Para pemimpin Arab menuding kaum Zionis berupaya mendirikan negara yang mencakup sebagian besar Timur Tengah. Dan itu dilakukan bahkan sebelum Negara Israel berdiri sekalipun. Gagasan Israel Raya ini sangat berbeda dari yang dipahami oleh kaum Zionis. Namun gagasan itu begitu biasa diterima. Akibatnya, dia kini berperan sebagai kebijakan konvensional di semua negara berbahasa Arab dan Iran. Betapapun fantastiknya, ketakutannya bermakna nyata. Nyaris menjamin lahirnya kesalahpahaman. Meracuni sikap terhadap Israel. Sekaligus mempersulit penyelesaian konflik Arab-Israel. Meskipun merupakan topik yang jauh dan sulit untuk dihadapi oleh masyarakat Amerika, ia patut mendapat perhatian Pemerintah AS sebagai bagian dari upaya umum untuk memajukan negosiasi perdamaian Arab-Israel.
Bukti: Mata Uang, Bendera dan Peta
Mata uang 10 agora Israel bergambarkan bagan peta Israel Raya. |
Dan, supaya Yaser Arafat (baca: pemimpin Organisasi Paletina Merdeka---PLO) yang dilarang memasuki Amerika Serikat, dapat berpidato di Dewan Keamanan PBB (DK-PBB), lembaga itu meninggalkan markas tetapnya di New York City, pada tanggal 25 Mei 1990. Ia memindahkan perwakilan dan stafnya jauh-jauh ke Jenewa. Dan apa yang harus dikatakan Arafat pada kesempatan penting ini?
Salah satu pokok bahasan yang dia pilih untuk disoroti untuk lembaga agung ini adalah bukti miliknya bahwa Pemerintah Israel berusaha memperluas wilayah jauh melampaui batas-batasnya saat ini. "Tolong izinkan saya memperlihatkan dokumen ini kepada Anda," katanya kepada para diplomat yang berkumpul. "Dokumen ini adalah 'peta Israel Raya' yang tertulis di koin Israel ini, potongan 10 agora." Dengan membuat peta, Arafat menjelaskan secara rinci batas-batas wilayah yang diakui Israel yang ditampilkan pada mata uang itu: "seluruh Palestina, seluruh Lebanon, seluruh Yordania, setengah Suriah, dua pertiga Irak, sepertiga Arab Saudi sejauh Madinah suci, dan separuh Sinai.[1]
Ini bukan pertama kalinya Arafat menampilkan peta semacam itu. Memang, sepanjang tahun 1990 ia membiasakan diri membawa koin 10 agora di saku baju seragamnya. Kadang dia bagikan kepada orang lain. "Lihat, lihat," serunya sambil mengeluarkan uang logam itu,
Ini uang logam 10 agora. Ini mata uang Israel yang baru. Dan apakah yang ditunjukkannya? Tempat lilin bercabang tujuh Yahudi dengan latar belakang peta yang luar biasa besar. Garis besar peta itu menunjukkan wilayah yang membentang dari Mediterania hingga Mesopotamia. Dari Laut Merah hingga Efrat. Ini demonstrasi yang mencolok dari aspirasi kaum Zionis. [2]
Kadang-kadang, Arafat mengklaim bahwa batas-batas ini menunjukkan peta Israel setelah imigrasi 3,5 juta orang Yahudi.
Kecuali bagi orang yang cenderung menemukan petunjuk ekspansionisme Zionis, mata uang 10 agora sama sekali tidak mirip dengan peta Timur Tengah. Soalnya mata uang itu sangat mirip dengan koin yang dikeluarkan pada tahun 37 SM. Ketika Mattathias Antigonus II, Raja Hasmonaean terakhir dari Romawi melakukan pengepungan atas Yerusalem. Menurut Profesor Ya'acov Meshorer, pimpinan bagian untuk barang-barang antik di Museum Israel, seniman Nathan Karp hanya menggunakan garis besar koin kuno dalam desain mata uang 10 agora. "Karp tercengang," kata Meshorer, "bahwa ada orang yang bisa melihat pesisir Tanah Israel di sana."[3]
Arafat menolak penjelasan ini. Sebagai bukti lebih lanjut dari pernyataannya, dia membuat dokumen kedua. Yaitu peta yang dimuat dalam sebuah artikel ilmiah bertajuk "Developing Perspectives Upon the Areal Extent of Israel: An Outline Evaluation." (Mengembangkan Perspektif atas Perluasan Wilayah Israel: Sebuah Evaluasi Garis Besar).
Arafat mengandalkan artikel pseudo-ilmiah yang sarat jargon dalam publikasi "GeoJournal." |
Terlepas dari judulnya yang syarat dengan jargon, artikel karya Dr. Gwyn Rowley dari University of Sheffield di Inggris ini, [4] berisi diagram sangat spektakuler gunanya untuk argumen Arafat: peta Timur Tengah dengan garis besar wilayah yang ditumpangkan mulai dari semenanjung Sinai hingga perbatasan Irak-Iran. Menurut legenda yang menyertainya, peta tersebut mencantumkan "Dimensi kawasan Israel menurut mata uang 10 Agorot Israel saat ini (1989). Arafat membasiskan kasusnya atas dasar kesarjanaan Dr. Rowley.
Peta karya Gwyn Rowley yang berbasiskan mata uang Israel modern. |
Dalam argumen lain yang jauh lebih imajinatif lagi, Arafat melihat simbolisme tersembunyi dari niat ekspansionis yang ada pada Bendera Israel: dua garis horizontal biru mewakili Sungai Nil dan Efrat, katanya kepada pewawancara dari Majalah Playboy, "dan di kawasan antaranya adalah Israel."[5] (Faktanya, garis biru berasal dari desain selendang doa tradisional Bangsa Yahudi.)
Bendera Israel |
Klaim Israel Raya sekaligus menegaskan bahwa Parlemen Israel, Knesset, menyimpan prasasti atau peta yang menegaskan Israel berhak memerintah dari Kawasan Sungai Nil hingga Efrat. Para pemimpin seperti Presiden Suriah, Hafez al-Asad dan menteri pertahanannya, Mustafa Tallas, serta Presiden Iran semuanya mengklaim bahwa prasasti atau peta "Tanah Israel dari Efrat hingga Sungai Nil" dipahat di pintu masuk Knesset.[6] Bahwa belum ada yang melihatnya juga tidak menghentikan desas-desus. Kepada saksimata yang berjalan keliling gedung parlemen dan tidak melihat peta itu, maka jawaban yang muncul adalah bahwa prasasti/peta itu memang disingkirkan untuk mengantisipasi kunjungannya.
