Masalahnya berawal pada Januari 1989. Ketika umat Islam yang berdiam di Bradford, Inggris, memutuskan melakukan sesuatu. Untuk memperlihatkan kemarahan mereka terkait dengan The Satanic Verses, sebuah novel baru karya penulis kenamaan Salman Rushdie yang memuat bagian-bagian kisah yang mengolok-olok Nabi Muhamad, S.A.W. Kaum Muslim, kebanyakan imigran Pakistan, membeli novel tersebut, membawanya ke alun-alun kota, menusukkannya pada sebuah tiang kemudian membakarnya. Berita televisi menunjukkan auto da fé, upacara publik ini dengan detail yang sangat menghebohkan. Berbagai gambar dari tempat kejadian tersebar di media Inggris selama berhari-hari, menjadikannya topik diskusi utama di seluruh negeri.
Di Pakistan sendiri peristiwa itu semakin meningkat setelah sebulan lewat. Massa yang terdiri dari sekitar 10.000 pengunjuk rasa anti-Rushdie turun ke jalan-jalan di Ibu Kota Islamabad. Mereka berbaris menuju Pusat Kebudayaan Amerika (dan ini fakta yang terpenting), mereka sekuat tenaga berusaha membakar gedung yang dijaga ketat itu. Tetapi tidak berhasil. Enam orang tewas dalam aksi kekerasan itu. Banyak lagi yang terluka. Peristiwa ini, pada gilirannya, menarik perhatian Ayatollah Khomeini, penguasa revolusioner Iran, yang bertindak cepat dan drastis: Pada 14 Februari 1989, dia menyerukan "segera semua Muslim yang bersemangat untuk membunuh." Bukan hanya Salman Rushdie sebagai penulis The Satanic Verses. Tetapi "semua yang terlibat dalam penerbitan novel yang mengetahui isinya." Fatwa ini menyebabkan ada aksi darurat di Inggris untuk melindungi Rushdie. Perdebatan sengit pun pecah antara para politisi dan intelektual dunia seputar masalah kebebasan berbicara dan penistaan agama selama berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Ketika persoalan mereda, tujuan khusus Khomeini untuk menghancurkan Rushdie secara fisik, gagal. Hari ini, lebih dari satu dekade kemudian, sang penulis sekali lagi menulis buku yang diterima dengan baik dan mendapat penghargaan sastra. Tetapi jika Khomeini tidak berhasil menyakiti Rushdie, dia memang melakukan sesuatu yang jauh lebih mendalam. Dia berhasil menggugah jiwa banyak Muslim, membangkitkan kembali rasa percaya diri terhadap agama mereka berbarengan dengan kuatnya rasa tidak sabar mereka terhadap fitnah apa pun, serta tekad untuk menyerang siapa pun yang dianggap sebagai penghujat atau bahkan pengkritik. Meski Khomeini sendiri lenyap dari panggung peristiwa hanya beberapa minggu setelah mengeluarkan fatwa, semangat yang ditimbulkannya masih sangat hidup.
Selama dekade sejak 1989, banyak upaya dilakukan oleh kekuatan Islamisme. Atau yang dikenal sebagai fundamentalisme Muslim. Untuk membungkam kritik. Mulai dari aksi kekerasan langsung hingga teknik yang lebih canggih namun tidak kalah efektifnya, yang menimbulkan hasil yang mengesankan.
Beberapa aksi awal intimidasi fisik melibatkan kasus Rushdie sendiri. Para penerjemah The Satanic Verses ditikam hingga terluka parah di Norwegia, Italia dan di Jepang, dibunuh. Di Turki, seorang penerjemah lain berhasil melarikan diri ketika hotel tempatnya menginap dibakar. Dia sendiri tidak tewas, tetapi 37 orang lain tewas dalam kobaran api itu. Tindak kekerasan lainnya dirancang untuk menghukum baik Muslim maupun non-Muslim atas berbagai dugaan pelanggaran.
