Timur Tengah sangat terkenal sebagai kawasan dunia yang paling mudah berubah, paling mudah meledak marah sekaligus paling bermasalah. Tidaklah kebetulan bahwa situasi itu menginspirasi perdebatan politik yang paling intens --- coba pikirkan soal konflik Arab – Israel atau Perjanjian Iran. Tour d'horizon, pemikiran pengantar berikut menawarkan interpretasi sekaligus spekulasi soal Iran, ISIS, Suriah–Irak, Kurdi, Turki, Saudi Arabia, Mesir, Israel, Islamisme kemudian menyimpulkannya bersamaan dengan sejumlah pemikiran seputar berbagai pilihan kebijakan. Kesimpulan satu kalimat saya adalah: ada sejumlah berita bagus di tengah gencarnya salah pengertian, kesalahan dan penderitaan.
Iran
Iran merupakan topik nomor satu hari-hari ini, khususnya sejak perjanjian nuklir dicapai oleh enam negara adidaya dengan para penguasa negeri itu di Wina, 14 Juli lalu. "Rencana Aksi Mendalam Bersama" (JCPA) berupaya membawa Teheran dari dekade-dekade permusuhan yang dingin tanpa akhir serta mengarahkannya menjadi negara yang lebih wajar. Dalam dirinya sendiri, ini upaya yang benar-benar layak dilakukan.
Persoalan terletak pada pelaksanaanya yang benar-benar luar biasa. Karena pelaksanaannya seolah memberikan hadiah kepada sebuah pemerintahan yang agresif dengan legitimasi serta dana tambahan tanpa mempersyaratkan adanya pengawasan serius atas program senjata nuklirnya dan membiarkan programnya berlangsung sekitar satu dekade. Berbagai jurnal diplomasi tak pernah menyaksikan sikap menyerah negara-negara adidaya yang tidak bisa diperbandingkan ini kepada negara yang terisolasi dan lemah tersebut.
Pemimpin Iran punya kerangka berpikir berbasis wahyu yang asyik dengan hari-hari khiamat yang tidak bisa diterapkan pada Korea Utara, Stalin, Mao, Pakistan dan negara-negara lain. Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamene'i dan kawan-kawan punya alasan untuk menggunakan senjata-senjata itu di luar urusan militer yang wajar--- yaitu untuk menghancurkan dunia. Ini menyebabkan benar-benar penting untuk menghentikan mereka.
Ali Khamene'i (kanan) kerapkali ditempatkan bersama Ayatollah Khomeini dalam ikonografi Irani. |
Bagaimanapun, sanksi ekonomi berarti pertunjukan tambahan bahkan selingan. Dibanding Korea Utara, Pemerintah Iran benar-benar bertekad mengembangkan senjata-senjata itu dan bersedia melakukan apapun yang perlu, tidak peduli ada wabah kelaparan yang meluas atau bencana lain dalam upaya negeri itu untuk mencapainya. Karena itu, tidak ada soal seberapa parahnya upaya itu dijalankankan, sanksi hanya menyebabkan kehidupan menjadi lebih sulit bagi pemimpin Iran namun tetap saja tidak ada upaya serius untuk menghentikan pembangunan nuklir.
Satu-satunya cara untuk menghentikan pembangunan senjata nuklir adalah dengan menggunakan kekerasan. Saya berharap Pemerintah Israel --- satu-satunya yang tersisa yang mungkin bisa mengambil tindakan--- akan melakukan pekerjaan berbahaya yang tidak bakal mendapatkan terima kasih itu. Israel bisa melakukannya lewat melakukan pemboman udara, operasi khusus atau senjata nuklir dengan pilihan yang sama-sama sangat menarik dan sulit.
Jika Israel tidak menghentikan bom, maka peralatan nuklir di tangan para mullah bisa berdampak mengerikan terhadap Timur Tengah dan sekitarnya, termasuk Amerika Utara, di mana serangan getaran elektromagnetik (lectromagnetic pulse attack) harus diperhitungkan mungkin terjadi.
Sebaliknya, jika Iran tidak menyebarluaskan senjata-senjata baru mereka, maka sangat mungkin bahwa hubungan negeri itu yang semakin meningkat dengan dunia luar serta kekacauan yang muncul akibat kebijakan Barat yang tidak konsisten akan berperan meruntuhkan rejim.
ISIS
Negara Islam di Irak dan Suriah (alias ISIS, ISIL, Negara Islam, Daesh) menjadi topik paling menarik perhatian sebagian besar orang selain Iran. Saya sepakat dengan Ron Dermer, Duta Besar Israel untuk Washington, bahwa Iran seribu kali lebih berbahaya daripada ISIS. Tetapi ISIS juga seribu kali lebih menarik. Apalagi, Pemerintahan Obama pun melihatnya sebagai hantu yang bermanfaat untuk membenarkan diri bekerja bersama Iran.
