Tepat Tahun Baru, 1 Januari 2015, Presiden Mesir, Abdel Fattah al-Sisi menyampaikan ceramah di Universitas kenamaan Mesir, Al Azhar. Dalam ceramahnya yang luas dipuji, Sisi mengajak para tokoh agama dengan mengatakan bahwa sudah saatnya untuk mereformasi Islam. Banyak kalangan Barat pun memujinya, termasuk nominasi baginya untuk meraih Hadiah Nobel Perdamaian. Meski demikian, saya mempunyai sejumlah keberatan atas ceramah itu.
Untuk memulai pembicaraan ini, perlu saya katakan bahwa terlepas dari seberapa indahnya pemikiran Sisi, tidak satu politisi pun, secara khusus, tidak satu pun orang kuat, yang pernah berhasil menggerakkan Islam modern. Berbagai aksi reformasi yang dilakukan Ataturk di Turki pun kini malah secara sistematis tengah diputarbalikkan. Satu dekade lalu, Raja Abdullah II dari Yordania dan Presiden Pervez Musharraf dari Pakistan pun memberikan berbagai ceramah yang sama-sama indah seperti itu berkaitan dengan "suara Islam sejati" dan "menginspirasi lahirnya sikap moderasi" yang ternyata langsung menghilang dari pandangan. Ya, komentar-komentar Sisi memang lebih kuat, tetap dia bukan pihak berwewenang religius. Sama seperti pemikiran kedua tokoh di atas, pemikirannya pun bakal segera hilang tak berbekas.
Terkait dengan isi ceramahnya: Sisi memuji iman Islam kemudian memfokuskan pembicaraannya pada apa yang disebutnya sebagai fikr. Secara harafiah, fikr berarti pemikiran tetapi dalam konteks ini berarti pemikiran yang salah. Walau tidak menyebutkannya secara tepat, Sisi pun mengeluhkan adanya pemikiran-pemikiran salah, yang disakralkan sehingga para pemimpin religius pun tidak berani mengkritik. Dia lantas mengkritik dan kritik itu dia ungkapkan lewat bahasa Arab sehari-hari yang sangat tidak umum untuk mendiskusikan topik seperti ini, "Tidak dapat dipahami bahwa pemikiran-pemikiran salah yang kita sucikan harus menyebabkan semua ummat [komunitas Muslim] sebagai sumber keprihatinan, bahaya, pembunuhan dan kerusakan seluruh dunia. Ini tidak mungkin."
Meski demikian, itulah tepatnya yang terjadi. "Kita sudah tiba pada titik bahwa kaum Muslim membahayakan seluruh dunia. Apakah masuk akal 1,6 miliar [kaum Muslim] ingin membunuh 7 miliar penduduk bumi lainnya supaya kaum Muslim bisa hidup makmur? Ini tidak mungkin." Sisi kemudian meneruskan ceramahnya, menyerukan kepada tokoh agama untuk menghadirkan "resolusi agama." Seruan itu rupanya tidak mendapatkan banyak tepukan tangan dari para tokoh agama yang berkumpul di depannya. "Jika tidak dilakukan, maka kaum Muslim "kini sedang tercabik-cabik, dihancurkan dan sedang menuju ke neraka."
Presiden Mesir, Sisi tengah memberi ceramah kepada para tokoh di Al-Azhar pada 1 Januari lalu. |
Kita pantas memuji Sisi karena berbicara keras atas persoalan ini. Semangatnya tentu saja sangat berbeda dari pemikiran dan aktivitas tidak perlu yang muncul dari para mitra Baratnya yang pura-pura bahwa gelombang kekerasan akhir-akhir ini tidak terkait dengan Islam. (Dari banyak pernyataan bernada flamboyan yang salah, pernyataan kesukaan saya berasal dari Howard Dean, Mantan Gubernur negara bagian Vermont, Amerika. Ketika menanggapi pembantaian Charlie Hebdo, dia berujar. "Saya berhenti menyebut orang-orang Muslim itu teroris. Mereka sama-sama Islamnya seperti saya."
Namun, Sisi tidak menyampaikan pernyataan khusus terkait revolusi yang dia perjuangkan. Lalu, apa revolusi yang dipikirkan dalam benaknya? Berbeda dari yang dikatakan seorang pemujanya, saya yakin dia memperjuangkan suatu versi Islamisme yang lembut, yang menetapkan penerapan penuh hukum Islam (Sharia) di tempat publik.
