MengapaTimur Tengah begitu terasing dari kehidupan modern, lamban dalam segala hal mulai dari persoalan melek huruf hingga standar hidup, mulai dari militer yang gagah berani hingga perkembangan politik?
Ada sebuah buku yang secara sangat mendalam mengupas masalah ini ditulis oleh Philip Carl Salzman, seorang professor pada McGill University. Dengan judulnya yang sangat mengecoh Kebudayaan dan Konflik di Timur Tengah (Culture and Conflict in the Middle East) (terbitan Prometheus), sang penulis menawarkan interpretasi yang gamblang dan asli atas masalah-masalah Timur Tengah (interpretation of Middle Eastern problems).
Sebagai seorang antropolog, Salzman memulai penulisan bukunya dengan memberikan sketsa dua pola kekuasaan yang secara historis mendominasi Timur Tengah yaitu otonomi suku dan sentralisme tirani. Dijelaskannya, pola pertama sangat penting bagi kawasan itu dan menjadi kunci utama dalam upaya memahami jejaring kekuasaan. Pemerintahan sendiri oleh suku-suku berbasiskan apa yang disebut Salzman sebagai oposisi berimbang (balanced opposition). Dengan mekanisme itu, semua warga Timur Tengah yang berdiam di padang gurun, pegunungan dan sabana melindungi kehidupan dan anggota tubuhnya dengan mengandalkan keluarga besar mereka.
The New Yorker's mengartikan pola-pola politik Timur Tengah. |
Jalinan sistem yang sangat rumit sekaligus halus itu mengarah kepada; 1. Tiap orang mengandalkan keluarga pihak ayah (disebut agnates) untuk melindungi diri 2. Unit-unit keluarga pihak ayah sama besar saling bertentangan satu sama lain.
Dengan demikian, keluarga inti menentang keluarga inti lain, klan menentang klan dan seterusnya, hingga pertentangan yang mengatasi batas suku. Sistem ini terangkum dalam peribahasa Timur Tengah yang sangat terkenal, "Saya melawan saudara saya, saya dan saudara saya melawan sepupu saya. Akhirnya, saya, saudara dan sepupu saya melawan dunia."
Sistem ini memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya, solidaritas yang saling terkait memungkinkan munculnya kemerdekaan yang bermartabat dari negara-negara yang represif. Negatifnya, system itu berarti ada konflik yang tidak bakal berakhir antarberbagai pihak. Tiap kelompok masyarakat punya bermacam-macam musuh yang bersumpah melawan kelompok masyarakat yang dilawannya sehingga permusuhan diteruskan dari generasi ke generasi.
Otonomi suku telah berhasil mendorong sejarah Timur Tengah, sebagaimana diamati sejarahwan kenamaan, Ibn Khaldun enam abad silam. Ketika sebuah pemerintahan goncang, federasi berbagai suku besar membentuk pemerintahan baru. Mereka kemudian meninggalkan lahan kering gersang mereka, bergerak menjarah kota-kota dan tanah-tanah pertanian. Seusai menjarah negara, suku-suku itu tanpa malu-malu mengeksploitasi kekuasaan dan mengedepankan kepentingan sendiri. Dengan kejam mereka mengeksploitasi penduduk jajahan hingga kekuasaan mereka kembali terguncang dan lingkaran kekuasaan baru pun kembali dimulai.
Keberhasilan Salzman seperti terlihat dalam buku ini terletak dalam kemampuannya ide-ide Ibn Khaldun. Dia memperlihatkan betapa dua pola pemerintahan sendiri suku dan sentralisme tirani terus memaknai hidup di Timur Tengah kemudian menggunakannya untuk menjelaskan gambaran-gambaran paling khusus kawasan itu. Misalnya yang berkaitan dengan otokrasi, sikap politik tanpa belas kasihan dan kemunduran ekonomi. Sistem pemerintahan itu berkaitan dengan perang pembasmian melawan terhadap Israel dan lebih umum lagi, "perbatasan berdarah" Islam (bloody borders) yaitu rasa permusuhan yang meluas terhadap non-Muslim.