Mesir sendiri menawarkan sejumlah contoh. Pernikahan Nasir Hamid Abu Zaid, dibatalkan. Penyebabnya, karena dosen sastra itu menulis bahwa rujukan tertentu dalam Al Qur'an tentang fenomena supranatural harus dibaca sebagai metafora. Pengadilan mengatakan, tulisannya membuktikan bahwa dia sudah murtad. (Menurut hukum Islam, seorang wanita Muslim tidak boleh menikahi non-Muslim.) Kasus lain melibatkan penulis esai yang tidak mau berkompromi tentang Islam. Dia, penerbitnya, dan pencetak buku masing-masing dijatuhi hukuman delapan tahun penjara atas tuduhan penistaan agama. Farag Foda, seorang intelektual Mesir yang mencemooh program kaum penganut Islam radikal ditembak dan dibunuh. Naguib Mahfouz, peraih Hadiah Nobel sastra yang sudah lanjut usia dan sangat terkenal, terluka parah di Kairo ketika seorang penyerang menikam lehernya. Mungkin sebagai balas dendam atas novel alegoris yang ditulis Naguib beberapa dekade sebelumnya.
Kampanye juga tidak terbatas pada negara-negara mayoritas Muslim. Makin Morcos, yang juga orang Mesir, dibunuh di Australia. Soalnya, dia mengkritik kampanye anti-Kristen yang dilakukan oleh penganut radikal Islam di negara asalnya. Rashad Khalifa, seorang ahli biokimia dari Mesir yang tinggal di Tucson, Arizona, ditikam sampai mati pada Januari 1990 untuk membungkam gagasan sesatnya. (Seorang anggota geng Usama bin Laden dikaitkan dalam pembunuhan terakhir.) Kedua insiden ini mengirim pesan mengerikan: Anda dapat lari tetapi Anda tidak dapat bersembunyi.
Akhirnya, kampanye kekerasan di negara-negara Barat juga tidak terbatas pada kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap Muslim. Ia juga meluas menyasar non-Muslim. Dalam beberapa kasus, masalah yang benar-benar pribadi mungkin menjadi masalah. Jack Briggs, seorang warga Inggris terpaksa melarikan diri bertahun-tahun, bersembunyi bersama istrinya seorang wanita Pakistan karena keluarga istrinya bersumpah hendak membunuh mereka berdua (meski mereka telah menikah dan menikah secara baik-baik dan pun dia masuk Islam supaya bisa mendapatkan restu mereka). Kasus-kasus lain berkaitan dengan pandangan yang diungkapkan secara terbuka. Steven Emerson, mantan ajudan seorang Senator dan wartawan investigasi untuk US News & World Report, CNN dan media lainnya mengalaminya. Dia diancam dibunuh karena film dokumentasi televisinya Jihad in America yang membuatnya memenangkan penghargaannya. Padahal, isi film dokumentasi itu berbasis video komersial penganut Islam radikal sendiri yang memperlihatkan pandangan dan aktivitas anti-Semit dan anti-Amereka mereka yang mematikan.
Emerson belakangan mengisahkan kisahnya ini kepada sebuah komisi kongres pada 1998 sehingga pantas dikutip panjang lebar:
Segera setelah film dokumentasi Jihad in America dikeluarkan kepada publik, saya menjadi sasaran kelompok fundamentalis radikal di seluruh Amerika Serikat (dan internasional) yang keras menyangkal keberadaan "ekstremisme Islam" lalu menuduh saya terlibat dalam "serangan terhadap Islam". Untuk "pelanggaran" ini, hidup saya berubah secara permanen.
Satu peristiwa perlu saya jelaskan secara terperinci guna membantu kalian memahami perubahan yang terpaksa saya alami. Dan kisah ini dipilih dari seluruh rangkaian peristiwa. Suatu pagi, pada akhir tahun 1995, saya dihubungi seorang petugas penegak hukum federal. Ketika saya membalas teleponnya, pejabat ini langsung meminta saya untuk datang ke pusat kota ke kantornya. Secara khusus dia meminta saya naik taksi, bukan naik mobil sendiri. Suaranya jelas sangat mendesak. Setiba di kantor, saya diantar menuju sebuah ruangan di mana sekelompok petugas penegak hukum lain sedang menunggu. Dalam beberapa menit, saya pun sadari mengapa saya dipanggil: Saya diberi tahu bahwa sekelompok kaum fundamentalis Islam radikal telah ditugaskan untuk membunuh saya. Tim pembunuh yang sebenarnya telah dikirim dari negara lain ke Amerika Serikat. Regu pembunuh tersebut, menurut intelijen yang ada dalam ruangan itu, akan bertemu dengan rekan-rekannya yang berbasis di Amerika yang berlokasi di beberapa kota di AS. Yang membuat kejutan itu semakin parah ketika diberitahu soal ancaman ini adalah informasi tambahannya. Bahwa regu pembunuh telah berhasil menghindari pengawasan penegak hukum.
