Pengantar pengarang:
(1) Para editor majalah, bukan penulis, memberikan judul di atas. Daniel Pipes mengusulkan judul tulisannya sebagai "Out Go the Commies, In Come the Muslims?" (Komunis Pergi, Masuklah Kaum Muslim?). Penulis, dengan demikian, menolak substansi dan ciri sensasionalitas judul yang diterbitkan.
(2) Nakah berikut merefleksikan apa yang diajukan pengarangnya, bukan tepatnya apa yang diterbitkan.
(3) Untuk teks yang diterbitkan, lihat di sini.
(4) Guna mendiskusikan kalimat yang dimulai dengan "Masyarakat Barat tidak dipersiapkan," lihat diskusi lanjutan yang mengikuti artikel ini.
***
Richard Condon, pengarang buku The Manchurian Candidate (Kandidat dari Manchuria), baru- baru ini mengumumkan: "Kini tatkala Komunis sudah ditidurkan, kita bakal harus menciptakan ancaman mengerikan lain." Tentu saja, ini benar-benar omong kosong. Komunis nyaris tidak pernah "ditidurkan." Banyak sekali kekuatan yang tersisa pada mereka, khususnya di Dunia Ketiga. Lebih jauh lagi, Amerika tidak menciptakan ancaman tank, peluru kendali jarak jauh serta ideologi global yang menjadikannya sangat nyata, Dan jauh dari perlunya "ancaman mengerikan lain" untuk menggantikan Uni Soviet, kita harus melihat upaya untuk menyempurnakan kebebasan dan pasar bebas di sini, di dalam negeri. Jika upaya itu terasa terlampau sulit, kita seharusnya sangat senang untuk kembali menonton pertandingan baseball atau menabung uang untuk liburan mendatang.
Tetap saja, mari kita akui bahwa komunisme sudah mati dan bahwa Barat harus berhati-hati terhadap penjahat yang kembali muncul. Tetapi siapakah musuh itu? Tidak banyak calon musuh yang jelas. Para pedagang narkoba dan kaum apartheid bisa menjadi ancaman sepele; tetapi kedua-duanya adalah pelaku kecil terbatas waktu termasuk ruang. Masyarakat Afrika Selatan yang reaksioner pun bahkan tidak punya sikap bermusuhan terhadap Barat. Sejumlah warga Amerika melihat Jepang atau kepada Pasar Bersama setelah 1992 sebagai bencana yang bakal muncul; tetapi sungguh, bagaimana negara-negara demokrasi mengisi peran ini? Musuh sejati harus menginspirasi jauh lebih banyak perasaan dibandingkan dengan persoalan nilai tukar dan pasar yang tidak berimbang.
Demikianlah yang terjadi. Akibatnya, semakin banyak warga Amerika dan Eropa mengalihkan pandang kepada manusia sangat tradisional yang menakutkan. Mereka adalah kalangan Muslim. Rasa takut mendalam yang sekian lama berakar itu, jauh dari kesan imaginer. Konflik Arab- Israel pun bisa meningkat menjadi perang nuklir, sebagaimana bisa terjadi dalam konlik Pakistan dengan India. Aksi terorisme Iran terhadap Barat berhasil parah melukai hingga dua Presiden Amerika. Invasi Irak ke Iran serta Kuwait merepresentasikan upaya yang masuk akal untuk mencengkram separuh cadangan minyak dunia.
Pemikiran bahwa kaum Muslim merupakan ancaman terbesar peradaban Barat bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Sejak 1984, Leon Uris menjelaskan tujuannya ketika menuliskan The Haj (Pak Haji). Novel itu "berniat mengingatkan Barat dan negara-negara demokrasi Barat bahwa kita tidak bisa terus menerus mengabaikan fakta terkait situasi ini lebih lama lagi karena kita menghadapi banteng marah dari satu miliar manusia di planet kita, yang tengah membuka jalan yang salah yang bisa mereka buka mengarah ke jalan kedua menuju Armageddon." Tetapi fobia terhadap kaum Muslim mulai mengemuka pada 1989, sebuah produk spekulasi gila-gilaan yang disengaja menyertai reformasi Mikhail Gorbachev dan pembebasan Eropa Tengah.
Spekulasi seputar ancaman kaum Muslim terbagi dalam dua tipe yang berbeda. Sejumlah pengamat merujuk kepada negara-negara yang bermusuhan beserta kekuatan militer yang bertumpu pada jihad (perang suci Islam). Kalangan lain memfokuskan perhatian pada para migran yang mengalir ke Barat, takut dengan upaya untuk melawan peradaban Barat dari dalam negeri. Untuk yang belakangan, kejahatan Saddam Hussein atau Mu'ammar al-Qadhdhafi tidak banyak menimbulkan bahaya dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan para pengikut mereka yang tengah berdiam di tengah kita.
Sampul depan Majalah National Review, 19 Nopember 1990 |
Jihad
Ancaman fisik terakhir kalangan Muslim terhadap umat Kristen (sebuah istilah yang semakin menonjol menjadi mode) adalah pada 1683 tatkala para tentara Kekaisaran Ottoman memasang kemah-kemah pertahanan di luar tembok-tembok Kota Wina. Kenangan terhadap peristiwa itu kembali dihidupkan selama beberapa tahun lalu. Jadi, William S. Lind (yang pernah bertugas sebagai penasehat Gary Hart) mencemaskan bahwa "Jatuhnya Soviet bisa berimplikasi terhadap perpecahan kekaisaran tradisional Rusia sehingga pasukan Muslim bisa kembali mengepung pintu-pintu Kota Wina."
