Zones Urbaines Sensibles, atau Zona Pinggiran Kota yang Sensitif. Istilah-istilah itu memberikan kesan baik bahkan mengandung akronim lebih berciri tanpa campur tangan pihak lain, ZUS. Dan berdasarkan perhitungan terakhir, ada 751 tempat seperti ini. Semuanya didaftarkan pada sebuah halaman web panjang yang bahkan lengkap dengan batas jalan dan gambar petanya.
Tempat apa itu? Itulah berbagai tempat di Perancis yang tidak dikontrol oleh Negara Perancis. Mereka berkisar dari dua zona pemukiman di kota tua abad pertengahan Carcassone hingga dua zona di kota padat dengan warga Muslim, Marseilles. Dengan demikian, hampir tidak ada kota di Perancis yang tidak punya ZUS. ZUS mulai hadir pada penghujung tahun 1996 dan diperkirakan hampir 5 juta orang berdiam di kawasan-kawasan itu pada tahun 2004.
Komentar: Nama yang jauh lebih tepat untuk berbagai zona pemukiman itu adalah Dar al-Islam, tempat kaum Muslim berkuasa. (14 Nopember 2006)
Penambahan 28 Nopember 2006: Untuk sekedar menambah wawasan tentang betapa buruknya situasi itu, para polisi si Lyons pun melakukan aksi demonstrasi pada 9 Nopember lalu, menolak "kekerasan terhadap kekuatan tatatertib." Soalnya menjadi agak menyedihkan ketika polisi justru harus berdemonstrasi di jalanan menentang para penjahat.
Penambahan 5 Januari 2008: Dalam sebuah pernyataan yang sangat menakjubkan, Michael Nazir-Ali, uskup Pakistan kelahiran Rochester menulis dalam Harian Daily Telegraph seputar situasi itu di Inggeris Raya.
Ideologi ekstremisme Islam telah kembali muncul di seluruh dunia. Salah satu akibatnya adalah banyak kaum muda semakin jauh teralienasi dari bangsa tempat mereka bertumbuh besar sekaligus mengubah komunitas-komunitas yang sudah terpecah belah itu menjadi "zona larangan bepergian", di mana sikap patuh terhadap ideologi itu menjadi tanda bahwa mereka diterima. Semua yang berbeda agama atau ras mungkin mengalami kesulitan untuk berdiam atau bekerja di sana akibat sikap permusuhan dari mereka.
Penambahan 16 Januari 2008: Paul Belien dari Brussels Journal menyajikan informasi mutakhir tengan ZUL, menghubungkannya dengan kejahatan terorganisasi sedemikian rupanya sehingga membantu pihak kepolisian untuk enggan campur tangan di dalamnya.
Mei [2007], para pemilih Perancis memilih [Nicholas] Sarkozy sebagai presiden karena dia berjanji memperbaiki otoritas republik atas 751 kawasan tidak boleh bepergian di Perancis, yang disebut sebagai zones urbaines sensible (ZUS, Zona Pinggiran Kota yang Sensitif), tempat 5 juta masyarakat atau sekitar 8 persen penduduk Perancis, berdiam. Selama bulan-bulan pertama berkuasa, dia terlampau sibuk dengan berbagai aktivitas lain, seperti menjual pembangkit nuklir kepada Libya termasuk bercerai dari isterinya. Ketika berbagai media Perancis menerbitkan gambar-gambar telanjang calon Ny. Zarkozy (yang ketiga), situasi di ZUS tetap sama "sensitif'-nya seperti sebelumnya.
Orang-orang dirampok bahkan dibunuh di ZUS, namun media memilih untuk tidak menuliskan berita ini. Ketika kerusuhan berskala besar meledak dan petugas serta petugas pemadam kebakaran diserang, perilaku para penjahat malah dimaafkan karena "kemiskinan" dan "rasisme" warga asli Perancis . Media Perancis tidak pernah memberi perhatian terhadap situasi suram akibat intimidasi dan situasi tanpa hukum di tempat 8 persen penduduk dan banyak masyarakat Perancis asli yang miskin dipaksa untuk hidup itu. Dengan demikian, rasisme kaum Muslim terhadap "orang kafir" tidak pernah diungkapkan.
