"Siapapun yang prihatin dengan apa yang tengah terjadi di dunia kita, harus mencurahkan beberapa waktu untuk membaca Al-Qur'an." Andy Rooney, komentar CBS yang kini terkenal memberikan nasihat ini beberapa saat setelah musibah kemanusiaan berdarah di Gedung Perdagangan Dunia, New York, 11 September 2001. Nasihat senada juga diberikan oleh banyak orang lainnya.
Sarannya memang secara intuitif masuk akal jika dilihat bahwa para teroris sendiri mengatakan mereka bertindak berdasarkan Alkibat Islam itu. Terdakwa pemimpin gerombolan penjahat itu, Mohammed Atta menyimpan Al-Qur'an (kerap diucapkan sebagai Qur'an) dalam kopernya yang dimintanya untuk diperiksa sebelum terbang. Dokumen nasihatnya sepanjang lima halaman bagi sesama pembajak menginstruksikan mereka untuk berdoa, meminta bimbingan Tuhan kemudian "melanjutkannya dengan melafalkan Al-Qur'an. " Osama bin Laden pun kerapkali mengutip Al-Qur'an guna memotivasi dan meyakinkan para pengikutnya.
Para saksi mata melaporkan bahwa sedikitnya satu dari para pembunuh bom bunuh diri yang berupaya membunuh Presiden Pakistan, Pervez Musharraf pekan lalu tengah membaca Al-Qur'an sebelum meledakan dirinya sendiri. Rekaman video bunuh diri yang dilakukan Hamas pun rutin menggambarkan Al-Qur'an.
Faktanya, banyak non-Muslim juga membaca Al-Qur'an. Pekan-pekan setelah musibah maut 11 September 2001, penerbit buku terbesar di Amerika Serikat melaporkan bahwa angka penjualan naik hingga lima kali lipat. Akibatnya, perusahaan terpaksa meminta kitab-kitab itu dikirimkan dengan pesawat dari Inggeris guna memenuhi kebutuhan. Berbagai tokobuku Amerika melaporkan menjual jauh lebih banyak Al-Qur'an ketimbang Alkitab.
Kebetulan, semua ini, menjadi musik merdu bagi telinga kaum Islamis. Hossam Gabri dari Islamic Society of Boston (Masyarakat Islam Boston), sebuah kelompok yang terkait dengan seorang pemberi dana terorisme, menganggap upaya kaum non-Muslim tengah memahami Al-Qur'an sebagai suatu "perkembangan yang sangat bagus."
Tetapi, membaca Al-Qur'an, justru benar-benar merupakan cara yang salah untuk memahami "apa yang sedang terjadi di dunia kita." Itu terjadi karena Al-Qur'an;
Mendalam. Orang tidak bisa mengambil dan memahami artinya ketika hampir setiap kalimat dalam kitab suci itu membutuhkan anotasi, komentar, glosari dan komentar-komentar yang berlebihkan. Dokumen seperti ini mempersyaratkan adanya penyelidikan mendalam atas konteks, perkembangan termasuk interpretasi tambahannya. Konstitusi Amerika Serikat misalnya menawarkan analogi yang bagus: Amandemen Keduanya hanya terdiri dari 27 kata (milisi yang teratur baik, perlu demi amannya negara yang bebas, hak rakyat untuk memiliki dan memanggul senjata tidak boleh dilanggar). Tetapi, kata-kata sebanyak itu menjadi subyek berbagai penelitian buku yang panjang. Meski demikian, tidak seorang pun muncul segar sesuai dengan kalimat ini tidak memikirkan implikasi pemikirannya.