Entah dari mana munculnya, kelompok itu memanfaatkan nostalgia Islam hingga titik ekstrim yang tidak bisa orang bayangkan. Memang, Saudi, para ayatollah, Taliban, Boko Haram dan Shabaab menerapkan versi tatasosial abad pertengahan mereka masing-masing. Tetapi, ISIS bergerak lebih jauh. Dengan seluruh kemampuannya, dia meniru sebaik-baiknya lingkungan Islam abad ketujuh hingga hal-hal khusus seperti pemenggalan kepala manusia di depan publik serta perbudakan manusia.
Upaya itu memunculkan dua tanggapan berbeda di kalangan Muslim. Yang satu mendukung, seperti diungkapkan oleh kaum Muslim yang datang dari Tunisia dan Barat, bagai ngengat tertarik pada pijaran visi murni Islam. Yang lain, yang jauh lebih penting, menanggapinya secara negatif. Sebagian besar kaum Muslim, tidak bicara lagi soal non-Muslim yang terpinggirkan oleh fenomena ISIS yang kejam dan flamboyan. Untuk jangka panjang, ISIS bakal merusak gerakan kaum Islamis (gerakan yang mendambakan penerapan hukum Islam sepenuhnya) dan bahwa Islam itu sendiri, ketika sejumlah besar kaum Muslim membenci ISIS.
Bagaimanapun, ada satu hal yang berkaitan dengan ISIS yang mungkin terus bertahan: yaitu pemikiran tentang kekalifahan. Kalifah terakhir yang sungguh-sungguh memberi perintah, memerintah pada era 940-an. Itu era 940-an bukan era 1940. Jadi lebih dari seribu tahun silam. Kembali munculnya seorang kalifah yang memerintah setelah berabad-abad kalifah boneka memerintah membangkitkan luapan kegembiraan yang luar biasa di kalangan Islamis. Dalam istilah Barat, kejadian itu mirip orang yang membangkitkan kembali Kekaisaran Romawi dengan sekeping kawasan di Eropa. Akibatnya, semua orang memperhatikannya. Saya ramalkan kekalifahan bakal langgeng sekaligus berdampak negatif.
Suriah, Irak dan Bangsa Kurdi
Di kalangan-kalangan tertentu, Suriah dan Irak dikenal dengan Suraqiya. Nama keduanya dipadukan ketika batas wilayahnya hilang dan secara bersamaan dipecah-pecah menjadi tiga kawasan utama: ada pemerintah pusat yang berorientasi Shiah, pemberontak Sunni Arab dan bagian Kurdi yang ingin keluar dari sana.
Ini perkembangan positif. Tidak ada yang suci pada perjanjian Inggeris – Perancis Sykes-Picot pada 1916 yang menciptakan kedua negara itu. Justru sebaliknya, perjanjian itu terbukti benar-benar gagal; ia memunculkan nama-nama seperti Hafez al-Assad dan Saddam Hussein yang mendorong orang untuk mengenangkan mengapa hal itu terjadi. Negara-negara malang itu ada demi kepentingan para pemimpin mereka yang menakutkan yang terus membunuh rakyatnya sendiri. Jadi biarkan mereka terpecah-pecah dalam tiga bagian, sambil memperbaiki berbagai persoalan masyarakat lokal dan dunia luar.
Ketika pejuang Sunni dukungan Turki memerangi para pejihad Shiah dukungan Iran di Suraqiya, Barat seharusnya mundur dari pertikaian. Tak satu pun yang pantas mendapatkan dukungan; ini bukan pertempuran kita. Memang, kedua kekuatan setan itu telah mencekik kerongkongan satu sama lain. Artinya, mereka tidak punya banyak peluang untuk menyerang bagian dunia lain. Jika kita ingin membantu, bantuan harus pertama-tama diarahkan kepada banyak korban perang saudara. Jika kita ingin bertindak strategis, bantu saja pihak yang kalah (sehingga tidak ada pihak yang menang).
Soal banyaknya aliran pengungsi dari Suriah: Pemerintah Barat seharusnya tidak menerimanya. Tetapi sebaliknya menekan Saudi Arabia dan negara-negara Timur Tengah lain yang kaya untuk memberikan perlindungan. Mengapa Saudi harus dikecualikan dari aliran pengungsi, khususnya ketika negara mereka lebih menguntungkan, katakan saja, dibandingkan Swedia. Bahasa, budaya dan agama mereka sama. Wilayah mereka pun berdekatan dan iklim mereka pun sama.
