Seantero negeri ini, khususnya New York, terpaksa menghadapi pertanyaan mendesak, berkenaan dengan terjadinya serangan 11 September 2001 yang diorganisasikan sebuah jaringan Islam militan dan dilaksanakan oleh penduduk Muslim berbahasa Arab di Amerika Utara. Bagaimanakah warga Amerika masa kini seharusnya melihat dan memperlakukan penduduk Muslim yang kini berdiam di antara mereka?
Reaksi awal memang sangat beragam. Para elit politik seperti disuarakan Presiden George Bush langsung menyangkal hubungan apapun antara berbagai aksi itu dengan penduduk Muslim. "Islam itu damai." Bush memberikan jaminan kepada masyarakat Amerika lalu menambahkan, "Kita tidak boleh berpikir bahwa seorang Muslim bertanggung jawab terhadap aksi terror ini." Jaksa Agung, Ashcroft, Gubernur Pataki dan Walikota Giuliani nyaris sama-sama menggemakan komentar ini. Menteri Dalam Negeri, Powel masih bergerak lebih jauh dengan mengumumkan bahwa berbagai serangan "tidak boleh dilihat dilakukan oleh orang Arab atau Islam. Ini aksi yang dilakukan oleh para teroris" walau orang Arab dan Muslim berdasarkan defenisinya tidak bisa menjadi para teroris.
Pendekatan ini masuk akal sebagai cara untuk menenangkan publik sekaligus mencegah serangan terhadap kaum Muslim tetapi jelas gagal meyakinkan semua orang. Anggota DPR, John Cooksey (R-La) mengatakan kepada seorang pewawancara radio bahwa "siapapun yang pakai jilbab di kepalanya dengan pita melingkupi sekitar jilbabnya" seharusnya "ditarik keluar" untuk ditanyakan dengan sejumlah pertanyaan tambahan di Bandara-Bandara. Dan sebuah survei penelitian memperlihatkan bahwa masyarakat Amerika benar-benar mengkaitkan Islam dan masyarakat Muslim dengan musibah berdarah 11 September 2001. Sebuah polling menemukan bahwa 68 persen responden terbukti "secara sembarangan menghentikan orang-orang yang mungkin sesuai dengan profil terduga teroris."
Polling lain juga menemukan bahwa 83 persen warga Amerika lebih suka ada pengawasan lebih ketat terhadap kaum Muslim yang masuk ke negeri ini. Sementara itu, 58 persen menginginkan pengawasan ketat terhadap masyarakat Muslim yang bepergian dengan pesawat atau kereta api. Yang menarik, 35 persen warga New York, New Yorker mendukung didirikannya kamp-kamp penahanan bagi "orang-orang yang diidentifikasi pihak berwewenang bersimpati terhadap cita-cita para teroris." Secara nasional, 31 persen warga Amerika mendukung ada kamp tahanan warga Arab-Amerika, "sebagai cara untuk mencegah serangan teroris di Amerika Serikat."
Kenyataannya, apakah ada hubungan antara aksi keji dan warga minoritas Muslim di Amerika Serikat dan Kanada? Dan, apa saja kebijakan yang dibuat untuk melindungi negara dari serangan sambil tetap melindungi hak-hak sipil masyarakat Muslim?
Problem yang dihadapi bukanlah agama Islam tetapi ideologi totaliter Islamisme. Sebagai iman, Islam memperlihatkan sesuatu yang sangat berbeda selama 14 abad praktek hidupnya di sejumlah benua. Apa yang dapat kita sebut "Islam tradisional" ditempa selama abad-abad pertengahan, telah menginspirasi kaum Muslim untuk menggunakan perang dan bersikap diam, mulia dan tidak mulia sehingga orang tidak bisa mengeneralisasi semua itu di atas kanvas yang luas. Tetapi orang dapat melihat dua poin bersama: lebih dari agama-agama besar lainnya, Islam sangat politis. Artinya, dia mendorong penganutnya untuk meraih kekuasaan. Dan ketika kaum Muslim meraih kekuasaan, mereka punya dorongan kuat untuk menerapkan hukum-hukum Islam, Shariah. Jadi, kenyataannya, yang Islam lakukan memang mengandung unsur yang dapat membenarkan aksi penaklukan, teokrasi dan sikap tidak toleran.
