New Delhi Post (NDP): Kemanahkah Anda melihat krisis Israel-Iran-Palestina mengarah?
Daniel Pipes (DP: Israel berhasil menghadapi Iran, tetapi bingung menghadapi Palestina. Perhatikan bagaimana kedua negara itu menantang Israel dengan cara yang bertentangan satu lain. Iran itu negara berpenduduk 90 juta jiwa yang para pemimpinnya bercita-cita memiliki persenjataan nuklir. Sementara jumlah warga Palestina tak lebih dari sepersepuluh jumlah itu dan tidak punya kekuatan ekonomi atau militer yang signifikan. Namun, Iran begitu terisolasi dan tidak ada negara yang membantunya selain tidak lebih dari sekadar ungkapan basa-basi selama negara itu menderita sengsara baru-baru ini. Pemerintah AS bahkan bergabung dengan Israel menyerangnya. Palestina pada pihak lain menikmati jaringan dukungan global yang sangat kuat, termasuk dari Pemerintah Prancis. Militer Israel anehnya terbelah menjadi dua. Terlihat, ia menang gemilang melawan bangsa non-Palestina tetapi benar-benar tidak mampu menghadapi Palestina. Bersama-sama, faktor-faktor ini menjelaskan bagaimana Israel mampu mengalahkan Iran dalam 12 hari, tetapi setelah 660 hari, terus memerangi Hamas tidak tanda-tanda perang akan berakhir.
NDP: Anda pernah mengungkapkan pendapat bahwa Hamas harus dikalahkan. Apakah itu secara moral dan militer pantas, terutama mengingat banyak seruan untuk gencatan senjata dan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza?
DP: Seiring dengan semakin nyatanya hal-hal mengerikan yang Hamas lakukan tidak hanya terhadap warga Israel tetapi juga warga Gaza, dan karena semakin banyak (turn) warga Gaza menentang Hamas, semakin mendesak pula untuk mengakhiri cengkeraman mengerikan dari organisasi totaliter jihadis ini. Melenyapkan Hamas adalah tindakan paling bermoral yang mungkin bisa dilakukan di Gaza. Tidak ada hal positif yang bisa terjadi selama Hamas masih berkuasa.
![]() Para pemrotes di Gaza pada 25 Maret 2025. Mereka menyerukan agar "Hamas keluar dari Gaza." |
NDP: Setelah Tragedi Kemanusiaan 7 Oktober, apakah Anda tetap pada prediksi bahwa tidak akan ada Negara Palestina dan tetap pada argumen bahwa Israel memenangkan perang?
DP: Selama Palestina masih terus menolak keberadaan Israel--- sebuah penolakan menyeluruh untuk menerima Negara Yahudi Israel – maka tujuan mereka untuk berdirinya Negara Palestina bakal tetap sulit dicapai. Soalnya, Israel tak akan membiarkan berdirinya negara yang berupaya menghancurkan dia sendiri. Sebaliknya, jika warga Palestina sungguh menerima Israel, maka Negara Palestina dapat berdiri. Namun, hal itu mengharuskan Israel untuk berhenti mengelola musuh Palestinanya itu dan sebaliknya mengalahkannya. Untuk mengetahui penjelasan rinci atas argumen ini, lihat buku saya yang terbit tahun 2024. Tajuknya, Israel Victory: How Zionists Win Acceptance and Palestinians Get Liberated (Israel Menang: Bagaimana Zionis Bisa Diterima dan Rakyat Palestina Terbebaskan).
NDP: Apakah kesepakatan Abraham Accords yang transaksional rentan terhadap pergantian rezim ataukah apakah mereka justru bertahan?
DP: Kesepakatan tersebut, yang ditandatangani hampir lima tahun lalu, telah berhasil melewati banyak krisis, terutama pada 7 Oktober (2023) dan Perang Israel-Iran. Bahwa ia berhasil melewati tekanan semacam itu menyiratkan sifatnya yang abadi berdasarkan pada prinsip saling menguntungkan. Warga Israel berupaya membangun hubungan normal dengan tetangga mereka, sementara semakin banyak warga Asia Barat memandang Israel sebagai penjamin keamanan mereka yang paling andal, terutama saat komitmen dan keandalan AS menurun. Untuk penjelasan yang gamblang tentang situasi baru ini, lihat artikel Gregg Roman, 'The Peace of the Victor' (Perdamaian dari Negara Pemenang).