Masyarakat Kurdi di Irak dan satu kelompok Kurdi lainnya di Suriah kini berkembang sangat pesat. Pada waktu bersamaan, Turki menerapkan kebijakan baru yang tegas. Juga ada berbagai perkembangan di Iran. Semua ini bagaimanapun merupakan tanda-tanda positif. Bangsa Kurdi sudah membuktikan diri sedemikian bertanggungjawab. Sikap itu tidak dimiliki oleh satu pun tetangga mereka. Saya katakan ini, sebagai orang yang 25 tahun lalu, menentang otonomi Kurdi. Mari kita bantu Kurdi yang sangat dekat sebagai sekutu yang kita punyai di Timur Tengah yang Muslim. Bukan saja bagian-bagian Kurdi yang terpisah harus tampil sebagai negara merdeka, tetapi juga sebuah Kurdistan bersatu yang terdiri dari bagian-bagian dari empat negara. Tidak ada masalah bahwa ini merugikan integritas kawasan empat negara, karena tidak satu pun dari mereka bekerja dengan baik seperti yang kini terlihat.
Turki
Pemilu Juni 2015 tidak terlalu bagus hasilnya bagi Partai Keadilan dan Pembangunan ((Adalet ve Kalkınma Partisi, atau AKP), partai yang sendirian memerintah Turki sejak 2002. Itu partai Islamis. Tetapi yang jauh lebih penting lagi tentang yang terakhir adalah ia merupakan partainya tirani. Recep Tayyip Erdoğan, figur partai yang dominan, melakukan apa yang diinginkannya, meraih pengaruh yang tidak benar atas berbagai bank, media, sekolah, pengadilan, penegakan hukum, dinas intelijen dan militer. Dia mengesamping adat-istiadat, hukum, peraturan bahkan konstitusi dalam blok demi blok bangunan kekuasaan satu tangannya. Dia adalah versi Timur Tengah dari Hugo Chávez dari Venezuela.
Erdoğan memang menjalankan sebagian besar kekuasaannya berdasarkan aturan-aturan demokratis. Ia memanfaatkan Pemilu dan parlemen yang memang sangat bagus melayaninya. Tetapi Pemilu Juni lalu bisa memperlihatkan akhir dari upayanya untuk mengendalikan diri sendiri. Jauh-jauh hari sebelumnya, ketika dia masih menjadi walikota Istambul, dia memberi sinyal bahwa pada akhirnya dia tidak menerima keputusan Pemilu. Dikatakannya bahwa demokrasi itu seperti bus: "Kau menumpang hingga tiba di tujuanmu, lalu turun." Dia sendiri, Erdoğan, sudah mencapai tujuan itu dan tampaknya siap untuk turun. Dia mulai memusuhi kelompok PKK Kurdi sebagai taktik Pemilu yang curang (untuk meraih dukungan kaum nasional Turki). Dia mungkin bergerak jauh. Misalnya, dia hendak memulai perang sekarang hingga Pemilu mendadak 1 Nopember nanti, sekaligus menarik keuntungan dari persyaratan konstitusional untuk menunda Pemilu pada masa perang.
Pasha Erdoğan seperti dibayangkan oleh The Economist. |
Demikian juga, kemunduran yang terjadi pada Pemilu Juni lalu tidak banyak membuktikan hambatan bagi Erdoğan. Langkah-langkahnya menjadi tirani tetap saja terbuka.
Erdoğan tampaknya tidak hanya jatuh di dalam negeri, tidak saja terkait dengan persoalan-persoalan remeh seperti pencapaian suara dalam Pemilu, tetapi juga tampaknya terkait dengan isu luar negeri dan isu yang lebih besar. Tepatnya, karena dia melakukannya sangat bagus di dalam negeri, maka dia pun yakin bahwa dia punggawa politik tingkat global sehingga berjuang sama agresifnya untuk mencapai kebijakan luar negeri seperti dalam negeri. Ia pun melancarkan kebijakan "Tidak ada masalah dengan tetangga" (Zero problems with neighbors). Awalnya, kebijakan ini berhasil. Tetapi setelah sekian lama, kedudukan Turki di panggung internasional pun hancur berantakan. Ankara punya hubungan yang buruk atau punya masalah penting dengan nyaris semua tetangga: dengan Rusia, Azerbaijan, Iran, Suriah, Irak, Israel, Mesir, Siprus Yunani, Siprus Turki dan Yunani termasuk juga dengan Amerika Serikat dan Cina. Sejumlah petualangannya di luar negeri tampaknya bakal menjadi kegagalan Erdoğan.