Seperti biasa, Arafat menunjukkan kreativitas yang istimewa. Ketika berpidato di hadapan Komisi Yerusalem dari Liga Arab, dia menegaskan bahwa prasasti Knesset sudah hilang selama tiga puluh dua tahun tetapi muncul kembali pada tahun 1990:
Tahun lalu [pada 1989] mereka mencap gambar "menorah" Israel di atasnya. Tepat di bawahnya terdapat peta Israel Raya. Ini menarik perhatian kami. Terutama karena perundingan tentang Israel Raya dimulai dengan soal berdirinya Israel, ketika mereka memasang tanda di pintu masuk Knesset Israel yang berbunyi: "Ini tanahmu Israel, dari Sungai Nil hingga Efrat." Tanda ini bertahan di sana selama sepuluh tahun. Mereka disarankan untuk menghapusnya. Tetapi sekarang mereka memasangnya kembali. Mereka menempatkanya lagi di sana menyusul kesepakatan dua negara raksasa di Malta [merujuk pada KTT yang diadakan oleh Bush-Gorbachev Desember 1989]. [7]
Beberapa hari kemudian, Arafat menggantikannya dengan kesimpulannya yang lain: "Mereka disarankan untuk menghapus plakat ini, [dan mereka lakukan]. Tetapi mereka lalu mengukir peta ini pada koin ini di bawah gambar menorah."[8] Pada kesempatan lain dia menambahkan bahwa Komisi Urusan Public Israel Amerika (American Israel Public Affairs Committee) pernah "menerbitkan peta tentang masalah ini,"[9] meskipun lagi-lagi tidak ada yang melihatnya.
Pemikiran
Dari mana datangnya gagasan liar tentang Israel Raya ini, dan jika ada, ada validitasnya? Gagasan ini punya lima sumber utama. Pertama, dan yang paling penting, Alkitab Yahudi memuat dua kisah yang menunjukkan dominasi Israel di Timur Tengah. Dalam menggambarkan perjanjian Tuhan dengan Abraham, Kejadian 15:18 menulis: "Kepada keturunanmu aku berikan tanah ini mulai dari Sungai Mesir ke Sungai Besar, sungai Efrat." Bahkan yang lebih menakutkan lagi, Musa mengumumkan kepada orang-orang Yahudi dalam Ulangan 11:24, bahwa "Setiap tempat di mana kamu menginjakkan telapak kakimu akan menjadi milikmu. Perbatasan tanahmu akan terbentang dari padang gurun hingga Libanon dan dari Sungai, sungai Efrat, ke laut barat."
Kedua, kalangan masyarakat Barat mengharapkan Israel modern untuk merekapitulasi batas negara kunonya. Duta Besar Inggris di Istanbul, misalnya, meramalkan sejak tahun 1910 bahwa "Dominasi Mesir, tanah Firaun, yang memaksa orang Yahudi membangun Piramida, adalah bagian dari warisan masa depan Israel."[10]
Ketiga, para pemimpin Zionis perdana merujuk pada niat Israel untuk menguasai wilayah yang luas. Sekitar tahun 1900, Theodor Herzl dan Isidore Bodenheimer pun secara rutin merujuk pada pemukiman Yahudi di "Palestina dan Suriah." Demikian juga dengan organisasi-organisasi seperti Dana Nasional Yahudi (Jewish National Fund) dan Kongres Kaum Zionis. Pada 1898, Herzl karena itu berencana meminta wilayah yang terbentang dari perbatasan Mesir hingga Efrat kepada Sultan Kekaisaran Utsmaniyah. [11] Dan empat tahun kemudian dia berbicara tentang pemukiman Yahudi di Mesopotamia.
Keempat, para tokoh Zionis yang belakangan dikutip membuat klaim ambisius. Vladimir Jabotinsky, pendiri Zionisme Revisionis, dikutip pada 1935 menyatakan "Kami menginginkan sebuah Kekaisaran Yahudi."[12] Akibatnya, kunjungan Moshe Dayan ke Dataran Tinggi Golan segera setelah Kawasan itu direbut oleh pasukan Israel pada tahun 1967 menjadi legenda. Menurut Hafiz al-Asad, Dayan mengumumkan bahwa "generasi lalu mendirikan Israel dalam perbatasan wilayah tahun 1948. Kami telah mendirikan Israel dalam perbatasan tahun 1967. Dan kalian harus mendirikan Israel Raya dari Sungai Nil hingga Efrat."[13] Seorang penulis Irak bagaimanapun menceritakan pidato Moshe Dayan itu agak berbeda: "Kami telah merebut Yerusalem... dan kini dalam perjalanan ke Yathrib [Madinah] dan Babel"[14]—dua kota lain yang dihuni orang Yahudi kuno. Apa pun hal khusus yang dikatakannya, orang Arab setuju bahwa Dayan mendorong babak baru semangat ekspansionis Israel. Perdana Menteri Menachem Begin belakangan dikutip, konon, karena itu menyatakan bahwa Alkitab memprediksi bahwa Negara Israel pada akhirnya akan mencakup bagian dari Irak, Suriah, Turki, Arab Saudi, Mesir, Sudan, Libanon, Yordania dan Kuwait. [15]
Salah satu penggambaran fantastis tentang Israel Raya.One fanciful delineation of Greater Israel. |
Seberapa valid argumen ini dan seberapa akurat kutipan ini? Sumber kedua dan ketiga, yaitu pernyataan masyarakat Kristen Eropa dan kaum Zionis perdana—jelas punya kepentingan yang terbatas. Prediksi eksternal nyaris tidak bisa dijadikan sumber yang otoritatif untuk gerakan Zionis. Renungan teritorial (sebelum Deklarasi Balfour 1918 diucapkan ketika gerakan kaum Zionis masih embrio. Bagaimanapun, Herzl sebenarnya tidak meminta wilayah Sungai Nil hingga Sungai Efrat dari Raja Kekaisaran Utsmaniyah atau siapa pun.
Adapun soal berbagai pernyataan penuh semangat perang yang dipertautkan dengan Jabotinsky, Begin dan Dayan; semuanya bukan hal baru sehingga agak meragukan. Sangat mungkin bahwa para lawan politik yang membuat berbagai pernyataan itu. Pernyataan pertama dikutip oleh Robert Gessner, seorang penulis yang memusuhi mereka. Pernyataan kedua diungkapkan oleh para pemimpin musuh yang terbukti tidak dapat diandalkan. Dan yang ketiga diungkapkan oleh sumber yang ramah (seperti penginjil televisi Amerika Jerry Falwell), namun klaim atas Sudan dan Kuwait justru merusak (strains) kepercayaan.
Berbagai kisah dalam Alkitab pun merupakan masalah yang lebih kompleks lagi. Tiga pertimbangan harus diperhitungkan untuk memahami apa artinya:
Pertama, "Sungai Mesir" hampir pasti tidak mengacu pada Sungai Nil, tetapi pada Wadi al-Arish di pantai utara Semenanjung Sinai. Kurangnya kemiripan antara dua rumusan tersebut yaitu, "Sungai Besar, sungai Efrat" dan "Sungai Mesir" tampaknya menguatkan interpretasi ini. Dalam kasus apapun, komentar-komentar utama kaum Yahudi atas teks ini, terutama komentar Rashi, mengidentifikasi Sungai Mesir dengan Wadi Al-Arish. Komentar-komentar ini, perlu diperhatikan, karena sudah berabad-abad menyertai teks Alkitab itu sendiri dalam edisi-edisi Alkitab yang diterbitkan. Dengan demikian komentar-komentar tersebut mendorong kaum Zionis untuk memahami "Sungai Mesir" menurut alur-alur pemikiran ini.
Kedua, aturan penafsiran Alkitab meyakini bahwa hukum spesifik senantiasa lebih diutamakan daripada hukum umum. Karena itu, penjabaran Eretz Yisrael (Tanah Israel) yang rinci yang secara geografis jauh lebih terbatas dalam Bilangan 34:1-12 ("Tanah itu kemudian berbelok dari selatan hingga ke pendakian Akrabbim, melewati Zim dan Kadesh-barnea. . . . menjadi batas selatannya "). Selain itu, penjelasan rinci dalam Kitab Nabi Yehezkiel 47:13-20 menggantikan pernyataan yang jauh lebih kabur dalam Kitab Kejadian dan Ulangan. Karena alasan ini, tradisi Yahudi telah lama memandang pernyataan dalam Kitab Kejadian sebagai tidak bisa digunakan.