Saya diberi tahu bahwa pilihan saya terbatas. Karena saya bukan pegawai pemerintah penuh waktu, saya tidak berhak atas perlindungan polisi selama 24 jam sehari. Namun, saya mungkin bisa memperoleh izin untuk memasuki Program Keamanan Saksi (Witness Security Program) pada situasi yang tepat. Tetapi kemungkinan dikeluarkan dari program untuk diberikan identitas baru tidak dapat saya terima. Terutama karena hal itu justru memberi kemenangan moral kepada para teroris karena berhasil menghentikan langkah saya. Terus terang, bagaimanapun, opsi alternatifnya juga tidak begitu menarik. Soalnya, saya harus sendirian mengambil risiko sendiri. Namun bagi saya itulah satu-satunya pilihan yang efektif.
Emerson tetap gigih mengikuti jejak langkah penganut Islam radikal. Terutama beberapa dari mereka yang mendukung terorisme. Akibatnya, selama empat tahun dia terpaksa tinggal di alamat rahasia. Selalu berhati-hati ketika bergerak ke mana. Seperti kasus Rashad Khalifa yang dibunuh di Tucson karena berbagai pandangannya, kasus Steven Emerson menunjukkan bahwa, terlepas dari jaminan Konstitusi atas kebebasan beragama dan kebebasan berbicara, namun ketika menyangkut Islam, pemikiran yang tidak disetujui itu bisa membahayakan diri sendiri atau bahkan kematian.
Tetap saja, jika kekuatan menjadi satu-satunya senjata di gudang senjata Islamis, pencapaian mereka akan terbatas. Di Barat, setidaknya, kekerasan dan intimidasi fisik tidak terlampau berhasil. Tetapi, berbeda dari stereotip yang berkembang, penganut Islam radikal hampir tak semuanya pembunuh bayaran berkulit putih sekaligus pelaku bom bunuh diri. Di negara-negara Barat, banyak dari mereka cukup terbiasa dengan komputer, sangat berpengalaman, praktis dan trampil dalam soal teknik lobi terbaru dan mahir dalam permainan viktimologi. Energik, penuh tekad dan terampil, mereka menggunakan alat bukan fisik melainkan intimidasi intelektual. Dengan melakukannya demikian, mereka hendak membangun tembok yang tidak dapat diganggu-gugat di sekitar Islam. Memberinya sesuatu seperti status sakral yang dinikmati di negara-negara tradisional Muslim.
Penganut Islam radikal kelompok terakhir ini memanfaatkan sepenuhnya setiap jalan yang tersedia bagi mereka dalam hukum dan kebiasaan demokrasi liberal Barat itu sendiri. Beberapa contoh menggambarkannya. Di Prancis, Marcel Lefebvre, seorang Uskup Katolik pemberontak, didenda hampir $1.000 berdasarkan hukum Prancis karena menyatakan bahwa ketika kaum Muslim di Prancis hadir semakin kuat, "istri Anda, putri Anda, anak Anda yang akan diculik dan diseret ke sebuah tempat tertentu seperti yang ada di [Maroko]."
Di Kanada, seorang aktivis Kristen yang membagi-bagikan selebaran yang memprotes penganiayaan yang dilakukan Muslim terhadap orang Kristen dituduh oleh organisasi Muslim sebagai "menghasut kebencian." Dia pun dinyatakan bersalah melanggar undang-undang ujaran kebencian Kanada dan dijatuhi hukuman 240 jam menjalankan pelayanan masyarakat dan enam bulan masa percobaan. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebutan "penghinaan agama" (blasphemy) "penistaan terhadap Islam" yang jelas-jelas bukan persoalan diplomatik sudah menjadi bagian wacana biasa. Dengan demikian, ia menjadi instrumen yang nyaman untuk menghentikan diskusi-diskusi tentang hal-hal yang tidak menyenangkan seperti perbudakan di Sudan atau anti-Semitisme Muslim.