Buku karya Philip Carl Salzman "Culture and Conflict in the Middle East," (Budaya dan Konflik di Timur Tengah) terbitan Prometheus Books. |
Pola ganda bahkan menjelaskan aspek kunci kehidupan keluarga Timur Tengah. Perintah untuk mendekatkan diri pada keluarga ayah ketimbang kepada tetangga, urai Salzman menyebabkan orang mengembangkan taktik mengunggulkan keturunan lelaki mereka. Pendekatan ini memiliki sejumlah implikasi yaitu:
- Menikahkan para saudari dengan para sepupu sebagai cara agar keluarga bisa mendapat keuntungan dari kesuburan kandungan mereka.
- Mempraktekan poligini, perkawinan dengan beberapa wanita dengan demikian memperoleh keuntungan dari kesuburan beberapa wanita
- Mengamati sungguh-sungguh para perempuan keluarga lain, dengan harapan bisa menangkap basah mereka dalam suatu tindakan tidak bermoral. Dengan demikian, para para lelaki suku itu bisa didesak untuk membunuh serta merusak kesuburan para wanita itu.
Poin terakhir memperlihatkan bahwa oposisi berimbang secara luas terkait dengan adat-istiadat Timur Tengah yang sangat terkenal dengan "pembunuhan demi kehormatan" (honor killing). Prinsip demi kehormatan ini mendorong para saudara dapat membunuh saudari mereka, para sepupu membunuh sepupu mereka, para ayah membunuh para puteri mereka dan anak-anak membunuh ibu-ibu mereka. Seorang wanita hanya ditoleransi cacat celanya di tengah keluarga tapi bisa menyebabkan pembunuhan nyaris hanya ketika persoalan itu diketahui di luar rumah.
Lebih jauh lagi, oposisi berimbang berarti Timur Tengah kurang memiliki prinsip abstrak yang untuk mengukur tindakan-tindakan yang "menentang kriteria umum, tanpa mengabaikan afiliasi orang-orang tertentu." Sebaliknya, partikularisme yang mendalam mempersyarakatkan anggota keluarga untuk mendukung keluarga dekat melawan anggota keluarga jauh terlepas dari siapa yang mungkin bersalah. Para anggota suku dan penduduk, bukan warganegara, mendiami kawasan itu. Sebagian besar masyarakat Timur Tengah mempertahankan mentalitas ini pihak "kami" dan pihak "mereka" sehingga membahayakan pemerintahan berasaskan hukum dan konstitusionalisme. Akibat terjebak dalam pola-pola kuno ini, urai Salzman, masyarakat Timur Tengah "berkinerja butuk dilihat dari hampir semua kriteria; social, budaya, ekonomi dan politik." Ketika kawasan itu gagal memodernisasi diri, dia pun terus tertinggal.
Kawasan itu hanya dapat maju dengan cara meretas sistem afiliasi solidaritas kuno itu. "Kemajuan mungkin bukan dengan menggantikan kelompok-kelompok tradisional dengan kelompok-kelompok baru yang tertata rapi [seperti partai politik] tetapi dengan menggantikan kelompok dengan individu-individu." Bagaimanapun, individu akan bisa bergerak maju di antara masyarakat Timur Tengah, hanya ketika "untuk apa mereka ada itu jauh lebih penting ketimbang siapa yang mereka lawan."
Perubahan mendasar mungkin berlangsung selama beberapa dekade bahkan berabad-abad. Namun, analisis mendalam Salzman membuat kita memahami derita aneh kawasan itu sehingga bisa digunakan untuk mengidentifikasi solusi.
--------------------------------------------------------------------------------
Penambahan 24 Januari 2008: Saya menyempurnakan analisis teoritis itu dalam tulisan "Menerapkan Teori Philip Salzman Untuk Gaza" (Applying Philip Salzman's Theory to Gaza). Juga saya catat bahwa buku Gary S. Gregg, The Middle East: A Cultural Psychology (Timur Tengah: Sebuah Psikologi Budaya) (New York: Oxford University Press, 2005), halaman 4, menyebabkan pemikiran Salzman tentang kekhasan Timur Tengah sebagai pelengkap:
Selama berabad-abad Timur Tengah mencampuradukan tiga cara hidup; nomaden, petani pertanian dan perdagangan perkotaan—pada lahan kering, semi-kering yang berpadu dengan penggunaan budaya Arab dan Islam secara luas Islam sehingga berhasil membentuk suatu "wilayah budaya" dengan pola-pola pembangunan yang berbeda semenjak masa bayi hingga masa dewasa seseorang.***