Hari ini 30 Juni 1998. Sebuah tanggal yang sangat menyenangkan untuk mendiskusikan masalah Islam dan Barat karena hari ini ini, tepat 200 tahun silam, berdasarkan perhitungan biasa, era pramodern Islam berakhir mendadak. Besok, 1 Juli 1798, Napoleon mendarat di Mesir. Itulah tanggal ketika dunia Muslim menjadi lebih tahun tentang Eropa karena setelah itu, Eropa menimbulkan dampak yang jauh lebih dramatis dan langsung dibanding sebelumnya. Jika ada satu tanggal mampu menggambarkan suatu era baru, maka tanggal itulah yang bisa.
Kami diminta membahas pertanyaan, "apakah Islam cocok dengan peradaban Barat?" Saya bisa saja dengan mudah menjawab "tidak." Tidak ada yang begitu cocok dengan dua agama atau dua peradaban berbasis agama itu. Keduanya sangat luas, punya banyak hambatan sehingga jika punya banyak waktu, kita pun hanya bisa mendiskusikannya pada tingkat yang sangat umum.
Sebaliknya, saya ingin pusatkan perhatian pada benturan pemikiran dan ideologi. Konfrontasi itu jelas terlihat menyusul dikeluarkannya fatwa Ayatollah Khomeini atas Salman Rushdie. Berbeda dari harapan umum, barisan masyarakat pada 1989 dipilah-pilah bukan antara Muslim dan Barat tetapi antara para pendukung ayatollah atau dalam sejumlah bentuk bersimpati kepadanya, berhadapan dengan orang-orang yang menentangnya. Orang menemukan banyak kaum Muslim dan masyarakat Barat pada dua pihak. Ini menggambarkan betapa ide yang diperhitungkan bukan agama.
Ide paling penting dalam konteks ini berkaitan dengan Islamisme, sedangkan yang sebaliknya dikenal sebagai Islam fundamentalis. Jadi saya akan gunakan sedikit kebebasan saya untuk menyesuaikan diri dengan pertanyaan yang diajukan kepada saya dan membuatnya menjadi, "Apakah Islamisme itu sesuai dengan peradaban Barat?" Sekarang saya bisa katakan, "Ya." Memang ada hubungan yang sangat sulit dan penuh dendam ada antara keduanya. Guna menjabarkan pemikiran ini, saya ingin secara ringkas membahas tiga topik: (1) Islam (2) Islamisme dan (3) tanggapan yang wajar terhadap Islamisme dari rakyat dan pemerintah AS.
Islam
Berkenaan dengan Islam, orang harus mulai dengan memahami daya tarik mendalam yang tidak pernah lekang oleh waktu dari Islam tradisional, sebuah agama yang kini memiliki nyaris satu miliar penganutnya. Kesetiaan mereka terhadap Islam benar-benar mengagumkan: Kaum Muslim nyaris tidak pernah meninggalkan iman mereka guna mendukung iman lain. Inilah yang disebut oleh seorang ilmuwan, Patricia Crone sebagai "dunia para pria dan keluarga mereka" yang memang sangat mempesona. Ayatollah Mohammed Imami Kashani dari Iran pun pernah mengucapkan hal yang sama kala mengatakan, "Orang Barat mana pun yang benar-benar paham Islam akan iri hati dengan hidup kaum Muslim." Saya, ya saya sendiri, belajar di Kairo (Mesir) bertahun-tahun silam kepada Sheik Ahmad Hassan al-Baquri dan sepanjang masa pendidikan itu, mendapatkan sejumlah pemahaman langsung seputar akumulasi kebijakan, logika dan daya tarik agama itu.
Tetapi, persoalan yang harus kita bahas dimulai 200 tahun silam, kurang satu hari. Islam pada dasarnya merupakan agama yang berhasil; agama para pemenang. Nabi Muhammad keluar dari Kota Mekkah pada tahun 622 dan hanya delapan tahun kemudian kembali ke Mekkah sebagai penguasa. Kaum Muslim berawal sebagai kelompok yang tidak kelas di Arabia. Tetapi dalam kurun waktu satu abad sudah menguasai kawasan itu, mulai dari Spanyol hingga India. Katakan saja, pada tahun 1000, Islam berada di puncak terlepas dari indeks dari keberhasilan dunia yang dilihat orang; dalam bidang kesehatan, kekayaan, melek huruf, kebudayaan dan kekuasaan. Asosiasi ini menjadi biasa dan bergaya: Menjadi Muslim berarti menjadi orang kesukaan Allah, seorang pemenang.
Trauma terhadap sejarah modern yang dimulai 200 tahun silam berbarengan jalan dengan kegagalan. Kegagalan dimulai ketika Napoleon mendarat di Aleksandria dan semenjak itu terus berlanjut di sana dalam nyaris semua aspek kehidupan masyarakat – dalam bidang kesehatan, kekayaan, melek hurup, budaya dan kekuasaan. Kaum Muslim tidak lagi berada di puncak. Seperti dikatakan oleh mufti, pemimpin umat Yeruslam beberapa bulan silam, "Sebelumnya, kita adalah penguasa dunia dan kini kita bahkan tidak bisa menjadi penguasa atas masjid-masjid kita sendiri." Di sinilah letak trauma, seperti dikatakan Wilfred Cantwell Smith empat puluh tahun silam dalam buku peletakan dasar pertamanya yang mengagumkan, Islam in Modern History.