Peter Jenkins, seorang komentator politik Inggeris pun setuju dengan pemikiran ini. Dia melihat masalah masa kini dengan meninjau kembali konflik yang terjadi enam setengah abad silam: "Upaya untuk menaklukan Islam menjadi pekerjaan mengasyikan bagi bangsa Eropa sejak 1354, ketika Gallipoli jatuh, hingga kesempatan terakhir ketika Bangsa Turki berdiri di depan pintu gerbang Wina pada 1683. Pernah hal itu begitu mengasyikan di hadapan Revolusi Islam." Leonard Horwin, mantan walikota Beverly Hills dengan rapi menggandakan rentang waktunya dalam sebuah surat kepada Harian The Wall Street Journal:
Konfrontasi sebenarnya terjadi antara peradaban Yudeo-Kristen dan Islam militan...Masa 1300 tahun militan Islam membuktikan bahwa dia tidak bertoleransi kepada kehadiran dhimmi, orang (yang dipandang oleh Islam lebih rendah status sosialnya karena agama) yang punya kedaulatan, entah umat Kristen (misalnya yang terjadi di Libanon) atau kaum Yahudi (seperti terjadi di Israel) --- bertahan sekian lama karena para dhimmi mampu membela diri.
Ketika menatap masa depan, para penulis editorial Harian Sunday Times di London menemukan bahwa konsep tentang penahanan masih tetap saja diyakini:
Hampir setiap bulan, ancaman Pakta Warsawa berkurang. Tetapi, setiap tahun selama sisa dekade ini dan selanjutnya, ancaman Islam fundamentalis justru semakin tumbuh. Ia berbeda jenis dan tingkatnya dari ancaman perang dingin. Tetapi, Barat terpaksa harus belajar untuk mengetahui, sama seperti ia pernah harus belajar bagaimana mengetahui komunisme Soviet.
Antusiasme ideologis seperti Marxisme – Leninisme bakal bertumbuh kuat kemudian melemah perlahan, kata para penulis itu, tetapi musuh Muslim tetap saja ada di tempat.
Jauh dari upaya merepresentasikan berbagai pemikiran eksentrik sejumlah pengamat politik, rasa takut ini tampaknya menyentuh syaraf terdalam jiwa masyarakat Barat. Penulis kutipkan satu keping penelitian survei. Sebuah polling pendapat umum yang dilakukan pada medio 1989 mengajukan pertanyaan kepada warga Perancis, " Negara-negara manakah berikut ini yang bagi anda sekarang ini menjadi ancaman terbesar Perancis? Sebagai tanggapan, 25% menjawab Iran, 21% Uni Sosialis Soviet Rusia dan 14% menyebutkan negara-negara Arab secara keseluruhan. Lebih dari separuh responden --- 57% persisnya---menyakini bahwa satu atau lebih negara-negara Muslim itu paling mengancam bagi Perancis. Pendapat yang sama bisa ditemukan di negara lain di Eropa Barat.
Sejumlah Muslim, yaitu kaum fundamentalis mendorong munculnya rasa takut ini. Karena pertama-tama, mereka memaklumkan bahwa konflik terbesar abad ini bukanlah antara Amerika Serikat dan Uni Soviet atau antara kapitalisme dan komunisme tetapi antara Barat dan Islam. Mereka melihat Rusia sebagai bagian dari Barat. Seorang anggota Hamas, kelompok fundamentalis Palestina meyakini bahwa "konflik itu merupakan pertarungan peradaban dan Rusia merupakan bagian di dalamnya." Sejumlah Muslim, seperti Presiden Iran, bergerak lebih jauh dengan mengumumkan bahwa "Timur dan Barat sudah menyatukan kekuatan" melawan Islam.
Para fundamentalis menyombongkan diri bakal memenangkan pertempuran melawan penguasa berpengaruh ini. Para editor Jomhuri-ye Islami, sebuah harian di Teheran dengan lantang menuliskan persoalan ini pada awal 1990: "Masyarakat Barat sudah tepat memahami bahwa gerakan dunia Islam merupakan ancaman terbesar terhadap 'kekaisaran Barat yang rusak.'" Harian itu mengatakan bahwa kaum Muslim harus membuktikan bagaimana "gerakan dunia Islam" bisa mengalahkan Barat. 'Ali Akbar Mohtashemi, seorang anggota garis keras Iran, bahkan punya dambaan yang lebih besar: "Pada masa datang, dunia akan punya sejumlah blok kekuatan. Kekuatan Islam akan memainkan peran menentukan di dalamnya...Akhirnya, Islam menjadi adidaya." Mulai dari Maroko hingga Indonesia, kaum Muslim yang cenderung fundamentalis punya pandangan ini.
Menjawab Jihad
Bagaimana seharusnya Barat menanggapi kenyataan ini. Ketika persoalan terlampau baru untuk mendapatkan banyak perhatian, pemikiran utama seputar tanggapan itu dapat dibedakan. Bagi sejumlah kalangan, langkah utamanya terletak dalam upaya untuk membangun kerja sama antarnegara -negara Barat. Pada tingkat dunia, negara-negera demokrasi industrial seharusnya berpadu satu mempertahankan tradisi-tradisi liberal kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan sejenisnya; dan mereka seharusnya bekerja sama menentang terorisme dan kekejaman lain. Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) seharusnya diperluas hingga keluar dari kalangan Eropa. Inisiatif Pertahanan Strategis harus dikembangkan agar bisa digunakan untuk melawan peluru kendali Irak atau Libya.