Selama abad dua puluh satu, ada sebentuk Islam baru yang muncul, suatu bentuk Islam yang kini tampil menonjol dan berkuasa. Kelompok itu bernama Islam militan (atau Islamisme—sama saja). Keberadaannya dapat dilacak ke Mesir pada 1920-an kala sebuah organisasi bernama Persaudaraan Muslim pertama bertumbuh, walau ada hambatan, termasuk yang berkembang di Iran, yang secara luas dirumuskan oleh Ayatollah Khomeini. Juga ada di Saudi, tempat Kelompok Taliban yang berkuasa di Afghanistan bersama Usama bin Laden sama-sama berasal.
Dalam berbagai bentuknya, Islamisme berbeda dari Islam tradisional. Ia merupakan agama yang berubah jadi ideologi dan tentu saja ideologi radikal. Ketika ditanya, "Apakah anda pikir anda sendiri revolusioner?" sorang politisi Islamis Sudan, Hasan Al-Turabi menjawab, "Memang revolusioner." Sebaliknya Islam tradisional menempatkan tanggung jawab masing-masing orang beriman untuk hidup sesuai kehendak Allah, namun Islamisme membuat tugas itu menjadi tanggung jawab Negara. Islam merupakan sistem keyakinan personal yang terpusat pada individu. Islamisme merupakan ideologi negara yang menjaga masyarakat. Islamis membentuk minoritas kecil tetapi penting kaum Muslim di Amerika Serikat dan di seluruh dunia. Barangkali sekitar 10 – 15 persen.
Para apoleget memberi tahu kita bahwa Islamisme merupakan penyimpangan dari Islam bahkan tidak ada hubungan sama sekali dengan Islam. Namun, ini tidak benar. Islamisme muncul dari agama, ia menggunakan pernik-pernik agama dengan kesimpulan yang begitu ekstrim, radikal serta megalomaniak untuk membentuk sesuatu yang baru. Ia mengadaptasi iman masa lalu dengan syarat-syarat politik masa kita kini berbarengan dengan sejumlah janji penting yang sama tentang totalitarianism awal, fasisme dan akhirnya Marksisme-Leninisme. Ia merupakan versi utopianisme radikal beraroma Islam. Kaum Islamis individual mungkin memperlihatkan diri taat pada hukum dan nalar, namun menjadi bagian dari gerakan totaliter dan dengan demikian semuanya harus diperhitungkan sebagai para pembunuh potensial.
Kaum Muslim tradisional, umumnya menjadi korban pertama Islamisme. Mereka memahami ideologi ini untuk apa sehingga menanggapinya dengan rasa takut dan jijik, seperti terlihat dari contoh-contoh negara timur daya Afrika. Naguib Mahfouz, novelis pemenang Hadiah Nobel dari Mesir misalnya pernah mengatakan kepada Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri Mesir ketika negara itu tengah menindas Islamisme: "Anda tengah memerangi sebuah medan laga demi kepentingan Islam." Kaum Muslim tradisional lain sepakat dengan Mahfouz. Namun, ada satu orang yang mengecam Islamisme sebagai "tangan terorisme yang biadab." Sementara yang lain menyerukan agar semua ekstremis "digantung di tiang gantungan di tempat umum." Di Tunisia, Menteri Agama, Ali Chebbi mengatakan bahwa Islamisme termasuk dalam "kaleng sampah." Menteri Dalam Negeri Aljazair, Abderrahmane Meziane-Cherif juga menyimpulkan senada. "Anda tidak bisa berbicara kepada orang yang mengadopsi kekerasan sebagai 'credo.' Anda tidak bisa berbicara kepada orang-orang yang menggorok leher perempuan, memperkosa serta memotong payudara mereka. Anda tidak bisa berbicara kepada orang-orang yang membunuh tamu-tamu asing yang lugu." Jika masyarakat Muslim merasakan hal yang sama, maka kaum non-Muslim pun boleh bergabung dengan mereka tanpa perlu merasa malu. Karena menjadi penentang Islamisme, sama sekali tidak implisit berarti menentang Islam.