NDP: Anda menekankan pentingnya membedakan antara Islam dan Islamisme. Mohon jelaskan lebih lanjut tentang signifikansi perbedaan tersebut bagi pembuatan kebijakan.
DP: Pembedaan ini sangat penting. Pertama, negara sekuler modern tidak mungkin terlibat dalam perang agama melawan Islam. Tetapi mereka dapat memerangi ideologi Islamisme hingga tuntas. Kedua, kaum Muslim adalah korban pertama sekaligus terbesar dari Islamisme. Bayangkan saja rakyat Iran, Afghanistan, Pakistan serta Bangladesh. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh utama Islamisme dengan non-Muslim berperan sebagai pendukung mereka. Dalam hal pengambilan kebijakan, kedua faktor ini mengubah pertempuran dari non-Muslim vs. Muslim menjadi pertempuran antara kaum moderat vs. kaum ekstremis.
![]() Hadi Matar (kiri), menjalankan fatwa Ayatollah Khomeini sehingga dengan pisau ia pun menyerang Salman Rushdie (tengah kanan) di Lembaga Chautauqua, pada 12 Agustus 2022. |
NDP: Para pengkritik Anda secara salah menuduh Anda memerangi Islam, bukan Islamisme; mengapa?
DP: Upaya menuduh saya itu sudah sesuai dengan tujuan mereka. Menggambarkan saya sebagai anti-Islam membuat saya terlihat buruk. Demikianlah cara mereka memutarbalikkan pandangan saya. Saya tidak memihak Islam sebagai agama, tetapi gigih menentang Islamisme, sebuah ideologi totaliter berusia seabad yang mirip dengan fasisme dan komunisme. Mereka tidak pernah mengakui slogan saya yang terkenal, 'Islam radikal itu masalahnya, Islam reformasi itu solusinya.'
NDP: Para pengkritik Anda juga berpendapat bahwa permusuhan Anda terhadap Islamisme menyuburkan 'Islamofobia' sekaligus menstigmatisasi komunitas Muslim arus utama. Silakan tanggapi.
DP: Justru sebaliknya yang terjadi. Permusuhan terhadap Islamisme memberikan dasar bagi Muslim dan non-Muslim untuk bekerja sama melawan kekuatan yang ekstrem, diktator, dan kejam. Tujuan bersama ini mendorong persaudaraan dan persahabatan lintas agama.
NDP: Anda mendukung 'kaum Muslim moderat' sebagai kekuatan penyeimbang Islamisme, tetapi siapakah yang memenuhi syarat sebagai 'kaum moderat'
DP: Memang, itulah tantangannya. Terutama karena kaum radikal Islam sudah secara luas mempraktekannya, dengan menutupi praktek tersebut dan dengan pura-pura menjadi sangat moderat. Sejumlah analis (seperti Tarek Heggy, Zuhdi Jasser, grup RAND Corporation, Tashbih Sayyed, "Sam Solomon," dan Robert Spencer) dan bahkan Negara Bagian Baden-Württemberg di Jerman menawarkan ide untuk membedakan kaum moderat dari kaum Islam radikal. Pada tahun 2017, saya sudah memberikan daftar 93 pertanyaan yang saya buat beserta metodologi untuk menerapkannya, dalam acara "Smoking Out Islamists via Extreme Vetting." Proses ini membutuhkan komitmen jangka panjang dari bakat, sumberdaya, dan waktu. Setelah diterapkan, prosedur tersebut seiring waktu akan menjadi lebih efektif.
NDP: Secara realistis, dapatkah pemerintah mengidentifikasi dan memberdayakan kaum Muslim moderat?
DP: Mengapa tidak? Kaum moderat umumnya kekurangan dana dan mengalami penolakan ganda yang luas dari kaum Islam radikal maupun dari kaum non-Muslim yang curiga, sehingga mereka menyambut dukungan dari para pembayar pajak. Ini akan terbukti menjadi investasi yang sangat baik, meskipun lembaga pemerintah harus sangat waspada terhadap serigala berbulu domba yang menyamar sebagai kaum Islam radikal.
NDP: Mungkinkah kebangkitan Arab sekuler bisa terjadi atau apakah Islamisme sudah terlalu dalam mengakar?