Rumit dan saling bertentangan: Sudah diteliti ada banyak sekali kontradiksi yang dicoba dipadupadankan selama berabad-abad melalui penelitian ilmiah yang sangat luas. Sejumlah ayat dibatalkan dan diganti dengan yang lain dengan arti yang juga berbeda. Sebagai contoh, ayat 9:5 memerintahkan kaum Muslim untuk membunuh orang kafir hingga bulan suci Ramadhan lewat. Dan ayat 9: 36 meminta kaum Muslim untuk memerangi orang-orang kafir selama bulan-bulan itu. Dengan demikian, para pembaca umum tidak punya pemikiran ayat manakah yang memang berfungsi. (Nyatanya, ayat terakhir yang berfungsi).
Statis: Kitab suci yang tidak berubah bagaimana pun tidak bertanggung jawab terhadap perubahan yang terjadi. Jika Al-Qur'an menimbulkan terorisme, maka bagaimana seseroang bisa menjadi situasi era 1960-an ketika kekejaman Islam militant nyata-nyata berlangsung? Al-Qur'an adalah teks yang sama masa itu seperti sekarang. Lebih luas lagi, selama periode 14 abad, Al-Qur'an menginspirasi kaum Muslim untuk bertindak dengan cara-cara agresif sekaligus pasif, suci sekaligus tidak suci, toleran sekaligus tidak toleran. Pemikiran logis menuntut orang yang melihat lagi dari sumber lain dibanding pada teks yang tidak bisa berubah untuk bisa memberikan keterangan yang memuaskan atas pergeseran seperti ini.
Parsial: Kitab Suci memang sangat penting namun dia tidak langsung menciptakan konteks tindakan. Membaca Alkibat secara terpisah hanya akan memberikan wawasan terbatas dalam luasnya pengalaman umat Yahudi dan Kristen selama beribu-ribu tahun. Kaum Muslim juga membaca Al-Qur'an secara berbada sekian lama. Nasehat soal sopan santun di kalangan wanita memang berarti di kalangan kaum feminis Mesir era 1920-an dan tentu berbeda bagi keturunan mereka hari ini. Penutup kepala misalnya merepresentasikan penindasan dan dikeluarkannya seseorang dari hidup publik namun kini, "Veiled is beautiful" (Berjilbab itu indah) seperti dituliskan dalam berita utama suratkabar Inggeris, Lalu, jilbab menandakan bahwa seorang wanita bukanlah manusia sepenuhnya. Tetapi kini, sepertio diungkapkan dalam kata-kata seorang editor sebuah majalah mode, jilbab justru "memberitahukan kepada anda, bahwa anda seorang wanita…Anda harus diperlakukan sebagai suatu pemikiran yang bebas." Jadi, membaca Al-Qur'an sebagai sesuatu yang terpisah justru menghilangkan evolusi yang tidak berpendirian tetap itu. Ringkasnya, Al-Qur'an bukanlah buku sejarah.
Bagaimanapun, buku sejarah adalah buku sejarah. Daripada mempelajari Al-Qur'an, saya mendesak siapapun yang ingin belajar soal Islam militan dan kekerasan yang diinspirasikannya untuk memahami fenomena sebagai gerakan Wahabi, revolusi Khomeini serta Al-Qaeda. Sejarah Muslim, bukanlah teologi Islam, menjelaskan betapa kita pun tiba di sana dan memberikan petunjuk atas apa yang mungkin bakal datang.
Tamban 20 Januari 2004: Louise Marlow membuat pemikiran yang sama dalam bukunya, Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought (Cambridge, Eng.: Cambridge University Press, 1997). Saya sudah meresensi buku ini, Juni 1999.
Sebagai tanggapan terhadap tulisan ini, lihat:
- Ali Sina, "Yes, study the Quran!" (Ya, Belajar Al-Qur'an), FaithFreedom.org, 21 Januari 2004.
- Irfan Khawaja, "Daniel Pipes Is Wrong ... People Should Read the Koran to Learn About Muslim Terrorism," (Daniel Pipes Salah…Orang Harus Baca Al-Qur'an UNtuk Belajar Tentang Terorisme Kaum Muslim), History News Network, 8 Maret 2004.