Berbagai kelompok Islami bersikap jahat terhadap kaum non-Muslim dan mempunyai sejarah panjang selama beberapa dekade berperang melawan para penguasa kolonial Inggeris dan Perancis sekaligus juga terhadap pemerintah non-Muslim seperti India, Israel, Filipina. Mereka mengalami perjuangan panjang berdarah melawan pemerintahan Muslim yang menolak program Islamis seperti yang dialami Mesir, Pakistan, Suriah, Tunisia dan Turki misalnya. Dan yang paling spektukuler, terjadi di Aljazair, di mana sampai sebegitu jauh diperkirakan ada 100.000 orang yang kehilangan nyawa sia-sia selama satu dekade perjuangan mereka.
Aksi kekerasan kaum Islamis kini menjadi fenomena global. Selama pekan pertama, April lalu misalnya, saya menghitung insiden-insiden berikut ini, hanya berdasarkan berita-berita dari satu kantor berita yang memang tidak lengkap. Banyak korban jiwa seiring dengan aksi kekerasan kaum Islamis yang terjadi di Aljazair (42 korban), Kashmir (17 korban), Filipina selatan (3 korban), Bangladesh (2 korban) dan Tepi Barat (1 korban jiwa). Kekerasan yang sama meledak di banyak negara termasuk Afghanistan, Indonesia, Nigeria, Sudan. Pihak pengadilan menolak pertimbangan-pertimbangan yang menentang kaum Muslim radikal di Perancis, Jerman, Italia, Yordania, Turki, Amerika Serikat dan Yaman. Kaum Islamis terorganisasi baik. Lengkapnya, ada 11 dari 29 kelompok yang disebut Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat sebagai "organisasi teroris asing" adalah organisasi Islamis yang sama seperti 14 dari 21 kelompok penjahat yang ditetapkan oleh pihak dalam negeri Inggeris.
Berawal pada 1979, kaum Islam merasa cukup yakin untuk memperluas perjuangan mereka menantang Barat. Pemerintah Islam militan baru Iran menyerang Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran akhir tahun itu dan menahan sekitar 60 tawanan Amerika selama 444 hari. Ada 8 tentara Amerika (korban pertama dalam perang ini) tewas dalam upaya penyelamatan Amerika Serikat yang gagal pada 1980. Aksi kekerasan terhadap bangsa Amerika benar-benar berawal pada 1983 dengan adanya serangan terhadap Kedutaan Besar Amerika Serikat di Libanon yang menewaskan 63 orang. Aksi itu kemudian diikuti dengan berbagai serangan lanjutan yang panjang atas warga Amerika di berbagai kedutaan, kapal laut, pesawat, tangsi militer, sekolah dan di mana saja.
Kaum Islamis melakukan sedikitnya delapan serangan bersenjata atas tanah Amerika Serikat sebelum peristiwa berdarah 11 September 2001. Pada Juli 1980, terjadi pembunuhan atas warga Iran pemrotes pemerintah Iran di daerah Washington. Januari 1990, terjadi lagi pembunuhan terhadap pemikir bebas Islam Mesir di Tucson. Nopember 1990 terjadi pembunuhan Rabbi Meir Kahane di New York. Januari 1993, terjadi serangan terhadap petugas CIA yang menewaskan dua orang di luar kantor lembaga itu di Langley, Virginia, di markas pusatnya. Februari 1993, terjadi pemboman atas Gedung Perdagangan Dunia dan menewaskan enam orang. Maret 1994 terjadi serangan penembakan atas sebuah mobil van yang penuh pepak dengan anak-anak laki Orthodoks Yahudi yang berkendaraan melewati Jembatan Brooklyn. Aksi itu menewaskan satu anak laki-laki. Februari 1997 terjadi pembunuhan atas seorang turis Denmark di atap puncak gedung pencakar langit Empire State Building. Juga ada tabrakan pesawat Egypt Air yang secara sengaja dilakukan pada1997 oleh seorang pilot Mesir ke dalam Lautan Atlantik dekat New York serta menewaskan 217 penumpang. Selain kasus itu, semua aksi pembunuhan terjadi di New York atau Washington, D.C. Daftar tidak lengkap ini memang tidak memasukkan sejumlah kasus orang-orang yang nyaris hilang yang menakutkan termasuk "hari teror" yang direncanakan pada Juni 1993. Direncanakan, aksi itu bakal memuncak dengan pemboman yang dilakukan bersamaan atas markas PBB dan Terowongan Lincoln dan Holland sekaligus terungkapnya keberadaan sebuah gerombolan penjahat yang berusaha mengacaukan perayaan millennium Seatle.