Ketiga, dalam catatan Alkitab, "keturunan" Abraham tidak hanya mencakup orang Yahudi melalui Ishak, tetapi juga "sepupu" mereka, orang Arab yang lahir melalui Ismail. Dalam kasus ini perjanjian itu sudah lama dipenuhi.
Kemudian, untuk menilai kepentingan kontemporer dari perintah Alkitab, sejumlah poin perlu dipertimbangkan:
— Israel Raya adalah terjemahan yang tidak tepat dari Eretz Yisrael Hashlemah, yang dalam bahasa Ibrani berarti "Tanah Israel yang utuh". Istilah Inggrisnya menyiratkan adanya perluasan geografis yang tidak ada dalam bahasa aslinya.
— Kaum Zionis perdana memperhitungkan berbagai wilayah tanah untuk kolonisasi Yahudi. Termasuk Siprus, Sinai, Mesopotamia, Afrika Timur dan Argentina. Selain itu, Rezim Soviet menjadikan Birobidzhan, sebuah wilayah yang jauh di Siberia, menjadi tanah air Yahudi versinya. Wilayah-wilayah ini harus dipahami sebagai alternatif, bukan perluasan dari Palestina.
Selama beberapa dekade, perdebatan kaum Zionis berpusat pada apa yang ditekankan oleh kekuasaan Yahudi atas seluruh Eretz Yisrael. Kaum Zionis dari kalangan Partai Buruh menganggap perdebatan ini kurang penting dibanding dengan tujuan lain (seperti mendirikan Negara Yahudi yang berdaulat). Tetapi kaum Zionis Revisionis menjadikannya prioritas pertama mereka. Nyaris pada hampir semua kasus, perlu diperhatikan, kaum Revisionis kalah dari saingannya, Partai Buruh.
— Pemerintah Israel tidak menggunakan Alkitab sebagai dokumen kebijakannya. Orang Arab Saudi sebaliknya mengklaim Al-Qur'an sebagai konstitusi mereka. Dan hampir setiap negara Arab lain mengambil beberapa undang-undangnya dari Al-Qur'an. Kaum Muslim fundamentalis semua setuju bahwa "Islam itu solusinya." Jadi, seperti halnya Wakil Presiden Abdul Halim Khaddam dari Suriah, masuk akal untuk membayangkan, bahwa "ideologi Zionis didasarkan pada Taurat Yahudi."[16] Mungkin masuk akal, tetapi jelas tidak akurat. Soalnya, Israel didirikan oleh kaum sekuler yang diilhami oleh tujuan nasionalis dan sosialis. Bukan oleh tujuan agama. Dan memang, bukankah agak tidak masuk akal untuk berasumsi bahwa berbagai kegiatan dan perjuangan yang berasal dari tiga milenium yang lalu bakal memandu tindakan pemerintahan demokratis modern?
— Kaum Zionis Revisionis memang mengklaim Yordania dan beberapa bagian Libanon serta Suriah sebagai bagian dari Eretz Yisrael selama masa Mandat (Inggris. Namun, kaum Zionis tidak pernah mengklaim atau berupaya menguasai Mesir, Sudan atau Irak, apalagi Mekkah dan Teluk Persia.
— Pernyataan EretzYisrael akibatnya menyusut, sampai-sampai pada masa kini dia hanya mencakup Kawasan Mandat Palestina. Sebagai buktinya, perhatikan bahwa kaum Revisionis melihat Sinai, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan serta Libanon selatan sekedar sebagai istilah strategis. Bukan dalam istilah historis. Kenyataan ini mengukuhkan kenyataan bahwa mereka kini melihat kawasan-kawasan itu berada di luar Eretz Yisrael.
— Tidak ada partai politik Israel saat ini (bahkan partai pimpinan Kach Meir Kahane sekalipun) yang menginginkan supaya Israel memerintah atas seluruh Eretz Yisrael; sebaliknya, Revisionis hanya menuntut sekarang agar Israel tidak menyerahkan bagian mana pun dari Eretz Yisrael yang sudah berada di bawah kendali Israel.
— Kesulitan yang dihadapi terkait dengan kurang dari dua juta Muslim di Tepi Barat dan Gaza pasti mengakhiri gagasan muluk tentang empat juta orang Yahudi yang mampu menguasai populasi Muslim dua puluh lima kali lebih besar. Bagaimana Pasukan Pertahanan Israel menangani intifada di Kairo?
— Bangsa Israel memiliki kesempatan untuk memilih perbatasan ideal mereka pada bulan Juni 1967. Dan mereka berhenti jauh dari Sungai Nil dan Efrat. Seandainya berencana memperluas wilayah hingga sungai-sungai itu, mereka dapat melakukannya dengan impunitas virtual pada saat itu.
— Israel tiga kali memenangkan sebagian atau seluruh Semenanjung Sinai (dalam perang 1948-49, 1956, dan 1967) dan tiga kali pula mengembalikan wilayah yang direbut itu kepada Mesir. Bagaimana fakta ini dapat disatukan dengan rencana keinginan untuk memerintah dari Sungai Nil hingga Efrat?