Saudi Arabia
Saudi Arabia merupakan negara dunia yang paling tidak wajar. Bahkan jika, katakan saja, anda berasal dari Qatar atau Dhabi, maka adat-istiadat sosial dan instituasi Pemerintahan Saudi Arabia itu aneh. Negara itu, misalnya tidak punya satu pun bioskop. Pria dan wanita menggunakan elevator terpisah. Kaum non-Muslim dilarang memasuki dua kotanya (Mekkah dan Medina). Ada pasukan yang menangani susila yang meneror warga. Umat Kristen menghadapi masalah kalau berdoa sedangkan kaum Yahudi, dengan pengecualian yang sangat jarang terjadi, dilarang di sana.
Bahkan Restoran McDonald di Saudi Arabia pun punya "Bagian Wanita." |
Pemerintah menjalankan negara polisi yang cakap dan kuat walau tetap ada Pemilu, konstitusi yang cenderung pura-pura beriringan dengan omong kosong diktator lain. Sensor dan paksaan juga negara lakukan. Pos pemeriksaan polisi berkembang luas. Pemerintah mempekerjakan tiga matra militer berbeda--- ada tentara bayaran dari Pakistan untuk menjaga ladang-ladang minyak, ada pasukan nasional untuk melindungi perbatasan dan akhirnya ada pengawal suku yang melindungi monarki. Secara khusus, monarki, terdiri dari 10, 20 atau bahkan 50 anggota keluarga bangsawan. Keturunan Saud punya sekitar 10.000 pria ( secara politis, wanita tidak dihitung) dan mereka membentuk sebuah nomenklatur, untuk memanfaatkan hubungan dengan Soviet yang sangat membantu. Para anggota keluarga itu menjalankan negara, yang dikatakan sebagai satu-satunya bisnis keluarga dengan satu kursi di PBB.
Tetapi struktur ini kini dalam bahaya. Selama 70 tahun monarki Arab meminta Pemerintah AS memperlengkapi keamanan eksternalnya. Kini, untuk pertama kalinya, pada era Obama, jaminan itu tidak ada lagi, khususnya setelah Perjanjian Iran, karena Washington menjalin hubungan lebih dekat dengan Teheran ketimbang dengan Riyadh. Pemimpin Saudi pun tengah mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri. Salah satu langkah paling pantas dicatat adalah bekerja sama dengan Israel. Itu langkah logis, namun agak mengherankan. Prediksi saya: itu kerja sama sementara dan tidak akan bertahan setelah krisis berlalu. Jika anggota Partai Republik menjadi presiden pada 2017, hubungan dengan Israel bakal terhenti.
Mesir
Abdel Fattah el-Sisi kini sudah berkuasa dua tahun sejak Juli 2013, menyusul demonstrasi besar-besaran menentang presiden dari kelompok Ikhwanul Muslim, Mohamad Morsi. Sisi memang sudah punya prioritas yang tepat dalam benaknya: menekan kaum Islamis sambil memperbaiki ekonomi. Tetapi saya khawatir apakah dia berhasil dalam kedua bidang itu.
Tidak ada orang mengecam kaum Islamis lebih daripada saya. Saya mendukung langkah-langkah tegas untuk menentang gerakan totaliter ini seperti menolak upaya mereka menerapkan hukum Islam, mengeluarkan mereka dari berbagai institusi arus utama dan melarang para wakil mereka mengikuti Pemilu. Tetapi kebijakan Sisi yang keras di luar hukum bergerak terlalu jauh sehingga menjadi kontraproduktif. Sebagai contoh, menjatuhkan hukuman mati kepada hampir 600 orang karena membunuh seorang polisi. Sebulan kemudian, tindakan itu diikuti dengan menjatuhkan hukuman mati kepada 700 orang lainnya karena pembunuhan yang sama. Langkah itu bukan saja sangat tidak sepadan tetapi juga tampaknya bisa menjadi bom waktu yang membantu kaum Islamis mendapatkan simpati.
Ekonomi menjadi persoalan utama lainnya. Pada era 1950-an, Gamal Abdul Nasser , yang juga seorang perwira militer, membangun rejim sosialis khas masa itu, dengan berbagai pabrik bergaya Soviet yang berupaya sungguh-sungguh untuk mengimpor kebutuhan pokok pengganti (substitution). Bukan saja sistem itu masih berlaku tapi peran ekonomi negara berkembang signifikan selama Mubarak berkuasa dan terus berkembang pada masa pemerintahan Sisi. Kedua presiden membuat para kolega militer mereka yang sudah pensiun senang dengan memberikan pekerjaan yang sangat mudah kepada mereka-. "Kau sudah pensiun, kolonel? Baiklah, ambil alih pabrik kapas ini" atau "Mulailah mengembangkan kota gurun ini." Perkiraan memperlihatkan bahwa sekitar 25 hingga 40 persen ketimpangan ekonomi Mesir sebagai bagian dari "Military Inc."