Di Amerika Serikat, di mana konsep kebebasan berbicaranya lebih kuat dibanding di tempat lain sekalipun, Amandemen Pertama masih melarang pemerintah sendiri untuk menetapkan denda atau memenjarakan siapa pun karena berbicara secara ofensif. Tetapi, penganut Islam radikal berusaha agar Amandemen Pertama disepakati sehingga mereka bisa menyensor pihak lain. Caranya, dengan mengandalkan etos kebenaran politik menyusul pembatasan kebebasan Amandemen Pertama. Seperti misalnya, kebijakan melarang pihak kampus untuk mengungkapkan kebebasan berbicaranya yang dilindungi oleh Amandemen Pertama dan praktik pembatasan lainnya. Karena itu, mereka baru-baru ini mensponsori resolusi Senat yang terdengar lugu bertajuk "Mendukung Toleransi Beragama Terhadap Muslim."
Resolusi ini menyatakan sebagai fakta bahwa "Kaum Muslim telah menjadi sasaran, hanya karena keyakinan mereka. Juga bahwa sasaran aksi diskriminasi serta pelecehan yang terlalu sering mengarah pada kekerasan yang diilhami oleh kebencian." Resolusi lantas menyimpulkan bahwa kritik terhadap Islam, meski sah dalam arti yang ketat kaku, secara moral tercela ("Senat pun mengakui bahwa individu dan organisasi yang menumbuhkan sikap intoleransi semacam itu menciptakan suasana benci dan rasa takut yang memecah belah Bangsa"). Jika resolusi ini disahkan, dan ada banyak alasan untuk mengharapkannya, siapa pun yang mengatakan sesuatu yang negatif tentang Islam atau Islamisme dapat dituduh mendorong terjadinya kejahatan rasial.
Siapakah, dalam konteks Amerika, berada di balik kampanye intimidasi mental ini dan apa yang dalam konteks jurnalistik bakal disebut pengendali sebelumnya? Di antara banyak calon terkemuka tentunya adalah Council on American-Islamic Relations (CAIR), sebuah lembaga berbasis Washington yang didirikan pada 1994. CAIR memperkenalkan dirinya kepada dunia sebagai organisasi hak-hak sipil dengan isu standar, yang misinya adalah untuk "mempromosikan minat dan pemahaman di kalangan masyarakat umum terkait dengan Islam dan Muslim di Amerika Utara dan memberikan layanan pendidikan."
Terkadang, memang inilah yang dilakukan CAIR. Pada 1997, misalnya, lembaga itu melancarkan aksi protes tatkala seorang pejabat pada sebuah pertemuan dewan pendidikan di Carolina Selatan, mengatakan, "Persetan dengan umat Buddha dan bunuh umat Islam." Pada waktu lain, CAIR hadir membela wanita yang kehilangan pekerjaan karena bersikeras tetap memakai jilbab, atau membela pria berjanggut. Tetapi perbuatan baik yang sesekali dilakukannya ini sebagian besar menjadi kedok untuk agendanya yang sebenarnya. Tampaknya ada dua agenda: untuk membantu organisasi radikal Hamas dalam kampanye terornya melawan Israel, dan untuk mempromosikan program kaum penganut Islam radikal di Amerika Serikat.
Sebagai lanjutan dari tujuan pertama, CAIR secara teratur mengirimkan "peringatan untuk melakukan aksi" (action alerts) Tujuannya, untuk memicu bangkitnya puluhan atau bahkan ratusan protes. Banyak di antaranya bersifat vulgar dan agresif, kapan pun ada yang berani menyatakan secara terbuka bahwa Hamas atau jaringan teroris lain beroperasi di Amerika Serikat. Atau yang memang berani mendukung mereka mengatakan hal seperti itu. Ketika Jeff Jacoby, seorang kolumnis untuk Boston Globe, memprotes upaya CAIR yang nyaris berhasil memasukkan Steven Emerson dalam daftar hitam Radio Publik Nasional, CAIR menghidupkan sekaligus mengintensifkan kampanye penulisan suratnya (misalnya, CAIR menulis, "Orang Yahudi yang terhormat," bunyi surat khas antek CAIR, "Berani-beraninya kalian menghina Islam... Sudah cukup banyak penghinaan atas Muslim sehingga saya yakin pengunduran diri Anda tidak akan membuat perbedaan bagi media Yahudi [sic] kami"). Dan, dengan sedikit intimidasi yang kasar, CAIR pun mengancam Boston Globe dengan aksi legal.
