Pemimpin AS menyerang keras Netanyahu. |
Para genius dalam pemerintahan Obama sudah dua kali melakukan provokasi. Dan dua kali pula mereka kalah dalam konflik yang tanpa alasan itu dengan Pemerintahan Netanyahu. Sayangnya, kekalahan tidak menghalangi mereka untuk ngotot menjalankan berbagai tujuan mereka yang salah.
Konflik pertama terjadi Mei 2009. Ketika itu, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menuntut Israel menghentikan aktivitas pembangunan di Tepi Barat dan Yerusalem. Empat bulan kemudian, setelah memperhitungkan bahwa kebijakan itu menghambat diplomasi Israel – Palestina yang mati-matian mereka perjuangkan, para jenius itu kembali mundur dan kembali kepada kebijakan Partai Demokrat seperti biasanya. Artinya, menjalinkan hubungan baik dengan Yerusalem.,
Maret 2010, Wakil Presiden Joe Biden, Clinton dan Obama dengan hati-hati melangsir lagi konflik yang sama dengan Israel sejak awal. Kala itu secara khusus berkaitan dengan Yerusalem. Pemerintah hanya butuh waktu enam pekan untuk mundur dari sikapnya yang bodoh seperti disinyalkan dari pidato James Jones di Washington Institute dan Jamuan Makan Bersama Elie Wiesel di Gedung Putih.
Berbeda dari taktik mengundurkan diri ini, kebijakan tentang "kaitan (linkage)," meyakini bahwa kesejahteraan Timur Tengah pertama-tama tergantung pada perjanjian Israel– Palestina tetap sama sehingga bakal mengganggu relasi Amerika Serikat – Israel sedikitnya selama 2,5 tahun mendatang masa kepresidenan Obama.
Pada masa sulit, tiga kenyataan itu menyenangkan saya. Pertama, Israel menerima "risiko untuk damai" lebih banyak dengan menawarkan "konsesi yang lebih menyakitkan hati". Misalnya, mereka membuat kesalahan yang tidak bisa diperbaiki lagi--- ketika ikatan AS-Israel masih hangat dan kuat. Sebaliknya, hubungan AS- Israel yang tegang berdampak pada keputusan buruk yang tidak terlalu disukai. Inilah salah satu tindak salah langkah Obama yang masih punya prospek.
Harapan yang masih punya prospek lain tampaknya ada dalam kerusakan tetap yang diakibatkan oleh konflik-konflik ini atas Obama, yang dalam pandangan banyak warga Amerika Zionis, terlihat tidak cukup mendukung terhadap Israel.
Ketiga, konflik Obama dengan Israel terjadi ketika dukungan Amerika terhadap Israel justru sangat kuat. Sebuah polling pendapat umum, misalnya, memperlihat preferensi 10 hingga 1 atas Israel daripada atas warga Palestina. Hasil ini menambah dalamnyanya jalinan rumit ikatan agama, keluarga, perdagangan dan budaya AS – Israel, seperti disimbolkan oleh perjanjian bilateral langit terbuka yang baru ditandatangani. Dan tampaknya seorang presiden, khususnya yang jatuh dalam polling itu dan pasti benar-benar prihatin dengan Pemilu pertengahan masa jabatannya mendatang, hanya sebegitu jauh malah memunculkan banyak pemilih pro-Israel.
Jadi, saya khawatir, tetapi tidak terlalu.
Judul dan pertanyaan simposium itu terfokus pada warga Yahudi Amerika. Tetapi perdebatan tentang Arab–Israel di Amerika Serikat berubah pada titik sehingga "Orang-orang Yahudi" tidak lagi mampu mendefenisikan kelompok yang aktif mendukung Israel. Ketika para penghina Yahudi Israel berkembang semakin menonjol serta mampu mengorganisasi diri (ingat J Street), kaum non-Yahudi-pro-Israel pun melakukan hal yang sama dengan sepenuh semangat (ingat Persatuan Kristen untuk Israel). Karena itu, saya usulkan untuk menegaskan kembali diskusi itu dan menggantikannya dengan tema "Kaum Zionis" bagi "Bangsa Yahudi."