Siapapun yang mengikuti penyelidikan kasus pembantaian sebuah keluarga Armenia (suami, isteri bersama dua puteri mereka), penganut (Katolik Orthodoks) Koptik yang berdiam di Jersey City, N.J. pertengahan Januari lalu sudah tahu siapa terduga yang dicuriga. Mereka adalah kaum Islamis yang benci kepada kaum imigran Mesir Kristen yang berani terlibat dalam polemik menentang Islam serta mencoba menobatkan kalangan Muslim menjadi Kristen.
Bagaimanapun, pihak berwewenang membutakan mata terhadap bukti lingkungan yang sangat luas. Dengan ngotot pihak berwewenang mengatakan "tidak ada fakta pada titik ini" yang memperkuat motivasi keagamaan dalam pembunuhan keluarga itu.
Bagaimanapun, jaksa penuntut menolak kenyatan bahwa semua empat anggota keluarga besar itu dibantai secara kejam sesuai ritual kaum Islamis (banyak tikaman pisau dengan kepala yang nyaris terpenggal). Bahwa Jersey City memang memiliki catatan tentang aktivisme kaum Islamis dan kekerasan pejuang jihad. Bahwa website www.paltalk.com menuliskan ancaman terhadap Hossam, keturunan Armenia. "Kami berencana melacakmu bagai seekor anak ayam kemudian membunuhmu."
Penegakan hukum tampaknya lebih memperhitungkan upaya menghindari serangan antiMuslim ketimbang menemukan pelaku kejahatan.
Sikap menolak sangat cocok dengan pola "semua peristiwa terlampau sama". Sebelumnya, saya mendokumentasikan adanya sikap enggan di New York untuk mengakui bahwa peristiwa Jembatan Brooklyn dan penembakan Empire State Building pada 1997 merupakan aksi terorisme. FBI misalnya lebih menganggap peristiwa Brooklyn Bridge sebagai "kemarahan di jalanan." Sedang pada kasus Empire State Building, Rudolph Giuliani mengatakan, "banyak, banyak sekali musuh yang ada dalam benak (penembaknya)." Pada pihak lain, pembantaian di Los Angeles, Juli 2002 awalnya menghilang begitu saja dan dianggap sekedar sebagai "keributan di tempat kerja. Sementara itu amukan para penembak jitu di jalan lingkar kota itu pada 2002 raib tanpa penjelasan. Pers pun dibiar menganggap berbagai peristiwa itu sama seperti faktor "hubungan keluarga yang sedang bermasalah."
Contoh-contoh ini merupakan bagian dari pola yang lebih besar lagi kemudian.
Pesawat kecil milik Charles Bishara Bishop di dekat sebuah bangunan di Kota Tampa. |
- Pembunuhan Rabbi Meir Kahane oleh anggota Islamis, El Sayyid Nosair pada 1990 pada awalnya dianggap polisis sebagai "resep obat atau yang cocok dengan depresi."
- Kecelakaan pesawat maskapai penerbangan EgyptAir 990 milik Mesir pada 1999. Insiden itu menewaskan 217 penumpang akibat seorang co-pilot menukikkan pesawat ke bumi. Aksi maut itu dilakukannya dengan iringan sebelas kali teriakan, "Saya andalkan Allah". Padahal, co-pilot seharusnya tidak diperbolehkan untuk berada dekat pengawas pesawat. Peristiwa maut itu tidak dijelaskan oleh Dewan Keselamatan Transportasi Nasional.
- Tabrakan pesawat kecil yang disengaja dilakukan pada sebuah gedung tinggi di kota Tampa oleh Charles Bishara Bishop yang bersimpati kepada bin Laden pada 2002, hingga kini tidak dijelaskan. Pihak keluarga bahkan sepakat menuduh bahwa insiden tersebut terjadi karena Bishop menggunakan obat jerawat, Accutane.
- Pembunuhan dengan kepala korban nyaris terpenggal di Houston 2003, memperlihatkan bahwa polisi tidak memahami "bukti apapun" bahwa kejahatan itu berkaitan dengan agama. Korbannya adalah warga Israel yang dibunuh oleh teman Saudinya yang baru saja menjadi anggota kaum Islamis.