Delapan Negara
Sebuah kartun dalam surat khabar "Arab News" di Arab Saudi yang menggambarkan Yitzhak Shamir sebagai seekor gurita yang mendominasi Timur Tengah. |
Seluruh gagasan tentang Israel Raya yang terbentang dari Sungai Nil hingga Efrat harus disingkirkan sebagai fantasi tak berdasar[17] Tetapi terlepas dari persoalan fantasi atau tidak, politisi terkemuka negara-negara besar Muslim di Timur Tengah (kecuali dari Turki) lantang mengekspresikan pendapat mereka sendiri tentang masalah Israel Raya. Berikut beberapa pernyataan yang khas dan yang sangat mengagumkan:
Raja 'Abdul 'Aziz ibn Sa'ud dari Arab Saudi (yang memerintah antara tahun 1902 dan 1953), tampaknya menjadi politisi penting pertama yang sangat yakin pada adanya Israel Raya. Dia mengira ada invasi kaum Zionis atas kerajaannya, seperti yang dia ceritakan kepada seorang pensiunan diplomat Inggris pada bulan Oktober 1937: "Orang Yahudi tidak hanya menganggap merebut seluruh Palestina tetapi juga tanah di selatan sejauh hingga Medina sebagai tujuan akhir mereka. Mereka juga berharap pada suatu hari ini nanti bisa berkuasa ke arah timur yang meluas hingga ke Teluk Persia." Mengapa sejauh Madinah, kota suci kedua umat Islam? Raja Saudi mengenang kehadiran orang Yahudi di kota itu selama masa hidup Nabi Muhamad, S.A.W.. Dan dia menganggap mereka ingin kembali kepada apa yang dia sebut "benteng pertahanan lama mereka"."[18]
Gamal Abdul Nasser dari Mesir belakangan mengangkat tema ini lalu menyebarkannya ke seluruh Timur Tengah. Tanpa kenal lelah dia berargumentasi bahwa Bangsa Israel memperjuangkan adanya Israel Raya yang mencakup seluruh Timur Tengah dan dengan demikian mengubah orang Arab menjadi "gerombolan pengungsi."[19] Orang Israel tak akan pernah menyerah pada aspirasi ini: "Bahkan jika mereka tidak berharap untuk mewujudkan pembicaraan mereka hari ini atau besok tentang Negara Israel atau Kerajaan Israel mulai dari Sungai Nil hingga Efrat, mereka akan mempertahankan tujuan ini sampai mereka memperoleh kesempatan [untuk mencapainya]."[20] Kadang-kadang dia sepakat dengan Raja Arab Saudi sehingga menyatakan bahwa "orang Yahudi berniat untuk menaklukkan Mekkah dan Madinah,"[21] atau bahwa mereka berencana memusnahkan semua orang Arab. Ajudan Gamal Abdul Nasser, Hasan Sabri al-Khuli, melangkah lebih jauh dengan menggambarkan Israel Raya sebagai cara untuk menerapkan "aspirasi Zionis untuk mendominasi dunia."[22]
Lama setelah Abdul Nasser wafat dan selama bertahun-tahun Mesir berdamai dengan Israel, para pembantunya terus memperingatkan soal adanya Israel Raya. Jenderal Saad El-Shazly misalnya dengan tegas mengatakan bahwa Ariel Sharon "bercita-cita hendak menaklukkan wilayah yang lebih luas daripada impian alkitabiah tentang tanah dari Sungai Nil hingga Efrat" dan melihat kekuatan udara sebagai sarana Israel untuk mencapai tujuan yang ambisius ini. [23] Sebuah tajuk rencana dalam Harian Al-Akhbar pada 1990 menyatakan bahwa imigrasi orang Yahudi Soviet ke Israel menyebabkan orang Palestina diusir dari wilayah sengketa Tepi Barat dan Jalur Gaza—"yang menjadi langkah penting untuk memenuhi impian lama Israel Raya, yang membentang dari Sungai Nil hingga Efrat."[24]
Orang Libya, yang selalu kekurangan air, membawa persoalan sensitif yang berbeda pada masalah ini. Soal mengubah perintah Alkitab menjadi mimpi hidrolik yang mau "mendominasi sumber air di wilayah itu, dari Efrat hingga Sungai Nil."[25] Orang Yahudi mendambakan Sungai Nil dan Efrat, Muammar Khadafi menegaskan, "untuk menguasai perairan Arab," dan siap menampung jutaan orang Yahudi di negara-negara Arab. [26]. Menguasai sumber perairan ini akan membawa Israel mulai dari Turki hingga Afrika Tengah.[27] Jadi dengan penuh semangat Khadafi lalu membayangkan Israel Raya yang terbesar dari pemikiran mereka semua:
Orang Israel pernah mengatakan rumah mereka itu dari samudra ke Samudra. Dari Samudra Hindia hingga selat Bab al-Mandib, selat Hormuz, Laut Merah. . . hingga Samudera Atlantik bersama-sama dengan selat Gibraltar dan Mediterania. [28]
Khadafi membayangkan sebuah Israel yang bermarkas di Kairo, yang wilayahnya membentang dari Pakistan hingga Spanyol, dari Turki hingga Yaman. Pada masa-masanya yang paling paranoid, dia menyampaikan bahwa Israel Raya adalah hasil komplotan gabungan dari kaum Zionis dan Amerika "untuk menduduki dunia Arab sekaligus dunia Islam" dengan tekanan khusus pada penguasaan Mekkah dan Medinah. [29] Dengan kata lain, Israel Raya bakal berperan sebagai instrumen yang hendak melenyapkan Islam.
Setelah tahun 1985, Hafez al-Asad dari Suriah sering mengangkat tema Israel Raya. Ia menampilkannya sebagai bahaya yang bakal segera terjadi yang dia hentikan sendirian sehingga menyerukan supaya masyarakat Arab melakukan mobilisasi "guna mencegah pembentukan Israel Raya."[30] Searah dengan pemikiran ini, Menteri Pertahanan Suriah Mustafa Tallas mengatakan kepada khalayak militer bahwa, "Seandainya bukan karena Hafez al-Asad, Israel Raya sudah didirikan mulai dari Sungai Nil hingga Sungai Efrat." Seolah-olah prestasi itu belum cukup, dia mengklaim bahwa pasukan Asad berhasil "mencegah Israel menduduki sumber minyak."[31] Asad bahkan menggambarkan prestasi Israel Raya sebagai kewajiban agama Yahudi lalu menuduh orang Israel "berbicara halus untuk menipu opini dunia."[32] Orang Suriah juga membawa masuk persoalan Israel Raya ke dalam diplomasi mereka. Pada Januari 1992, selama negosiasi proses perdamaian, delegasi Suriah menampilkan peta Israel Raya lalu mengklaim bahwa peta itu mewakili tujuan teritorial Negara Yahudi. Tak perlu dikatakan lagi, delegasi Israel pun segera membantah pernyataan absurd ini.
Sejak Revolusi Islam 1979, propaganda Iran sangat menekankan ancaman Israel Raya. Seringkali propaganda itu dikaitkan dengan tuduhan rencana Yahudi untuk menguasai dunia. Iran pun mencetak ulang buku The Protocols of the Elders of Zion pada tahun 1985 yang disertai peta, "Mimpi Zionisme", yang bermaksud menunjukkan batas-batas ideal Israel Raya.
Halaman judul buku "The Protocols of the Elders of Zion" yang dicetak ulang oleh Iran pada tahun 1985. |
Di dalam peta itu Israel memperlihatkan mencakup seluruh Kawasan Mesir yang dihuni, Arab Saudi hingga Madinah, seluruh Suriah, Irak, dan Kuwait, wilayah penghasil minyak Iran dan Sebagian besar Turki. Untuk melengkapinya, batas peta digambar dalam bentuk ular; dan sisiknya diwakili oleh Mata Freemason yang digambar berulang kali sepanjang punggung ular.
Tafsiran Iran atas Israel Raya. |
Media Iran mencela Israel. Dengan menyebut Israel sebagai sebuah "suku" yang "menganggap batas wilayahnya" membentang dari Sungai Nil hingga Efrat. [33] Sebuah laporan surat kabar tahun 1990 memperingatkan bahwa akibat adanya Israel Raya, "enam negara Arab di sekitar Palestina akan dihancurkan, atau penduduknya bakal direduksi menjadi pengungsi."[34] Rafsanjani karena itu mencatat emigrasi "jutaan orang Yahudi dari seluruh dunia" (terutama Uni Soviet dan juga Argentina serta negara lain), lalu menafsirkan kenyataan ini dalam istilah Israel Raya "mulai dari Sungai Efrat hingga ke Sungai Nil." Termasuk dalam wilayah luas ini, dia berspekulasi, adalah bagian utara Arab Saudi dan sebagian besar Pantai Laut Merah.Kaum Zionis berharap untuk bisa menampung 10 hingga 12 juta orang, Yahudi dan lainnya, untuk menjadikan Israel "negara perkasa yang tak terkalahkan." Rafsanjani menggambarkan kemajuan besar akhir-akhir ini yang mengarah kepada tujuan ini terjadi pada tahun 1967, sementara menjadikan zona perbatasan Lebanon di bawah kekuasaan Israel memberikan sentuhan akhir.[35]
Orang Arab di negara bagian lain yang tidak senantiasa pejabat pemerintah, terkadang menggemakan pernyataan ini. Hanya beberapa minggu sebelum invasi Irak, sebuah surat kabar Kuwait menuduh gerakan Zionis berencana mencapai Sungai Nil yang disebutnya sebagai "perbatasan selatan Israel seperti termaktub dalam Taurat."[36] Bahasan ini, dapat dipahami, belum disinggung lagi di media Kuwait.