Ringkasnya, pembunuhan lebih dari 6.000 warga Amerika pada September 2001 bukanlah awal dari sesuatu yang baru tetapi meluasnya kampanye kekerasan kaum Islamis melawan Amerika Serikat yang sudah merajalela selama lebih dari dua dekade.
Tidak seorang pun tahu dengan tepat berapa banyak kaum Muslim kini berdiam di Amerika Serikat. Perkiraan tentu bisa dilebih-lebihkan dengan kisaran yang luas. Tetapi, jumlah mereka jelas-jelas berkisar antara beberapa juta jiwa. Yang pasti, kaum beriman dibagi atas dua kelompok utama; imigran dan orang-orang yang beralih agama, dengan para imigran dua atau tiga kali jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan orang yang beralih agama atau para mualaf.
Para imigran berasal dari seluruh dunia, khususnya dari Asia Selatan, Iran dan negara-negara berbahasa Arab. Sedangkan orang-orang yang berpindah agama cenderung banyak sekali warga Afrika-Amerika.
Komunitas ini kini menghadapi pilihan yang sangat rumit, apakah bisa berintegrasi dengan baik dalam masyarakat Amerika Serikat atau dapat menjadi orang Islamis dan tetap terpisah. Itu pilihan namun implikasinya besar bagi Amerika Serikat sendiri maupun bagi dunia Muslim.
Kaum Muslim integrasionis, yaitu yang memilih melebur diri dengan masyarakat Amerika bisa hidup bersama dan sama-sama patriotiknya seperti masyarakat Amerika sekaligus tetap menjadi Muslim yang taat. Tentu saja beberapa dari mereka saleh, lainnya tidak. Kaum Muslim seperti ini tidak mengalami kesulitan untuk membuktikan kepatuhan mereka kepada pemerintahan non-Muslim. Kaum integrasionis percaya bahwa budaya Amerika menyerukan perlunya kerja keras, kejujuran, toleransi yang cocok dengan ajaran Islam bahkan melihat bahwa Islam mengukuhkan nilai-nilai Amerika kuno. Mereka menerima kenyataan bahwa Amerika Serikat bukan negara Muslim sehingga berjuang mencari cara untuk hidup sukses dalam kerangka konstitusi Amerika. Sebagai simbol dari pandangan positif ini,
Mahkamah Agung Islam Amerika dengan bangga menampilkan bendera Amerika dalam home page internetnya.
Kaum Muslim Amerika yang menjalani cara hidup Islamis bagaimanapun, menolak budaya Amerika. Hal itu mereka lakukan karena kebudayaan Amerika merupakan campuran dari nilai-nilai Kristen dan nilai Masa Pencerahan yang mereka anggap haram. Kaum Islamis yakin cara mereka lebih unggul dibandingkan dengan Amerika dan mereka ingin menerapkannya di seluruh negeri. Untuk jangka pendek, mereka mempromosikan Islam sebagai solusi atas penyakit sosial dan moral bangsa. Bagaimanapun, sekian lama dan secara jauh lebih radikal lagi, mereka ingin mengubah Amerika Serikat menjadi negara Muslim yang berkembang dengan prinsip Islam yang ketat. Ketika memberikan pernyataan seputar sudut pandang radikal ini, Zaid Shakir seorang mantan kiyai kampus Universitas Yale, mengatakan bahwa kaum Muslim tidak bisa menerima legitimasi dari tatatertib Amerika yang kini ada karena "bertentangan dengan tatatertib dan takdir Allah." "Orientasi Qur'an," tambahnya, "mendorong kita menuju arah yang sangat berbeda." Walau bagaimanapun asingnya tujuan politik ini terlihat, namun dia banyak didiskusikan antarkalangan Islam. Dan peristiwa 11 September 2001 seharusnya membuatnya jelas betapa seriusnya pihak berwewenang Amerika Serikat memperhitungkan ambisi ini.