Beberapa indikasi memperlihatkan Sisi memang Islamis. Dia menjalankan hidup sebagai Muslim yang dan rupanya sudah hapal Al-Qur'an. Harian Financial Times menemukan bahwa istertinya pun mengenakan hijab (penutup kepala). Salah seorang puterinya mengenakan nikab (pakaian yang hanya memperlihatkan mata dan tangan pemakainya), Presiden anggota Persaudaraan Muslim sebelumnya, Mohamed Morsi mengangkat Sisi sebagai Menteri Pertahanannya, tepatnya, karena dia melihat sang general itu adalah sekutu.
Segera setelah memberikan ceramah di Azhar, Sisi menjadi Presiden Mesir pertama yang pernah mengikuti misa Natal Koptik. |
Ketika menjalani pendidikan militer di Pennsylvania pada 2005-2006, Sisi menulis makalah yang menyerukan agar demokrasi diadaptasi sesuai ajaran Islam, sehingga lahir suatu bentuk demokrasi yang "mungkin tidak banyak mirip dengan" prototip Baratnya, tetapi "bakal memiliki kondisi dan bentuk sendiri yang sesuai dengan ikatan-ikatan agama yang kuat." Versi demokrasi ala Sisi itu tidak memisahkan masjid dan Negara, tetapi sebaliknya, dibangun "di atas landasan iman Islam." Itu berarti lembaga-lembaga pemerintah harus "memanfaatkan iman Islam dalam pertimbangan kebijaksanaannya ketika menjalankan tugas-tugas." Dengan kata kata lain, Shariah akan meniupkan kehendak masyarakat luas.
Dalam makalah itu, Sisi secara parsial juga mengaitkan diri dengan kaum Salafis, sekelompok Islamis berjanggut panjang pemakai burka yang mendambakan hidup seperti Nabi Muhammad. Dia lantas menggambarkan kalifah awal bukan sekedar "pemerintahan ideal" tetapi juga "tujuan dari bentuk pemerintahan baru apapun." Karena itu, dia pun mengharapkan kebangkitan kembali "bentuk paling awal" dari pemerintahan ala kalifah.
Seperti banyak masyarakat Mesir, pandangan Sisi tentang Islam mungkin saja sudah berkembang, khususnya, sejak dia "putus" dari Morsi dua tahun silam. Memang, berbagai rumor mengatakan dia sebetulnya berafiliasi dengan gerakan kaum Quranis anti-Islam yang radikal pimpinan Ahmed Subhy Mansour yang pemikiran-pemikirannya dikutip Sisi dalam makalahnya ketika dia belajar di Amerika. Namun sebaliknya, Mansour justru mencurigai Sisi "bermain kata-kata" dan "menunggu jika Sisi memang serius dengan idenya tentang reformasi."
Ahmed Subhy Mansour dari gerakan kaum Quranis, dengan logo Ahl al-Qur'an. |
Memang, dengan memahami lebih banyak pandangan pribadi Sisi sekaligus melihat apa yang dilakukannya, kita pun bisa memahami ceramah Sisi. Ceramahnya bukanlah suatu stanza melawan Islamisme tetapi secara khusus hanya melawan bentuknya yang penuh kekerasan, sama dengan yang tengah meluluhlantakan Nigeria, Somalia, Suriah, Irak dan Pakistan. Sama dengan kekerasan yang menyebabkan kota-kota seperti Boston, Ottawa, Sidney dan Paris terkepung. Seperti orang-orang berkepala dingin lainnya, Sisi mempromosi Shariah melalui evolusi dan dukungan masyarakat luas, bukan melalui revolusi dan tindakan brutal. Tentu saja, tidak adanya aksi kekerasan, sudah menjadi peningkatan dari aksi kekerasan. Namun, sayangnya itu bukanlah reformasi Islam yang ingin dilihat oleh kaum non-Muslim, khususunya ketika orang ingat bahwa bekerja melalui sebuah sistem jauh lebih memungkinkan untuk berhasil.
Bagaimanapun, reformasi sejati mempersyaratkan adanya para cendekiawan Islam, bukan orang-orang kuat termasuk juga penolakan untuk menerapkan hukum Shariah dalam arena publik. Untuk kedua alasan itu, Sisi nampaknya tidakmungkin menjadi pembaru Islam semacam ini.
***
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah President Forum Timur Tengah. © 2015 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Penambahan 19 Januari 2015: Sisi sudah mengungkapkan kembali argumentasinya melawan Islamisme yang penuh kekerasan. "Bangkitnya terorisme …mempersyaratkan adanya tanggapan penuh pertimbangan dari komunitas internasional. Perlawanan bukan saja terbatas pada aspek keamanan dan militer…tetapi seharusnya juga mencakup upaya untuk menghapuskan wacana reformasi agama, yang menjadi sumber ideologi yang salah yang mampu memikat sejumlah kalangan untuk mengadopsi kekerasan dan mau menerapkan pemikiran mereka.