Di Yordania, Sultan al-Hattab, redaktur Surat Kabar Sawt ash-Sha'b menulis bahwa "Israel Raya berarti Yordania, Suriah dan Irak sebagai target langsung dan seluruh tanah air Arab sebagai Lebensraum Israel (baca: ruang hidup, seperti yang dikonsepkan oleh Hitler dan NAZI, pent.)."[37] Orang Israel dikatakannya menganggap Libanon sebagai tanah tak bertuan sehingga bermaksud mencaploknya hingga Wadi at-Tim, di utara Sidon. [38] Karena itu, Pemerintah Libanon yang tidak ada sekalipun, kadang-kadang merasa harus terus memanas-manasi situasi dari waktu ke waktu. Presiden Ilyas al-Hirawi menyatakan pada awal 1990 bahwa ada gerombolan orang Yahudi Soviet yang beremigrasi ke Israel untuk menetap di Lebanon, di mana mereka akan melanjutkan aspirasi Israel Raya. Muhammad Fadlallah, pembimbing spiritual Hizbullah, mengkhawatirkan prospek yang sama.
Kesimpulan
Sebuah artikel di majalah Mesir tentang pariwisata menegaskan bahwa orang Israel yang mengunjungi Mesir "terus berbicara tentang ... Israel dari Sungai Nil hingga Efrat."[39] Faktanya, justru sebaliknya yang mendekati kebenaran. Ketakutan akan Israel Raya merupakan pembicaraan bersama (common coin) di jalanan Arab. Ketika puluhan ribu orang Palestina berpartisipasi pada Mei 1990 dalam "pawai untuk kembali ke tanah mereka" (berjalan menuju perbatasan Yordania dengan Israel), mereka pasti meneriakkan slogan-slogan menentang Israel Raya. Begitu meluasnya pembicaraan tentang Israel Raya, maka dia tidak perlu dijabarkan lagi. Ketika seorang warga Yordania berusaha menyalahkan Yerusalem atas aksi penghasutan di Universitas Yarmuk pada bulan Desember 1989, dia hanya menyalahkan komplotan "yang berencana siang dan malam hendak menghancurkan bangsa ini dan memperluas negara mereka dari Sungai Nil hingga Efrat."[40] Semua orang tahu persis siapa yang dipikirkannya dalam benaknya.
Ketakutan ini juga menginfeksi kalangan cendekiawan (scholarship). Muhsin D. Yusuf, seorang sejarawan di Universitas Birzeit mengakhiri sebuah artikelnya pada tahun 1991 dengan menyiratkan bahwa Yerusalem memiliki ambisi teritorial untuk Israel Raya yang membentang dari Sudan hingga Kuwait.[41]
Idenya bahkan telah menyebar ke luar Timur Tengah. Patrick Seale, seorang jurnalis Inggris yang memiliki reputasi baik, dengan tegas menegaskan bahwa "beberapa nasionalis Israel (terutama mereka yang tergabung dalam Partai Herut) memimpikan Negara Yahudi yang terbentang "dari Sungai Nil hingga Efrat."[42] Menteri Luar Negeri Claude Cheysson dari Prancis pada 1983 menyebut pembagian Libanon antara Suriah Raya dan Israel Raya sebagai "mimpi buruk kami"."[43]
Pada sisi lain, warga Palestina yang tinggal di Israel menunjukkan sikap yang berhati-hati. Setidaknya di depan umum, tentang mendukung gagasan Israel Raya. 'Abd al-Wahhab ad-Darwasha, seorang politikus Arab Israel terkemuka, menghindari pertanyaan seorang jurnalis Arab yang menanyakan kepadanya apakah sebagian besar orang Israel mendukung Israel Raya dari Sungai Nil hingga Efrat. Ketika mendengar pertanyaan itu, dia justru bergumam tentang kurang lengkapnya konstitusi Israel lalu mengatakan pendapatnya yang tidak sepakat soal perbatasan terakhir Israel[44] Meski bukan sahabat Zionisme, Darwasha langsung menyadari kesalahan klaim sepuar Israel Raya.
Memang, ada banyak kontradiksi dalam argumentasi Israel Raya. Pertama-tama, batas wilayah yang diungkapkan terus berubah. Perbatasan timur, misalnya, berkisar antara Irak tengah dan Pakistan. Pembicara yang sama mungkin menawarkan batasan yang berbeda. Pada akhir April 1990, Arafat mengumumkan bahwa kaum Zionis menginginkan (antara lain) seluruh wilayah Libanon, tiga perempat Irak dan mayoritas Sinai.[45] Namun, kurang dari dua minggu kemudian, ide Israel Raya usungannya hanya mencakup dua pertiga Irak dan tidak ada bagian dari Libanon atau Sinai.[46]
Pada Maret 1989, Damaskus bahkan semakin tidak konsisten. Asad menetapkan Israel Raya yang konvensional itu membentang dari Sungai Nil hingga Efrat, pada Maret 1989.[47] Sebulan kemudian (12 April 1990), Radio Damaskus mereduksinya menjadi sebuah negara yang hanya "dua kali lipat luas wilayah yang dikuasai kaum Zionis." Namun bertahun-tahun sebelumnya, Perdana Menteri 'Abd ar-Ra'uf al-Kasm pernah mengatakan kepada hadirin Turki bahwa orang Israel berniat menduduki semuanya, "mulai dari sumber Sungai Nil [di Etiopia dan Uganda] hingga sumber Sungai Efrat [di Anatolia tengah]. . . Israel Raya mencakup Turki, Iran dan Afrika."[48] Dan pada 1992, Asad menyatakan bahwa Israel "ingin memperluas wilayahnya di mana pun ada orang Yahudi."[49] Wilayah mana itu?
Orang Arab sendiri juga bertentangan pendapat antarmereka sendiri tentang masa depan mereka di bawah Pemerintahan Israel. Kadangkala mereka melihat diri didominasi dan dieksploitasi. Kadang melihat diri mereka diusir sehingga Israel Raya menjadi tempat "di mana hanya orang Yahudi yang dapat hidup."[50] Kadang pula mereka meramalkan adanya satu pemerintahan raksasa Yahudi. Pada waktu lain mereka mengharapkan negara-negara Arab saat ini digantikan oleh "entitas karton yang tidak sah" yang pada akhirnya akan menerima keberadaan Israel.[51]
Masalah itu begitu membingungkan sehingga para pemimpin Arab pun bahkan tersandung pada nomenklatur mereka sendiri. Taha Yasin Ramadan, wakil pertama perdana menteri Irak misalnya, pada suatu kesempatan mendalilkan bahwa "Israel Raya" menyiratkan adanya "kebijakan ekspansionis baru yang jauh lebih serius daripada slogan masa lalu, 'Dari Sungai Nil ke Efrat.'"[52] Padahal, sebenarnya, kedua ungkapan itu sama saja.
