Baru dua belas tahun lalu, Republik Turki benar-benar dilihat sebagai pendukung sekutu NATO, model negara Islam pro-Barat dan jembatan antara Eropa dan Timur Tengah. Juga ada ikatan militer yang kuat mengikatnya dengan Pentagon yang melandasi berbagai ikatan ekonomi dan kebudayaan yang lebih luas dengan masyarakat Amerika. Tidak mengherankan bahwa bagi kita para pengamat Timur Tengah, berada di Ankara dan kota-kota Turki lainnya menjadi oasis menyegarkan dari huru-hara kawasan ini.
Dan kini, sejak pemilu 2012 yang masih terasa mengagumkan hingga kini, negara itu secara dramatis berubah arah. Pertama-tama perubahan terjadi pelahan kemudian cepat meningkat sejak pertengahan 2011. Yaitu ketika pemerintah justru melanggar undang-undangnya sendiri, dengan berubah menjadi pemerintahan otokratis serta bersekutu dengan musuh-musuh Amerika Serikat. Orang-orang yang sebelumnya sangat enggan untuk mengakui adanya pergeseran ini pun, terpaksa melakukannya. Bila Barack Obama memasukkan pemimpinTurki paling dominan, Recep Tayip Erdogan itu dalam daftarnya sebagai satu dari lima teman asingnya terbaik pada 2012, maka dia sebetulnya telah memperlihat perubahan sikap yang cukup besar. Soalnya, saat pengangkatan resmi Erdogan sebagai presiden beberapa pekan lalu, Obama hanya mengirimkan kuasa usahanya mewakili kehadirannya kala itu. Ini, benar-benar tamparan di wajah.
Obama dan Erdoğan, bukan lagi teman terbaik. |
Apakah penyebab pergeseran ini? Mengapa Turki menjadi busuk?
Latar belakang
Pemahaman terhadap situasi masa kini yang tidak diharapkan mempersyaratkan dilakukannya peninjauan kembali sekilas kepada masa Kekaisaran Ottoman. Berdiri pada 1299, Kekaisaran Ottoman menguasai bagian penting benua Eropa (terutama kawasan Balkan, yang diberi nama sesuai kata Turki untuk gunung). Posisi itu menjadikannya satu-satunya pemerintahan Muslim yang terlibat secara mendalam dengan Eropa ketika masyarakat Kristen Barat tampil sebagai masyarakat terkaya dan terkuat di planet bumi. Ketika Kekaisaran Ottoman relatif melemah dibanding kekuasaan Eropa lain selama berabad-abad maka diplomasi negara-negara Eropa berupaya mencari cara mengalahkannya (Masalah Kawasan Timur). Dengan demikian, kekaisaran itu lantas dipandang sebagai mangsa potensial mereka (pria sakit dari Eropa).
Sementara itu, dari sudut pandang Kekaisaran Ottoman, masalah berkepanjangan yang tidak terselesaikan berkaitan dengan apakah yang hendak diadopsi dari Eropa dan apa yang hendak ditolak. Secara umum, Kekaisaran Ottoman melihat perlunya inovasi militer dan medis. Dalam bidang lain, mereka pun sibuk sekali. Ketika Yahudi misalnya menerbitkan jenis buku pertama yang bisa dipindah-pindahkan milik kekaisaran pada 1493, kalangan Muslim harus menunggu hingga 1729 untuk bisa mengikutinya. Dengan kata lain, Ottoman membutuhkan proses yang pelahan, sulit dan sporadis untuk bisa mengikuti cara Eropa.
Di antara berbagai atrtbut lainnya, Atatürk adalah pesolek bergaya Barat. |
Dalam situasi seperti ini, Turki kalah perang pada Perang Dunia I. Kenyataan ini mendorong jenderal pasukan pemenang perang, Mustafa Kemal untuk merebut kekuasaan, mengakhiri kekuasan kekaisaran, karena dia lebih menyukai berdirinya Republik Turki, yang jauh lebih kecil dan terbatas terutama pada penduduk berbahasa Turki. Selama 15 tahun pertama kehidupan republik yang baru itu, pada 1923-38, Mustafa Kemal (yang menamakan dirinya Ataturk), menguasai negeri itu. Bagai orang Barat yang sangat ingin merendahkan Islam, dia menerapkan rangkaian perubahan radikal yang menandai negeri itu hingga hari ini. Dia menjadikan Turki sangat jelas berbeda dari Timur Tengah lain termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pemisahan kekuasaan politik dan agama (laicism), penerapan kode hukum berbasis cetak biru Eropa, abjad Latin dan penggunaan nama panggil keluarga.