Ada pernyataan-pernyataan yang lebih imajinatif lagi, yang bisa mencapai Uni Soviet atau lebih tepatnya, sebagian kalangan Kristen Kekaisaran Soviet--- sebagai sekutu untuk menentang kaum Muslim. Ketika tiga negara Slavia, tiga republik di Baltik, Moldavia, Georgia dan Armenia kembali kepada janji setia historis mereka, mereka bisa saja memperluas penduduk dan geografi Eropa. Pernyataan paling provokatif harus berkaitan dengan pembangunan aliansi militer dengan masyarakat-masyaraka tersebut, khususnya dengan masyarakat Rusia. Harian The Sunday Times menyerukan kepada Barat dan Uni Soviet untuk sama-sama bergabung "mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan adanya desakan dari kaum fundamentalis Islam yang sangat besar yang membentang mulai Maroko hingga Cina." Ketika melakukan penilaian geopolitik paling murni atas situasi tahun-tahun terakhir ini, William Lind pernah menyarankan agar ada "peran yang Rusia ambil sebagai bagian Barat atas hal khusus yang penting yang terkait dengan potensi kebangkitan Islam... Uni Soviet pun meyakini sisi penting Barat yang benar, yang membentang dari Laut Hitam hingga Vladivostok."
Walter McDougall, sejarahwan pemenang Pulitzer Prize melihat Rusia tengah mempertahankan baris depan Kekristenan menghadapi musuh bersamanya. Andaikata Kekaisaran Rusia di Asia Tengah terancam runtuh, perang agama berskala besar yang diperangi dengan menggunakan senjata nuklir, kimia dan biologis menjadi tidak mungkin terjadi. Irak dan Iran membuktikan mereka mampu melakukannya dan Rusia yang putus asa dan frustrasi tentu punya berbagai sarana itu. Bahkan lebih daripada Israel/Palestina, rute perjalanan kafilah tua Asia Tengah mungkin menyimpan tempat-tempat seperti Sarajevo masa depan. Pihak manakah yang bakal "pihak lain" sebutkan sebagai umat Kristen "bakal dukung?"
Apakah yang menciptakan pemikiran-permikiran in? Untuk memulainya, itulah peningkatan luar biasa atas kebijakan untuk mengalah yang banyak negara Barat, khususnya negara-negara Eropa terapkan, akhir-akhir ini. Karena itu, lebih baik membesar-besarkan bahaya yang timbul dari para penjahat Irak daripada berupaya menjilat sepatu Saddam Hussein karena terlampau banyak masyarakat Barat melakukannya semenjak ledakan minyak terjadi pada 1973 – 1974.
Lebih jauh lagi, ketakutan terhadap Islam memang berdasarkan sejumlah fakta nyata. Sejak dari Pertempuran Ajnadayn pada 634 hingga krisis Terusan Suez pada 1956, permusuhan militer selalu mendefenisikan hal penting dari hubungan Kristen – Muslim. Kaum Muslim sebagai musuh ---par excellence, yang terpenting, dari Chanson de Roland hingga trilogi Orlando, mulai dari El Cid atau sang tuan hingga Don Quixote. Dalam hidup nyata, Bangsa Arab dan Turki merepresentasikan adanya bangsa penjahat sepanjang kawasan selatan Eropa. Warga Eropa berkali-kali merebut kembali negara mereka dengan mengusir para tuan tanah Muslim, mulai dari Reconquista Spanyol yang berawal pada awal abad kesebelas hingga Perang Kemerdekaan Albania berakhir pada 1912.
Sekarang ini, banyak Pemerintah Muslim melengkapi diri dengan banyak senjata. Militer Irak, misalnya, mempunyai lebih banyak tank daripada Jerman. Negara itu menggunakan sejenis peluru kendali yang dilarang Eropa berdasarkan Perjanjian Kekuatan Nuklir Lanjutan. Negara-negara Timur Tengah mengubah terorisme menjadi alat keahlian negara. Sekitar satu lusin Negara Muslim mempunya kemampuan perang kimia dan biologis. Mesir, Irak, Iran, Pakistan dan Indonesia sudah punya kemampuan besar untuk memproduksi bermacam-macam senjata. Jika bukan karena serangan Israel pada 1981 lalu, Saddam Hussein kini bisa gunakan nuklir kapan saja dia mau.
Yang membuat persoalan semakin merunyam adalah kaum Muslim sudah mengalami trauma mengerikan selama dua ratus tahun. Penderitaan tanpa sebab yang jelas membuat umat Allah itu menemukan diri mereka berada di dasar tumpukan. Ketegangan yang timbul akibat kegagalan berkepanjangan ini sangat luar biasa. Akibatnya pun mengerikan. Negara-negara Muslim menyimpan sebagian besar teroris namun sedikit sekali kaum demokrat di dunia. Secara khusus, hanya Turki dan Pakistan yang benar-benar demokratis namun sistem demokrasi kedua negara itu sangat rapuh. Di manapun, kepala pemerintah meraih kekuasaan dengan kekuatan sendiri atau orang lain. Dan seperti bagian lain dunia ini, otokrasi mengundang para pemimpin untuk mengejar kepentingan sendiri. Dampaknya adalah munculnya ketidakstabilan endemik beserta agresi yang sangat besar.