![]() Ahmed Lotfi El Sayed (1872-1963), penulis Mesir yang menyimbolkan kebangkitan Arab yang berakhir sekitar satu abad silam. |
DP: Kebangkitan Arab sekuler itu sangat mungkin terjadi, meski masih jauh. Ia mirip dengan kebangkitan Arab sekuler yang terjadi antara tahun 1860 dan 1920 ketika kekuatan Barat berada di puncaknya. Dalam situasi yang tepat kebangkitan lain dapat terjadi, (singkatnya) jika Westernisasi dan Israel diterima oleh Bangsa Arab. Untuk memahami tantangan mendalam yang dihadapi para penutur bahasa Arab, lihat esai brilian karya Hussein Aboubakr Mansour yang baru saja diterbitkan berjudul 'The Enchantment of the Arab Mind.'
NDP: Apa kekhawatiran terbesar Anda pada masa datang terkait dengan Asia Barat?
DP: Saya mengkhawatirkan Islamisme 2.0, yang dipimpin oleh Pemerintah Turki, Pakistan, Bangladesh, dan Malaysia yang bakal meledak melonjak. Dengan mengatakan ini, yang saya maksudkan adalah adanya Islamisme yang tidak terlalu keras, lebih canggih, dan lebih sukses daripada versi sebelumnya yang tengah merosot.
NDP: Mengapa media arus utama meremehkan ancaman dari kaum Islam radikal?
DP: Untuk menjawab hal ini, saya akan membatasi diri pada media di negara-negara di mana kaum Muslim merupakan minoritas. Sejak Revolusi Iran 1978-1979, kaum Kiri semakin berpihak pada Islamisme. Ini tidak banyak disebabkan oleh kesamaan pandangan mereka (misalnya, soal kepemilikan pribadi dan status perempuan), melainkan karena mereka memiliki musuh yang sama (misalnya Amerika Serikat dan Israel). Meskipun demikian, seiring dengan berjalannya waktu masing-masing pihak cenderung mengadopsi sudut pandang dan tujuan pihak lain. Kaum Kiri mendukung undang-undang penistaan agama sementara kaum Islam radikal mengadopsi sosialisme. Media arus utama, yang hampir secara definisi condong ke kiri, sesuai dengan pola ini.
NDP: Mengapa media arus utama salah menggambarkan konflik Asia Barat?
DP: Penggambaran konflik yang salah terjadi karena kaum kiri dan kaum Islam radikal mengadopsi sudut pandang dan tujuan dari pihak lain. Sementara itu, kaum kiri non-Muslim justru meminta maaf kepada Republik Islam Iran lalu mengadopsi posisi anti-Zionis.
NDP: Apakah 'wokeisme' di kalangan akademisi dan media Amerika secara fundamental telah mengubah narasi tentang Israel, jihadisme dan Asia Barat?
DP: Beberapa tahun lalu, saya mengkhawatirkan padanya rospek ini, tetapi kini saya justru meragukannya. Ya, politisi yang sadar gender (woke) sudah berhasil di beberapa wilayah tertentu di Amerika Serikat. Perhatikan saja kandidat Walikota New York City yang berasal dari India dan indikasi lainnya yang memperlihatkan buruknya penampilan Partai Demokrat dalam pemilihan umum terakhir sehingga jatuh sampai pada titik terendah. Saya sendiri adalah orang yang pernah terdorong ke kiri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1965-1975. Karena itu, saya semakin yakin bahwa dorongan ini juga berikut ekses-eksesnya (misalnya dengan 'Upaya untuk tidak mendanai polisi,' menghapuskan kontrol imigrasi, mengizinkan pria berada toilet umum wanita, kata ganti gender, pengakuan tanah) juga akan memudar.
NDP: Prancis adalah negara Barat besar pertama yang mengakui Negara Palestina; apakah konsekuensi dari perubahan ini?
DP: Pengakuan ini menegaskan dukungan masyarakat global yang luar biasa atas Palestina. Jadi, dia memperburuk keadaan Israel. Namun, pengakuan ini tidak membawa Palestina sedikit pun lebih dekat dengan kenyataan. Ia butuhkan Palestina untuk mau menerima Israel.
NDP: Apakah Anda melihat kebijakan luar negeri AS di Asia Barat terlalu tegas, terlalu malu-malu, atau sudah benar-benar tepat?
