Halaman-halaman berikut ini menyajikan referensi tentang tentara Sub-Sahara Afrika yang berperang bahu membahu bersama kaum Muslim selama dua abad awal keberadaan Islam pada tahun 624 – 825. Saya sajikan informasi ini nyaris tanpa komentar karena percaya informasi ini penting sehingga saya tidak siap memanfaatkannya sendiri. Berbagai informasi ini memaparkan wawasan seputar tujuan perdagangan budak Afrika, ketrampilan militer bangsa Afrika dan peran kaum kulit hitam dalam peradaban Islam.
Artikel ini hanya berkaitan dengan masa awal Islam, dua abad pertama keberadaannya. Masa ketika hampir semua ciri pola dan institusi Muslim berkembang. Dengan demikian, fakta bahwa sejumlah tentara hitam ikut berperang bagi kaum Muslim awal seharusnya diingat ketika menilai status umum kalangan kulit hitam dalam masyarakat Muslim.
Referensi berikut adalah semua pilihan saya. Tidak satu pun referensi itu saya hapus. Selain itu, catatan kakinya (notes) hanya merujuk pada 25 sumber berbahasa Arab, sehingga informasi ini dipilah dari kepustakaan yang lima kali lebih banyak jumlahnya.
Terminologi tentara kulit hitam memang bermasalah. Itu terjadi karena istilah warna kulit yang diterapkan pada orang-orang pada masa awal Islam tidak jelas terlihat dalam berbagai sumber berbahasa Arab. [1] Secara khusus, kata sifat "hitam" (aswad) diterapkan pada bangsa Afrika dan keturunan Kaukasus yang berkulit hitam. [2] Ini berarti seorang individu "hitam" tidak perlu keturunan Afrika. Bagaimanapun, saya mengandaikan siapapun yang "berkulit hitam" merujuk kepada keturunan Afrika, karena tidak mungkin sekelelompok orang Kaukasian berkulit hitam berkumpul bersama mereka. Jadi, bila 'Ubaba b. as-Sawemit jelas-jelas orang Arab, maka ribuan orang kulit hitam yang dipimpinnya seharusnya orang Afrika. [3] Artikel ini mempertahankan terminologi yang berasal dari sumber-sumber berbahasa Arab, baik yang merujuk pada kaum kulit hitam (aswad pl. Sudan), orang Etiopia (Habashi, pl. Ahbash) atau orang Afrika (Zanj, pl, Zunuj).
Berhubung ada begitu banyak aspek sejarah Islam awal maka studi tentang orang Afrika dalam pasukan Muslim terbagi secara natural dalam empat era: Masa sebelum pra-Islam, masa hidup Muhammad dan Perang Ridda (13 Hijriah hingga 634 tahun masehi), Masa Arabia (13 Hijriah- 132/tahun 634 – 750 masehi) dan terakhir, pada era Abbasiyah pertama ( 132-227 Hijriah/ 750-842 masehi).[4]
Masa sebelum Penaklukan Mekkah
Pasukan Afrika memang sudah bahu membahu berperang merebut Mekah pada pasa pra-Islam, walau peran penting yang pernah dipercayakan kepada mereka terlihat keliru. Dengan demikian, pernyataan Henri Lammen bahwa pedagang Mekkah sepenuhnya mengandalkan pasukan budak Etiopia untuk tenaga militer benar-benar ditolak atau tidak bisa dipercaya. Terlepas dari pernyataannya yang mengesankan tentang hal ini, argumen Lammen terlihat berbasiskan pada penelitian ilmu bahasa termasuk spekulasi yang belum terbukti kebenarannya.[5]
Dalam sebuah puisi kuno, Quraish, suku kenamaan Mekkah dicemooh karena menangkap kemudian melepaskan kembali tentara Afrika:
Pengunduran dirimu yang penuh ketakutan telah mempermalukan kaum Quraish
Sama memalukan seperti orang-orang kulit hitam rekrutanmu yang berbahu lebar .[6]
Legenda Antara b. Shaddad memperlihatkan status kaum kulit hitam dalam pasukan pra-Islam. Terlahir sebagai anak seorang ayah Arab dan seorang ibu budak berkulit hitam, dia memulai hidupnya sebagai pengawas para budak. Ketika sukunya terlibat dalam kancah peperangan, dia berkali-kali membuktikan ketrampilan militernya. Sikapnya yang gagah berani menyebabkan prasangka buruk yang terasa menghantamnya sebagai budak berkulit hitam hilang. Pada akhirnya, dia pun memperoleh kemerdekaan tetapi terus dimanfaatkan sebagai pejuang dan pencinta.