Xavier Raufer, mantan petugas mata-mata yang memimpin departemen kejahatan terorganisasi dan terorisme pada Institut Kriminologi Universitas Paris II berpikir bahwa kejahatan terorganisasi bisa melakukan banyak menyusul sikap acuh-acuh pemerintahan Perancis yang sedang berkuasa.
ZUS merupakan pusat perdatangan narkoba. Menurut laporan terbaru Komisi Antardepartmen Penanggulangan Perdagangan dan Ketergantungan Narkoba Pemerintah Perancis (MILDT), ada 550.000 warga Perancis mengkonsumsi kanabis setiap hari dan sebanyak 1,2 juta lainnya mengkonsumsinya secara rutin. Konsumsi tahunan kanabis mencapai 208 ton dengan nilai pasar mencapai 832 juta Euro ($ 1,2 miliar dolar Amerika). MILDT memperkirakan antara 6000 dan 13 "bandar" kecil dan antara 700 dan 1400 bandar narkoba yang hidup dari menjual kanabis. Para bandar kanabis memperoleh hingga 550.000 Euro ($ 830.000) per tahun. Karena beroperasi dari dalam kawasan ZUS maka para bandar itu jadinya berada di luar jangkauan pihak berwewenang Perancis.
ZUS ada bukan saja karena kaum Muslim ingin hidup di kawasan sendiri berdasarkan budaya dan hukum Shariah mereka, tetapi juga karena kejahatan terorganisasi ingin beroperasi tanpa campur tangan hukum dan keuangan dari Negara Perancis. Tidak heran bahwa di Perancis, hukum Shariah dan mafia menjadi nyaris identik.
Penambahan 8 Maret 2008: Inggeris pun rupanya memilik "kawasan tidak boleh bepergian etnik" bagi para anggota militer yang berseragam. Harian Times (London) melaporkan hari ini tentang masalah ini lewat tulisan berjudul "Militer Berseragam di Tempat Umum "Berisiko Diserang Kaum Minoritas."
'Berbagai daerah tertentu di Inggeris masih tetap tertutup bagi petugas pria dan wanita dalam lingkungan militer, meski pemerintah menginginkan diberlakukannya seragam lengkap bagi semuanya di seluruh negeri, aku sebuah sumber Angkatan Udara Inggeris kemarin… satu sumber dari kalangan angkatan udara mengatakan para komandan militer harus mewaspadai hal-hal yang mungkin terjadi pada petugas yang mengenakan pakaian tempur dan pakaian militer lain di jalan raya. "Kami mewaspadai adanya perasaan peka, misalnya, di sejumlah komunitas etnis minoritas sehingga perlu berdialog dengan para berwewenang dan polisis setempat jika tidak ingin menimbulkan masalah."
Penambahan 6 Maret 2008: John Cornwell, sejarahwan dan komentator agama kenamaan, secara umum skeptis dengan kawasan tidak boleh bepergian yang disinyalir Uskup Nazir Ali. Meski demikian, dia melihat bahwa jika ada tempat yang sesuai dengan gambaran itu, maka itulah kawasan Bury Park di Luton. Karena itu dia menuliskan;
Seperti enclave, daerah kantong pemukiman lainnya, Luton mengalami banyak sekali insiden yang nampaknya memperlihatkan bahwa semua orang ingin berupaya membuat Bury Park sebagai kawasan tidak boleh bepergian bagi non-Muslim. Antara Nopember tahun lalu hingga bulan lalu, ada 18 kasus serangan terhadap lima rumah non-Muslim di kawasan itu. Semua insiden itu dicatat pihak kepolisian. Jendela rumah suami-isteri Harop, pemukim kulit putih berusia 80-an dilempari dengan batubata. Sementara itu, rumah Ibu Palmer, seorang janda keturunan India Barat, berusia 70 tahun telah empat kali diserang. Suatu ketika, sebuah gentong bir logam menghantam dan meluluhlantakkan jendelanya ketika dia tengah menonton televisi.