DP: Saya sependapat dengan analis politik Steven A. Cook bahwa Washington terlalu ambisius selama tiga dekade terakhir sehingga justru harus mengurangi tujuannya kini. Selama Perang Dingin, ia mencatat, Pemerintah AS 'berhasil mengamankan kepentingannya di Timur Tengah,' di mana kepentingan-kepentingan itu didefinisikannya sebagai 'mencegah gangguan terhadap ekspor minyak dari kawasan tersebut, membantu mencegah ancaman terhadap keamanan Israel, dan ... membendung Uni Soviet.' Namun, setelah Perang Dingin berakhir, Washington 'berusaha mengubah politik dan masyarakat Timur Tengah,' misalnya, dengan mempromosikan demokrasi. Namun upaya itu gagal total. Dari catatan ini, Cook pun menyimpulkan bahwa 'ketika Amerika Serikat berusaha mencegah "hal-hal buruk" terjadi pada kepentingannya, ia berhasil. Namun, Washington kerap gagal ketika berusaha memanfaatkan kekuatannya untuk mewujudkan "hal-hal yang baik" demi kepentingannya,' Ke depannya, Pemerintah AS membutuhkan 'visi bagi perannya di Timur Tengah yang mengesampingkan romantisme idealis tentang membangun kembali dunia demi strategi yang didasarkan pada sikap yang hati-hati, bijaksana, dan sumberdaya yang seimbang.' Ini berarti Amerika Serikat kembali kepada kebijakan-kebijakan sederhana ala era Perang Dingin seperti akses minyak, Upaya menjamin keamanan Israel, anti pengembangan senjata penghancur massal dan menghambat langkah maju Rusia dan Tiongkok.
NDP: Jika Amerika Serikat sepenuhnya menjauh dari kawasan ini, siapa yang akan paling diuntungkan: Rusia, Tiongkok, atau kaum Islam radikal?
DP: Saya tidak bisa bayangkan Amerika Serikat sepenuhnya meninggalkan kepentingannya di Asia Barat. Soalnya, frekuensi dan tingkat keparahan krisis di sana terus menariknya Kembali mundur. Seperti saya tulis pada 2012, Asia Barat 'terletak di pusat dunia yang berpenghuni, penuh bahaya, termasuk tirani, kekerasan, senjata pemusnah massal dan perang. Ini mempengaruhi segalanya. Mulai dari pengaruhnya atas keamanan jalur laut hingga imigran pengungsi hingga pengaturan keamanan dalam negeri. ... Hanya di kawasan Timur Tengah semua negara terancam punah. Beberapa negara telah jatuh ke dalam anarki.' Karena itu, saya akan mengubah sebuah ungkapan terkenal menjadi, 'Anda mungkin tidak tertarik pada Asia Barat, tapi ia tertarik pada Anda.' Namun demikian, jika Amerika Serikat benar-benar meninggalkan Timur Tengah, maka Tiongkok akan mendapatkan keuntungan terbesar, karena ia telah membangun infrastruktur pengaruhnya di sana. Sebaliknya, pengaruh Rusia dan kaum Islam radikal merosot.
NDP: Apakah Amerika Serikat secara permanen gagal di Asia Barat dibandingkan dengan Rusia, Tiongkok dan Turki?
DP: Tidak. Washington tetap memiliki kemampuan yang unggul yang membuatnya berhasil di Asia Barat. Washington memiliki jaringan sekutu yang unik. Washington memiliki pengaruh ekonomi dan diplomatik terbesar. Dan, seperti yang ditunjukkan oleh serangan Juni 2025 terhadap fasilitas nuklir Iran, Washington memiliki kemampuan yang tak tertandingi untuk berperang.
![]() Kekuatan udara AS terwujud dalam pesawat pembom B-2 (foto depan) dan F-117A (di belakangnya) seperti terlihat dalam sebuah latihan perang yang tidak diketahui tanggalnya penyelenggaraannya. |
Untuk mendapatkan artikel terbaru lewat email, berlanggananlah mailing list gratis daniel pipes.
Artikel di atas boleh dikutip; juga boleh diterbitkan ulang atau diteruskan kepada pihak lain asal disajikan sebagai satu kesatuan utuh dengan menyertakan informasi lengkap mengenai penulis, tanggal, media tempat artikel ini diterbitkan, dan URL artikel yang sebenarnya.