Sejumlah orang Afrika juga turut berperang mempertahankan Kota Mekah ketika kaum Muslim menyerangnya (2-8 Hijriah/624 – 630). Dalam perjalanan menuju medan tempur Perang Badar (2 Hijriah/624), "orang-orang Etiopia terus maju melemparkan lembing mereka. [7] Setahun kemudian, dalam perang Uhud, seorang warga Etiopia, Su'ab membawa pataka Suku Quraish hingga kematian menjemputnya. Insiden itu pun menyebabkan Suku Quraish dicemooh.
Kau banggakan benderamu
Landasan terburuk untuk berbangga diri
Apakah bendera diserahkan kepada Su'ab
Telah kau jadikan seorang budak sebagai kebanggaanmu
Mahluk paling menyedihkan yang
Berjalan di atas bumi. .[8]
Washi merupakan budak Etiopia yang sangat berhasil menyelesaikan tugas militer utama pada masa pra-Islam Mekah dan bagi kaum Muslim. Dia jelas-jelas menjadi contoh perubahan status kaum kulit hitam dari satu sisi menuju sisi lain. Pada Perang Uhud, dia turut berjuang bagi kaum Quraish dan berhasil membunuh paman Nabi Muhammad, Hamzah.[9] (Sebuah sumber kebetulan mencatat bahwa Su'ab dan Washi hanyalah dua budak yang bertempur di Mekah pada Perang Uhud [9] dan kedua-duanya orang Afrika). Beberapa tahun kemudian, pada Perang Khandaq, Wahshi berperang lagi bagi kaum Quraish dan membunuh Muslim lainnya. [11] Namun, setelah kaum Muslim mengambil alih Kota Mekah, Washi bergabung dengan mereka. Dua tahun kemudian dia berperang bersama mereka dalam Perang Ridda. Ia kala itu berhasil membunuh musuh terbesar mereka, "nabi palsu," Musaylama. [12] Pada akhir hidupnya, Washi merangkum catatan-catatan medan perangnya: "Seperti Nabi, saya pun membunuh musuh-musuh yang paling tangguh lalu yang paling parah dari mereka." [13]
Masa Hidup Muhammad
Selain Washi, sejumlah budak Afrika lain bertempur bagi kaum Muslim ketika melawan Kaum Quraish. Menurut al-Jahiz, orang berkulit hitam merupakan Muslim pertama yang tewas dalam pertempuran (bagaimanapun, hampir semua sumber menyebutkannya sebagai orang Yaman). [14]. Dia pun mengklaim bahwa seorang pria kulit hitam pertama pengawal barisan kuda Muslim tewas. [15]. Muazin terkenal, Bilal b. Rabah, berperang dalam semua konflik Muslim dengan pihak lain, mulai dari Perang Badar dan seterusnya. Hal itu juga dialami Safina, seorang kulit hitam atau Persia yang dibebaskan menjadi orang merdeka agar bisa melayani Muhammad. [16]. Shaqran, yang mungkin juga orang Ethiopia atau Persia, bertempur di Perang Badar ketika masih sebagai budak (mamluk). Demikian juga Yasar ar-Ra'i, seorang Nubia yang berperang bersama-sama dengan Nabi Muhammad[17]. Pada suatu serangan mendadak seorang tentara kulit hitam bernama Julaybib membunuh tujuh musuh sebelum dia sendiri tewas terbunuh .[18] Seorang budak berkulit hitam milik seorang majikan Yahudi dan memeluk Islam juga pernah berperang di Perang Khaibar (7Hijriah/629) dan tewas seperti Ali b.Abi Talib dalam perang tersebut.[19]
Periode Arabia
Para tentara Afrika memiliki sejumlah peran penting sebelum 132 Hijriah/750. Kerapkali peran itu mereka jalankan ketika masih berstatus sebagai budak, walau keterlibatan mereka diungkapkan secara sporadis. Abu Bakar, seorang budak berkulit hitam bertempur pada masa khalifah Umar (13 – 23 Hijriah/ 634-644). [20]. Seorang pemimpin berkulit hitam, Ubada b.as-Samit memimpin seribu tentara berkulit hitam selama masa penaklukan Mesir. Ini fakta yang tidak bisa begitu saja diabaikan oleh musuh Bizantium mereka:
Ketika Ubada b. as-Samit naik ke atas kapal hendak berbicara dengan Muqawqas[21], dan mendekatinya, Muqawqas merasa takut dengan kulitnya kehitam-hitaman.