Apakah masyarakat Arab benar-benar meyakini apa yang mereka katakan tentang Israel Raya? Yitzhak Shamir dari Israel berpikir tidak. Kepada seseorang yang mewawancarainya pada 1989, Shamir mengaku bahwa Hafez al-Asad tahu bahwa pembicaraan ini "omong kosong belaka." [53] Namun Patrick Seale, orang kepercayaan Asad, berpendapat bahwa Presiden Suriah itu benar-benar percaya bahwa ekspansi besar-besaran menjadi tujuan jangka panjang Israel.[54] Memang tidak ada alasan untuk meragukan pernyataan Seale. (Ada fakta bahwa Asad juga percaya bahwa "orang Yahudi Soviet adalah sisa-sisa orang Khazar" [55] sehingga menegaskan kepercayaan yang umum pada soal Yahudi.) Shamir yang justru mengabaikan dampak dari menguatnya upaya Assad untuk terus mengulang-ulang pernyataan itu sendiri. Dengan demikian, para penguasa dan warganya akhirnya menjadi yakin dengan mesin propaganda mereka sendiri.
Wartawan asing yang menghadapi mentalitas Israel Raya memahaminya sebagai persoalan yang sungguh-sunggu nyata. Mari kita lihat kasus Suriah. Harian The Wall Street Journal melaporkan bahwa, "Sama seperti orang Israel yang takut akan impian lama Damaskus tentang 'Suriah Raya', yang mencakup Israel, orang Suriah percaya bahwa Tel Aviv sangat mendambakan 'Eretz Israel' yang membentang dari Sungai Nil hingga Efrat."[56] Memang, Mamdu' 'Adwan, seorang penyair terkemuka Suriah, menggunakan kata-kata yang hampir persis seperti ini saat menyatakan bahwa "Kami takut terhadap Israel Raya sama seperti mereka takut terhadap Suriah Raya." Menurut Larry Cohler, seorang jurnalis Amerika, Adwan tidak sendirian: "kebanyakan warga Suriah mendukung pengeluaran besar [untuk militer] ini karena benar-benar takut terhadap Israel Raya." Cohler melaporkan bahwa dia "berulang kali menemukan adanya rasa takut terhadap Israel Raya ini dari orang-orang yang sungguh-sungguh percaya bahwa tujuan Zionis adalah untuk memperluas kawasan dari Sungai Nil hingga ke Efrat." Seperti yang dilihat rekan Suriahnya (Syrian handler), "Orang Yahudi cenderung mengklaim bagian mana pun wilayah yang pernah mereka diami secara historis." Seorang wanita Suriah misalnya menyimpulkan bahaya dari tuduhan Israel Raya: "Selamanya kita mendengar tentang klaim Israel, dari Sungai Nil sampai Efrat. Bagaimana kita bisa mempercayai mereka ketika mereka bertindak seperti itu dan mengatakan bahwa mereka menginginkan perdamaian?"[57]
Ketakutan wanita ini memiliki konsekuensi yang signifikan. Dengan meyakini Israel berencana untuk memperluas dari Sungai Nil ke Efrat, dan mungkin lebih jauh, membuat keberadaan Negara Yahudi menjadi ancaman bagi seluruh Timur Tengah sekaligus meningkatkan paranoia yang substansial di Timur Tengah menuju tingkat yang lebih tinggi. Para pemimpin Arab dan Iran yang sangat meyakini khayalan ini menyimpulkan bahwa mereka harus menghancurkan Israel sebelum Israel melahap mereka. Bagi Muhamad Fadlallah, pemimpin fundamentalis Libanon, Israel Raya berarti bangsa Arab tidak bisa hidup damai dengan Israel. "Ambisi Israel untuk memperluas wilayah dari Efrat hingga Sungai Nil itu sudah terkenal.... Kita tidak akan pernah aman apapun, baik militer, ekonomi, atau politik, selama Israel menyembunyikan rancangan ekspansionisnya."[58] Mitos Israel Raya juga membenarkan perilaku anti-Israel sebagai tindakan defensif. Ketika Arafat menegaskan, "Tidak akan ada Israel Raya,"[59] dia mengesahkan hampir semua tindakan melawan Israel.
Ketakutan Bangsa Arab dan Iran yang fantastik terhadap ekspansionisme Israel ini mencegah orang Timur Tengah untuk melihat Israel sebagai negara dengan persoalan keamanan yang normal. Selain itu, mereka mengubah Negara Yahudi menjadi sesuatu yang terlalu mengancam untuk hidup berdampingan. Sama seperti menganggap orang Yahudi di Eropa sebagai jahat (demonization) yang menyebabkan pogrom atau pembantaian massal yang tak terhitung jumlahnya yang memuncak dalam bencana Nazi, maka menjadikan negara Yahudi sebagai ancaman bagi seluruh Timur Tengah menciptakan bahaya yang paralel dari konflik tak henti-hentinya yang suatu hari nanti dapat berakhir dengan perang nuklir.
Hanya ketika Israel dianggap sebagai negara seperti negara lainnya, maka ada kemungkinan tetangganya yang akan berurusan dengannya sesuai dengan norma diplomatik konvensional. Akan tetapi, kecil kemungkinannya hal ini segera terjadi, jika klaim liar tentang ekspansionisme Israel tetap menjadi bagian integral dari jalinan kehidupan politik arus utama Israel.
Fitnah tentang Israel Raya segera kembali merugikan orang Arab juga. Dengan membangkitkan kebencian Bangsa Arab terhadap Israel, ia memaksa banyak orang Israel untuk mempertahankan wilayah yang mereka menangkan pada 1967 sehingga tidak mengambil kesempatan untuk membuat perjanjian damai. Tukar-menukar tanah bagi perdamaian sudah menimbulkan masalah yang cukup dalam dirinya sendiri, tanpa perlu ada lagi soal serampangan Sungai Nil-hingga Sungai Efrat.
Hampir semua retorika pemerintahan mengandung pernyataan soal keagungan geografis yang menyebabkan pengalaman praktis menjadi tidak berperan. Tidak ada gunanya bagi siapa pun apalagi populasi Arab dan Iran dan para pemimpin mereka untuk secara licik menggunakan pernyataan resmi agama dari tiga milenia silam lalu mengubahnya menjadi pernyataan yang bermuatan niat yang agresif.
Kebijakan AS
Beralih kepada Amerika Serikat; mengurangi kekhawatiran soal Israel Raya merupakan kebijakan Amerika yang baik. Masyarakat Amerika setuju bahwa mereka berkepentingan untuk mengakhiri konflik Arab-Israel. Soalnya menyusul adanya fantasi seputar Israel Raya yang menghambat penyelesaian konflik, diplomat dan politisi Amerika harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk menenangkan rasa takut di antara rekan-rekan Arab dan Iran mereka bahwa Israel berencana hendak memperluas wilayah dari Sungai Nil hingga Sungai Efrat. Berikut ini beberapa langkah yang perlu diingat pejabat AS:[60]
Pahami pentingnya ketakutan tentang Israel Raya. Lebih dari apapun, masyarakat Amerika yang cerdas (sophisticated) dibuat bingung oleh paranoia Timur Tengah. Bagaimana bisa seorang analis politik atau pembuat kebijakan Barat yang serius dapat menghargai teori konspirasi semacam ini? Padahal, teori itu benar-benar tidak cocok dengan mentalitasnya yang kaku dan dia sendiri pun sulit meyakini bahwa teori itu cocok dengan mentalitas orang lain. Mengabaikan ketakutan ini berarti mendasarkan kebijakan AS pada premis yang salah yang dapat menyebabkan kesalahan yang besar.