Dalam sejumlah kasus Ataturk terbukti berhasil maju pesat di depan warganya. Dia, misalnya mengusulkan menaruh bangku-bangku panjang di masjid, mengubah cara adzan berbahasa Arab untuk diganti dengan bahasa Turki. Namun, berbagai upaya untuk meninggalkan sekularisme yang dikembangkannya, justru dimulai tepat setelah dia meninggal dunia pada 1938. Namun, militer Turki, dalam dwi-perannya sebagai kekuatan politik tertinggi dan warisan Ataturk yang sadar diri membatasi berbagai perubahan itu. Upaya pertama yang serius untuk mengubah militer berawal pada masa datangnya demokrasi era 1950-an. Banyak upaya lanjutan dilakukan, namun, tidak satu pun berhasil.
Bagaimanapun, militer bukan kekuatan yang memungkinkan kemampuan kreativitas dan intelektual bertumbuh kembang. Karena itu, walau adagium Ataturk terus meneruskan diulang-ulang selama beberapa dekade, namun belakangan mandeg bahkan mati. Seiring munculnya berbagai perbedaan pendapat, partai-partai yang berpegang pada visi era 1920-an Atartuk justru tidak mengalami kemajuan bahkan merosot menjadi organisasi-organisasi korup yang berjuang untuk meraih kekuasaan. Pasca-1990, pemerintahan pintu berputarnya kehilangan sebagian besar suara para pemilih.
Kebangkitan AKP
Bermaksud meraih kesempatan, Erdogan dan politisi Islamis, Abdullah Gul, mendirikan Partai Pembangunan dan Keadilan pada 2001. Sembari mengumbar janji menciptakan pemerintah yang baik dengan pertumbuhan ekonomi berbasis nilai-nilai konservatif, partai itu memperlihatkan kinerja mengesankan pada pemilu resmi pertamanya Nopember 2002. Partai baru itu mampu meraih tepat sepertiga jumlah pemilu. Selain AKP, Partai Rakyat Republik (PKK) meraih suara lebih dari 10 persen pemilih seperti dipersyaratkan konstitusi sehingga bisa mendapatkan wakil dalam parlemen. Namun, partai-partai lain kalah karena para pasha, tokoh partai tuanya menolak kerja sama antarmereka.
Keenggan para pemimpin partai untuk bekerja sama menyebabkan hampir separuh lebih suara pemilih sia-sia. Dengan demikian, AKP yang meraih 34 persen suara pemilih justru berubah menjadi 66 persen kursi di parlemen sehingga memenangkan partainya. Pada pemilu berikutnya, pada 2007 dan 2011, partai-partai lawan belajar untuk tidak membuang sia-sia suara mereka sehingga AKP sebaliknya mengalami nasib ironis. Soalnya, ketika persentase suara pemilihnya mencapai 46 persen pada Pemilu 2007 dan 50 persen pada Pemilu 2011, dia tetap kehilangan kursi di parlemen, masing-masing menjadi 62 persen dan 59 persen.
Erdogan pertama-tama berjuang mati-matian mengontrol diri dengan memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi dan pemulihan kehidupan publik Turki yang rusak. Seperti upayanya menyelesaikan masalah penolakan sekian lama untuk mengakui bahwa masyarakat Kurdi bukan warganegara Turki, upaya menyelesaikan masalah Siprus dan bergabung dengan Masyarakat Eropa. Dia pun bergerak dari satu kekuatan menuju kekuatan lain, dengan berusaha memulihkan angka pertumbuhan ekonomi seperti Cina dan tampil sebagai perantara kekuasaan di Timur Tengah (sebagai contoh antara Yerusalem dan Damaskus) serta tampil sebagai Islamis kesukaan Barat. Dalam proses ini, dia nampaknya menyelesaikan masalah lama yang bertahan berabad-abad antara Islam versus Barat dan menemukan campuran keduanya yang sangat berhasil.