"Singkirkan orang kulit hitam ini dari depan saya dan bawalah orang lain untuk berbicara dengan saya."
[Kaum Muslim] lantas berujar bersama, "Dialah orang terbaik kami, paling terpelajar dan paling bijaksana. Dialah pemimpin kami (sayyid). Dia memiliki kebajikan dan paling dihormati. Kami semua mendengarkan apa yang dia katakan dan dia pandang. Sang amir memerintah kami supaya mentaati dia dan dia pun memerintah agar kami tidak menentang pandangan dan ucapannya."
[Muqawqas] bertanya, "Bagaimana perasaanmu tentang orang kulit hitam menjadi yang terbaik di antara kalian ketika dia seharusnya menjadi orang paling hina?
Mereka menjawab: "Tentu tidak! Walau berkulit hitam (seperti kau lihat), dia orang terbaik dalam golongan kami, dia lebih dulu masuk Islam, terbaik dalam kemampuan berpikir dan dalam kebijaksanaan. Bukan kulit hitam yang kami tolak."
Muqawqas kemudian berkata kepada 'Ubada, "Majulah, orang hitam, bicaralah dengan lembut kepada saya, karena saya takut dengan kulit hitammu. Jika kau berbicara keras, saya akan makin takut."
'Ubada maju mendekat lalu berkata, "saya sudah dengar pembicaraanmu. Di antara semua tentara yang saya pimpin, ada seribu tentara kulit hitam, hitam semua, setiap orang dari mereka lebih hitam daripada saya dan jauh lebih mengerikan untuk dilihat. Jika kau melihat mereka, kau bakal sangat takut. [22]
Paragraf menarik itu memperlihatkan bahwa dengan hadir saja, tentara kulit hitam sudah mengintimidasi musuh. Dan ketika kaum Muslim membela 'Ubada, mereka pun terlihat was-was mengapa Muqawqas bertindak seperti itu. Barangkali, 'Ubada sebetulnya bukan sepenuhnya orang Afrika. Ayahnya orang Arab sehingga dia terlihat berbeda.
Dalam Pertempuran Siffin pada 37 Hijriah /655, ada seorang ghulam atau budak berkulit hitam bertugas membawa panah majikannya. Selama Perang Sipil II (64 –74 Hijriah/684 – 693), tentara berkulit hitam bertempur pada semua sisi medan tempur bahkan muncul dengan peran yang sangat mandiri. Al-Baladhuri melaporkan bahwa seorang petualang Ethiopia bernama al-Ghudaf menduduki kota strategis al-Anbar di Irak [25]. Pasukannya mungkin juga orang Ethiopia karena banyak dari mereka berdiam di sana masa itu. Al Ghudaf begitu berani sehingga dia diperkirakan seorang diri mampu menjarah sebuah kafilah [26]. Ibn az-Zubayr bersekutu dengan Ethiopia yang membentuk satu kelompok pelempar lembing.[27] Pada 64 hijriah /684, Umaiyah mengirim para budak melawan pemberontak al-Mukhtar. Dia sendiri membunuh dua dari mereka, seorang dari Rumi (orang Yunani), yang lainnya berkulit hitam.[28] Sebaliknya, Ibn az-Zubayr membunuh seorang musuh berkulit hitam atau budak (ghulam) Ethiopia yang bertempur bagi kaum Umaiyah pada 73 Hijriah /692 A.D. Pasukan Al-Hajjaj memasukkan pula sejumlah orang Ethiopia.[30] Ketika al-Mukhtar membutuhkan seorang anggota kafilah untuk sebuah misi penting, dia mengirim seorang kulit hitam.[31] Beberapa tahun setelah perang sipil, ketika Ibn al-Ash'ath melakukan perlawanan (79-82 Hijirah /699-702 A.D.), orang-orang kulit hitam pun membantunya.[32]