Memang, psikosentrisme Amerika terkadang menyebabkan diplomasi AS sesat. Masyarakat Amerika misalnya secara tidak sengaja melakukan apa saja hanya untuk mengkonfirmasi ketakutan Iran atas adanya gerombolan perusak negaranya selama tahun era 1960-an dan 1970-an, dan dengan demikian membantu memunculkan Ayatollah Khomeini. Kesombongan Amerika pelahan mengganggu (grated) orang Iran. Banyaknya kehadiran resmi Amerika beserta kedekatannya dengan institusi pusat kekuasaan, ekonomi dan budaya memudahkan jalan bagi kaum oposisi untuk mengarahkan kemarahan populis terhadap Amerika. Kesadaran akan mentalitas konspirasi dengan demikian akan jauh mencegah permusuhan ini meletus.
Gunakan retorika Greater Israel untuk memprediksi tindakan diktator. Pencitraan dengan melihat cermin diri (mirror-imaging) yang memproyeksikan motif dan perilaku seseorang kepada orang lain, menyiratkan bahwa tuduhan seringkali mencerminkan niat pembicara sendiri. Ketika penguasa tidak bertanggung jawab, wawasan ini dapat membantu memahami apa langkah mereka di masa depan. Tuduhan Kadafi bahwa Israel ingin mengalihkan air Sungai Nil tidak mengungkapkan apa-apa tentang tindakan Israel yang sebenarnya, tetapi ia mungkin memberi tahu kita banyak hal tentang Kadafi. Dan kenyataannya, dia sudah mencurahkan sumberdaya yang sangat besar ke dalam rencana untuk mengalihkan aliran Sungai Nil ke Libya. [61] Demikian juga tuduhan Damaskus tentang Israel Raya justru mengkonfirmasi ambisi rezim Asad untuk Suriah Raya yang lebih besar daripada yang mereka ceritakan tentang niat Israel.
Menyangkal validitas Israel Raya. Jalan utama—untuk tidak terlalu membesar-besarkan tuduhan itu dengan tanggapan—tidak berhasil. Ketika dibiarkan sendirian, teori konspirasi pun membusuk. Lebih baik lakukan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Timur Tengah: langsung membalasnya dalam bentuk yang jelas (in kind). Jika tuduhan dibuat secara pribadi, jawablah secara pribadi. Jika tuduhan dilakukan di depan umum, lakukan juga di depan umum. Masyarakat Amerika dalam posisi resmi tidak cukup sering mengambil langkah ini.
Hindari penggunaan istilah Israel Raya. Israel Raya mempunyai dua arti yang sama sekali berbeda. Satunya adalah gagasan dari Sungai Nil milik Bangsa Arab (Arab Nile) hingga Sungai Efrat yang dianalisis di sini. Yang lainnya merupakan terjemahan Bahasa Inggris dari istilah Eretz Yisrael Hashlemah yang digunakan oleh kaum Zionis Revisionis untuk merujuk pada penguasaan Israel yang terus-menerus atas Kawasan Yudea, Samaria, dan Gaza. Masyarakat Arab dan Israel cenderung sama sekali tidak tahu bagaimana pihak lain menggunakan istilah yang sama. Jadi, ketika kaum Zionis Buruh mengkritik kaum Revisionis dengan menggunakan bahasa Inggris, mereka merujuk klaim teritorial kaum Revisionis sebagai berkaitan dengan "Israel Raya", tanpa memikirkan bagaimana masyarakat Arab menggunakan istilah ini.
Masyarakat Barat cenderung menggunakan Israel Raya sama dengan yang pahami oleh Israel, bukan seperti yang dipahami oleh Arab. Itulah yang dimaksud oleh Menteri Luar Negeri (AS) James Baker pada 1989 ketika, dalam pernyataan kebijakan besar pertama Pemerintahan Bush di Timur Tengah, dia memperingatkan orang Israel "untuk mengesampingkan, sekali dan selamanya, visi yang tidak realistis tentang Israel Raya."[62] Baker menggunakan istilah dengan makna yang sudah jelas dengan sendirinya bagi masyarakat Israel dan masyarakat Yahudi Amerika. Tetapi tentu saja masyaakat Arab mendengar sesuatu yang sangat berbeda. Pilihan kata-katanya memberikan isyarat kepada mereka bahwa Pemerintah AS akhirnya melihat ekspansi Israel sama seperti yang mereka lakukan. Arafat mengamati bahwa tatkala masyarakat Israel "berencana mendirikan Israel Raya dari Sungai Nil sampai Efrat, Menteri Luar Negeri AS Baker mengatakan Israel harus melupakan impiannya untuk mendirikan Israel Raya."[63]
Untuk menghindari kebingungan semacam ini, pejabat Amerika tidak boleh menggunakan istilah Israel Raya. Dan ketika melakukannya, mereka harus benar-benar secara eksplisit mengatakan bahwa yang mereka maksud adalah kekuasaan Israel atas Tepi Barat. Dan tidak lebih dari itu.
Ingatlah bahwa istilah memiliki arti yang berbeda. Masyarakat Barat dan para negarawan mereka khususnya, tidak boleh pernah menggunakan kosakata politik yang sama ketika berhadapan dengan masalah politik Timur Tengah. Israel Raya mewakili seluruh kelompok istilah dengan makna yang sangat berbeda. Ketika orang Amerika menggunakan istilah perdamaian untuk merujuk kepada masyarakat Arab dan Israel, maka itu berarti sesuatu yang sejalan dengan Amerika Serikat dan Kanada. Ketika masyarakat Arab menggunakan istilah itu, mereka memikirkan hubungan AS-Kuba. Demokrasi di Barat mengacu pada cara menatalaksa politik, termasuk kekuasaan berdasarkan hukum (rule of law), kebebasan berbicara, hak minoritas dan partai politik. Di Timur Tengah, ia hanya berarti Pemilu. Suriah di dunia Barat berarti negara yang digambarkan di peta. Tetapi bagi orang yang tinggal di negara itu, ia sering merujuk kepada wilayah budaya yang luas termasuk seluruh Levant.
Berbagai perbedaan itu merujuk kepada sangat dalamnya kesenjangan yang memisahkan asumsi politik di Barat serta di Timur Tengah. Jika dunia luar berharap untuk campur tangan secara konstruktif, mereka harus memulainya dengan memahami apa yang sebetulnya dikatakan oleh masyarakat Timur Tengah.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Radio Monte Carlo, 25 Mei 1990.
[2] La Repubblica, 3 April 1990. 'Arafat menyampaikan poin pemikiran yang sala lagi dalam sebuah pidatonya pada Komisi Yerusalem Liga Arab, 9 April, 1990 made the same point again in a speech to the Jerusalem Committee of the Arab League on 9 Apr. 1990.
[3] The Jerusalem Post, 9 Juni 1990.
[4] Geo-Journal, 19 Februari 1989, hal. 99-110.
[5] Playboy, Septemper 1988.
[6] Al-Jazira, 17 Januari 1982.
[7] Sawt Filastin (Sanaa), 9 April 1990.
[8] Amman Television, 25 April 1990.
[9] Ad-Dustur, 17 April 1990.
[10] Surat rahasia Gerard Lowther kepada Charles Hardinge, 29 Mei 1910, Kantor Urusan Luar Negeri 800/193A (Lowther Papers). Dikutip dalam Elie Kedourie, Arabic Political Memoirs and Other Studies (London: Frank Cass, 1974), hal. 256.