Debat terbesar antarkaum Islamis, nyatanya, bukan berkaitan dengan persoalan senang atau masuk akalnya upaya mengubah Amerika Serikat menjadi negara Muslim. Tetapi lebih pada bekerja menuju tujuan ini dengan cara yang sesuai dengan hukum namun pelahan, melalui perpindahan agama atau dengan menempuh jalan yang bertentangan dengan hukum yang lebih berisiko tetapi lebih lembut yang mempersyaratkan adanya kekerasan. Shamim A. Siddiwi, seorang imigran Pakistan mengharapkan sejumlah besar warga Amerika secara damai memeluk Islam dalam apa yang disebutnya sebagai "Tergesa-gesa menjadi Islam." Omar Abdel Rahman, sheik buta yang berada di balik pemboman Gedung Pusat Perdagangan Dunia pada 1993, bahkan menginginkan kaum Muslim "menaklukkan tanah orang-orang kafir." Dua pendekatan ini dapat dilakukan meski tumpang tindih. Keduanya lebih efektit diikuti sejumlah pelobi di Washington yang membantu para teroris misalnya menghentikan praktek untuk mengawasi para penumpang pesawat bertampang Timur Tengah.
Kaum integrasionis cenderung berterima kasih karena bisa hidup di Amerika Serikat dengan pemerintahan berdasarkan hukum, demokrasi dan kebebasan pribadi. Namun, kaum Islamis mengabaikan keberhasilan ini dan ingin membawa cara-cara Iran atau Afghanistan ke Amerika. Kaum integrasionis berjuang untuk menciptakan suatu Islam ala Amerika dan mengambil bagian dalam kehidupan Amerika. Sebaliknya, kaum Islamis, yang menginginkan Amerika menjadi negara Islam, tidak dapat melakukannya.
Kabar baiknya adalah bahwa jumlah kaum integrasionis lebih banyak daripada kaum Islamis. Sedangkan berita buruknya—adalah bahwa kaum Islamis jauh lebih aktif dalam urusan kaum Muslim dibanding kaum integrasionis. Mereka juga mengontrol hampir semua institusi Muslim negeri ini mulai dari masjid, sekolah, pusat komunitas, publikasi, website dan organisasi nasional. Adalah kaum Islamis yang mendapatkan undangan ke Gedung Putih dan Departemen Dalam Negeri. Yang diutamakan adalah kaum Islamis, yang Presiden George Bush, dalam bahasa geraknya berniat untuk menjamin kembali kaum Muslim Amerika, bertemu dengan dia dua kali setelah musibah berdarah 11 September 2001.
Apakah yang seharusnya warga Amerika lakukan guna melindungi diri terhadap kaum Islamis sekaligus mengamankan hak-hak sipil kaum Muslim yang taat hukum? Yang pertama dan paling langsung adalah dengan tidak menginginkan kaum Islamis memasuki negeri ini. Setiap anggota Islamis yang memasuki Amerika Serikat, entah sebagai pengunjung atau imigran berarti satu lagi musuh di baris depan dalam negeri. Para pejabat perlu menyelidiki pidato, asosiasi dan aktivitas para pengunjung atau imigran potensial itu untuk mendeteksi tanda apa pun yang berkaitan dengan kepatuhan kaum Islamis dan mengusir keluar siapa saja yang mereka curigai memiliki ikatan itu. Sejumlah libertarian sipil murni akan menggonggong, sebagaimana mereka lakukan atas legislasi sejenis yang dirancang untuk menyingkirkan kaum Marxis dan Leninis keluar dari Amerika. Tetapi ini benar-benar masalah perlindungan diri nasional.