Di samping terlibat dalam berbagai aksi militer penting, orang-orang Afrika terlibat di mana-mana, seiring dengan meningkatnya kesempatan untuk terjun di dalamnya. Sebagai contoh, budak dari salah seorang kalifah, 'Usthman, pergi dalam sebuah misi penting ke Mesir .[33] Seorang budak lain membunuh seorang penyerang di tempat Kalifah Usthman tewas pada 35 Hijriah/656.[34] Dua tahun kemudian, dalam medan Pertempuran Siffin, peran tentara kulit hitam pun diketahui. Itu terjadi ketika seorang tentara Suriah kalah duel. Ketika senjata-senjatanya dilucuti baru diketahui bahwa lawan tandingnya bukan orang Arab tetapi budak kulit hitam. Reaksinya setelah mengetahui kenyataan ini memang sudah diantisipasi. "Oh Allah, saya bertarung nyawa melawan budak kulit hitam!"[35] Dari Khurasan, kita dengar ada seorang kulit hitam yang konon melakukan penggerebekan seorang diri selama dua puluh tahun.[36] Sementara di Spanyol, seorang budak berkulit hitam membantu kaum Muslim menaklukan Kordoba.[37]
Era Pertama Abasiyah
Segera setelah Kaum Abasiyah meraih kekuasaan, berbagai sumber melaporkan ada empat ribu anggota pasukan Afrika (Zanj) berada di Mosul, Irak.[38]. Cara mereka tiba dan apa yang mereka lakukan di sana tidak jelas dan menarik untuk diketahui. Pada Hijriah 145/ 762, ketika kaum Abasiyah berperang melawan pemberontak Alid melawan Ibrahim b. 'Abdallah, tentara hitam pun ada di sana dalam kamp-kamp militer mereka, walau tidak jelas apakah mereka pun bertempur. [39]
Pada tahun yang sama, 145 Hijriah/763, kaum kulit hitam memainkan peran aneh di Medina. Mereka memberontak atas nama majikan mereka Alid, melawan pasukan pendudukan Abasiyah. Masyarakat Medinah pun ikut mendukung Alid, namun tidak berhasil. Beberapa saat kemudian, masyarakat kota itu melihat pasukan Abasiyah ditempatkan di kota mereka. Pada suatu hari ketika seorang tentara Abasiyah menolak membayar harga sejumlah daging di toko jagal, sang tukang jagal meminta bantuan"pasukan kulit hitam" yang membunuh tentara itu dengan pentungan. Ketika terompet tentara kulit hitam bergema, mereka meninggalkan apa saja yang tenah kerjakan lalu menyerang pasukan Abasiyah. Ggubernur Abasiyah mereka paksa meninggalkan Medinah menuju kota di dekatnya, Nakhl. Beberapa waktu kemudian, mereka pun menyerang Nakhal lagi dan memaksa sang gubernur mundur lebih jauh. Bahkan setelah peristiwa itu, mereka terus membunuh tentara Abasiyah dengan bersenjatakan pentungan sehingga membuat penduduk kota kagum.
Para tentara kulit hitam sebetulnya memiliki pemimpin sendiri. Meski demikian, mereka berhasil membawa seorang simpatisan Alid. Ibn Abi Sara, namanya. Dia mereka keluarkan dari penjara kemudian diangkat sebagai pemimpin mereka. Ibn Abi Sabra sudah mengantisipasi reaksi mengerikan dari kaum Abasiyah terhadap pemberontakan kaum kulit hitam. Untuk itu, dia berunding dengan para tokoh Medinah yang ternyata bangga terhadap apa yang dicapai para budak dan orang-orang yang sudah bebas (mawlas). Meski demikian, para tokoh itu ingin menahan mereka lagi. Kaum kulit hitam menanggapi dengan melakukan barikade manusia di pasar. Ketika Ibn Ali Sabra meminta diadakan rapat, kaum kulit hitam mengirim wakil mereka bersama dengan wakil suku-suku lain. Ibn Abi Sabra berhasil meyakinkan peserta rapat supaya mengakhiri pemberontakan dan membiarkan Gubernur Abasiyah kembali. Namun, saat pihak berwewenang Abasiyah dibentuk kembali, hanya empat pimpinan kaum kulit dihukum sehingga perlawanan berakhir dengan tenang. [40]. Walau insiden ini merupakan aksi kaum kulit hitam awal sejarah Islam yang didokumentasikan dengan baik, pemberontakan ini nampaknya berdiri sendiri. Sedikit sekali dengan peristiwa-peristiwa lainnya.