Ada tiga tanggapan terhadap trauma ini—ada tiga upaya untuk memperbaiki keadaan. Pertama, lewat sekularime. Sekularisme dapat diartikan sebagai secara terbuka belajar dari Barat sambil mereduksi Islam hingga lingkungan pribadi. Kedua, melakukan reformisme yang berarti mengambil kembali dari Barat, katakan jika Barat benar-benar memperolah kekuatannya dengan mencuri dari kaum Muslim, maka kaum Muslim boleh mengambilnya kembali dari mereka. Ini suatu landasan tengah-tengah. Ketiga, lewat Islamisme, yang menekankan upaya kembali kepada cara-cara Islam. Tetapi nyatanya banyak yang mengambil secara sembunyi-sembunyi dari Barat – barangkali tanpa menginginkannya, namun masih sangat banyak melakukannya.
Islamisme
Islamisme adalah sebuah ideologi yang menuntut manusia untuk sepenuhnya patuh kepada hukum suci Islam dan menolak, sekuat-kuatnya pengaruh luar, dengan sejumlah pengecualian (seperti akses terhadap militer dan teknologi medis). Upaya ini diinspirasi lagi dengan antagonisme yang mendalam terhadap kaum non-Muslim dan dengan perasaan permusuhan yang khusus terhadap Barat. Sikap itu berdampak pada upaya untuk mengubah Islam, sebuah agama dan peradaban menjadi sebuah ideologi.
Kata "Islamisme" sangat tepat karena ia adalah sebuah "isme", seperti isme lain seperti fasisme dan nasionalisme. Islamisme mengubah serpihan dan kepingan dalam Islam yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan urusan militer menjadi program berkelanjutan dan sistematis. Sebagaimana dikatakan oleh pemimpin Persaudaraan Muslim beberapa tahun silam, "Kaum Muslim bukan sosialis atau kapitalis; mereka Muslim." Saya lihat pernyataan ini sangat berdampak karena membandingkan kaum Muslim dengan kaum sosialis dan kapitalis, bukan dengan kaum Kristen atau Yahudi. Dia mengatakan, kita bukan "isme" ini, kita adalah "isme" itu. Islamisme menawarkan cara pendekatan dan pengawasan kekuasaan negara. Ia terang-terangan mengandalkan kekuasaan negara untuk tujuan koersif.
Dengan kata lain, Islamisme, masih merupakan skema utopia radikal abad dua puluh yang berbeda. Seperti Marxisme-Leninisme atau fasisme, ia pun menawarkan cara mengontrol negara, mengelola masyarakat dan membangun kembali manusia. Jadi, semacam versi totalitarianisme rasa Islam. Tentu saja, rinciannya sangat jauh berbeda dari versi-versi sebelumnya, tetapi tujuan akhirnya sangat mirip.
Islamisme pun merupakan transformasi total atas Islam tradisional. Ia berperan sebagai kendaraan modernisasi. Ideologi yang berurusan dengan persoalan kehidupan perkotaan, wanita bekerja dan hal-hal lain yang berada di garis depan bukan persoalan tradisional para petani. Oliver Roy, seorang ilmuwan Perancis lantas mengatakan, "Lebih daripada reaksi terhadap modernisasi masyarakat Muslim, Islamisme merupakan produknya." Islamisme bukan sebuah program abad pertengahan tetapi sebuah program yang menanggapi tekanan dan hambatan abad kedua puluh.
Dalam hal ini, Islamisme merupakan perubahan Islam tradisional secara besar-besaran. Satu ilustrasi: Oleh karena hukum suci Islam tradisional merupakan hukum personal, maka hukum yang harus dijalani oleh seorang Muslim di mana dia berada, maka Islamisme mencoba terapkan hukum geografis ala Barat yang tergantung pada tempat orang itu menetap. Ambil contoh kasus Sudan. Di sana, seorang penganut Kristen secara turun-temurun berhak penuh untuk minum alkohol karena dia Kristen dan hukum Islam diterapkan hanya kepada kaum Muslim. Tetapi rejim yang kini berkuasa melarang alkohol untuk semua masyarakat Sudan. Ia mengharapkan hukum Islam itu bersifat territorial karena itulah cara masyaraka Barat dikelola.
Saya juga ingin mengingatkan bahwa Islamime punya beberapa kaitan dengan kekayaan atau kemiskinan. Ia bukanlah respon terhadap deprivasi. Tidak ada kaitan yang dapat dilihat antara pendapatan kerja dan Islamisme. Lebih dari itu, gerapakan ini dipimpin oleh orang-orang yang mampu mengatasi kesulitan dan jatuh bangunnya dunia modern. Ideologi pertama-tama tampil kepada orang modern. Saya selalu tertarik untuk mencatat betapa banyak pemimpin Islamisme (misalnya di Turki dan Yordania) adalah para insinyiur.
