Judul yang diterbitkan dalam Bahasa Italia: "Attacco all'Iran superbo, a Gaza guerra penosa, in 625 giorni non ha capito come sconfiggere gruppo delinquent"
Riformista: Seminggu sudah berlalu, tolong Anda nilai perang yang terjadi antara Israel dan Iran.
Daniel Pipes: Intelijen dan perang militer Israel saat ini setara dengan Perang Enam Hari yang terjadi pada 1967. Memang perlu diakui bahwa pasukan Israel kali ini tidak mengalahkan tiga pasukan tiga negara penyerang Israel dalam waktu kurang dari satu minggu, tetapi Perang Enam Hari itu sebuah perang yang relatif sederhana dibandingkan dengan perang ini, yang menuntut waktu bertahun-tahun dan banyak sekali lapisan persiapan. Serangan Israel terhadap Iran kemungkinan menjadi standar untuk semua peperangan antar-rekan (peer-to-peer) pada masa mendatang selama bertahun-tahun mendatang.
Israel kebetulan begitu mendominasi medan perang sehingga beberapa pejabat Iran pun lalu berkhayal berupaya menolak kenyataan itu. Jurubicara militer Iran Letnan Kolonel Iman Tajik pun pernah mengumumkan bahwa Iran "berhasil secara penuh mengendalikan langit wilayah yang diduduki [yaitu, Israel], dan orang-orang di sana menjadi sama sekali tidak berdaya melawan serangan rudal Iran." Pemimpin Tertinggi Ali Khamene'i bahkan mengklaim bahwa "respons Iran berhasil melemahkan entitas Zionis."
![]() Korps Garda Revolusi Iran (The Islamic Revolution Guard Corps ---IRGC) mengangkat Brigjen Iman Tajik, pada 16 Juni lalu sebagai jurubicara Operation True Promise 3, sebuah kampanye perang melawan Israel. |
Riformista: Tujuan resmi Israel adalah menghancurkan program nuklir Iran. Tetapi aksinya, seperti menutup siaran televisi, menunjukkan bahwa tujuan itu akan membuka jalan bagi warga Iran untuk menggulingkan Republik Islam. Apakah ini realistis?
DP: Mengingat sikap Yerusalem yang tidak pasti soal kemampuannya untuk menutup semua infrastruktur nuklir Iran, Israel juga bercita-cita mau memfasilitasi terjadinya pemberontakan besar-besaran yang bakal mampu menggulingkan Republik Islam. Caranya, dengan berupaya memicu keadaan kembali Iran berbalik seperti tahun 1978-79. Sejauh ini, tampaknya tidak terjadi. Soalnya, masyarakat Iran mengkhawatirkan soal makanan dan keamanan. Ditambah lagi dengan ketakutan mereka akan radiasi nuklir. Dan ini, tampaknya membuat sebagian besar orang tidak berani turun ke jalan. Namun, hal ini mungkin berubah. Minggu depan akan menjadi penentu.
Riformista: Jika rezim itu runtuh, apa yang Anda harapkan akan terjadi di Iran?
DP: Mayoritas rakyat Iran, mungkin 85 persen, membenci pemerintah mereka yang terdiri dari kaum Islam radikal. Jadi jatuhnya rezim Republik Islam Iran menyebabkan Islamisme akan lenyap. Namun, menghapus ideologi tidak menjamin jalan menuju demokrasi. Persoalannya, apakah Iran akan lebih mengikuti model Ukraina atau Rusia? Warisan pemerintahan totaliter membuat mereka sulit untuk kembali kepada kehidupan normal. Jadi, saya pesimis. Meskipun demikian, menyingkirkan tirani adalah hal terpenting. Seperti yang terjadi di Irak pasca-Saddam Hussein, lebih baik ada aksi anarkis daripada ada Khamene'i.
Riformista: Apakah konsekuensi eksternal dari keruntuhan rezim yang Anda perkirakan?
DP: Runtuhnya hasil kerja Khomeini akan menimbulkan dua dampak internasional yang besar. Pertama, ia akan menyingkirkan Iran sebagai kekuatan pembangkang besar di Timur Tengah, sehingga mengubah sekaligus meningkatkan politik kawasan secara mendalam. Kedua, ia akan semakin mempercepat kemunduran ideologi Islamisme di seluruh dunia, sebuah proses yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade. Jika revolusi Iran tahun 1978-79 memicu lahirnya Islamisme, maka kontrarevolusi hampir setengah abad kemudian akan mempercepat kemundurannya.