Berbagai sumber tidak menyebutkan adanya tentara berkulit hitam selama dekade berikutnya, kecuali, empat puluh budak kulit hitam yang menjadi pengawal pada masa Harun ar-Rashid (170 -193 Hjriah /786-809). [41] Pada tahun Hijriah 198/814, Kalifah al Amin mendirikan Ghurabiya yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang Etiopia, jelasnya para kasim. [42] Ghurabiyah mungkin dapat diterjemahkan secara longgar sebagai Korps Burung Gagak (Raven Corps). Segera setelah pembentukan korps itu, seorang pemberontak Abu's Saraya diangkat sebagai wakil kalifah di Mekah. Orang-orang kulit hitam setempat pun mendukungnya. Ketika al-Ma'mun mengatur rencana agar vezir-nya al-Fadl b. Sahl dibunuh pada 202 Hijriah/818, maka salah seorang dari empat orang yang dibayar untuk melakukan pekerjaan itu adalah seorang tentara berkulit hitam seperti terlihat dari namanya, Ghalib al-Mas'udi al-Aswad. [44] Pada 210 Hijriah/825, ketika Ibrahim b. al-Mahdi mencoba melarikan diri ke Bagdad, seorang pengawal berkulit hitam (haras) pula yang menawannya.
Para pasukan berkulit hitam benar-benar hilang dari pasukan Abasiyah setelah 210 Hijriah/825 ketika sang kalifah kehilangan kuasa atas kawasan penghasil tentara Afrika. Kaum Aghlabid di Tunisia yang merdeka pada 184 Hijriah/800 berpeluang sangat bagus menghentikan perjalanan bangsa Afrika ke timur. Memang, mereka benar-benar memanfaatkan warga Afrika dalam pasukan-pasukan mereka. Pada 187 Hijriah/803, Ibrahim b. al-Aghlab mendirikan sebuah kota baru, al-Abbasiyah yang dilengkapi dengan lima ribu budak[46] dan banyak dari mereka tentu saja berkulit hitam. Selama masa perang besar Shiba, pada 210 Hijriah/824, kaum Aghlabid mengirim seribu orang berkulit hitam dan orang-orang yang dibebaskan dari status budak ke medan perang, namun kalah secara mengerikan .[47].
Kesimpulannya, hanya ada dua kelompok di luar Islam berperang bagi kaum Muslim dalam jumlah cukup besar selama dua abad pertama Islam: kaum kulit hitam Afrika dan bangsa Turki. [48] Peran bangsa Afrika sebaiknya dipahami berbeda dari bangsa Turki. Bangsa Afrika cukup konsisten berperang selama periode ini, sementara tentara Turki meningkat makin banyak jumlah dan pentingnya bagi Kaum Muslim.
Kaum kulit hitam berjuang bagi kaum Muslim pada berbagai perang pada masa awal mereka sementara bangsa Turki tidak berperang hingga kira-kira enam puluh tahun kemudian. Namun, pada abad hijriah ketiga atau abad kesembilan masehi, kaum kulit hitam menjadi kelompok kecil dalam pasukan Muslim. Sementara itu, bangsa Turki mendominasi pasukan Abasiyah dan pemerintah. Tentara-tentara Afrika pun tidak lagi berperan dalam pasukan-pasukan awal kaum Muslim namun tetap berada pada peran kedua.
[1] B. Lewis, Race and Color in Islam (New York, 1971), 7-10, mendiskusikan masalah ini pada masa Islam paling awal
[2] al-Jahiz, Fakhr as-Sudan, dalam A. S. M. Harun, ed., Rasa'il al-Jahiz (Cairo, 1964), I, 216, membuat dapat semua tentara kulit hitam yang terlibat dalam perang.
