Untuk mendapatkan sumber bahan yang digunakan dalam tulisan ini, klik di sini.
Bukan, bukan ISIS. Juga bukan amukan kaum milisi Shiah. Itulah Bendungan Mosul, bendungan raksasa Irak. Kemungkinan runtuhnya bendungan raksasa ini barangkali menyebabkan jutaan orang tewas. Berbagai kalangan yang tahu, mengkhawatirkan bencana alam yang bisa saja menghantam musim semi ini, tatkala salju meleleh membentuk tekanan air yang tidak terkendalikan.
Dibangun tergesa-gesa pada masa perang bagi diktator Saddam Hussein oleh sebuah konsorsiun Jerman – Italia, Bendungan Mosul terletak di tempat itu karena salah seorang kroni Saddam Hussein berasal dari kawasan ini. Sang diktator memanfaatkan dorongan sang kroni, tanpa memperdulikan kenyataan bahwa para insinyiur sudah sejak awal tahu bahwa batuan gipsum yang mudah ditembusi air yang menjadi dasar bendungan tidak mampu mendukug bangunan yang begitu besar.
Apa yang kala itu diberi nama Bedungan Saddam itu dibuka pada 1988. Namun, dalam kurun waktu dua tahun, terus-menerus perlu dilakukan penyuntikan cairan semen ke dasar bendungan agar bangunan raksasa itu tidak runtuh. Jumlahnya banyak sekali. Selama beberapa dekade, 200 juta pound atau sekitar 91 juta ton cairan semen disuntikan ke dalamnya. Upaya itu memang mampu menyebabkan dasar bendungan tidak semakin memburuk, tetapi tetap saja, dia tidak menyelesaikan masalah.
Pekerja sedang bekerja memperkuat Bendungan Mosul, 3 Februari 2016 lalu. |
Tahun-tahun berlalu; beruntunglah tidak ada bencana terjadi seperti alam amatan orang Amerika. Lalu, dalam kurun waktu 10 hari yang sangat penting, yaitu selama 7 – 17 Agustus 2014 lalu, Negara Islam (ISIS) menguasai bendungan. Memang, kelompok itu tidak mensabotase atau meledakannya, namun penyuntikan beton dihentikan selama 6 minggu. Akibatnya, seluruh pekerjaan untuk memperbaiki bendungan --- khususnya para pekerja trampil dan pasokan semen ---- sejak itu menjadi tidak terlalu konsisten dilakukan.
Akibatnya, bendungan raksasa itu pelahan melemah selama 19 bulan, sampai pada titik sehingga para pakar pun mengkhawatirkan bahwa gelombang air musim semi akan menekan dan bisa meruntuhkan bendungan. Bahwa dua pintu banjir darurat bendungan itu rusak sehingga tak bisa dibuka lagi guna memulihkan tekanan air yang sangat keras yang menyebabkan situasi bisa saja sangat berbahaya.
Dampak keruntuhan bendungan itu sangat mengerikan. Bakal terjadi tembok air setinggi 45 – 70 kaki (sekitar 14 meter dan 22 meter tingginya) yang mencapai Mosul, sebuah kota berpenduduk sekitar satu juta jiwa, dalam waktu empat jam. Kemudian, gelombang banjir menggulung lembah Sungai Tigris menuju kota-kota lain, termasuk ibukota Bagdad, sebelum menyebaarluaskan banjir di kawasan yang luas. Sejumlah besar korban langsung bakal diikuti dengan musim kering, penyakit, berkurangnya listrik, kekacauan dan kejahatan, yang memastikan tingkat penderitaan dan kematian yang pernah dikatakan Injil
Selama bertahun-tahun, upaya penyuntikan semen serta adanya jaminan yang dilakukan dengan penuh semangat menyebabkan gentingnya bahaya Bendungan Mosul mengabur. Tetapi Pemerintah AS semakin kuat memberikan alarm tanda bahaya sejak awal 2016, pertama-tama berdasarkan perkiraan Korps Zeni Angkatan Bersenjata AS yang akhirnya tampak berhasil juga menyadarkan warga Irak terhadap bahaya yang mereka hadapi. Kedutaan Besar di Bagdad bahwa mengeluarkan "Lembaran Fakta Persiapan atas Bendungan Mosul " dengan nasehat (dalam Bahasa Inggeris) seputar langkah-langkah evakuasi serta kebutuhan pendidikan serta upaya pemulihan.
Sebaliknya, Pemerintah Irak mengeluarkan banyak sekali jaminan yang tidak jujur bahwa tidak ada masalah dengan bendungan tersebut. Mohcsen al-Shimari, Menteri Irak untuk Urusan Sumberdaya Air dan pejabat yang bertanggung jawab terhadap bendungan itu mengatakan, "Bahaya masih jauh, masih jauh sekali. Kemungkinan bahayanya 1 dalam 1000" (dalam dirinya sendiri merupakan risiko yang tidak bisa diterima). Atau, dia ngotot bahwa Bendungan Mosul "bukanlah bahaya yang lebih besar" daripada bendungan-bendungan lain. Pada kesempatan lain, dia sebetunya mengklaim "tidak ada masalah dengan bendungan itu yang menyebabkannya runtuh." Perhatikan, sikap tidak konsisten sebetulnya merupakan tanda orang bermuka muda.
Searah dengan tindakan tidak berrtanggung jawab itu, bahkan tanpa mempedulikan jahatnya tindakan itu, pihak berwenang Irak nyaris tidak mempersiapkan apa-menghadapi kemungkinan runtuhnya bendungan itu. Ya, mereka mengklaim bahwa memang ada rencana kontingensi, tetapi tidak ada yang bisa melihatnya. Tidak banyak yang mengetahui rincian rencana itu sehingga apakah yang bisa digunakan pada masa krisis? Ya, mereka sudah menandatangani perjuangan senilai 300 juta dolar AS dengan Trevvi, sebuah perusahaan Italia guna memperbaiki dan mempertahankan bendungan, tetapi itu hanya sebuah plester perbaikan, bukan solusi jangka panjang.
Yang memperumit persoalan adalah kota yang paling berdampak akibat bendungan itu yang Mosul sedang berjuang di bawah kekuasaan Negara Islam, yang memang mengabaikan hidup manusia dan sangat benci dengan dunia luar menegasikan adanya perencanaan untuk menangani krisis tersebut serta bantuan pihak internasional.
Andaikan saja bendungan itu mampu bertahan terhadap lelehan salju tahun ini, maka hanya ada satu solusi jangka panjang yang diperlukan: menyelesaikan Bendungan Badush yang berada di hilir Bendungan Mosul yang bakal mampu meredakan dampak keruntuhan bendungan utama. Dimulai segera setelah melakukan penyuntikan semen di dasar bendungan pada 1986, tetapi berhenti pada 1990, bendungan pendukung itu bakal menghabiskan dana 11 miliar dolar AS [sekitar Rp 130 triliun] yang tidak mampu dibayarkan oleh Pemerintah Irak. Meski demikian, upaya itu harus menjadi prioritas utama negeri itu.