Berbagai serangan itu bukan aktivitas khas kelompok kaum radikal yang mengkotbahkan negara Islam global atau orang-orang yang berpotensi menjadi teroris. Menurut salah seorang informan saya dari MI5 berbagai aksi itu sudah berkembang menjadi "situasi normal" hingga akhir-akhir ini. Ian Middleton dari Kepolisian Bedfordshire mengatakan, "Para korban mempersepsikan bahwa para tetangga Muslim mereka pantas dikecam dan kami menghargai hal ini. Tapi kami sendiri meragukannya." Middleton menduga, seperti juga Margaet Moran, seorang anggota parlemen dari Luton Selatan, serangan itu dapat saja merupakan pekerjaan kelompok-kelompok kecil kaum ekstremis kulit putih yang berupaya membangkitkan kebencian rasial dan antaragama demi kepentingannya sendiri.
Saya kebetulan menyaksikan insiden "larangan bepergian" yang dapat dibandingkan dengan bagian lain Inggeris seperti ancaman atas kaum Muslim yang menjadi Kristen, serangan terhadap pekerja sosial yang sedang berkunjung ke kawasan itu termasuk terhadap berbagai fasilitas Bala Keselamatan.
Penambahan 28 Juli 2008: Informasi sejenis untuk kasus di Jerman dapat dibaca pada tulisan Kristian Frigelj berjudul, "Unter Feinden" yang diterbitkan oleh Die Welt. Seorang penggoda menerangkan, "Di banyak kawasan pinggiran kota di Jerman, polisi nyaris tidak berani masuk karena mereka bisa langsung diserang. Penambahan 29 Juli 2008: Terjemahan tulisan itu dapat dibaca dalam tulisan berjudul, "In Enemy Territory" (Berada Di Kawasan Musuh).
Penambahan 12 Januari 2009: Saya mempertimbangkan kemungkinan masuknya upaya politik dari diberlakukannya zona tidak boleh bepergian ini dalam tulisan saya berjudul, "Ada Zona Otonom Muslim di Barat? "
Penambahan 19 Juli 2010: Terkait masalah para penjahat Turki, polisi Jerman meminta mitra mereka dari Turki untuk datang ke Jerman dan melakukan patrol di kawasan-kawasan North Rhine-Westphalia yang bermasalah. Hari ini juga, Baron Bodissey mendiskusikan isu umum dari zona larangan bepergian dalam tulisannya, "Sekelemit Kisah Tentang Darl al-Islam).
Penambahan 22 Augustus2011: Soeren Kern kembali membahas masalah ini diikuti dengan tinjauan penting dalam tulisannya, "Zona Larangan Bepergian Eropa Bagi Perkembangan Kaum Non-Muslim."
Para ekstremis Islamis tengah memperbesar terciptanya kawasan "larangan bepergian" di berbagai kota Eropa yang terlarang bagi non-Muslim. Banyak zona "larangan bepergian" berfungsi sebagai negara-negara kecil yang diperintah berdasarkan hukum Shariat Islam. Pihak berwewenang negara penerima pun nampaknya benar-benar kehilangan kontrol atas kawasan-kawasan tersebut dan dalam banyak contoh bahkan tidak mampu lagi memberikan bantuan publik dasar seperti polisi, jasa pemadam kebakaran dan ambulans.
Kawasan "tidak boleh bepergian" merupakan hasil dari kebijakan multikultural selama beberapa dekade yang berhasil mendorong kaum imigran Muslim menciptakan masyararakat yang sama dengan negeri asalnya dan tetap terpisah daripada menjadi masyarakat yang menyatu dengan negara-negara Eropa penerima mereka.
Dia lantas melakukan penelitian atas berbagai perkembangan dari zona larangan bepergian di Inggeris Raya, Perancis, Belgia, Jerman, Italia, Belanda dan Swedia.