Tetapi tidak satu pun dari semua kenyataan ini membenarkan orang untuk melihat kaum Muslim sebagai musuh utama.
Karena satu, tidak semua kaum Muslim membenci Barat. Kaum Muslim yang paling membenci Barat --- yaitu kaum fundamentalis --- hanya minoritas kecil di banyak tempat. Penelitian survei dan Pemilu memperlihatkan bahwa kaum fundamentalis yang tidak bisa diubah keyakinannya di berbagai tempat itu tidak lebih dari 10% populasi kaum Muslim. Kaum Muslim tidak fanatik karena pada hakikatnya demikian juga karena frustrasi menghadapi penderitaan yang mereka hadapi. Sebagian besar dari mereka tidak terlampau ingin menghancurkan Barat dibandingkan dengan yang ingin menikmati berbagai keuntungannya.
Alasan lainnya, sekarang ini, kaum Muslim secara politik tidak bersatu dan tidak bakal bersatu. Invasi Irak terhadap Kuwait membuatnya jelas bagi dunia untuk melihatnya. Tetapi ada banyak contoh lain muncul dalam benak saya. Libanon dan Suriah misalnya tengah kelabakan mengelola klaim kalangan nasional yang saling bertikai, Suriah dan Irak mempunyai program ideologis yang berbeda, Irak dan Iran tumpang tindih mengklaim kawasan, sementara Iran dan Arab Saudi mendukung visi agama yang bertentangan satu sama lain. Persatuan Arab tampaknya selalu gagal, sama seperti berbagai skema lain yang secara politik mengikat kaum Muslim bersama.
Aksi kekerasan di Timur Tengah memunculkan gejala adanya ketidaksesuaian pendapat ini. Perang Irak – Iran, murni konflik kaum Muslim, mengakhiri delapan tahun mengerikan yang menghabiskan masa-masa puncak kejayaannya beserta korban jiwa sama banyaknya dengan yang dialami dalam konflik Arab – Israel selama empat dekade. Kini, kaum Muslim berhadapan satu sama lain di Irak dan Arab Saudi. Kalangan lain kaum beriman itu saling mencengkram leher lawannya di Sahara Barat, Chad, Libanon, Afghanistan dan Asia Tengah. Dan memang, catatannya memperlihatkan bahwa perang antarkaum Muslim itu dua atau tiga kali lebih umum terjadi dibandingkan yang dikibarkan melawan kaum kafir. Bahkan tatkala pengikut Muhamad itu sekali lagi berencana untuk mengepung Kota Wina, maka percecokan internal antarmereka bakal membuat usaha mereka tidak efektif sama seperti perang mereka terhadap Israel.
Kemudian ada juga fakta bahwa lebih banyak Pemerintahan Muslim bekerja sama dengan Barat dibanding mengancamnya. Turki adalah anggota NATO. Para penguasa Maroko, Tunisia, Mesir, Pakistan serta Indonesia bekerja sama dengan para sekutu Barat mereka. Arab Saudi dan negara-negara kaya minyak lain melakukan investasi yang sangat besar di Barat sehingga kepentingan mereka langsung terikat dengannya. Gambaran ini nyaris bukanlah sikap permusuhan yang seragam.
Karena semua alasan ini, jihad mungkin tidak sepenuhnya tidak mungkin terjadi, namun ia berada di luar ranah diskusi serius seputar kebijakan Amerika.
Imigrasi Kaum Muslim
Ironisnya, kekhawatiran lain timbul tepatnya dari fakta bahwa begitu banyak kaum Muslim yang tertarik kepada Barat. Mereka begitu tertarik pada Barat sehingga ingin menjadi bagian darinya. Seperti dicatat oleh David Pryce- Jones, jutaan kaum Muslim "meminta sedikit lebih baik buat mereka sendiri daripada meninggalkan masyarakat mereka demi masyarakat Eropa." Meningkatnya imigrasi Muslim menuju Barat memunculkan banyak isu yang mengganggu, kali ini, isu budaya, bukan militer, khususnya di Eropa Barat.
Semua imigran membawa serta adat istiadat dan sikap-sikap yang eksotik. Tetapi adat-istiadat Muslim itu jauh lebih mengganggu dibandingkan sebagian besar adat-istiadat lainnya. Juga, mereka tampaknya sangat menolak upaya-upaya untuk berasimilasi dengan masyarakat setempat. Berbagai unsur masyarakat yang berkembang di antara warga Pakistan di Inggeris, warga Aljazair di Perancis, warga Turki di Jerman malah berupaya untuk mengubah negara penampung mereka menjadi masyarakat Islam dengan memaksanya beradaptasi dengan cara hidup mereka.
Pada skala kecil, mereka menuntut agar pabrik-pabrik mengikuti kalender Islam, dengan hari libur tersendiri serta ritme khusus; atau sekolah-sekolah negeri dipisah-pisah berdasarkan jenis kelamin serta mengajarkan prinsip-prinsip ajaran Islam. Cukup banyak kaum Muslim, khususnya para pengikut Ayatollah Khomeini, tampaknya berharap bisa membangun kembali Eropa dan Amerika sesuai gambaran mereka. Dan mereka pun tidak malu-malu mengatakannya. Editor sebuah suratkabar berbahasa Bengali di Inggeris, Harunur Rashid Tipu menjelaskan bahwa para pemimpin Organisasi Kaum Muda Muslim berjuang supaya pada akhirnya "mendirikan masyarakat Islam di sini." Dalam peristiwa Salman Rushdie, kaum Muslim diaspora di Barat dan rejim di Teheran menimbulkan krisis budaya dan politik yang menghantam inti nilai-nilai Barat tentang kebebasan berbicara dan sekularisme, secara pasti memunculkan ketakutan yang paling parah di banyak kalangan di Barat.