Pembelaan CAIR terhadap kekerasan Islam juga dilakukan dengan bentuk lain. Tatkala memprotes Dallas Morning News karena mengungkapkan infrastruktur Hamas di Texas, ia meluncurkan kampanye melawan Tampa Tribune karena mengungkap jaringan Jihad Islam di kota itu. Kelompok tersebut mengecam pedas Journal of American Medical Association karena menyelidiki kondisi medis para korban terorisme. Selain itu, ia juga mengecam majalah anak-anak, The Weekly Reader's Current Events, karena menerbitkan materi seputar terorisme internasional. CAIR mengecam Atlantic Monthly karena menerbitkan artikel tentang kekerasan yang dilakukan para penganut Islam radikal di Sudan. Juga ia mengecam sebuah Sub-komisi Senat yang mengadakan dengar pendapat tentang "Teroris Asing di Amerika: Lima Tahun Setelah Pengeboman World Trade Center."
CAIR punya tujuan lain. Mempromosikan Islamisme di Amerika Serikat. Ia karena itu, memusatkan perhatian pada satu taktik. Yaitu berupaya membungkam mereka yang mengkritik Islam. Ia misalnya menyerang Wiesenthal Center di Los Angeles karena menggambarkan Ayatollah Khomeini sebagai musuh orang Yahudi yang mirip Hitler. Juga menyerang Majalah Reader's Digest karena mendokumentasikan peristiwa penindasan atas orang Kristen di beberapa negara Muslim. Ketika James Jatras, seorang ajudan staf Senat, dalam kapasitas pribadinya menerbitkan kritik yang tajam terhadap Islam ("Perkembangan yang terbukti dengan sendirinya bukan dari Perjanjian Lama dan Baru tetapi dari kegelapan penyembah berhala Arab"), CAIR pun membuat iklan satu halaman penuh di Washington Times menyerukan agar Jatras dipecat. Dan ketika Pastor Richard John Neuhaus, penulis terkemuka dan editor First Things, terang-terangan mengutuk "adanya kebencian dan kecurigaan Islam kontemporer, yang bergantian dengan jihad tingkat rendah dalam bentuk penganiayaan terhadap orang Kristen, terorisme internasional dan impian untuk mendorong Israel ke dalam laut," CAIR meminta pihak Gereja Katolik untuk "menyelidiki" Neuhaus. Para pendukung CAIR lalu mengirim serangkaian surat kasar yang menuduh Neuhaus sebagai "jelas sakit jiwa" dan "melakukan pekerjaan Adolf Hitler."
Bahkan provokasi yang lebih kecil dari peristiwa-peristiwa ini sekalipun sudah melahirkan rentetan surat yang diilhami CAIR yang membuat penulis dan editor merasa terisolasi sekaligus terkepung. Satu contoh kasus secara tidak langsung melibatkan proses Perdamaian Oslo. Dan itu berawal pada Mei 1995. Kala itu, Yasir Arafat, setelah melakukan negosiasi dengan Israel, berusaha membela diri di hadapan audiensi Arab dengan secara samar-samar menyinggung soal Perjanjian Hudaybiyah, yang ditandatangani oleh Nabi Muhamad, S.A.W. pada tahun 628 M. Sambil membersihkan buku-buku sejarah mereka, sebagian besar komentator Amerika menyimpulkan bahwa, ketika memohon supaya kesepakatan ditandatangani namun belakangan dilanggar oleh Nabi Muhamad, S.A.W. ketika keadaan berubah, maka Arafat memberi isyarat bahwa dia juga tidak benar-benar bermaksud untuk menepati janjinya.
Kesampingkan saja niat Arafat. Soalnya, bagaimanapun, hal itu merupakan dugaan bahwa Nabi Muhamad, S.A.W kembali pada kata-katanya yang membuat CAIR marah. Reaksi mereka begitu berapi-api ketika Mortimer B. Zuckerman, Pemimpin Redaksi U.S. News & World Report, dalam sebuah tulisannya merujuk "doktrin Nabi Muhamad, S.A.W. yang membuat perjanjian dengan musuh ketika dia lemah, namun melanggarnya ketika dia "kuat" sehingga majalah itu akhirnya membuat dua permintaan maaf, bukan satu permintaan maaf.