Penambahan 4Agustus 2012: Kementerian Dalam Negeri Perancis menciptakan sebuah bentuk baru zona larangan bepergian. Namanya, Zones de Sécurité Prioritaires (ZSP), atau Zona Keamanan yang Diprioritaskan (Priority Security Zones). Kelompok pertama ZSP terdiri dari 15 kawasan yang pada dasarnya didiami mayoritas muslim dari kota-kota besar seperti Lille, Paris, Strasbourg, Lyons, Marseilles serta yang berada di Guyana Perancis. Penambahan 24 Agustus 2012: Soeren Kern menjelaskan keberadaan zona-zona baru itu dalam tulisan berjudul, "Perancis Berupaya Mengklaim Kembali 'Zona Larangan Bepergian."
Penambahan 16 Januari 2013: Hari ini, saya berkesempatan bepergian ke mana-mana ke sejumlah banlieues (daerah pinggiran kota) sekitar Paris, termasuk ke kawasan Sarcelles, Val d'Oise dan Seine Saint Denis. Kunjungan itu terlaksana setelah saya telah mengunjungan selama bertahun-tahun kawasan yang didominasi kaum imigran (dan Muslim) di Brussels, Kopenhagen, Malmö, Berlin dan Athena.
Ada sejumlah pengamatan saya:
- Bagi orang Amerika yang berkunjung ke sana, kawasan-kawasan ini lebih mendingan, bahkan membosankan dan sepi. Kita yang tahu Bronx dan Detroit mengharapkan ada neraka perkotaan di Eropa juga, tetapi kawasan-kawasan itu nampak bagus. Kawasan imigran memang tidak bisa dikatakan indah, tetapi bangunan-bangunannya utuh, dengan lingkungan sekitarnya yang sangat hijau mempesona dan tatatertib pun terjaga.
- Ada sejumlah kawasan yang tidak sepenuh masuk zona larangan bepergian, tetapi, nomenklatur Perancis secara tepat mengatakan, "zona-zona perkotaan yang sensitive." Pada situasi-situasi normal, tempat-tempat itu tidak terancam, tempat yang biasa. Tetapi itu pun tidak mudah diramalkan dengan adanya aksi pembakaran mobil, serangan atas para petugas negara (termasuk polisi) dan adanya berbagai aksi kerusuhan.
Setelah pertama kali mengalaminya langsung, saya menyesal menyebut kawasan itu zona larangan bepergian (no-go zones).
Pemandangan khas di kawasan komersial "94," salah satu kawasan Muslim paling padat Perancis. |
Perumahan yang khas. |
Penambahan 11 Nopember 2013: Andrew Harrod mendiskusi masalah ini di Bonn lewat tulisannya, "Germany's Sharia No-Go Zones" (Zona Larangan Bepergian Shariah di Jerman)
Penambahan 1 Oktober 2014: Pihak Kepolisan Swedia menerbitkan laporan atas 55 kawasan yang semakin tinggi aksi kejahatannya berjudul, En nationell översikt av kriminella nätverk med stor påverkan i lokalsamhället (Survei Nasional atas Jaringan Berpengaruh Luas dalam Komunitas Lokal). Tidak ada suku yang disebutkan dalam penelitian itu, namun banyak terjadi pada kawasan dengan mayoritas berpenduduk Muslim.
Penambahan 13 Januari 2015: Nigel Farage, Pemimpin Partai Independen Ingger mengatakan bahwa hampir semua kota besar Perancis memilik "zona larangan bepergian" tempat warga non-Muslim termasuk polisi tidak bisa masuk:
Fenomena ini sungguh terjadi di seluruh penjuru Eropa. Nyaris di semua kota besar Perancis kita punya zona larangan bepergian. Secara buta kita pun alihkan pandangan dari para pendakwa kebencian dari Timur Tengah yang terus berdatangan ke sini yang mengatakan berbagai hal sehingga kita yang lain bakal ditangkap. Di berbagai bagian Inggeris utara, kita menyaksikan sebagian besar pasangan seksual para gadis di bawah umur yang dilakukan para pria Muslim. Dan untuk semua ini, kita pun menyaksikan hukum pun tidak diterapkan setara untuk semuanya ini. Kita pun menyaksikan satuan kepolisian tidak melakukan pekerjaan mereka karena kita mengalami semacam ketakutan moral. Kita mengalami imigrasi massal dan sepenuhnya tanpa memeriksa detil-detil atas orang-orang yang datang ke negara kita. Kita biarkan ghetto besar berkembang dan ketika mereka menentang isu-isu penting, kita pun benar-benar tidak mau melihat diri dengan mereka sehingga tempat kita berdiam pun menjadi kacau balau. Kita memang sudah melenceng sangat parah … Jadi, ke manapun menengok, anda melihat mata buta ini beralih dan anda melihat bertumbuhnya ghetto-ghetto di mana polisi dan semua agen hukum yang wajar mundur dari sana di sanalah hukum Shariah masuki."