Tentu saja, membangun masyarakat Islam berarti merebut kekuatan politik. Dan meski masih jauh, upaya itu sudah terlihat sekarang. Seorang wanita Perancis asli Afrika Utara memberi tahu seorang wartawan bahwa, "Besok saya akan jadi walikota dan sehari kemudian menjadi presiden republik." Di Jerman Barat, orang mendengar pernyataan itu diucapkan oleh para politisi bahwa, "Pada tahun 2000, kami bakal punya kanselir federal keturunan Turki." Manifestasi paling ekstrim keprihatinan ini barangkali diungkapkan oleh Jean Raspail. Intelektual Perancis itu menulis novel berjudul, The Camp of Saints (Kemah Para Santo-Santa) yang menggambarkan seorang Muslim mengambil alih Eropa dengan membiarkan Bangsa Bangladesh mengalir masuk tidak terkendali.
Para pemimpin Timur Tengah, seperti para Wahabi dari Arab Saudi dan Muamar Kadafi dari Libya, secara terbuka mendorong aspirasi ini. Tetapi adalah Pemerintah Iran yang paling agresif menganjurkan kepentingan kaum Muslim, bahkan hingga pada tingkat mendorong munculnya sikap menolak kepada pihak berwenang. Dalam satu pernyataannya, sebuah suratkabar Iran yang berhaluan keras memaklumkan bahwa "pengaruh Islam yang selalu berkembang di dunia masa kini tidak bisa disangkal, entah dunia Barat menyukainya atau tidak." Pada kesempatan lain, Teheran mengingatkan bahwa kaum Muslim yang berdiam di Kerajaan Inggeris mungkin saja dipaksa "untuk berjuang mencari jalan di luar hukum untuk mengawal hak-hak mereka."
Bisa dipahami bahwa semangat suka berperang seperti ini menimbulkan kecemasan di antara masyarakat Barat. Bahkan muncul rasa takut bahwa kaum Muslim akan berhasil menumbangkan tradisi liberal mereka. Di London, Peregrine Worsthome mengungkapkan perasaan bangsa Inggeris yang berkembang luas dalam Harian The Sunday Telegraph:
Fundamentalisme Islam berkembang pesat menjadi ancaman kekerasan dan intotelansi yang lebih besar dibanding apapun yang muncul, katakan saja, [kaum esktrim kanan] Fron Nasional. Dan lebih jauh lagi, ancaman tidak terbatas itu jauh lebih sulit diawasi karena nyaris tidak mungkin dipantau. Apalagi berupaya membasmi bahasa anti-Yahudi anti-Kristen yang haus darah yang dikotbahkan dari mimbar banyak masjid Inggeris... Inggeris memang membuat masalah bagi dirinya sendiri dengan masalah agama primitif yang memang beralasan bagi kita untuk menganggapnya sudah diselesaikan pada Abad Pertengahan.
Keprihatinan yang sama juga terdengar di Rusia. Di sana tidak banyak keprihatinan soal nasib sekitar 55 juta kaum Muslim dari bekas Uni Soviet yang meraih kemerdekaan dibandingkan dengan kaum Muslim yang berniat untuk berpindah ke utara serta merebut Moskow sendiri.
Berbagai rasa prihatin ini berpotensi politik. Jean–Marie Le Pen, pemimpin gerakan Perancis untuk menolak para imigran memberikan ciri Islam sebagai "agama intoleran," dan secara terbuka takut dengan "serbuan imigrasi Muslim atas Eropa." Dia memimpin partai politik, Fron Nasional, yang secara eksplisit menganjurkan mengusir para imigran dari Perancis. Kaum republikan di Jerman Barat dan berbagai kelompok xenophobic, yang takut terhadap orang-orang asing di berbagai negara lain mempunyai pandangan dan program yang sama dengan Le Pen.
Kelompok sayap kanan yang membuka mata lebar-lebar kepada kaum Muslim imigran, merasa sangat tidak aman dan terlucuti kekuatannya apa adanya. Ucapan-ucapan kasar humor, khususnya antarmasyarakat Jerman ("Apa bedanya orang Yahudi dan orang Turki?" "Orang Yahudi sudah mendapatkan apa yang pantas didapatkannya, sementara orang Turki belum.") membuat sejumlah kalangan Muslim menghkhawatirkan adanya Holocaust di depan mereka. Kalim Saddiqui, direktur Institut Muslim London berbicara tentang "ruang gas ala Hitler bagi kaum Muslim"; Shabir Akhtar, anggota Dewan Masjid Bradford, menulis bahwa "pada waktu selanjutnya ada ruang gas di Eropa, tidak ragu lagi terkait dengan siapa yang bakal ada di dalamnya." Bagaimanapun berlebihannya, pernyataan-pernyataan itu merefleksikan keprihatinan yang sebenarnya.