Aroma yang berhasil dibuat CAIR dan jaringan penulis suratnya pada kesempatan ini dapat diperoleh pada halaman-halaman New Republic. Di sana, pernyataan serupa dibuat oleh Yehoshua Porath, seorang profesor terkemuka sejarah Timur Tengah di Universitas Hebrew di Yerusalem. Pernyataan ini ("Nabi Muhamad, S.A.W. melanggar Perjanjian [Hudaybiya] delapan belas bulan setelah disepakati") menurut editor majalah itu memunculkan, "ratusan telepon, surat, dan e-mail kasar yang menuduh kami mencemarkan nama baik nabi dan hal yang jauh lebih buruk lagi." Di antara surat-surat yang diterbitkan oleh editor, semua dalam tata bahasa dan ejaan aslinya, ada yang berbunyi:
Kalian sebaiknya berhati-hati, oke? Karena hal ini tidak akan berlanjut lebih jauh lagi, oke? Sebaiknya Anda awasi orang Yahudi brengsek itu. . . beri tahu dia dari mana dia berasal, oke? Karena kamu tahu brengsek, brengsek-- ibunya itu brengsek. Oke? Dia tidak boleh bicara tentang kotoran Muslim dan Anda bertindak bersama. . . kalian semua. Kami tidak ingin dengar lagi tentang masalah ini, oke? Paham kan?
Surat pembaca lain lebih mengancam lagi :
Orang-orang Yahudi kembali kepada sejarah adalah para penipu jelek PENGISUP DARAH. . . . Penting bahwa permintaan maaf disampaikan untuk menenangkan hati umat Islam di seluruh dunia. KITA TIDAK INGIN MELIHAT 19 ORANG AMERIKA LAIN BERJALAN DI NEGERI NABI ,,, BUKAN???????? !!!!!! Saya katakan ini karena umat Islam tidak akan pernah mentolerir tindakan orang Yahudi terhadap agama mereka. Dan artikel seperti ini berkontribusi pada hilangnya nyawa orang Amerika di masa depan di seluruh dunia Islam. . . . Kami muak dengan orang-orang Yahudi kotor yang merampok tanah kami, dan memfitnah semua konsep KUDUS yang kami miliki. Tolong, selamatkan nyawa beberapa orang Amerika dengan menyampaikan permintaan maaf Anda.
Ancaman itu mengantarkan saya kepada kasus saya sendiri. Pada pertengahan 1999, saya menerbitkan artikel di Los Angeles Times dan National Post (Toronto) yang menekankan perbedaan antara, di satu sisi, kaum Muslim tradisional yang diam-diam menjalankan bisnis mereka yang hanya meminta untuk diizinkan menjalankan agama mereka. Dan, di sisi lain, penganut Islam radikal dengan agenda mengubah masyarakat sesuai dengan citra agama mereka. Sebagai balasan, CAIR melancarkan lima belas serangan terpisah terhadap saya dalam waktu dua bulan. Banyak di antaranya, tanpa tedeng aling-aling kembali kepada tahun 1983, mengutip kutipan acak dari artikel dan buku supaya bisa menuduh saya bahwa itu keluar dari mulut saya sendiri. Atau memunculkan kembali penilaian yang tidak menyenangkan atas karya saya oleh orang lain. Sebuah buletin mencoba menghancurkan artikel yang saya tuliskan tentang Perjanjian Hudaybiya – meski, berbeda dari pengamat politik Amerika lain, saya menemukan bahwa "Nabi Muhamad, S.A.W. secara teknis punya hak untuk membatalkan perjanjian tersebut." Selebaran itu berjudul "Daniel Pipes Smears Prophet Muhammad": yang merupakan kata-kata perang bagi banyak Muslim.
Bergaung melalui Internet, serangan CAIR juga dicetak ulang secara luas dalam publikasi Muslim. Aksi itu mendorong lahirnya puluhan surat, yang sangat negatif, kepada dua surat kabar yang memuat artikel saya. Salah satu surat semacam itu mendesak saya mendaftarkan diri mengikuti pelatihan supaya menjadi peka (di CAIR, tentu saja). Sementara itu, yang lain mencap saya dengan kata-kata kasar ("orang fanatik rasis"). Membandingkan saya dengan Ku Klux Klan dan neo-Nazi. Atau mencirikan tulisan saya sebagai "aksi kejam" berisi "racun murni" dan "kebohongan palsu." Yang lebih mengkhawatirkan lagi, surat-surat itu menuduh saya melakukan kejahatan karena benci terhadap Muslim atau mempromosikan dan bersekongkol dengan kejahatan semacam itu. Dan mereka tidak berhenti mengancam yang tidak jelas seperti terlihat dengan pernyataan: "Apakah Pipes siap menjawab Sang Pencipta atas kebenciannya atau apakah dia seorang humanis sekuler...? Dia akan segera mengetahuinya."