[3] Lewis, Race, 9-10, dan Ibn 'Abd al-Hakam, Futuh Misr, ed. C. C. Torrey (New Haven, 1922), 66; Seharusnya juga dicatat bahwa seorang Arab mungkin memiliki seorang ayah berkulit hitam sehingga memperlihat gambaran Negroid. Jenderal 'Amr b. al'As adalah anak seorang perempuan yang diperhitungkan sebagai orang Ethiopia (Ibn Habib, Kitab al-Muhabbar, ed. E. Lichtenstädter [Hyderabad, 1361/1942], 306) dan seorang budak (Ibn al-Athir, Usd al-Ghaba [Cairo, 1280], IV, 115-116). Terkait masalah yang dihadapi seorang anak, perhatikan saga tentang 'Antara, yang dirangkum di bawah ini; lihat juga az-Zubayr b. Bakkar, Akhbar al-Muwaffaqiyat, ed. S. M. al-'Ani (Baghdad, 1972), 364.
[4] Saya sendiri membuat bagan pemikiran sendiri untuk membedakan sejarah Muslim awal dengan cara ini dalam "From Mawla to Mamluk: the Origins of Islamic Military Slavery" (Disertasi Ph.D yang tidak diterbitkan, Harvard University, 1978), 167-188.
[5] H. Lammens mengungkapkan pemikiran ini dalam "Les 'Ahabis' et l'organisation militaire de la Mecque au siècle de l'hégire," "L'Arabie occidentale avant l'hégire (Beirut, 1928) 237-291. Ahabish tidak bersumberkan bahasa Arab untuk orang Ethiopian (Habashi), sebagaimana yang dipikirkan oleh Lammens, tetapi berasal dari kata "ally" (uhbush). Diskusi paling lengkap masalah ini ditemukan dalam M. Hamidullah, "Les 'Ahabish' de la Mecque," Studi orientalistici in onore di Giorgio Levi della Vida (Rome, 1956), I,434-437. Kaum Ahabish nyantanya orang Arab, walau mereka memiliki orangtua Afrika. Beberapa dari seluruh anggota suku itu mungkin saja memang berkulit hitam (al-Jahiz, Fakhr, I,219).
[6] Abul-Faraj al-Isfahani, Kitab al-Aghani (Bulaq, 1285/1868-1869), I, 20; dikutip dalam Lammens, "Les 'Ahabis,' " 252.
[7] al-Waqidi, Kitab al-Maghazi, ed. M. Jones (London, 1966), 39 fn. 2; inilah buku pertama dalam edisi buku yang dibuat oleh A. von Kremer (Calcutta, 1855), 32.
[8] Ibn Hisham, as-Sira an-Nabawiya (Cairo, 1375/1955), II, 78. Terjemahan ini agak diadaptasi sedikit dari A. Guillaume, The Life of Muhammad (Lahore, 1967), 379.
[9] Ibn Hisham, as-Sira an-Nabawiya, II, 69-73,122,156; al-Waqidi, Kitab al-Maghazi, 286,300.
[10] al-Waqidi, Kitab al-Maghazi, 230.
[11] Ibid., 332.
[12] at-Tabari, Ta'rikh ar-Rusul wa'l-Muluk, ed. M. J. de Goeje (Leiden, 1879-1901), I, 1940, 1943, 1948-1949.
[13] Ibn Hisham, as-Sira an-Nabawiya, II, 73.
[14] al-Jahiz, Fakhr, I, 180. Ibn al-Athir (Usd al-Ghaba, IV, 424) menyebutkan orang yang sama sebagai orang Yaman.
[15] al-Jahiz, Fakhr, I, 180. Nampak bahwa al-Jahiz memang bingung di sini, karena Ibn al-Athir mencatat bahwa orang ini, al Miqdad, "dikenal sebagai al-Miqdad b. al-Aswad" [al-Miqdad, putera al-Aswad] (Usd al-Ghaba, IV, 409). Karena aswad berarti "hitam" maka persoalannya pun jelas.
[16] Ibn al-Athir, I, 206, tentang Bilal; al-Tabari I, 1780, tentang Safina.
[17] Ibn Sa'd, Kitab at-Tabaqat al-Kubra, ed. E. Sachau et al. (Leiden, 1905-1940), III, 1,34 tentang Shaqran; al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, ed. M. Hamidullah (Cairo, 1959), I, 479, tentang Yasar.