Penambahan 28 September 2004: Saya menganalisis sebuah frase dalam Al-Qur'an dalam tulisan saya, "[The Issue of Compulsion in Religion:] Islam is What Its Followers Make of It ," ([Isu Paksaan Beragama]: Islam adalah apa yang dibuat oleh pengikutnya"), dengan gamblang memperlihatkan "Rumit dan bertentangan" dari paragraph di atas.
Penambahan 19 Februari 2006: Patrick Sookhdeo sepakat dengan saya, sebagaimana saya kutip dalam tulisan saya yang dimuat di Sunday Telegraph serta memberikan alasan lain mengapa pembaca awam tidak bisa memahami Al-Qur'an: yaitu struktur penulisannya:
[Perdana Menteri Inggeris] Tony Blair secara tidak sengaja memperlihatkan sikap lugunya ketika mengatakan, dalam upayanya untuk mendamaikan kaum Muslim, bahwa dia "sudah dua kali membaca seluruh Al-Qur'an" serta menyimpan kitab itu di samping tempat tidurnya. Dikiranya, dia mengungkapkan sesuatu yang memperlihatkan betapa seriusnya dia pelajari Islam. Tetapi sebagian besar kaum Muslim berpikir, itu hanya lelucon, jika bukan penghinaan. Karena, tentu saja, setiap Muslim tahu bahwa anda tidak bisa membaca Al-Qur'an dari sampul ke sampul dan memahaminya.
Surat-surat Al-Qur'an tidak ditulis untuk dibaca seperti itu. Memang, setelah surat pertama, surat-surat diatur menurut panjangnya, bukan berdasarkan isi atau kronologi. Surat terpanjang diletakan pada bagian pertama sedangkan yang terpendek berada pada bagian akhir. Anda perlu tahu bagian mana yang pada apa apa dan kapan supaya bisa memahaminya. Anda tidak bisa sekedar membacanya dari awal hingga akhir dan berharap untuk belajar seluruhnya. Inilah satu alasan mengapa perlu waktu yang sekian lama untuk bisa membaca dan memahami Al-Qur'an; arti bagian-bagian itu tergantung pada pengetahuan tentang konteks—konteks itu yang tidak ada dalam Al-Qur'an itu sendiri.
Penambahan 15 Maret 2015: Pemimpin tertinggi Iran, Ali Khamane'i menulis sebuah surat terbuka mendesak kaum Muslim untuk mengabaikan apa yang dikatakan Barat tentang Islam dan tetap membaca Al-Qur'an sendiri. Bella Jaishinghani melaporkan dari Bombay (Mumbai) sebagai berikut:
Para penduduk Andheri barat baru-baru ini menemukan sisipan aneh dalam koran pagi yang beredar di daerah mereka. Sisipan itu berupa surat dari sebuah kelompok Muslim lokal yang mengutip pernyataan pemimpin spiritual tertinggi Iran, Sayyed Ali Khamane'i…Surat itu mendesak para pembaca supaya tidak mencurigai Islam karena "propaganda yang salah" (false propaganda) dari negara-negara Barat dan sebaliknya mengakrabkan diri dengan iman sejati dengan membaca Kitab Suci Al-Qur'an.
"Berbagai peristiwa akhir-akhir ini di Perancis telah meyakinkan saya untuk berbicara langsung kepada anda tentang masalah-masalah itu. Ada banyak upaya dibuat untuk menempatkan agama Islam yang agung di kursi musuh yang mengerikan. Mendapatkan pengetahuan tentang Islam dari sumber utama dan asli. Peroleh informasi Islam melalui Al-Qur'an dan kehidupan Nabinya yang agung."
Komentar: Taktik ini muncul mengejutkan jika dilihat dari sulitnya, rumitnya, kacaunya susunan serta ciri bombastis teks Al-Qur'an (ketika diterjemahkan di luar Bahasa Arab).