Undang-undang yang ada memungkinkan adanya kebijakan semacam itu, walau sangat sulit untuk diterapkan sekarang. Penerapannya mempersyaratkan Menteri Luar Negeri Amerika terlibat langsung (Lihat ulisan, "It's Time to Plug Our Leaky Borders"—Sudah Waktunya Menutup Batas-Batas Negara Kita yang Bisa Diterobos). Walau ditulis beberapa dekade sebelum Islamisme muncul di panggung politik Amerika, Akta McCarren-Walter pada 1952 misalnya membolehkan orang-orang yang berjuang untuk menggulingkan Pemerintahan Amerika diusir keluar. Peraturan lain tidak mengijinkan masuk orang-orang yang dicurigai terlibat dalam aksi terorisme atau melakukan tindakan lain yang berpotensi berdampak sangat merugikan kebijakan luar negeri" sehingga para pejabat Amerika Serikat butuh waktu ekstra lebih banyak untuk menegakkan undang-undang tersebut.
Mencegah kaum Islamis dari negeri ini merupakan langkah pertama yang sangat jelas. Namun, akan sama-sama penting juga untuk mengawasi dari dekat kaum Islamis yang sudah berdiam di sini sebagai warga negara atau sebagai pemukim. Sayangnya, hal ini berarti semua kaum Muslim harus menghadapi pengawasan yang semakin ketat. Fakta yang tak bisa dihindari dan sangat menyakitkan, adalah ketika orang mungkin menjadi fasis atau komunis maka hanya kaum Muslim akan melihat Islamisme itu sangat menggoda.
Dan jika benar bahwa hampir semua kaum Muslim itu bukan Islamis maka kurang tepat pula bahwa semua kaum Islamis adalah Muslim. Kaum Muslim dapat berharap bahwa polisi yang memeriksa terduga teroris setelah serangan teroris yang baru terjadi bakal menghabiskan banyak waktu untuk memeriksa gereja, sinagoga, kuil Hindu, tetapi akan berkonsentrasi memeriksa berbagai masjid. Penjaga bangunan-bangunan pemerintah pun jauh lebih memungkinkan untuk menanyakan para pejalan kaki yang tampak sebagai orang kawasan Timur Tengah atau yang mengenakan penutup kepala.
Karena langkah-langkah itu harus diakui berciri prasangka, maka pada masa lalu, pihak-pihak berwewenang sangat enggan melaksanakannya. Sikap itu memang ingin ditegakkan oleh kaum Islamis dan para apologetnya yang berjuang menghambat upaya apapun untuk memeriksa kaum Muslim. Ketika kaum Muslim melakukan aksi kejahatan, para pejabat mundur dan melepaskan motif mereka dari Islam militan. Sebagai contoh, pengemudi taksi asal Lebanon yang menembak sebuah mobil van penuh pepak dengan remaja lelaki Yahudi Orthodoks di Jembatan Brooklyn 1994 dan menyebabkan satu remaja tewas, sangat marah kepada Israel dan Yahudi. Namun, FBI justru melihatnya secara lain, melihat motifnya sebagai "kemarahan di jalanan." Hanya setelah ibu anak remaja itu ngotot berkampanye, pihak FBI akhirnya mengklasifikasi serangan itu sebagai "kejahatan seorang teroris." Klarifikasi itu pun baru dibuat setelah 7 tahun pembunuhan terjadi. Rasa enggan untuk mencapai kesepakatan dengan kaum Islam militan mungkin dapat dipahami sebelum 11 September 2001, namun kini tidak ada lagi.
Pemeriksaan yang semakin ketat terhadap kaum Muslim menjadi tidak menyenangkan dan terasa tidak masuk akal di Bandara. Tetapi, seharusnya memang tetap demikian. Petugas keamanan perusahaan penerbangan biasanya mengawasi ketat orang-orang Arab dan kaum Muslim, namun itu dilakukan sebelum lobi-lobi yang sesuai mengungkapkan begitu banyak percecokan seputar "upaya melihat profil penumpang pesawat" sebagai suatu bentuk diskriminasi sehingga efektif ditinggalkan perusahaan penerbangan. Tidak adanya kebijakan masuk akal itu berarti bahwa 19 Muslim Arab penyandera bisa saja menumpang empat penerbangan terpisah pada 11 September 2001 dengan mudah.