Sekarang Islamisme merupakan kekuatan yang sangat kuat. Ia menjalankan pemerintahan di Iran, Sudan dan Afghanistan. Dia pun menjadi kekuatan oposisi yang sangat kuat di Aljazair, Mesir, Turki, Libanon dan Otoritas Palestina. ( Setahu saya, Saudi Arabia dan Libya bukan negara Islamis). Saya perkirakan bahwa sekitar 10 persen penduduk Muslim di seluruh penjuru dunia itu adalah kaum Islamis. Tetapi, ia adalah sebuah minoritas yang sangat aktif dan prestasinya jauh mengatasi jumlahnya. Kaum Islamis juga hadir di sini, di Amerika Serikat dan, pada tingkat yang menakjubkan, mendominasi wacana Islam Amerika.
Berhasilnya kaum Islamis di Iran, Sudan dan Afghanistan memperlihatkan bahwa di manapun mereka naik ke puncak kekuasaan, mereka akan menciptakan masalah yang luar biasa besar atas rakyat yang mereka kuasai, atas negara-negara tetangga mereka dan atas Amerika Serikat. Jangkauan kekuasaan mereka mengarah kepada kontraksi ekonomi, hingga penindasan kaum wanita, kepada pelecehan hak-hak asasi manusia yang mengerikan, pada pengembangbiakan senjata, atas terorisme dan pada meluasnya ideology anti-Amerika yang sangat jahat. Ringkasnya, semuanya ini adalah negara-negara bajingan. Mereka berbahaya pertama-tama bagi rakyat mereka sendiri kemudian atas dunia luar.
Implikasi Terhadap Kebijakan
Ada pertarungan akbar yang kini sedang berlangsung bagi jiwa dunia Muslim. Pertempuran ini bukan antara Barat dan dunia Muslim. Kita di Barat adalah pengamat. Pada dasarnya, dia merupakan pertempuran antara kaum Muslim sendiri; antara disposisi Khomeini dan Atatürk. Mana yang menang? Memang ganjil untuk mengamati bahwa pemikiran baru yang hidup di kalangan pengikut Kemal di Turki adalah kaum Islamis, sebaliknya pemikiran baru dan hidup dalam lingkaran kaum Islamis Iran adalah sekular. Hal ini mengarah kepada pergolakan dan perkembangan dinamis yang sedang terjadi di dunia Muslim.
Terlepas dari fakta bahwa masyarakat Barat adalah para pengamat, kita yang berada di luar harus melindungi kepentingan-kepentingan kita. Untuk memulainya, perumusan kembali strategi kita terhadap Islamisme harus sangat rinci dan berulangkali membedakan antara Islam dan Islamisme. Saya sedang membahas upaya mengembangkan kebijakan untuk mendekati Islamisme, bukan Islam. Berbagai negara di dunia tidak memiliki kebijakan untuk mendekati agama-agama, tetapi punya kebijakan untuk menanggapi ideologi-ideologi. Pemerintah dan rakyat Amerika harus benar-benar memahami perbedaan ini.
Dikatakan, Pemerintah AS seharusnya mengambil sejumlah langkah:
- Mendukung negara-negara yang juga didiami kaum Islamis dan mendorong mereka untuk melakukannya juga. Menahan kaum Islamis tetap berada di luar kekuasaan menjadi kepentingan mereka dan kita.
- Menekan negara-negara yang Islamis guna menekan perilaku agresif mereka terhadap rakyat mereka dan terhadap dunia luar.
- Memuji dan mendukung jiwa-jiwa berani yang rela menentang kaum Islamis.
- Memberikan label sedemikian rupa kepada kaum kelompok-kelompok Islamis yang terlibat dalam terorisme.
- Jangan bekerja sama dengan kaum Islamis, karena itu berarti mendorong mereka. Dialog dengan kaum Islamis cenderung meningkatkan status mereka.
- Benar-benar berhat-hati ketika mendorong diadakannya Pemilu.Penyebarluasan demokrasi menjadi gerak tetap dari harapan Amerika. Tetapi ia juga mencakup jauh lebih banyak surat suara. Pemilu merupakan puncak dari proses yang dalam dan biasanya jangka panjang yang mencakup pemerintahan berdasarkan hokum yang jelas, hak kaum minoritas, kebebasan mengungkapkan pendapat, kebebasan untuk berkumpul serta banyak lagi. Mengadakan Pemilu sebelum waktunya, sebagaimana terjadi di Aljazair, janganlah menjadi kepentingan seseorangan. Ia memerlukan 10,20,30 tahun evolusi sebelum demokrasi yang penuh dapat benar-benar terjadi. Dalam arti, proses itu memberikan ikhtisar dari apa yang terjadi di negara demokratis pertama, di Inggeris, selama berabad-abad.
Karena perlu waktu untuk bisa memberi hak penuh dalam pemungutan suara, maka pemerintah AS harus mendorong demokrasi, pertama-tama pada tingkat masyarakat madani kemudian hanya setelah demokrasi tingkat itu sudah dibangun, pada tingkat para pemimpin politik.