Selain itu, sikap meremehkan pertanian menciptakan persoalan yang sangat besar. Akibatnya, dalam arti absolut maupun relatif, Mesir mengimpor jauh lebih banyak makanan berkalori dibanding negara lain manapun. Sebagai contoh, angka-angka tahun fiskal 2013- 2014 memperlihatkan bahwa Mesir mengimpor 5,46 juta ton gandum atau 60 persen dari seluruh konsumsi negeri ini, sehingga membuatnya menjadi importir gandum terbesar dunia. Pernah menjadi tempat roti Sungai Nil pada masa lalu, namun kini, Mesir tidak lagi mampu memberikan makan kepada rakyatnya sendiri. Sebaliknya, dia bergantung kepada Arab Saudi dan negara-negara lain untuk mendapatkan subsidi pangan agar bisa membeli makanan di luar negeri. Penemuan ladang minyak baru-baru ini di Mediterania membantu tetapi tidak menyelesaikan masalah ini.
Sisi tampaknya tidak disiapkan untuk memangku jabatan Presiden Mesir. Tidak seperti seorang militer lainnya, Gamal Abdul Nasser, 60 tahun silam. Dalam sebuah analisis yang bernada pedas, analis politik Lee Smith mengatakan:
Bukan kebetulan bahwa kemunduran Mesir mendorong seseorang seperti Sisi untuk maju. Meski sangat sombong dan tidak berkompeten, Sisi melihat dirinya sebagai bagian dari kelanjutan para pemimpin Mesir yang agung seperti Nasser serta Anwar al-Sadar. Kepada seorang wartawan dalam sebuah wawanca off the record, Sisi memberi tahu media bahwa dia sudah mengimpikan keagungan dirinya selama 35 tahun. Tetapi banyak pilihan yang Sisi buat untuk mencapainya memperlihatkan dirinya senantiasa ada dalam bahaya.
Dia masih berhasil, dengan rating popularitas yang mengesankan tetapi jika dia tertatih-tatih, maka dukungan bakal segera menghilang. Kaum Islamis akan mengeksploitasi ketidakmampuannya sama seperti upaya dia mengambil keuntungan menyusul kegagalan mereka. Lingkaran kudeta pun terancam terulang; ketika Mesir jatuh jauh ketinggalan, ngarai bencana terbayang dekat bersamaan dengan kemungkinan adanya emigrasi yang massif. Saya harapkan Sisi baik-baik saja tetapi siap untuk menghadapi situasi terburuk.
Israel
Ehud Barak, pada suatu ketika pada Nopember 2000 pernah mengatakan Israel itu mirip "vila di tengah hutan." Saya senang dengan pernyataan itu. Dan pernyataan itu semakin tepat saat ini, ketika ISIS berada di perbatasan Israel Suriah dan Sinai, sementara Libanon dan Yordania meratap di tengah tekanan aliran pengungsi yang tidak pernah berhenti dan Tepi Barat terjebak dalam berbagai aksi anarki sedangkan Gaza pun tengah mendekati tujuan arah yang sama?
Semua orang mengetahui kemampuan teknologi tinggi serta keunggulan militer Israel. Banyak hal tentang itu yang mengesankan dan nyaris mendekati luar biasa
Demografi: Seluruh dunia industri modern mulai dari Korea Selatan hingga Swedia tidak mampu menggantikan dirinya secara demografis, kecuali Israel yang tampil luar biasa mengesankan. Masyarakat membutuhkan kasarnya 2,1 anak per satu wanita untuk bisa mempertahankan jumlah warga negaranya. Islandia, Perancis dan Irlandia berada tepat di bawahnya, tetapi angka kelahiran bayi merosot untuk Hongkong dengan 1,1 anak per satu wanita atau tepat di atas apa yang perlu bagi sebuah negara agar bisa bertahan hidup untuk jangka panjang. Baiklah, Israel berada pada angka 3. Ya, sebagian Bangsa Arab dan Haredim menjelaskan bahwa angka kelahiran yang tingi, juga bergantung pada pemukim Tel Aviv yang sekular. Bagi sebuah negara modern, perkembangan ini nyaris tidak pernah terjadi sebelumnya, yaitu untuk memiliki lebih banyak anak sejak itu.
Energi: Semua orang sindiran kuno tentang Nabi Musa yang mengambil belokan yang salah ketika meninggalkan Mesir. Oh tidak, ternyata dia tidak salah belok. Israel punya cadangan energi sama besarnya seperti Saudi Arabia. Jadi pahami ini. Sumberdaya ini kini memang tidak bisa diakses, sehingga jauh lebih mahal dan rumit untuk dieksploitasi dibandingkan genangan minyak Arabia yang sangat luas dan dangkal. Tetapi bagaimanapun, sumberdaya itu ada di Israel dan pada suatu saat Israel akan mengambilnya.
