Rave membuat tinjauan buku dalam pers Inggeris; ia merujuk buku "Yaman: The Unknown Arabia" sebagai buku tentang perjalanan. Padahal buku itu jauh lebih tepat dideskripsikan sebagai buku resmi pemerintah (residence). Mackintosh–Smith sendiri sejak berusia 15 tahun atau sekitarnya sangat tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan Yaman. Tidak heran bahwa dia belajar Bahasa Arab di Universitas Oxford. Segera setelah menyelesaikan pendidikannnya di lembaga bergengsi itu berangkat menuju Yaman dan berdiam di sana sejak 1982.
Yaman, adalah salah satu negara Timur Tengah yang menakjubkan dan menarik, walau kerapkali diabaikan. Dalam buku Mackintosh- Smith, masyarakat Yaman seolah menemukan jurubicara dan penyair berbahasa Inggeris bagi negeri mereka. Bukunya merupakan karya sastra yang menyenangkan sehingga pada saat bersamaan, memberikan begitu banyak informasi seputar negara tempat tinggalnya yang baru itu. Berbagai kota di Yaman "tampak terpanggang, tidak dibangun, tetapi terbuat dari roti jahe yang membeku menjadi salju." Buku itu pun merujuk jilbab kaum wanita Muslim yang menjadi sumber salah-pengertian antara timur – barat ketika dia mengatakan, "Tirai Besi memang sudah tidak ada dan berlalu. Tetapi tirai kaum Muslim masih saja bergantung dan mungkin bakal selalu ada." Selain itu, masyarakat Yaman tidak memiliki kata untuk salju sehingga harus berusaha menjelaskannya sendiri: "Salju yang jatuh dari langit. Tidak. Tidak ditarik. Itulah barang yang jatuh pelahan mirip kapas." Meski demikian, beberapa kali, simpati sang pengarang terhadap negara baru tempat tinggalnya itu terjebak pada sikap apologetik, sikap untuk mendebat (seperti ketika dia mengatakan kenyataan seputar penampilan Yaman yang muram selama krisis Kuwait pada 1990- 91. Ia mengatakan Yaman adalah "korban" serta "syuhada yang sadar diri."
Yang juga patut disayangkan adalah bahwa Mackintosh-Smith mencurahkan terlampau banyak bagian buku untuk membahas tentang pemandangan dan pengalaman-pengalaman di jalanan Yaman. Bukan mendikusikan tema utama buku (misalnya yang berkaitan dengan makanan, jenis kelamin, stratifikasi sosial, westernisasi, dll), dia justru mengemukakan pokok-pokok bahasan yang berdimensi banyak dan nyaris acak dalam petualangannya. Bukunya memang dituliskan secara cerdas dan penuh wawasan, namun memaksa pembaca untuk bersabar, ketika presentasi yang jauh lebih cerdas dan sistematik malah diabaikan. Jika beruntung, hal-hal yang tidak jelas itu akan muncul dalam buku baru sang penulis yang berbakat ini.