Ketika Konvensi Konsitusi di Philadelphia pada 1789 akan berakhir, Benyamin Franklin ditanya, apakah menciptakan sebuah monarki atau republik? Dia pun menjawab, " Sebuah republik, jika anda mampu menjaganya."
Pesimisme Franklin pun memenuhi benak saya kapan pun ketika sebuah republik melakukan kesalahan mengerikan. Mulai dari kebijakan Perancis untuk menyenangkan hati Jerman pada era 1930-an hingga kebijakan meningkatkan bantuan Amerika di Vietnam menjadi "kebijakan sinar mentari" Korea Selatan yang kini sedang berlangsung.
Dan kecemasan Franklin terasa baru saja relevan pada Kamis pekan lalu, ketika Negara Israel melaksanakan rencana menukar tawanan yang sangat luar biasa besar dengan pihak Hizbulah, salah satu kelompok teroris kenamaan dunia.
Guna menukar seorang warga sipil Israel brengsek yang ditangkap ketika kemungkinan tengah terlibat dalam berbagai transaksi yang meragukan beserta tiga tentara lain yang tersisa, Israel membebaskan 429 teroris dan kriminal yang masih aktif hidup dan 59 jenazah. Jumlah tawanan yang dilepas hidup-hidup itu mencakup 400 warga Palestina, 23 warga Libanon dan lima lainnya warga Arab dan satu warga Jerman.
Tuan Sharon melanjutkan penjelasan tentang motifnya mengadakan pertukaran itu sembari merujuk kepada keluarga para tentara Israel yang meninggal dunia. "Tiga keluarga tercinta, yang jiwa-jiwanya tidak bisa beristirahat selama 40 bulan silam, kini mampu kembali menyatukan perasaan mereka sedih untuk membangun makam yang layak dan tenang karena janji sudah terpenuhi dan keputusan yang benar dan bermoral telah dibuat terlepas dari harganya yang mahal.
Dengan kata lain, keputusan penting negara dibuat demi kepentingan membawa sedikit pelipur lara kepada tiga keluarga. Tetapi apakah dampak strategis bagi Israel dari tindakan yang nampaknya bermoral ini?
Beberapa atau banyak dari 429 orang yang dibebaskan itu bakal kembali terlibat dalam terorisme menenang Israel. Mungkin saja malah memicu kampanye kekerasan baru yang menyeluruh. Itu pernah terjadi satu kali sebelumnya. Pada 1985, Kantor Berita Reuters menjelaskan, pemerintahan Israel, "menukar lebih dari 1.100 warga Palestina menyusul hilangnya tiga tentaranya. Ada tujuh ratus orang Arab diijinkan untuk menetap di kawan-kawasan yang diduduki dan banyak dari mereka belakangan menjadi pemimpinan kerusuhan warga Palestina yang meledak pada 1987."
Kesepakatan berat sebelah itu mensinyalkan kepada musuh-musuh Israel bahwa mereka bisa menarik keuntungan sangat besar cukup dengan sekedar menahan satu tawanan warga sipil Israel. Itamar Marcus dari Palestinian Media Watch (Pengawas Media Palestina) berhasil mengumpulkan banyak pernyataan warga Palestina kemudian membuat kesimpulan ini. Cabang militer Fatah "menekankan perlunya mengikuti langkah-langkah tindakan Hizbulah sehingga semua narapidana dan tahanan bakal dibebaskan." Seorang pemimpin Hamas melihat dalam kesepakatan itu pengukuhan bahwa terorisme "mampu berhasil membebaskan lahan dan masyarakatnya." Sebuah suratkabar memuji Hizbulah karena membuka "pintu harapan baru bagi keluarga-keluarga para narapidana setelah organisasi itu tutup selama solusi politik antara [Otoritas Palestina] dengan Israel dilakukan, yang ternyata tidak memberikan hasil-hasil praktis."
Reputasi dan prinsip Israel bakal hancur mengerikan akibat dari sinyal demoralisasi dan situasi yang rawan terserang ini. Coba dengarkan pernyataan Ali Khamanei, pemimpin tertinggi Iran, tentang pertukaran tawanan, yang melihat di dalamnya bukti lain "bahwa rejim Zionis yang jahat dapat dikalahkan dengan niat yang kuat dan iman nyata kaum Mujahidin Islam."
Pemerintahan Sharon pun menyebabkan para sekutunya gagal dalam perang global terhadap terror.
Menahan tawanan tampaknya kini menjadi taktik yang jauh lebih efektif dibanding sepekan sebelumnya. Jika taktik itu dapat memenangkan sinyal kemenangan bahwa Islamis di Libanon melawan Israel maka mitra ideologis mereka lebih mungkin untuk menggunakannya di Irak ketika melawan Pemerintahan Amerika, di Moskow melawan Pemerintah Rusia dan di Kashmir melawan Pemerintahan India. Tiap keberhasilan para teroris, tingkat lokal sekalipun, berpotensi untuk bergema secara internasional.
Moral yang keji dalam berurusan dengan para teroris terkikis kini. JIka membebaskan ratusan teroris dapat diterima di Israel mengapa tidak dilakukan di negara-negara lain juga?
Banyaknya konsekwensi negatif ini memunculkan pertanyaan seputar moral dari tindakan pemerintahan Israel ini.
Pada masa awal pendiriannya, keunggulan strategi Israel melegenda, berhasil mengubah sebuah negara lemah menjadi pembangkit tenaga kekuatan rejional. Dekade lalu memperlihatkan proses yang berbeda, di mana pembangkit tenaga itu mengurangi kekuatannya sendiri sehingga menjadi target yang menggoda musuh. Bahwa perubahan ini sepenuhnya dilakukan sendiri dan tercapai lewat proses demokratis memang membuat ramalan kenabian Benyamin Franklin yang penuh kekhawatiran terlampau nyata.
Kapankah serangan itu berhenti? Sejak itu, berapa banyak kerusakan bakal terjadi?
-------
Penambahan 20 Desember 2006: Bahwa "seorang warga sipil Israel yang nakal, tertangkap sementara dia kemungkinan terlibat dalam berbagai transaksi merugikan" dibicarakan di atas? Namanya Elhanan Tannenbaum. Kepada sebuah pengadilan di Tel Aviv dia menyampaikan bahwa Hizbulah menangkapnya ketika dia tengah mencoba menyingkap kesepakatan penjualan narkoba bernilai 200.000 dolar Amerika Serikat.
Komentar: Steven Plaut dengan getir mencatat bahwa "Tannenbaum yang secara pribadi jauh lebih menghancurkan Israel dibandingkan dengan nyaris siapapun di luar politik Israel belum juga didakwa atas kasus apapun di Israel."
Penambahan 20 Desember 2006: Chemi Doron, mantan anggota parlemen Israel (Knesset) atas nama Shinui, membedah apa yang disebutnya "Biadabnya Tennenbaum." Namun hari ini ada fakta yang jauh lebih getir lagi dalam Yediot Aharanot yang mengulas seluruh masalah tentara Israel (IDF) karena memberikan surat jalan masuk gratis kepada Tennenbaum serta meminta agar langkah itu ditinjau kembali.