Saya tidak ingin meninggalkan kesan bahwa CAIR merepresentasikan satu-satunya opini yang ada di komunitas Muslim, di sini maupun di luar negeri. Opini Syekh Abdad Hadi Palazzi, misalnya. Dia Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Italia dan Direktur Institut Kebudayaan Komunitas Muslim Italia di Roma. Dia justru mengecam CAIR karena secara bohong mengklaim diri mewakili seluruh komunitas Muslim. Padahal sebenarnya, CAIR bertekad melancarkan "kampanye benci terhadap para jurnalis, anggota Kongres, Senator dan Muslim yang mengganggu agenda teroris yang sebenarnya." Terlebih lagi, Syekh Palazzi memuji saya dan Steven Emerson karena berani menantang para penganut Islam radikal; meskipun dia "tidak setuju dengan sikap [kami] terhadap Islam secara khusus dan dengan pandangan dunia sekuler [kami] secara umum." Namun kami dipuji karena membedakan "Islam asli dari citra palsu yang disajikan oleh para penganut Islam radikal." Di antaranya, Syekh dengan tegas menyimpulkan, umat Islam sendiri "adalah korban utama".
Tetapi Syekh Palazzi adalah salah satu dari sedikit suara yang bernalar waras. Dalam dunia Muslim yang berbicara dan menulis tentang Islam dan posisinya di dunia modern, penganut Islam radikal jauh lebih unggul. Hal itu, bukan saja merupakan tragedi besar bagi umat Islam. Tetapi bahaya bagi kita semua. Karena jika penganut Islam radikal memberlakukan cara mereka, maka setiap kemungkinan untuk berbicara kebenaran tidak hanya tentang mereka tetapi tentang Islam itu sendiri akan tertutup. Memang, sampai batas tertentu, dinamika itu sudah terjadi. Seperti dalam upaya untuk memasukan Steven Emerson dalam daftar hitam yang hampir sukses di Radio Publik Nasional.
Bernard Lewis, cendekiawan terkenal Islam dan Timur Tengah, dengan tajam pernah menulis bahwa di negara mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat, seorang penulis biografi Yesus berbahasa Inggris bisa benar-benar leluasa mengatakan apa yang dia mau dan seperti yang dia mau. Namun rekannya yang menulis biografi Nabi Muhamad, S.A.W. harus melihat ke balik bahunya dengan rasa takut di setiap langkahnya. Tentang tulisan saya sendiri, seorang koresponden memprotes National Post: "Menarik bagi saya sebagai seorang Muslim Amerika untuk mendengar Anda, seorang non-Muslim, berbicara tentang Islam sebagai seorang ahli tanpa terlebih dulu berkonsultasi dengan sebuah organisasi Muslim Amerika, seperti CAIR misalnya, guna memperoleh pendapat mereka soal apa yang hendak anda terbitkan." Dengan kata lain, orang benar-benar bebas menyuarakan pendapatnya tentang Islam, asalkan dia memeriksa isinya terlebih dahulu dengan penganut Islam radikal– kasarnya situasi yang kini terjadi di Iran.
Yang sedang dituntut oleh para penganut Islam radikal, ringkasnya, adalah bahwa Amerika Serikat melakukan langkah luar biasa untuk menerapkan batas-batas kritik terhadap hukum Islam (Shariah) itu sendiri. Premis dasar bangunan hukum itu adalah bahwa tidak seorang pun, terutama, tidak ada non-Muslim boleh secara terbuka mendiskusikan pokok-pokok bahasan tertentu, dan beberapa bahasan mendasar karena CAIR dambakan untuk diperlakukan sebagai hal yang tabu. Betapa tidak masuk akalnya hal ini bagi pengamat biasa. Soalnya, umat Islam, bagaimanapun, paling banyak hanya 2 persen dari populasi AS. Dengan demikian, faktanya adalah bahwa, ketika penjaga mayoritas demokratis kecewa, maka kaum minoritas nekad yang memperjuangkan tujuan anti-demokrasi kadang justru bisa menemukan jalan mereka.
Topik Terkait: Pemikiran bebas & Murtadnya Muslim, Kaum Muslim di Amerika Serika, Islam Radikal
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.