Imigrasi ilegal: Ini merupakan krisis yang tengah melanda Eropa, khususnya pada musim panas ketika kawasan Mediterania dan Balkan menjadi jalan bebas hambatan dari Timur Tengah. Israel menjadi salah satu negara Barat yang sudah menangani masalah ini dengan membangun pagar yang membuatnya bisa mengendalikan perbatasan-perbatasannya.
Air: Dua puluh tahun silam, seperti siapa saja di Timur Tengah, Israel pun menderita kekurangan air. Mereka mengatasi masalah ini dengan melakukan konservasi, menjalankan sistem pertanian dengan air yang diteteskan langsung pada tanamannya (drip agriculture), metode baru membuat air laut menjadi air tawar dan upaya daur ulang yang intensif. Satu statistik memperlihatkan: Spanyol merupakan negara dengan persentase daur ulang kedua tertinggi, sekitar 18 persen. Namun, Israel nyaris mendaur ulang semuanya, sekitar 90 persen. Angka itu lima kali lebih tinggi daripada Spanyol. Air kini berlimpah di Israel sehingga mereka mengekspor sebagiannya ke berbagai negara tetangganya.
Secara keseluruhan, Israel melakukannya sangat baik. Tentu saja, semua itu dilakukan di bawah ancaman senjata perusak massal dan proses delegitimasi. Tetapi Israel punya rekor keberhasilan yang saya yakini akan melihatnya mampu melalui berbagai tantangan ini.
Ideologi Islamis: Tiga Tipe
Kaum Islamis dapat dikategorikan dalam tiga kekuatan penting:
Kaum revolusioner Shiah: Dimotori oleh rejim Iran, kaum revolusioner Shiah siap perang dengan mengandalkan diri pada bantuan Teheran, ideologi wahyu (apocalyptic ideology), subversi dan (akhirnya) senjata nuklir. Mereka ingin menjatuhkan tatadunia yang ada dan menggantikannya denga tata-Islami yang pernah dimimpikan Ayatollah Khomeini. Kekuatan para revolusioner itu terletak pada tekad mereka; sedang kelemahan mereka terletak dalam status mereka sebagai minoritas, karena kaum Shiah hanya terdiri dari sekitar 10 persen atau lebih dari seluruh warga Muslim dan semakin jauh terbagi dalam berbagai sub-kelompok yang beragam seperti terdiri dari lima orang (Fivers), Tujuh Orang (Seveners) dan Dua Belas Orang (Twelvers).
Kaum revisionis Sunni: Mereka menjalankan banyak taktik untuk menggulingkan tatasosial yang ada. Pada pihak lain berdiri kaum yang gila seperti ISIS, Al-Qaeda, Boko Haram, Shabaab dan Taliban yang penuh dengan kebencian, kejam namun jauh lebih revolusioner dibandingkan dengan mitra mereka kaum Shiah. Ikhwanul Muslim dan berbagai organisasi afiliasinya (seperti Presiden Erdoğan dari Turki) mengisi peran sebagai penengah menggunakan kekejaman hanya ketika dianggap perlu tetapi lebih suka bekerja melalui sistem. Kaum Islamis yang lembut seperti Fethullah Gülen, sang dai Pensylvania dari Turki hidup di perantaian, memajukan visi mereka melalui pendidikan dan perdagangan dan bekerja secara ketat dalam sistem. Tetapi terlepas dari taktik-taktik mereka yang lembut, tujuan mereka juga tidak kurang ambisiusnya.
Kalangan yang mempertahankan status-quo Sunni: Negara Arab Saudi memimpin satu blok pemerintahan (negara-negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk, Mesir, Yordania, Aljazair, Maroko). Hanya beberapa dari mereka yang Islamis, yang mendambakan diri untuk terus mempertahankan apa yang mereka miliki sekaligus menentang kaum revolusioner serta kaum revisionis.
Taktik Kaum Islamis: Kekerasan versus Taat Hukum
Kaum Islamis yang kejam, termasuk kaum Shiah dan Sunni bernasib malang. Serangan mereka terhadap sesama Muslim menjauhkan mereka dari kaum yang seagama. Mereka pun menantang kaum non-Muslim tepat di tempat-tempat di mana yang belakangan itu justru lebih kuat. Paduan kekuatan militer, penegakan hukum serta dinas intelijen bisa menghancurkan kerusuhan apapun yang dilancarkan oleh kaum Islamis.