Demografi
Berbagai fakta demografis mendasari ketakutan Barat baik terhadap jihad maupun terhadap imigrasi. Pertumbuhan populasi merasuki kaum Muslim dengan kesadaran dengan penuh keyakinan diri terhadap masa depan namun memberikan kepada masyarakat Barat kesadaran tentang firasat.
Jumlah kaum Muslim nyaris satu miliar. Mereka membentuk lebih dari 85% populasi di sekitar dua pertiga negara di dunia; mereka membentuk antara 25 dan 85% populasi di sebelas negara; dan jumlah yang besar tetapi kurang dari 25% di 47 negara lainnya.
Berbeda dengan masyarakat Barat yang tidak mampu mempertahankan angka keberadaan mereka sekalipun (kini hanya Polandia, Irlandia, Malta dan Israel yang populasinya bertumbuh wajar), kaum Muslim justru bergembira ria karena angka kelahiran kasarnya di dunia meningkat. Menurut studi John R. Weeks, negara-negara dengan sejumlah besar kaum Muslim mempunyai angka kelahiran 42 per seribu populasi. Angka itu sangat berbeda, karena negara-negara maju hanya punya angka kelahiran 13 per seribu populasi. Diterjemahkan ke dalam angka fertilitas secara menyeluruh, maka ini berarti ada 6 anak per satu wanita Muslim, tetapi hanya 1,7 anak per wanita di negara-negara maju. Angka rata-rata peningkatan wajar di negara-negara Muslim adalah 2,8 persen setiap tahun; di dunia maju, angkanya hanya 0,3 persen.
Angka lebih tinggi ini terjadi nyaris di semua negara Muslim, dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara serta di dalam batas-batas sebuah negara. Ambil contoh bekas Uni Soviet. Di sana, kaum Muslim mempertahankan angka kelahiran penuh lima kali lipat daripada angka kelahiran dari kaum non-Muslim. Karena kaum Muslim membentuk hanya 16% populasi Soviet, maka mereka bertanggung jawab atas 49% peningkatan populasi antara tahun 1979 dan 1989.
Sejumlah kalangan melihat ketidakseimbangan demografis ini sebagai tantangan tunggal terbesar bagi peradaban Barat. Patrick Buchanan merangkum adanya rasa takut ini dengan sikap wajar ketika mengatakan:
Selama satu millennium, perjuangan demi nasib manusia adalah antara Kristen dan Islam. Selama abad ke-21, perjuangannya bakal sama lagi... Kita mungkin tengah menyaksikan selama abad mendatang bahwa...penulis budaya konsevatif T.S. Eliot itu benar, ketika dia menulis dalam novelnya, "The Hollow Men" (Manusia Hampa). Dikatakannya bahwa Barat akan berakhir, "bukan karena ledakan besar tetapi karena rengekan" --- barangkali rengekan seorang anak Muslim dalam buaiannya.
Angka kelahiran kaum Muslim yang tinggi telah mendorong dinamika politik di dua negara non-Muslim di Timur Tengah. Kaum Kristen pun telah kehilangan kendali atas Libanon setelah Muslim menjadi mayoritas di sana. Tantangan untuk mempertahankan mayoritas Yahudi terletak dekat dengan inti perdebatan politik Israel; populasi Muslim setempat mempertahankan angka fertilitas tidak kurang dari 6,6 anak per wanita (perkiraan 1981). Berbagai ketegangan politik yang sebanding mengemuka di pinggiran Timur Tengah seperti di Ethiopia, Siprus, Armenia dan Serbia, ketika populasi minoritas Muslim merangkak naik menjadi kekuatan politik atau status mayoritas.
Tentu saja, situasinya sangat berbeda di Barat. Tetapi di sana juga populasi Muslim meningkat. Seluruh warga Muslim mencapai 2 – 3 juta di Amerika Serikat dan sekitar 11 juta di Eropa Barat. Lebih dari 3 juta kaum Muslim berdiam di Perancis, sekitar 2 juta di Jerman Barat, 1 juta di Inggeris dan hampir satu juta di Italia. Setengah juta kaum Muslim berdiam di Belgia. Nyaris lima abad setelah Granada jatuh, Spanyol kini sudah menampung 200.000 kaum Muslim. Kaum Muslim justru lebih banyak dari kaum Yahudi dan menjadi komunitas agama kedua terbesar di nyaris semua negara Eropa Barat. Di Perancis, jumlah kaum Muslim lebih besar dari seluruh kalangan non-Katolik disatukan, termasuk juga jika kaum Protestan dan Yahudi bergabung. Di Amerika Serikat, kalangan Muslim berjumlah sama banyaknya dengan umat Gereja Episcopal. Mereka seharusnya menjadi komunitas agama kedua terbesar dalam kurun waktu sekitar 10 tahun.
Lebih jauh lagi angka kelahiran di kalangan Muslim jauh melebihi warga pribumi Eropa dan Amerika. Dengan demikian, seperlima dari semua anak yang terlahir di Perancis punya ayah Afrika Utara dan Muhamad menjadi salah satu nama yang paling umum diberikan di Kerajaan Inggeris. Berbagai perkiraan menunjukkan populasi kaum Muslim Eropa Barat mencapai 20 hingga 25 juta hingga tahun 2000.