Penelitian yang lebih ketat terhadap kaum Muslim juga berarti mengawasi kaum Islamis yang "sedang tidur." Mereka adalah anggota Islamis yang diam-diam menjalankan kegiatan hingga suatu hari menerima telepon dari pengawas mereka kemudian terlibat dalam aksi sebagai bagian dari operasi teroris. Empat anggota tim pembajak dalam aksi berdarah 11 September 2001 memperlihatkan betapa dahsyatnya penipuan terjadi. Seperti dijelaskan seorang penyidik, dia mencatat lamanya waktu 19 teroris itu menghabiskan waktu di Amerika ketika mengatakan, "Mereka bukan orang-orang yang datang dari perbatasan negara hanya untuk segera menyerang … Mereka sudah mendapat banyak teman, bergaul dalam masyarakat Amerika guna memperluas kemampuan mereka melancarkan serangan." Jadi, menghentikan para teroris "tidur" sebelum mereka diaktifkan dan melancarkan serangan menuntut adanya pengawasan yang lebih luas di berbagai perbatasan negara, inteligen yang baik dan sikap waspada warga negara.
Penduduk Muslim asing, yang memperlihatkan diri sebagai anggota Islamis harus langsung diusir keluar dari negara ini sebelum mereka berpeluang untuk beraksi. Kaum Islamis yang sudah menjadi warga Negara harus diawasi sangat ketat tanpa perasaan sungkan.
Bahkan ketika negara jauh lebih ketat mengawasi dunia Muslim di dalam batas-batas wilayahnya guna mendeteksi tanda-tanda Islamisme, pengawasan harus terus berlanjut. Tentu saja untuk melindungi hak sipil kaum Muslim yang taat hukum. Para pemimpin politik seharusnya secara teratur dan terbuka membedakan Islam, agama kaum Muslim dan Islamisme, sebuah ideologi yang totaliter. Selain itu, mereka seharusnya melakukan apa saja sesuai kekuasaan mereka guna memastikan bahwa orang-orang Muslim, masjid dan institusi sah lainnya terus menikmati perlindungan hukum penuh. Waktu krisis tidak boleh mengubah praduga tidak bersalah pada inti system hukum kita. Kepolisian harus memberikan perlindungan ekstra bagi kaum Muslim guna mencegah berbagai aksi vandalisme terhadap properti dan pribadi mereka.
Pantaslah bersyukurlah, sejumlah Muslim Amerika (dan warga Amerika-Arab, yang sebagian besar dari mereka sebetulnya Kristen) memahami bahwa dengan bersedia menerima sejumlah hal pribadi yang tidak menyenangkan, mereka sebetulnya membantu melindungi negara dan diri sendiri. Padahal, jujur saja, pada tingkat tertentu, tindakan aparat itu merendahkan martabat manusia. Tarek E. Masoud, seorang mahasiswa pascasarjana Universitas Yale misalnya, memperlihatkan kesadaran yang bagus yang tidak banyak dimiliki kakak-kakak kelasnya ketika dia mengatakan, "Berapa ribu jiwa diselamatkan jika orang seperti saya merasa tidak nyaman dengan membiarkan tas kami diperiksa juga diminta menjawab sejumlah pertanyaan?" tanyanya. "Orang mengatakan, kebijakan mengamati tampang orang membuat mereka merasa seolah penjahat. Memang demikian. Saya pun sudah tahu itu sebelumnya. Tetapi, bukankah saya akan merasa seperti pejahat seribu kali lebih banyak ketika melihat pekerjaan para penjahat yang sesungguhnya di New York dan Washington."