Aksi kaum Islamis menjadi kontraproduktif. Kualitas aksinya yang menggemparkan mengajarkan sekaligus menggerakan opini politik. Serangan berdarah menggerakan pendapat, bukan para analis, media atau politisi. Insiden seperti pembantaian Charlie Hebdo di Paris menggerakan para pemilih untuk beralih kepada partai-partai anti-Islam. Darah di jalanan itu mengajar. Pendidikannya memang lewat pembunuhan.
Sebaliknya, kaum Islamis yang taat hukum bekerja dalam ssistem itu sangat berbahaya. Mereka memang terlihat terhormat, tampil di televsi, sebagai pengacara di berbagai ruang pengadilan sekaligus mengajar. Pemerintah Barat keliru memperlakukan mereka sebagai sekutu sehingga benar-benar aneh. Padahal pengalaman mengajarkan saya, semakin seorang Islamis itu kurang berbahaya, maka semakin berbahayalah dia.
Karena itu, andaikata saya ahli strategis Islam, saya akan katakan, " Bekerjalah dalam sistem. Hapuskanlah aksi kekerasan, kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi kala aksi-aksi itu mengintimidasi dan membantu kita mencapai tujuan." Kenyataannya, kaum Islamis malah melakukan ini, sehingga merugikan mereka. Mereka justru tengah melakukan kesalahan besar, yang menguntungkan kita.
Islamisme Merosot?
Gerakan Islam bisa saja sedang merosot, akibat konflik internal serta popularitas organisasi yang semakin melemah.
Pada 2012, kaum Islamis tampaknya mampu mengatasi berbagai ketegangan internal --- seperti persoalan sektarian (Sunni–Shiah), ketegangan politik ( pendukung monarki, republik), ketegangan taktis ( politik, kejam) serta sikap terhadap modernisasi (kaum Salafi, Ikhwanul Muslim) dan ketegangan pribadi (Fethullah Gülen, Recep Tayyip Erdoğan). Bagaimanapun, sejak itu, kaum Islamis tidak bisa berhenti dari konflik satu sama lain. Situasi ini memang sesuai dengan pola historis Timur Tengah, di mana pihak-pihak yang menang cenderung memisahkan diri. Ketika seseroang meraih kekuasaan, berbagai perbedaan menjadi sangat memecah-belah. Persaingan tersembunyi untuk melakukan perlawanan muncul ketika kekuasaan sudah di tangan.
Kedua, mengetahui kaum Islamis berarti menolak mereka. Demonstrasi Mesir yang massif setelah setahun Ikhwanul Muslim berkuasa memperlihatkan kepingan bukti yang sangat kuat bagi kesimpulan ini. Indikasi lain datang dari Iran (di mana sebagian besar rakyat menghina pemerintahnya) dan Turki (di mana suara partai Islamis berkuasa baru merosot hingga 20 %).
Puluhan ribu warga Mesir berpawai menentang kekuasaan kaum Islam, Juni 2013. |
Jika berbagai kecenderungan ini bertahan, gerakan kaum Islamis tidak akan berhasil. Sejumlah kalangan mulai melihat era "pasca-Islamisasi" yang sedang berlangsung. Berikut ini, pendapat Haidar Ibrahim Ali dari Sudan:
Kita tengah menyaksikan berakhirnya era Islam politik, era itu berawal pada pertengahan era 1970-an yang akan diganti oleh apa yang dilukiskan oleh ilmuwan Iran Asef Bayar sebagai era "pasca-Islamisasi". Yaitu kertika secara politik dan social era itu mengikuti masa coba-coba, ketika kekuatan Islam politik beserta daya tariknya sudah habis, bahkan di antara para pendukungnya yang paling bersemangat dan antusias.
Berbagai persoalan itu menawarkan landasan bagi optimisme bukan untuk berpuas diri. Karena bagaimanapun, alur kecenderungan itu bakal berubah lagi. Tantangan yang mengarah kepada marjinalisasi Islamisme tetap hidup.
Tiga Kekuatan Politik Timur Tengah
Dari sudut pandang Barat, kekuatan politik Timur Tengah terbagi atas tiga: kaum Islamis, liberal dan kaum yang rakus. Masing-masing kekuatan itu mempersyaratkan adanya pendekatan khusus.
Kita harus menolak apapun dan semua yang berbau Islamis. Sejauh memungkinkan ini berarti tidak terlibat dan tidak pernah membantu kaum Islamis, entah yang kelihatannya demokratis seperti partai yang berkuasa di Turki atau yang sama-sama maniaknya seperti milisi ISIS karena mereka semuanya mendambakan tujuan yang sama-sama jelek yaitu menerapkan hukum Islam. Sama seperti kita semua anti-fasis, mari kita sama-sama dengan tegas anti-Islamis. Dengan demikian, kita punya hubungan yang penting dengan Turki, Saudi Arabia dan negara-negara lain, sehingga raison d'état menuntut adanya sikap kompromi yang taktis.