Padatnya kaum Muslim pantas dicatat di sejumlah kota besar. London merupakan rumah bagi satu juta Muslim dan Berlin Barat sekitar 300 ribu warga Muslim. Mereka membentuk hingga 10%n populasi di Birmingham, kota kedua terbesar di Inggeris Raya; di Bradford (tempat protes terhadap novel The Satanic Verses memanas), mereka membentuk 14% populasi. Mereka membentuk seperempat populasi Brussels, Saint Denis (sebuah kota satelitnya Paris) dan Dearborn serta Michigan.
Menanggapi persoalan Imigrasi
Rasa takut terhadap aliran kaum Muslim semakin mendasar dibandingkan dengan rasa takut terhadap jihad. Masyarakat Eropa Barat tidak siap menghadapi imigrasi massal orang-orang berkulit coklat yang memasak makanan yang tidak mereka kenal serta tidak dengan tepat memperhatikan standar higienis ala Jerman.* Para imigran Muslim itu juga membawa serta chauvinism mereka, kebanggaan sebagai banggsa yang semakin memperburuk integrasi mereka ke dalam masyarakat arus utama Eropa. Semua tanda itu mengarah kepada berlanjutnya benturan antara dua pihak; mungkin sekali, persoalan Rushdie sekedar preluda, pengantar menuju berbagai persoalan yang lebih jauh. Tampaknya sudah berhasil melahirkan sebuah partai politik Muslim di Inggeris Raya. Dengan kata lain, orang-orang fanatik Iran jauh lebih mengancam di dalam kawasan pintu gerbang Wina dibandingkan di luarnya.
Masih saja, tidak satu pun dari pemikiran ini mengarah kepada prinsip Richard Condon tentang "ancaman mengerikan lainnya" yang dalam bentuk apapun menyerupai bahaya yang ditimbulkan oleh Soviet. Para imigran Muslim mungkin saja tidak akan mengubah wajah kehidupan Eropa; pub-pub tidak akan ditutup, prinsip sekularis tidak bakal meredup, kebebasan berbicara tidak mungkin bakal dibatalkan. Gebrakan kaum Muslim terhadap Eropa Barat menciptakan sejumlah besar rasa sakit beserta tantangan-tantangan yang tak berujung; bagaimanapun, tidak ada alasan peristiwa ini mengarah kepada pertempuran antara dua peradaban tersebut. Jika ditangani secara wajar, para imigran bahkan bisa membawa banyak hal yang bernilai, termasuk energy baru bagi masyarakar penerima mereka.
Amerika Serikat tidak banyak menghadapi persoalan berkat tradisi imigrasinya yang panjang serta perilakunya sehat yang beriringan jalan dengan program itu. Menjadi orang Amerika itu tidak banyak bergantung pada keturunan dibandingkan pada nilai bersama sehingga mendorong lahirnya keterbukaan. Berbagai etika meritokrasi dan sistem pendidikan banyak berupaya untuk mengintegrasikan generasi masa datang. Jika kaum fundamentalis Muslim berpindah ke Amerika Serikat serta memilih untuk tetap berada di luar budaya arus utama, kedua pihak tetap masih bisa berakomodasi, sebagaimana dibuat oleh kalangan Amish Mennonite di Pennsylvania atau kaum Yahudi Hasidik di Kota New York
Ada titik akhir. Prediksi bahwa kaum Komunis bakal digantikan oleh kaum Muslim sebagai ancaman utama memperlihatkan bahwa pemilahan ideologis membuka jalan bagi adanya ideologi-ideologi yang berorientasi kemasyarakatan. Dan ini sesuai dengan tesis Francis Fukuyama tentang berakhirnya sejarah. "Berakhirnya sejarah" secara harafiah tidak berarti tidak ada yang terjadi. Tetapi (dan sesuai dengan istilah yang diungkapkan oleh filsuf Hegel), adalah ketika pemahaman tentang manusia tidak lagi mengalami kemajuan. Yaitu ketika tidak ada lagi ideologi baru ditemukan. Jika sejarah dalam arti ini harus berakhir, maka apa yang orang pikirkan akan kehilangan nilanya yang penting; siapakah yang menjadi kunci.
Tetapi, prediksi Fukuyama tampaknya paling tidak mungkin. Bagaimanapun, argumentasi yang agung sekaligus berdarah-darah seputar kondisi manusia sudah menjadi kekuatan pendorong sejarah selama dua abad, mulai dari Revolusi Perancis hingga Perang Saudara Nikaragua. Mampukah perdebatan intelektual yang menentukan ini sepenuhnya menghilang, untuk digantikan dengan kembali munculnya rasa permusuhan yang sudah ada sebelum 1798? Kemungkinan ini tampaknya terlampau mengada-ada untuk dipikirkan secara serius.
Kembali kepada isu kaum Muslim dan Barat. Skeptisisme saya soal berakhirnya ideologi mengantarkan saya kepada kesimpulan berikut: Relasi kaum Muslim dan masyarakat Barat pada masa datang tergantung pada angka kasar atau tempat tinggal dan lebih terkait dengan agama, ketrampilan dan institusi. Pertanyaan kritisnya adalah apakah kaum Muslim akan memodernisasi diri atau tidak. Dan jawabannya terletak tidak di dalam Al-Qur'an atau dalam agama Islam, tetapi dalam sikap dan aksi dari nyaris satu miliar orang.