Menguasai militer sepenuhnya tetap merupakan tujuan jangka panjang AKP. Hal itu merupakan kondisi yang perlu supaya bisa mencapai tujuan akhir, yaitu untuk mengubah revolusi ala Ataturk kemudian mengembalikannya kepada tatatertib dalam negeri dan internasional dengan standar Ottoman. Karena alasan yang masih tidak jelas, target itu tercapai dengan sangat mudah. Para pemimpin angkatan bersenjata diam-diam pun memaklumi teori konspirasi yang ditimpakan kepada mereka. Sejumlah perwira tinggi angkatan bersenjata ditangkap bahkan akhirnya panglima militernya pun diberhentikan. Harapan sebelumnya bahwa bakal terjadi drama tingkat tinggi ternyata justru nyaris berakhir seperti rengekan memalukan.
Setelah militer menyerah, Erdogan mengarahkan sasaran tembak kepada para pesaingnya dalam negeri. Khususnya terhadap sekutu jangka panjangnya, anggota kaum Islamis, Fethullah Gullen, pemimpin jaringan gerakan nasional yang sangat luas yang ditempatkan dalam insitusi kunci pemerintahan. Gaya flamboyan Erdogan yang popular berlangsung sangat baik dengan para konstituennya. Khususnya, mereka yang merasa tertindas oleh ideologi Ataturkisme. Terdorong dengan kesadaran baru ini dia pun muncul sebagai pembual besar dalam sebuah demonstrasi di Gezi Park, Juni 2013. Dia menentang sesama warganegara dengan kecaman-kecaman penuh penghinaan bahkan menggugat ke pengadilan sebuah kelompok penggemar sepakbola dengan tuduhan berupaya menjatuhkan pemerintahannya.
Berbagai janji rupanya sulit dipenuhi. Desember 2013, bukti dramatis korupsi partai pimpinan Erdogan, AKP mengemuka. Bukannya membuat partai mundur, dia malah meminta sejumlah polisi yang menyingkap masalah ini ditangkap. Tindak kekerasan terus meluas hingga dia pun menentang media masa, parlemen bahkan sistem keadilan. Ketika keranjingan melancarkan kritik-kritiknya, Erdogan justru menggembirakan basis partainya, membuatnya memenangkan setiap Pemilu, meraih lebih banyak kekuasaan pribadi, sehingga mengingatkan sejumlah kalangan pada kasus Hugo Chavez di Venezuela.
Rakyat Turki menilai Erdoğan dan Hugo Chávez (sama-sama lahir pada 1954) punya sifat-sifat penting yang sama. |
Kebijakan Luar Negeri
Hubungan internasional mengikuti kerangka kerja yang sama, dengan perangkat tujuan yang sederhana pada awalnya. Belakangan, seiring dengan berjalannya waktu, hubungan internasional memiliki sasaran lebil luas dengan semangat permusuhan yang juga lebih besar. Kebijaksanaan "Nol masalah dengan para tetangga," diajukan penasehat politik luar negeri utamanya, Ahmet Davutoglu, mulai berhasil. Sukses ini terlihat pada liburan bersama dengan tirani Damaskus, membantu para mullah Taheran agar tidak mendapat persetujuan dan sama-sama mendapat untung jika ada hubungan suam-suam kuku dengan negara Yahudi. Musuh bebuyutan seperti Yunani dan Amernia pun bahkan mendapatkan keuntungan dari daya tariknya yang ofensif ini. Kekuasaan besar memang berusaha menjalin hubungan yang baik. Impian neo-Ottoman AKP agar untuk memperolah keunggulan di antara para bekas negara jajahannya nampaknya tercapai.