Sebaliknya, kita selalu harus mendukung pihak-pihak yang disebut kaum liberal, modern, sekular atau tipe-tipe orang dulu berdemo di Alun-Alun Tahrir. Mereka mendambakan sebuah Timur Tengah yang lebih baik sekaligus menjadi harapan kawasan. Kita di Barat menjadi model, teladan mereka. Mereka melihat kita untuk mendapatkan dukungan moral dan emosional praktis. Kia harus siap mendampingi mereka, karena walau jauh dari koridor kekuasaan dan kecil sekali harapan, mereka mengarah kepada masa depan yang lebih baik.
Kelompok ketiga, berkaitan dengan raja-raja, emir, presiden dan para diktator lain yang rakus, yang menuntut nuansa yang lebih jauh. Kita harus bekerja bersama mereka tetapi juga terus menekan mereka untuk memperbaiki diri. Sebagai contoh, kecuali hanya dua tahun silam, yaitu tahun 2005 – 6, Pemerintah Barat tidak menekan Hosni Mubarak sang tiran yang memerintah Mesir selama 30 tahun. Kita tidak mendorong partisipasi politik, menganjurkan pemerintahan berdasarkan hukum atau menuntut kebebasan pribadi. Jika kita konsisten mengambil langkah itu, Mesir bakal lebih baik.
Ringkasnya: menolak kaum Islamis, menerima kaum liberal dan hati-hati berunding dengan para dictator.
Kebijakan Amerika
Kebijakan luar negeri AS benar-benar tidak konsisten selama lima belas tahun silam:
Dengan cara yang sangat ideal, George W. Bush mencoba mencapai terlalu banyak di Timur Tengah--- dia mengharapkan Irak bebas dan makmur sejahtera, Afghanistan yang mengubah diri, ada solusi bagi konflik Arab – Israel, demokrasi yang menyeluruh. Tetapi ketika berbenturan dengan realitas kawasan yang keras, semua upayanya pun gagal.
Obama, justru sebaliknya --- sedikit sekali dia lakukan--- dan dia pun gagal. Pada dasarnya, kebijakannya berdampak pada "Menurunnya kepentingan AS, munculnya teman-teman yang suka menghina dan upaya untuk mencari konsesus." Dia mengecam pemberontakan yang terjadi di Iran, meninggalkan sekutu yang sudah lama lalu mencoba meninggalkan kawasan itu agar bisa beralih ke Asia.
Pandangan ini menandai presiden sebagai persoalan standar kalangan kiri Amerika, bukan orang yang berada jauh dari pekerjaannya (outlier). Walau lahir dan dibesarkan sebagai Muslim, latar belakang ini tidak punya dampak yang bisa dilihat dalam berbagai kebijakannya. Pandangan politiknya saja yang menjelaskan pandangannya.
Iran adalah satu-satunya pengecualian (yang tidak bisa dijelaskan) untuk pola ini: pada masa enam setengah tahun silam memperlihatkan bahwa Iran --- bukan Cina, Rusia, Meksiko, Suriah atau Israel --- telah menjadi prioritas urusan luar negeri tertinggi Obama
Saya sarankan kebijakan politik AS berada di antara kedua ekstrim ini. Suatu kebijakan yang dibatasi oleh upaya untuk melindung warga dan kepentingan Amerika. Upaya mempromosikan kepentingan Amerika menjadi pedoman untuk bisa memutuskan di mana melihatkan diri dan di mana tidak. Kebijakan ini juga berdampak tidak membahayakan bagi negara-negara sekutu seperti Kanada.
Kesimpulan
Kawasan yang terkenal pada persoalannya itu juga menawarkan sejumlah berita bagus. Penguasanya yang tirani agak takut dibandingkan lima tahun silam. Kaum Islamis melemah karena konflik antar mereka termasuk juga karena popularitas mereka yang merosot. Negara Suriah dan Irak yang busuk tengah sekarat, sementara Kurdistan justru berkembang. Israel maju berkembang dengan baik. Bangsa Arab Teluk khsususnya di Dubai dan Abu Dhabi tengah bereksperimen dengan langkah-langkah baru menuju modernisasi. Jadi di tengah laut kemalangan bahkan ketakutan itu, ada juga sejumlah untaian harapan di Timur Tengah. Para pembuat kebijakan seharusnya mencatat itu dan membuat kebijakan berdasarkan kenyataan-kenyataan itu.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2015 All rights reserved by Daniel Pipes.