Dia lantas menambahkan bahwa dia "berharap dan berdoa" bahwa zona larangan bepergian yang sama tidak berkembang di kota-kota Inggeris.
Penambahan 14 Januari 2015: Jack Sommers, reporter sebuah suratkabar berbasis di Inggeris, Huffington Post, mengajukan serangkaian pertanyaan kedada saya seputar ZUS dan tempat yang hampir serupa di mana pun di Eropa:
Dapatkah kau jelaskan tempat-tempat yang anda kaukunjungi secara lebih rinci. Apakah kesanmu sebelum mengunjungi tempat-tempat itu? Apakah secara pribadi kau merasa aman berkunjung ke sana? Apakah kau pikir ada benarnya klaim yang dibuat polisi dan kaum non-Muslim yang takut berkunjung?
Saya menjawab:
Saya pernah mengunjungi kawasan-kawasan yang didominasi imigran (yang umumnya kaum Muslim di Brussels, Copenhagen, Malmö, Stockholm, Berlin, Paris dan Atena, Dalam kasus Paris, saya menghabiskan waktu baik di Bellevile dan di kawasan pinggiran kota seperti itu seperti Sarcelles, Val d'Oise dan Seine Saint Denis.
Sebelum bepergian, saya membayangkan kawasan-kawasan itu sama dengan kawasan-kawasan Amerika Serikat yang paling parah seperti Bronx atau Detroit dengan gedung-gedung tua memucat, ancaman di jalanan dan orang luar yang merasa sangat tidak disambut baik.
Pengalaman saya berawal pada 2007, terkecoh dengan harapan ini. Semua kawasan para imigran terlihat terjaga sangat baik, dengan jalanan aman tanpa perasaan intimidasi. Saya berjalan keliling, biasanya dengan kamera di tangan dan merasa santai. Saya pun tidak menemukan masalah sama sekali.
Ini memperlihatkan bahwa ada alasan mengapa pemerintah Perancis menyebut kawasan ini sensible (sensitif, rawan). Mereka punya banyak patologi social (pengangguran, narkoba, ekstremisme politik), mereka bergolak marah dengan antagonism terhadap mayoritas masyatakat dan cenderung mudah melancarkan aksi kekerasan.
Jadi, dari sudut pandang seorang warga Amerika, kawasan-kawasan ini terasa agak membingungkan; berpotensi bahaya ya, tetapi, pada saat-saat normal, terlihat sangat wajar tanpa pratanda sama sekali. Jadi, istilah zona larangan bepergian tidak secara tepat menggambarkan situasi di lapangan.
Penambahan 17 Januari 2015: Penelitian terhadap istilah no-go zones, zona larangan bepergian yang merujuk kepada tempat kediaman kaum Muslim di Barat dilakukan oleh seseorang yang menyamarkan diri sebagai Yoel Natan. Dia menemukan istilah itu pertama kali digunakan dalam website saya, DanielPipes.org. Seorang warga Australia yang menyebut dirinya "bosan" menulis pada 22 Maret 2006 bahwa "Di Sydney, Australia, kami punya kawasan luas kota kami yang dianggap sebagai zona larangan bepergian."
Selanjutnya, istilah itu digunakan seorang analis Norwegia yang menyebut dirinya, Fjordman, pada 13 Juli 2006. Dia mendefenisikan, "zona larangan bepergian Muslim" sebagai tempat "di mana apa pun yang merepresentasikan institusi Barat ( truk kantor pos, petugas pemadam kebakaran, bahkan perusahaan-perusahaan pengangkutan surat) rutin diserang dengan bom Molotov.
Kemudian, saya menggunakan istilah istilah itu pada Nopember 2006.