Riformista: Perang Hamas-Israel terus berlanjut dan akan segera berlangsung selama dua tahun. Bagaimanakah perkembangan di Iran akan memengaruhinya?
DP: Buruknya penampilan militer Iran akan sangat memengaruhi Hamas dalam hal semangat juang (morale) dan logistiknya. Dua tahun silam, Hamas bisa saja merasa menjadi bagian dari tim pemenang, sesuatu yang hampir mustahil untuk dipercayainya sekarang.
Riformista: Anda sangat kritis terhadap manajemen Israel dalam perang di Gaza. Apakah Anda masih bersikap demikian?
DP: Ya saya masih berpendirian demikian. Terlebih lagi setelah Israel melancarkan perang yang luar biasa cerdas atas Iran. Dalam hitungan hari, pasukan Israel mengalahkan negara berpenduduk 90 juta jiwa. Namun, di sinilah kita, kita terjebak dalam perang 625 hari melawan Hamas dan Israel belum menemukan cara untuk mengalahkan sekelompok penjahat tersebut. Perang yang satu begitu luar biasa sementara yang lainnya menyedihkan.
Riformista: Trump terkenal plin-plan, berubah pikiran sesuka hatinya. Namun, kecepatan berpikir dan luasnya perubahan sikapnya soal perang Israel terhadap infrastruktur nuklir Iran membuat orang tercengang. Bagaimana ini bisa terjadi dan ke mana arahnya?
DP: Pers Amerika penuh dengan analisis tentang perubahan ini. Ada tiga faktor tampaknya menjadi kunci dalam persoalan ini: campuran dari sikap Iran yang teguh kokoh soal pengayaan uranium dan ancaman ("kerusakan yang tidak dapat diperbaiki") terhadap Amerika Serikat, keberhasilan militer Israel serta perangnya dan kalangan pro-Israel yang menyanjung Trump dengan memberinya pujian yang besar atas keberhasilan perang Israel. Analis politik Israel Lazar Berman mengamati bahwa, "Bergabungnya Amerika dalam perang yang kini terjadi, setelah para jenderal Iran tewas dan pertahanan udaranya hancur, memberi kesempatan kepada Trump untuk menerima pujian atas perang yang secara historis berani yang dapat mengubah arah Timur Tengah." Perhatikan bagaimana Trump secara tak terduga mencampuradukkan keberhasilan Israel dan Amerika Serikat: "Kami sekarang secara penuh dan menyeluruh mengendalikan langit di atas Iran."
Riformista: Lebih dari sebelumnya, Israel dinilai sebagai setan sejak 7 Oktober 2023. Apakah perangnya melawan Republik Islam Iran akan memperbaiki atau memperburuk tren ini?
![]() Recep Tayyip Erdoğan yang terkejut. |
DP: Perang Israel melawan Iran bakal memperbaiki keadaan Israel, karena dua alasan utama. Pertama, permusuhan kaum Sunni dan kaum kiri terhadap Israel nyaris semata-mata muncul dari ketidaksenangan mereka atas hubungan Israel dengan Palestina. Sebaliknya, Iran sama sekali tidak penting bagi mereka. Jika ada sikap itu, maka kaum Sunni senang melihat Iran ditumpas.
Kedua, dunia mencintai pemenang perang dan Israel telah membuktikan dirinya sebagai negara yang memenangkan perang. Seperti dicatat oleh analis Prancis Michel Gurfinkiel, keberhasilan militer Israel berimplikasi positif bagi hubungannya dengan dua kekuatan besar (Amerika Serikat, Tiongkok), dengan kekuatan internasional (Eropa, Rusia, India), dan juga dengan kekuatan regional (Turki, Mesir, Arab Saudi). Padahal selama beberapa tahun terakhir, negara yang disebut terakhir menganut "konsep utama Iran: Amerika dan Israel sama-sama mundur (twin decline). Mereka terkejut mengetahui bahwa mereka keliru."
Untuk mendapatkan artikel terbaru lewat email, berlanggananlah mailing list gratis daniel pipes.
Artikel di atas boleh dikutip; juga boleh diterbitkan ulang atau diteruskan kepada pihak lain asal disajikan sebagai satu kesatuan utuh dengan menyertakan informasi lengkap mengenai penulis, tanggal, media tempat artikel ini diterbitkan, dan URL artikel yang sebenarnya.