[18] al-Jahiz, Fakhr, I, 181. Again, Ibn al-Athir (Usd al-Ghaba I, 292-293) tidak mengatakan apa-apa tentang kulitnya yang hitam.
[19] a1-Waqidi, Kitab al-Maghazi, 649, 700; Ibn al-Athir, Usd al-Ghaba, V, 123-124, 125-126.
[20] al-Baladhuri (Ansab al-Ashraf, I, 489) memperlihatkan bahwa dia memang berkulit hitam; Ibn Sa'd (Kitab at-Tabaqat, VII, 1, 94) memperlihatkan bahwa dia terlibat perang.
[21] Berkaitan dengan misteri para tokoh Mesir lihat A. J. Butler, The Arab Conquest of Egypt (Oxford, 1902), Appendix C, 508-526; A. Grohmann, "al-Mukawkas" dalam edisi pertama Encyclopedia of Islam; dan P. Labib, "al-Muqawqas Usiris," Dirasat 'an Ibn 'Abd al-Hakam. (Cairo, 1975), 75-83.
[22] Ibn 'Abd al-Hakam, Futuh Misr, 66.
[23] Ibn Sa'd, Kitab at-Tabaqat, III, 2, 93.
[24] Ibn Qutayba, 'Uyun al-Akhbar, ed. A. Z. al-'Adawi (Cairo, 1925-1930), I, 180.
[25] al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, ed. S. D. Goitein (Jerusalem, 1936), V, 298.
[26] al-Jahiz, Fakhr, I, 193.
[27] al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, V, 300-301.
[28] at-Tabari, Ta'rikh, II, 530.
[29] Ibid. II, 851; al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, V, 364.
[30] al-Azraqi, Akhbar Makka, ed. F. Whütenfeld (Leipzig, 1858), 194. AI-Jahiz, Fakhr, I, 201, mengutip puisi seputar Zanj yang menjarah Mekkah. Puisi ini mungkin saja merujuk pada orang Ethiopia dalam pasukan al-Hajjaj.
[31] Ibn A'tham, Kitab al-Futuh, ed. M. 'Abd al-Mu'id Khan et al. (Hyderabad, 1388/1968-), VI, 155.
[32] Mutahhar al-Maqdisi, al-Bad' wa't-Ta'rikh, ed. C. Huart (Paris, 1899-1919), VI, 36.
[33] Ibn Qutayba [pseud.] al-Imama wa's-Siyasa (Cairo, 1355-1356/1937), I, 36-37.
[34] Ibid. I, 44; al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, V, 98.
[35] Ibn Muzahim, Waq'at Siffin, ed. A. S. M. Harun (Cairo, 1382), 276; at-Tabari, I, 3307.
[36] al-Jahiz, Fakhr, I, 193.
[37] al-Maqqari, Nafh at-Tib, ed. R. Dozy et al. (Leiden, 1855-1861), 1,165.
[38] al-Azdi, Ta'rikh al-Mawsil, ed. A. Habiba (Cairo, 1387/1967), 149; al-Maqrizi, an-Niza' wa't-Takhasum, ed. G. Vos (Leiden, 1888), 55.
[39] at-Tabari, Ta'rikh, III, 305.
[40] Ibid. III, 265-271.
[41] Diyab al-Iklidi, A'lam an-Nas (Cairo, 1280), 179.
[42] at-Tabari, Ta'rikh, III, 950.
[43] Ibid III, 992.
[44] Ibid. III, 1027.
[45] al-'Uyun wa'l-Hada'iq, III, 365, dan Miskawayh, Tajarib al-Umam, 456, keduanya dalam Fragmenta Historicorum Arabicorum, ed. M. J. de Goeje (Leiden, 1871).
[46] al-Baladhuri, Futuh al-Buldan, ed. M. J. de Goeje (Leiden, 1886), 234.
[47] Ibn 'Idhari, al-Bayan al-Mughrib, ed. R Dozy et al. (Leiden, 1948), I, 101. Pembahasan masalah ini lihat M. Talbi, L'ėmirat aġhlabide 184-296/800-909 (Paris, 1966), 136 ff.
[48] Tentang bangsa Turki, lihat Daniel Pipes, "Turks in Early Muslim Service." Journal of Turkish Studies, 2 (1978).