Tugas kunci ketiga adalah menaklukkan ideologi totalier Islam militan. Ini berarti berupaya mengisolasi instituasi Islam yang suka ribut dan jahat seperti Dewan Muslim Amerika, Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) dan Dewan Urusan Publik Muslim. Para politisi, pers, perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi relawan dan masyarakat secara keseluruhan—semuanya harus menghindari kelompok-kelompok itu dan sama sekali tidak memberikan secuil pun legitimasi kepada mereka. Pihak berwewenang bidang pajak dan penegakan hokum harus mengawasi mereka bagai burung elang, sebanyak mereka mengawasi para sopir pengangut barang.
Upaya memerangi ideologi Islamis juga mempersyaratkan ada upaya untuk menutup situs-situs internet yang mempromosikan aksi kekerasan kaum Islamis, merekrut anggota baru untuk bergabung dalam kampanye teroris menentang Barat serta mengumpulkan dana demi cita-cita militan Islam ("Sumbangkan uang untuk jihad militer," desak sebuah websiste jenis ini). Pemerintahan federal memang sudah mulai bertindak sebelum musibah 11 September 2001 seperti dengan menutup Infocom, yang berbasis di Dallas, yang menaungi banyak organisasi Islamis. Beberapa organisasi itu memberikan uang kepada kelompok Islam militan di luar negeri.
Yang juga mendasar dalam perjuangan melawan ideologi kaum Islamis adalah upaya untuk menjangkau kaum non-Muslim moderat yang bersedia membantu. Mereka adalah orang-orang yang secara tidak adil terkena tindakan berlebihan dari kaum Islamis namun di atas segala-galanya sungguh-sungguh berupaya menghentikan gerakan kaum ekstremis ini. Ada beberapa keuntungan dari upaya mengikutsertakan mereka dalam berbagai aksi itu. Mereka bisa memberi nasihat-nasehat berharga, mereka pun bisa memasuki organisasi klandestin Islamis. Keterlibatan mereka pun perlu dalam upaya melawan Islamisme untuk mematikan tuduhan-tuduhan yang tidak terelakkan yang berkaitan dengan "Islamifobia."
Lebih jauh lagi, para ahli Islam dan Muslim – para akademisi, jurnalis, tokoh agama dan pejabat pemerintah – harus dimita untuk mengungkapkan sudut pandangannya. Karena sudah lama kini, mereka memaafkan Islamis ketimbang berusaha menginterpretasikannya secara jujur. Dengan demikian, mereka bertanggung jawab atas ketidaksiapan yang mengarah kepada lahirnya aksi mengerikan September 2001. Pers dan media lain perlu memperlihatkan obyektivitas yang lebih luas dalam meliput masalah-masalah Islam. Pada masa lampau, mereka menutupinya dengan malu-malu. Dokumentasi terbaru PBS berjudul Islam, Empire of Faith (Islam, Kekaisaran Iman) menjadi kasus penting, yang seperti dijabarkan dengan sangat tepat oleh Suratkabar Wall Street Journal menawarkan "penghormatan yang tidak kritis terhadap Islam, jauh lebih tepat sebagai perjanjian bagi para penganut sejatinya, daripada sebuah film dokumenter yang bertujuan menyajikan sebuah kisah berimbang kepada publik Amerika." Para islamis di New York merayakan hancur lebarnya Gedung Perdagangan Dunia, pada September 2001 di berbagai masjid mereka, namun para jurnalis menolak melaporkan kisah-kisah itu karena takut menyerang kaum Muslim, sehingga efektif menyembunyikan informasi penting ini dari publik Amerika.
Dengan menempuh tiga langkah ini, warga Amerika mungkin bisa bersikap adil kepada terhadap mayoritas kaum Muslim yang moderat sambil berjuang memerangi Islam militan. Caranya dengan mencegah kaum Islamis tetap di luar Amerika, mengamati mereka dalam batas negara tanpa melanggar hak sipil masyarakat Muslim Amerika dan terakhir, mendelegitimasi kaum ekstremis. Aksi itu sulit dilakukan secara seimbang karena menuntut adanya kesadaran tanpa menyerahkan diri kepada kebenaran politik. Namun bagaimanapun, tindakan itu sangat mendasar dan dapat dicapai.