Islam. Tempat non-Muslim dilarang keras. Secara kasar dapat dikatakan, Yerusalem bagi orang Yahudi itu sama dengan Mekkah bagi kaum Muslim. Pemikiran itu dinyatakan dalam Al-Qur;an sendiri (2: 145) yang mengakui bahwa Muslim punya satu kiblat dan "para Ahli Kitab" punya kiblat yang lain. Kemiripan status itu dicatat oleh kaum Muslim abad pertengahan. Ahli geografi Yaqut (1179-1229) menulis, misalnya, bahwa "Mekkah adalah suci bagi kaum Muslim dan Yerusalem bagi orang Yahudi." Pada zaman modern, beberapa cendekiawan sampai pada kesimpulan yang sama: "Yerusalem memainkan peran yang sama bagi orang-orang Yahudi seperti Mekkah bagi umat Islam," tulis Abdul Hadi Palazzi, Direktur Cultural Institute of the Italian Islamic Community (Institut Kebudayaan Komunitas Islam Italia).
Kesamaannya sangat menakjubkan. Orang Yahudi berdoa tiga kali tiap hari mengarahkan diri ke Yerusalem, kaum Muslim lima kali sholat mengarah ke Mekkah. Kaum Muslim melihat Mekkah sebagai pusat dunia, sama seperti orang Yahudi melihat Yerusalem. Sementara itu orang Yahudi meyakin Abraham nyaris mengorbankan Ishak, saudara laki-laki Ismail di Yerusalem, Muslim meyakini episode ini terjadi di Mekah. Ka'bah di Mekkah memiliki fungsi yang sama bagi umat Islam seperti Bait Suci di Yerusalem bagi orang Yahudi (misalnya sebagai tujuan ziarah). Bait Suci dan Ka'bah keduanya dikatakan sebagai bangunan yang tak ada bandingannya. Pendoa (the supplicant) melepas sepatunya dan bertelanjang kaki di kedua kawasan itu. Bait Suci Sulaiman diresmikan pada Hari Raya Yom Kippur, hari kesepuluh dalam setahun, dan Ka'bah menerima penutup barunya juga pada hari kesepuluh setiap tahun. Jika Yerusalem bagi orang Yahudi adalah tempat yang begitu suci sehingga tidak hanya tanahnya tetapi bahkan udaranya sekalipun dianggap suci, maka Mekkah adalah tempat yang "menyebutkannya dengan tulus menggetarkan kekaguman dalam hati umat Islam," menurut Abad Ahmad dari Islamic Society dari Central Jersey, Amerika Serikat.
Paralelisme Mekah dan Yerusalem ini menawarkan dasar solusi, seperti yang ditulis dengan bijak oleh Sheikh Palazzi:
pemisahan arah sholat merupakan cara untuk mengurangi kemungkinan persaingan dalam pengelolaan Tempat-Tempat Suci. Bagi mereka yang menerima dari Allah hadiah untuk berperilaku adil (equilibrium) dan mau berdamai, maka seharusnya tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa tidak ada alasan teologis mendasar untuk menyangkal persamaan hak orang Yahudi atas Yerusalem. Karena memang tidak ada yang mau menolak kedaulatan penuh Muslim atas Mekkah dari sudut pandang Islam, meskipun ada klaim yang berlawanan yang tidak berdasar dari para propagandis.
Untuk mendukung pandangan ini, Palazzi mencatat beberapa bagian mencolok yamg sering kali diabaikan dalam Al-Qur'an. Salah satunya (5: 22-23) yang mengutip pernyataan Musa yang memerintahkan orang Yahudi untuk "memasuki Tanah Suci (al-ard al-muqaddisa) yang telah ditetapkan Allah kepadamu." Ayat lain (17: 104) mengatakan bahwa Allah sendiri membuat poin yang sama: "Kami katakan kepada Bani Israil: 'Tinggallah dengan aman di Tanah itu.'" Al-Qur'an 2: 145 menyatakan bahwa orang Yahudi "tidak akan mengikuti arah kiblat kalian; Kalian juga tidak akan mengikuti kiblat mereka, "yang menunjukkan pengakuan Bukit Bait Suci sebagai arah sholat orang Yahudi. "Allah sendiri mengatakan bahwa Yerusalem sama pentingnya bagi orang Yahudi seperti Mekkah bagi kaum Muslim," simpul Palazzi.
Analisisnya memiliki implikasi yang jelas dan masuk akal. Sama seperti Muslim memerintah Mekkah yang tidak terbagi, maka orang Yahudi harus memerintah Yerusalem yang tidak terbagi.
* Tanah Suci kini telah menjadi pemeo untuk sebuah tempat yang menyedihkan. Dalam novelnya yang diterbitkan pada 1860, The Woman in White, misalnya, Wilkie Collins menggambarkan kota Inggris yang tidak menarik, Welmingham, dengan menyulap Palestina:
Adakah padang gurun pasir (wilderness of sand) di padang pasir (dessert) Arab? Adakah kemungkinan menyedihkan di antara reruntuhan Palestina yang dapat menyaingi efek penolakan pada mata serta pengaruh yang menyedihkan pada pikiran atas sebuah kota pedesaan Inggris pada awal keberadaannya dan dalam situasi transisi kemakmurannya? ... Gurun Arab tidak bersalah atas kehancuran kita yang beradab. Reruntuhan Palestina tidak mampu menghadapi suramnya masa modern kita!
Pemutakhiran 18 Nopember 2001: Entri weblog saya "More on the Muslim Claim to Jerusalem" (Lebih Jauh Lagi Soal Klaim Muslim terhadap Yerusalem) memberikan informasi mutakhir untuk analisis ini.
Pemutakhiran 3 September 2002: Entri weblog saya "The Prophet's Night Journey; To Where?"(Perjalanan Malam Nabi: Ke Mana) menyajikan argumen yang lebih baru yang menentang keberadaan Al-Aqsa di Yerusalem.
Pemutakhiran 15 Mei 2004: Entri weblog saya "Constructing a Counterfeit History of Jerusalem" (Membangun Sejarah Palsu Yerusalem mengacu pada satu aspek artikel ini.
Pemutakhiran 4 Januari 2006: Entri weblog saya "Offer: $1 million for Finding "Jerusalem" in the Koran" (Tawaran: 1 Juta Dolar untuk Menemukan Yerusalem dalam Al-Qur'an) mendramatisasi satu implikasi dari artikel ini.
Topik Terkait: Konflik dan diplomasi Arab-Israel, Sejarah, Yerusalem
Artikel Terkait:
- Denying the Jewish Connection to Jerusalem
- More on the Muslim Claim to Jerusalem
- If I Forget Thee: Does Jerusalem Really Matter to Islam?
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.