Andaikata kalangan Muslim gagal memodernisasi diri, maka rekor keras kepala mereka akibat buta huruf, kemiskinan, intoleransi dan otokrasi berlanjut dan barangkali semakin parah. Krisis militer seperti yang dilancarkan oleh Saddam Hussein mungkin masih lebih parah lagi. Tetapi jika kaum Muslim memodernisasi diri, maka ada alasan untuk berharap. Dalam kasus ini, mereka berpeluang bagus untuk menjadi melek huruf, makmur dan secara politik stabil. Mereka tidak lagi perlu melatih para teroris serta mengarahkan peluru kendali ke Barat; untuk beremigrasi ke Eropa dan Amerika atau untuk menolak berintegrasi di dalam berbagai masyarakat Barat.
* Selama bertahun-tahun, kalimat itu mendapatkan perhatian yang sangat luar biasa. Tujuan saya di dalamnya adalah untuk menyajikan ciri-ciri pemikiran masyarakat Eropa Barat, bukan pandangan-pandangan saya sendiri. Ketika menengok masa lalu, saya seharusnya menempatkan kata-kata "orang-orang berkulit coklat" dan "makanan-makanan aneh" dalam tanda kutip atau menjelaskan bahwa saya tengah mendiskusikan sikap-sikap warga Eropa dan bukannya sikap saya sendiri. Dengan menyajikan contoh perilaku ini, berikut ini sejumlah kutipan dari para politisi kenamaan Perancis dari era itu.
Jacques Chirac, yang kala itu Presiden Partai Republik Perancis dan walikota Paris, pada Juli 1983 mengatakan; "Le seuil de tolérance [de l'immigration] est dépassé dans certains quartiers et cela risque de provoquer des réactions de racisme."
François Mitterrand, president of France, December 12, 1989: "Le seuil de tolérance [de l'immigration] a été atteint dès les années 70 où il y avait déjà 4,1 à 4,2 millions d'étrangers. ... Autant que possible, il ne faut pas dépasser ce chiffre, mais on s'y tient depuis des années et des années."
Jacques Chirac, 19 Juni 1991: "Persoalan kita bukan -orang asing. Persoalannya adalah bahwa ia memang berlebihan. Mungkin benar tidak banyak orang asing [kini] dibanding sebelum Perang [Dunia Kedua]. Tetapi mereka bukan orang yang sama dan itulah yang membedakannya. Pasti bahwa setelah Bangsa Spanyol, Polandia dan Portugis bekerja di sini bersama kita tidak banyak persoalan yang muncul dibandingkan dengan menerima kaum Muslim dan kaum kulit hitam... Bagaimana kau bisa inginkan pekerja Perancis, yang bekerja bersama isterinya bersama-sama mendapatkan 15.000 francs [sebulan] menyaksikan ke seluruh penjuru datangnya sebuah keluarga dengan seorang ayah dengan tiga atau empat isteri dengan 20 atau lebih anak menerima 50.000 francs dari tunjangan sosial, tentu saja tanpa bekerja... Jika kau tambahkan persoalan ini pada hiruk pikuk ini, maka wajarlah bahwa pekerja Perancis marah. Dan, bukanlah rasis, untuk mengatakan hal ini."
Valery Giscard d'Estaing, mantan Presiden Perancis, 21 September 1991: "Bien que dans cette matière sensible il faille manipuler les mots avec précaution, en raison de la charge émotionnelle ou historique qu'ils portent, le type de problème auquel nous aurons à faire face se déplace de celui de l'immigration vers celui de l'invasion."
Lebih banyak lagi kutipan yang sesuai dengan pemikiran ini dapat ditemukan pada http://lmsi. net/article.php3?id_article=81 and http://wwwassos.utc.fr/~plaider/calimero/22/ mots_a_maux.html.
Sep. 12, 2013 update: Judul artikel ini menginspirasi judul sebuah karya dokumenter,"The Muslims Are Coming!" (Kaum Muslim Berdatangan) yang diluncurkan hari ini.
Sampul buku "The Muslims Are Coming!" |
Pemutakhiran 1 Februari 2014: Judul artikel ini juga menginspirasi Arun Kundnani untuk memberikan judul pada buku barunya, The Muslims Are Coming!: Islamophobia, Extremism, and the Domestic War on Terror (Kaum Muslim Berdatangan! Fobia Terhadap Islam, Ekstremisme dan Perang Domestik atas Teror). Uraian singkat dari Verso Books menyebut buku itu
sebagai kritik komprehensif pertama terhadap berbagai strategi kontra-radikalisasi. Kebijakan baru dan kampanye-kampanye politik dengan dukungan industri para pakar beraroma mint segar serta para pengamat politik yang liberal. Buku The Muslims Are Coming! meninjau cara perdebatan itu berubah dengan menaklukan anti-ekstremisme yang dirancangkan secara sempit sekaligus dipahami secara salah.
Pemutakhiran 3 April 2014: Kundnani mengaku menggunakan artikel ini sebagai judul bukunya:
Yang ingin saya lakukan dengan judul buku ini, dengan menggunakan frasa ini, Orang Muslim Berdatangan!, mengindikasikan semacam sejarah yang kembali bisa dilacak hingga masa Perang Dingin. Dan frasa Kaum Muslim Berdatangan! juga judul sebuah artikel bernada fobia terhadap Islam yang dituliskan oleh penulis Amerika yang fobia terhadap Islam bernama Daniel Pipes pada era 1990-an. Karena itu, saya mencoba memanfaatkan slogan bernada fobia terhadap Islam itu dan menjadi sarkastis dengannya kemudian mengubahnya.