Tetapi belakangan, Erdoğan memperlihatkan sikap sangat sombong di luar negeri, sama seperti diperlihatkannya di dalam negeri. Banyak sekali ulasan seputar masalah ini. Karena itu, jika separuh pemilih Turki menyambut gembira ucapan-ucapannya yang kasar, sejumlah orang asing pun melakukan hal yang sama. Ketika berbagai pergolakan Arab mengubah Timur Tengah mulai terjadi pada 2011, Erdogan dan Davutoglu pun menyaksikan diri gagal mencapai sukses, pada tingkat di mana Ankara memiliki hubungan yang berbahaya dengan banyak negara tetangganya.
Kehilangan Erdogan paling dramatis adalah terputusnya hubungan dengan Bashar Al-Assad dari Suriah. Kehilangan itu menimbulkan banyak dampak negatif. Seperti, jutaan pengungsi berbahasa Arab yang tidak disambut baik membanjiri Turki, perang antarwakil pemerintahan dengan Iran, terhambatnya route perdagangan Iran menuju banyak kawasan Timur Tengah dan terciptanya pasukan pejuang jihad yang menghasilkan Negara Islam dan pemerintahan kekalifahan yang diproklamasikannya sendiri. Dukungannya terhadap kelompok Sunni Irak menyebabkan jatuhnya hubungannya dengan Bagdad. Kebencian ala Nazi yang dilancarkannya kepada Israel mengakhiri ikatan regional Ankara yang paling kuat. Dukungan mati-matian Erdogan terhadap pemerintahan Persaudaraan Muslim di Mesir yang berakhir dalam satu tahun, 2012-2013, belakangan berganti dengan kebencian terbuka terhadap penggantinya. Berbagai ancaman yang dilancarkannya terhadap Siprus setelah negara kecil itu menemukan gas, justru lebih memperumit hubungan saling bermusuhan kedua negara. Apalagi, para kontraktor negara itu kehilangan lebih dari 19 miliar dolar Amerika dalam aksi anarki di Libya.
Secara internasional, langkah pura-pura Turki membeli sistem peluru kendali Cina menyebabkan relasi keamanannya dengan Washington sekali lagi berada pada titik nadir. Imbauan agar jutaan warga Turki yang tengah berdiam di Jerman supaya tidak berasimilasi dengan negeri itu menimbulkan ketegangan dengan Berlin. Ketegangan pun muncul karena kemungkinan Ankara berperan dalam pembunuhan tiga warga Kurdi di Paris.
Berbagai aksi kemarahan menyebabkan Ankara nyaris tidak memiliki teman. Dia hanya punya satu relasi hangat dengan persisnya satu pemerintahan, Qatar (penduduknya 225.000 jiwa) beserta Pemerintah Regional Kurdistan di Irak utara dan Persaudaraan Muslim, termasuk dengan Hamas dan organisasi-organisasi yang bertumbuh di Suriah. Anehnya, terlepas dari kegagalan yang sangat mengerikan itu, Erdohgan justru terus mengesahkan kebijakan "Nol Masalah" yang gagal itu.
Berbagai Prospek
Catatan keberhasilan Pemilu yang mengesankan termasuk meluasnya kekuasaan Erdogan menghadapi tiga tantangan selama tahun mendatang. Yaitu, Pemilu, tantangan psikologis dan tantangan ekonomi. Naiknya dia ke kursi kepresidden pada 28 Agustus mempersyaratkan perubahan konstitusional baginya untuk menjadi presiden eksekutif yang kuat yang diinginkannya bakal terjadi. Sebaliknya, perubahan-perubahan itu mempersyarakat partainya, AKP untuk berhasil baik dalam Pemilu nasional 2015 nanti. Atau dengan kata lain, untuk membuat konsesi mendasar dengan Kurdi Turki agar bisa meraih dukungan mereka demi ambisi-ambisinya. Kini, ketika partai menemukan dirinya di bawah kepemimpinan Davutoglu yang sama sekali belum teruji namun baru-baru ini dipromosi dari menteri luar negeri menjadi perdana menteri, maka kemampuannya untuk mendapatkan kursi di parlemen dipertanyakan.