[11] Theodor Herzl, Zionistisches Tagebücher, 1895-1899, diedit oleh Johannes Wachten, Chaya Harel, et al. (Berlin: Ullstein, 1983), jilid 2, halaman 650. Untuk mengetahui katalog pernyataan kaum Zionis dan Israel, yang benar-benar ada dan diduga ada, lihat, Ass'ad Razzouq, Greater Israel: A Study in Zionist Expansionist Thought (Beirut: Palestine Liberation Organization Research Center, 1970), khususnya hal. 83, 87-90, 92, 96-97, 99-103, 144-45, 167-69, 178-81, 187, 209, 212-14, 230, 234, 240, 243-45, 249-52, 264, 278-82, 286, juga Peta 3 dan 4.
[12] Robert Gessner, "Brown Shirts in Zion," New Masses, 19 Februari 1935, hal. 11.
[13] Televisi Damascus, 18 Februari, 1986.
[14] Sa'd al-Bazzaz, Gulf War: The Israeli Connection, diterjemahkan oleh Namir Abbas Mudhaffer (Baghdad: Dar al-Ma'mun, 1989).
[15] Tyler Courier-Times-Telegraph, 5 Februari 1983; dilaporkan dalam The Los Angeles Times, 6 Februari 1983.
[16] Sawt al-Kuwayt, 4 Agustus 1991.
[17] Sama halnya seperti sepupu dekatnya, Armenia Raya yang punya fobia yang eksklusif terhadap Turki. Seorang komentator politik, Necati Özfatura, menulis di surat kabar nasionalis Türkiye (29 September 1991) bahwa Presiden Armenia diam-diam bertemu dengan George Bush dan keduanya menyepakati adanya sebuah Armenia yang terbentang dari Laut Kaspia hingga Laut Hitam, Mediterania dan Teluk Persia.
[18] Pembicaraan pada 25 Oktober 1937 dengan H. R. P. Dickson, Kantor Urusan Luar Negeri 371/20822 E7201/22/31. Teksnya ada dalam Elie Kedourie, Islam in the Modern World (New York: Holt Rinehart and Winston, 1980), hal. 72-73.
[19] Pidatp pada 26 Maret 1964. Dikutip dalam Y. Harkabi, Arab Attitudes to Israel, diterjemahkan oleh Misha Louvish (London: Valentine, Mitchell, 1972), p. 73.
[20] Ibid., hal. 74. Terjemahannya sudah agak diubah.
[21] Radio Cairo, 22 Juli 1965 dnd Al-Ahram, 23 Juli 1965. Dikutip dalam Eliezer Be'eri, Army Officers in Arab Politics and Society (Jerusalem: Israel Universities Press, 1969), hal. 399.
[22] Hasan Sabri al-Khuli, Qadiyat Filastin (sekitar tahun 1966), hal. 19, 24. Dikutp dalam Harkabi, Arab Attitudes, p. 82.
[23] Saad El-Shazly, The Arab Military Option (San Francisco: American Mideast Research, 1986), hal. 17, 31.
[24] Al-Akhbar, 31 Januari 1990.
[25] Al-Jamahiriya, 19 Juli 1991.
[26] Al-Ahram, 23 Februari 1990.
[27] Yang jauh lebih imajinatif lagi, beberapa orang Arab mengatakan Israel bakal mengubah geografi: menurut satu orang Mesir, "Presiden Anwar Sadat bahkan menawarkan membelokkan arah sungai Nil ke dalam kawasan Israel" (dikutip dalam Sana Hassan, "Egypt's Angry Islamic Militants," The New York Times Magazine, 20 November 1983, hal. 138).
[28] Jamahiriya Arab News Agency, 6 Januari 1990.
[29] Televisi Tripoli, 20 Maret, 1990.
[30] Radio Damascus, 12 Maret, 1985.
[31] Televisi Damascus, 7 Maret 1990.
[32] Radio Damascus, 8 Maret 1989.
[33] Kayhan International, 30 Mei 1991.
[34] Ibid., 8 Mei 1990.
[35] Radio Teheran, 20 April 1990.
[36] Ar-Ra'y al-'Amm, 14 Juni 1990.
[37] Sawt ash-Sha'b (Amman), 16 Januari 1990.
[38] Televisi Amman, 25 April 1990.
[39] As-Siyaha (Kairo), Mei 1991.
[40] Nayif al-Hadid, dikutip dalam Jordan Times, 17 Desember 1989.
[41] Muhsin D. Yusuf, "The Zionists and the Process of Defining the Borders of Palestine, 1915-23," Journal of South Asian and Middle Eastern Studies 15 (1991): 39.
[42] Patrick Seale, "La Syrie et le processus de paix," Politique Etrangère, Winter 1992, hal. 785.
[43] Reuters, 7 Februari 1983.
[44] Ash-Sharq al-Awsat, 9 Juni 1992.
[45] Televisi Amman, 25 April 1990.
[46] Kantor Berita Irak, 7 Mei 1990.
[47] Radio Damascus, 8 Maret 1989.
[48] Televisi Damascus, 2 Maret 1986.
[49] Radiao Republik Suriah Arab, 1 April 1992.
[50] Mufti Agung Palestina [Haji Amin al-Husayni], Memorandum Submitted to His Holiness Pope Paul VI, Beirut, 28 Februari 1964.
[51] Al-Jumhuriya (Baghdad), 2 Maret 1991.
[52] Kantor Berita Irak, 3 Mei 1990.
[53] 'Al Hamishmar, 17 Januari 1989.
[54] Patrick Seale, "Madha Yurid Hafiz al-Asad?" Al-Majalla, 23 Juli 1982, hal. 22.
[55] Radio Damascus, 8 Maret 1990.
[56] The Wall Street Journal, 27 September 1990. Suriah Raya sebenarnya merupakan proposisi yang serius, seperti yang telah saya kemukakan panjang lebar dalam buku Greater Syria: The History of an Ambition (New York: Oxford University Press, 1990).
[57] Dikutip dalam Larry Cohler, "Rethinking Syria," Tikkun, Sept./Oct. 1992, hal. 33.
[58] An-Nahar al-'Arabi wa'd-Duwali, 1 Juli 1985. Dikutip dalam Martin Kramer, Hezbollah's Vision of the West (Washington, D.C.: Washington Institute for Near East Policy, 1989), hal. 55.
[59] Radio Madrid, 26 Februari 1991.
[60] Langkah-langkah ini sebagian diambil dari Daniel Pipes, "Dealing with Middle Eastern Conspiracy Theories," Orbis 36 (1992): 41-56.
[61] Martin Sicker, The Making of a Pariah State: The Adventurist Politics of Muammar Qaddafi (New York: Prageger, 1987), hal. 61-66.
[62] Menteri Luar Negeri James A. Baker, Jr., "Principles and Pragmatism: American Policy toward the Arab-Israeli Conflict," 22 Mei 1989.
[63] Ad-Dustur, 17 April 1990.
--------------------------------------------------------------------------------
Pemutakhiran 12 Juni 2007: Saya terus melacak berbagai insiden yang terkait dengan teori konspirasi akhir-akhir ini lewat tulisan bertajuk "More on the 'Nile-to-Euphrates' Calumny."
--------------------------------------------------------------------------------
Topik Terkait: Konflict & diplomasi Arab-Israel, Teori-teori Konspirasi
Artikel Terkait:
- More on the "Nile-to-Euphrates" Calumny
- Who Set Fire to Al-Aqsa Mosque in 1969?
- Israel, America, and Arab Delusions
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original UR