Atau ini memang masalah khas dari pihak berwewenang Amerika.
- Serangan terhadap para tamu asing yang sedang makan siang di Hotel Semiramis, Kairo, Mesir pada 1993. Insiden yang menewaskan lima orang itu diselingi teriakan ala kaum Islamis, "Allahu Akbar." Bukannya menghukum, pemerintah Mesir justru terinspirasi untuk membebaskan sang pembunuh dan menganggapnya gila
- Pada 2000, dengan memanfaatkan palunya, seorang pria keturunan Afrika Utara menyerang sebuah bus pengangkut anak-anak sekolah Yahudi dekat Paris. Sambil menyerang pelaku berteriak, "Kalian bukan berada di Tel-Aviv!" Aksi brutal itu mendorong polisi menjelaskan bahwa serangan itu disebabkan oleh insiden lalu lintas.
- Kebakaran hebat yang memusnahkan sekolah menengah pertama Merkaz HaTorah di sebuah kota satelit Paris, dilukiskan oleh Menteri Dalam Negeri Perancis sebagai sekedar "berawal dari tindakan kejahatan." Padahal insiden itu mengerahkan 100 petugas pemadam kebakaran untuk mematikan api.
- Pembunuhan seorang Hasidic Jahudi yang sama sekali tidak memiliki catatan kejahatan ketika dia tengah berjalan di sebuah jalan di Antwerpen, dekat kawasan yang didominasi kaum Muslim menyebabkan pihak berwewenang Belgia hanya membungkam. Peristiwa yang terjadi pada 2004 itu dijelaskan oleh pihak berwewenang sebagai "Tidak ada tanda-tanda bahwa kebencian rasisme terlibat di dalamnya."
Telah saya kutipkan di sini 13 kasus sekaligus menyajikan informasi lebih jauh seputar insiden itu dalam weblog saya. Persoalannya, mengapa sikap enggan mengakui adanya terorisme kaum Islamis oleh pihak berwewenang terus saja berulangkali terjadi? Mengapa ada penyangkalan memalukan ini?
Terkait masalah ini, mengapa ada rasa enggan yang sama dalam menghadapi fakta seputar kaum ekstremis sayap kanan seperti dalam kasus pembunuhan seorang Hasidic Yahudi di luar restoran pizza (kosher pizzeria) oleh seorang pria berkepala plontos yang suka memaki-maki di Toronto, pada 2002. Kala itu, polisi tidak menganggap insiden itu sebagai kejahatan karena rasa benci? Padahal, kita tahu terorisme berimplikasi lebih banyak daripada sekedar resep obat-obatan yang berhuruf miring, kebuasan jalanan, amukan karena pengaruh bulan atau insiden industrial yang rada aneh. Semua peristiwa itu bisa diabaikan. Namun, terorisme kaum Islamis, sebaliknya justru mempersyaratkan adanya analisis atas motif-motif jihad dengan perhatian khusus pada kaum Muslim. Namun, langkah-langkah itu tidak disambut baik oleh pihak berwewenang.
Dengan demikian, polisi, jaksa penuntut umum dan politisi menghindarkan diri dari realitas kejam sekedar untuk menentram masyarakat lewat bahasa-bahasa gombal yang lazim diketahui. Perilaku gaya unta, perilaku yang mengentengkan masalah ini sangat membebani. Karena, siapapun yang menolak mengakui keberadaan musuh pasti tidak mampu mengalahkannya. Berpura-pura bahwa terorisme tidak terjadi nyaris menjamin bahwa peristiwa pahit ini akan terjadi.
Penambahan 8 Februari2005 update: Lihat contoh lebih banyak seputar persoalan ini pada tulisan, "Jauh Lebih Banyak Insiden Menolak Terorisme Kaum Islamis (More Incidents of Denying Islamist Terrorism).
Penambahan 21 Maret 2013: Saya jelas pola sikap enggan itu dalam artikel saya, Menyangkal Peran Islam dalam Teror: Penjelasan Tentang Penyangkalan (Denying Islam's Role in Terror: Explaining the Denial).