Kedua, nasib Erdogan sangat tergantung pada kesediaan Davutoglu untuk terus bertahan sebagai penasehatnya. Jika Davutoglu berambisi tampil mandiri, dan kemungkinan ini sangat besar, Erdogan bakal tahu bahwa dia nyaris tidak bisa menduduki jabatan resmi.
Akhirnya, ekonomi Turki yang goncang bergantung pada uang panas asing yang berusaha memperoleh angka pengembalian lebih tinggi, bergantung pada aliran uang tidak tercatat dari negara-negara Teluk yang sumber namun tidak bisa dipastikan kelanjutannya serta begitu banyak proyek-proyek infrastruktur agar ekonomi terus bertumbuh. Di sinilah, perilaku Erdogan yang sangat keliru (berbeda dari bualan besar yang disebutkannya sebagai "lobi kepentingan" dan berbeda dari agen-agen pemberi rating seperti Moody's dan Fitch dan bahkan berbeda dari suratkabar New York Times) mengurangi minat untuk berinvestasi lebih jauh ketika utang piutang besar yang bergelantungan mengancam sehingga menyebabkan negara jatuh bangkrut.
Uang panas digunakan untuk infrastruktur di Turki, termasuk Jembatan Bosporus yang ketiga. |
Jadi, ketika catatan keberhasilannya yang tidak terpatahkan itu mendorong orang untuk bertaruh soal kelanjutan dominasi Erdogan atas politik Turki, sejumlah hambatan besar memang ada dan dapat mengakhiri kilatan keberhasilannya selama ini. Hubungan kerja sama yang dibangunnya untuk belajar dari Barat sembari tetap setia kepada cara Islam, mungkin membuatnya jatuh di dalamnya.
Kebijaksanaan Amerika Serikat
Dengan 75 juta penduduk usia muda, posisinya yang sentral serta kekuasaannya mengawasi saluran air penting yang berdampingan dengan 8 negara tetangga yang nyaris semuanya bermasalah, Turki memang sangat disukai para sekutunya. Di samping itu, dia pun menikmatinya posisinya yang unggul di Timur Tengah, di antara negara-negara berbahasa Turki mulai dari Bosnia hingga Xinjiang dan di antara masyarakat Muslim di seluruh dunia. Aliansi Amerika Serikat – Turki yang berawal dengan Perang Korea menjadi sangat menguntungkan Washington sehingga dapat dipahami jika Amerika tidak rela kehilangan sekutunya itu.
Satu pihak saja memang tidak bisa mempertahankan sebuah aliansi. Rekor hubungan antarnegara Ankara dengan Taheran, dukungannya terhadap Hamas dan Negara Islam, berbagai upayanya merusak otoritas Bagdad, sikapnya yang membahayakan Israel termasuk ancamannya atas Siprus menyebabkan keanggotaan Turki di NATO dipertanyakan sekaligus dinilai sangat berwajah ganda.
Washington tampaknya terpaksa mengisyaratkan bahwa taktik "menekan" yang bisa meraih suara di dalam negeri tidak bisa dipakai Turki di seluruh dunia. Wall Street Journal pun sangat membantu mengusulkan basis militer Amerika pindah dari Turki menuju kawasan Kurdi Irak. Pemerintahan diktatorial Erdogan seharusnya ditolak jika Ankara tetap menduduki Siprus, terus mendukung kaum teroris sembari tetap memperlihatkan sikap antisemitnya. Selain berbagai langkah itu, sudah tiba saatnya bagi pemerintah Amerika Serikat untuk menjelaskan bahwa dia bakal mendorong Turki berhenti dari keanggotaannya dan akhirnya keluar dari NATO, kecuali jika ada perubahan-perubahan penting terjadi secara cepat di kawasan itu.
Jika Erdogan ngotot bertindak ala bajingan (rogue), maka begitulah yang seharusnya mantan sekutunya memperlakukannya.
Pipes (DanielPipes.org) adalah Presiden Forum Timur Tengah. © 2014 by Daniel Pipes. All rights reserved.
* Saya menggunakan judul "Siapa kehilangan Turki" (Who Lost Turkey) pada 2010 dan pada 2011 menulis dengan judul "Apakah Turki Berubah Menjadi Bajingan" (Is Turkey Going Rogue?).