Pembunuhan sekitar 127 orang tidak bersalah di Paris oleh sebuah kelompok pejihad, Jumad lalu kembali mengejutkan Perancis. Tindakan biadab itu mengarah kepada putaran lain adanya perasaan solidaritas, upaya mencari jiwa sekaligus rasa marah di antara masyarakat Perancis. Bagaimanapun, akhirnya, aksi kekerasan kaum Islamis terhadap masyarakat Barat menyurut menjadi dua pertanyaan: Seberapa banyak aksi keji paling baru ini mengubah pendapat publik? Dan seberapa banyak dia lebih jauh mendorong---kalangan mapan (Establishment) menyangkal realitas ini?
Seperti terlihat dari pertanyaan-pertanyaan ini, masyarakat dan kaum professional kini sedang bergerak menuju arah yang berlawanan. Yang pertama bergerak ke kanan, yang belakangan ke kiri. Pada akhirnya, bentrokan benar-benar mereduksi dampak peristiwa-peristiwa itu terhadap kebijakan.
Opini publik bergerak melawan kaum Islamis khususnya dan Islam umumnya ketika jumlah orang yang tewas cukup besar. Tewasnya tiga ribu orang di Amerika dalam tragedi berdarah 11 September 2001 menonjol karena jumlahnya paling besar, tetapi, banyak negara lain sudah mengalami jumlah kematian yang sama. Bom Bali bagi Australia, bom rel kereta api di Spanyol, pembantaian di sebuah sekolah di Beslan bagi Rusia, pembom transportasi di Inggeris, misalnya.
Jumlah korban yang kecil bukan satu-satunya pertimbangan. Faktor lain bisa melipatgandakan dampak sebuah serangan, membuatnya nyaris sama dengan pembunuhan massal politik: (1) Popularitas kalangan-kalangan yang diserang, seperti Theo van Gogh di Belanda dan kantor Charlie Hebdo di Perancis. (2) Status professional korban, seperti para tentara atau polisi. (3) lingkungan sosial yang high-profile seperti pemboman ketika Perlombaan Lari Marathon di Boston berlangsung.
Selain lebih dari 27.000 serangan yang secara global terkait dengan Islam sejak 11 September 2001, atau lebih dari 5 serangan per hari (seperti dihitung oleh TheReligionOfPeace.com), peningkatan imigrasi ilegal yang sangat besar dari Timur Tengah akhir-akhir ini memperparah adanya perasaan mudah diserang dan rasa takut di masyarakat. Itu jalur satu arah, tidak ada satu jiwa pun pernah dengar sehingga mau mengumumkannya, "Dulu, saya biasanya takut terhadap Islamisme tetapi sekarang tidak lagi."
Kasus-kasus ini membuat semakin banyak masyarakat Barat takut dengan Islam termasuk berbagai topik terkait mulai dari pembangunan toko makanan halal hingga persoalan sunat bagi kaum perempuan. Secara keseluruhan, gerakan masyarakat menuju haluan sedang berlangsung tanpa ampun. Survei-survei tentang perilaku Bangsa Eropa memperlihatkan 60 hingga 70 persen pemilih mengungkapkan keprihatinan ini. Orang-orang populis seperti Geert Wilders dari Belanda dan partai-partai seperti Demokrat wedia semakin berkibar dalam berbagai polling.
Tetapi ketika persoalannya sampai kepada lembaga --- para politisi, polisi, pers dan professor--- maka kekerasan yang tidak mengenal ampun itu justru menimbulkan dampak yang berbeda. Berbagai kalangan yang dituduh menterjemahkan berbagai serangan itu hidup dalam buih penolakan publik (apa yang merasa katakan secara pribadi memang persoalan lain), di mana mereka terdorong untuk berpura-pura bahwa Islam tidak punya peran dalam aksi kekerasan, karena khawatir, mengakuinya justru menyebabkan jauh lebih banyak masalah lagi.
Para professional 4 P (politisi, polisi,pers, profesor) tanpa malu-malu dan terbuka pura-pura meyakini virus "ekstremis kejam" misterius yang tampaknya hanya merundung kalangan Muslim, yang mendorong mereka secara acak terlibat dalam berbagai aksi kekerasan biadab. Dari banyak pernyataan para politisi yang gila-gilaan, pernyataan paling saya sukai sepanjang masa adalah dari Howard Dean, mantan gubernur Vermont. Ketika berbicara tentang musibah maut yang dilancarkan para jihadi atas Charlie Hebdo (Paris), Howard Dean mengatakan, "Mereka kira-kira sama Muslimnya seperti saya."
Penolakan terhadap akal sehat ini menyebabkan satu aksi kejam terus berlangsung. Dan, saya ramalkan bahwa penolakan bakal berlangsung lebih lama dibandingkan dengan Pembantaian Paris itu sendiri. Hanya jika korban jiwa manusianya benar-benar massal, barangkali kisaran ratusan ribu jiwa, yang bisa memaksa para professional melepaskan pola pikir mereka yang begitu berurat-akar untuk menyangkal adanya unsur Islam dalam banjir serangan ini.
Pola ini berdampak sangat jauh membungkam rasa takut para pemilih biasa, yang pandangannya tidak berdampak terhadap kebijakan. Ketakutan terhadap Hukum Shariah, perkosaan oleh berbagai geng, penyakit-penyakit aneh serta pertumpahan darah diabaikan dengan tuduhan rasisme, fobia terhadap Islam, seolah-olah maki-makian itu menyelesaikan isu-isu nyata itu.
Yang lebih mengejutkan lagi, para professional menanggapi gebrakan publik yang sedang bergerak ke kanan, namun mereka sendiri bergerak ke kiri. Mereka mendorong semakin banyak imigrasi dari Timur Tengah, menerapkan lebih banyak hukum pidana "hate speech" (ungkapan rasa benci) guna menekan kritik terhadap Islam sambil menyediakan lebih banyak perlindungan bagi kaum Islamis. Pola ini tidak sekedar mempengaruhi tokoh-tokoh mapan (Establishment) dari Kalangan Kiri tetapi yang lebih mengejutkan lagi juga Kalangan Kanan (seperti Angela Merkel dari Jerman). Hanya para pemimpin Eropa Timur seperti Pemimpin Hongaria, Viktor Orbán yang membiarkan diri berbicara jujur soal persoalan-persoalan nyata.
Viktor Orbán, Perdana Menteri Hongaria mungkin saya tidak bertahan lama di Uni Eropa. Atau mungkin saja dia adalah pemimpin kelompok itu pada masa datang? |
Akhirnya, untuk memastikannya, pandangan para pemilih menyebabkan mereka didengar, tetapi beberapa dekade kemudian, suara itu tentu semakin melemah dibandingkan jika dilakukan secara demokratis.
Melihat amukan berdarah di Paris dalam konteks ini: maka ia mungkin saja secara substansial menggerakan sentimen publik menuju satu arah namun kebijakan Lembaga justru sangat berbeda darinya sehingga pada akhirnya hanya berdampak terbatas.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2015 by Daniel Pipes. All rights reserved.