MAJALAH COMMENTARY--- meminta supaya dibuat suplemen internet untuk artikel ini. Saya memilih untuk membuat lintasan pemikiran utama seputar Sintesis Abad Pertengahan dari buku saya, In the Path of God; Islam and Political Power (Di Jalan Allah; Islam dan Kekuasaan Politik). Untuk membaca tulisan itu, silakan klik di sini
Akhir-akhir ini, Islam merepresentasikan kekuatan terbelakang, agresif dan keras. Haruskah ia tetap seperti itu atau dapatkah dia diubah menjadi moderat, modern dan bisa hidup bertetangga secara baik? Apakah pihak berwenang Islam merumuskan suatu pemahaman atas agama mereka yang memberikan hak penuh kepada kaum wanita dan kaum non-Muslim termasuk kebebasan yang penuh kesadaran kepada kaum Muslim sehingga menerima prinsip-prinsip dasar keuangan dan jurisprudensi modern dan tidak berupaya menerapkan hukum Shariah atau mendirikan sebuah kekalifahan?
Makin banyak analis yakin tidak bisa. Artinya, agama kaum Muslim tidak bisa melakukan ini. Bahwa gambaran itu melekat dalam Islam dan bagian yang tidak bisa diubah dari pencitraannya. Ketika ditanya apakah dia setuju dengan pernyataan saya bahwa "Islam radikal merupakan masalah tetapi Islam moderat adalah solusi," penulis Ayaan Hirsi Ali menanggapi, "Dia salah. Maaf soal itu." Dia dan saya berada dalam kubu yang sama, berjuang mencapai tujuan sekaligus musuh yang sama, tetapi kami tidak sepakat soal pemikiran-pemikiran penting ini.
Ada dua bagian argumentasi saya. Pertama, posisi esensialis dari banyak analis yang salah; dan kedua, Islam yang sudah direformasi bisa saja muncul
Argumentasi Menentang Esensialisme
Rumi (1207-73), seorang tokoh mistik kenamaan Islam. |
Mengatakan bahwa tidak bisa diubah sama dengan menegaskan bahwa Al-Qur'an dan Hadith, yang membentuk inti agama itu harus selalu dipahami dengan cara yang sama. Tapi menegaskan posisi itu sama saja dengan mengungkapkan kesalahannya, karena tak ada yang manusia mampu bertahan selamanya. Segala sesuatu termasuk pembacaan teks-teks suci, berubah seiring dengan berjalannya waktu. Segala sesuatu punya sejarahnya sendiri. Dan segala sesuatu punya masa depan yang tidak sama dengan masa lalu.
Orang bisa mengklaim bahwa Al-Qur'an dipahami identik sepanjang masa, hanya karena tidak mampu mempertanggungjawabkan sifat manusiawinya sekaligus mengabaikan lebih dari satu milenium perubahan interpretasi Al-Qur'an itu sendiri. Sudah terjadi berbagai perubahan dalam bidang seperti soal jihad, perbudakan, riba serta prinsip "tak ada kewajiban dalam beragama," serta peran wanita. Lebih jauh lagi, banyak penafsir penting Islam selama 1,400 tahun silam seperti--- ash-Shafi'i, al-Ghazali, Ibn Taymiya, Rumi, Shah Waliullah dan Ruhollah Khomeini muncul dalam benak---berbeda pendapat antarmereka soal isi pesan Islam itu sendiri.
Betapapun sentralnya Al-Qur'an dan Hadith, mereka bukanlah keseluruhan pengalaman Muslim; akumulasi pengalaman masyarakat Muslim mulai dari Maroko hingga Indonesia serta daerah lainnya. Berpikir tentang kitab suci Islam itu bertalian erat dengan upaya untuk menginterpretasi Amerika Serikat yang sepenuhnya lewat lensa Konstitusi; sehingga mengabaikan sejarah negeri itu bakal mengarah kepada pembelotan pemahaman.
Dengan kata lain, peradaban abad pertengahan Muslim unggul namun kaum Muslim masa kini tertinggal di belakang (lag behind) nyaris dalam semua indeks prestasi. Tetapi jika berbagai hal itu bisa menjadi lebih buruk, maka mereka pun bisa menjadi lebih baik. Demikian, dalam karir pribadi, saya menyaksikan Islamisme bangkit dari awal yang kecil (minimal) ketika saya memasuki bidang itu pada tahun 1969 hingga kekuasaan luar biasa besar yang dinikmatinya kini. Jadi, jika Islamisme bisa tumbuh, maka dia juga merosot.
Bagaimana bisa ini terjadi?
Sintesis Abad Pertengahan
Shah Waliullah (1703-62) seorang pemikir Islam India kenamaan. |
Kunci peran Islam dalam kehidupan publik adalah Shariah serta begitu banyak tuntutan yang tidak terhindarkan yang dibuatnya atas kaum Muslim. Menjalankan sebuah pemerintahan dengan pajak kecil yang diperbolehkan oleh Hukum Shriah terbukti tidak bisa bertahan lama. Dan bagaimana orang bisa mengelola sebuah sistem keuangan tanpa menuntut bunga? Sistem pidana yang mempersyarakatkan empat orang menyaksikan sebuah tindak pemerkosaan dalam sebuah delik menyolok (flagrante delicto) itu tidak praktis. Larangan Sharia terkait perang melawan sesama Muslim mustahil dijalankan oleh semua pihak. Sungguh, kasarnya, tiga perempat dari semua perang dilancarkan oleh kaum Muslim diarahkan melawan kaum Muslim lain. Demikian juga sikap ngotot untuk menjalankan jihad yang abadi melawan kaum non-Muslim terlampau banyak menuntut.
Guna memahami hal-hal ini termasuk tuntutan-tuntutan lain yang tidak realistis, kaum Muslim pra-modern mengembangkan daun hukum tertentu yang berusaha menyembunyikan hal-hal memalukan (fig leaves) yang mengijinkan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dilonggarkan tanpa langsung melanggarnya. Para ahli hukum Islam memajukan persoalan hiyal (tipuan-tipuan) serta sarana-sarana lain sehingga kata-kata hukum dapat dipenuhi tanpa menegasi semangatnya. Sebagai contoh, berbagai mekanisme dikembangkan supaya umat bisa hidup harmonis dengan negara-negara non-Muslim. Juga ada soal penjualan ganda ((bai al-inah) sebuah barang yang membolehkan pembeli untuk membayar bentuk bunga yang tersamar. Sedangkan perang-perang melawan sesama Muslim diberi nama lagi dengan jihad.
Kompromi antara Hukum Shariah dan realitas ini berdampak terhadap apa yang saya sebutkan sebagai "sintensis abad pertengahan" (medieval synthesis) Islam dalam buku saya, In the Path of God (1983). Sintesis ini menterjemahkan Islam dari sebuah lembaga abstrak dengan tuntutan-tuntutan yang tidak layak menjadi sistem yang dapat diterapkan. Dalam istilah-istilah praktis, ia membahas Shariah secara lembut sekaligus membuat kitab hukum (code of law) bisa dijalankan. Shariah kini bisa secara memadai diterapkan tanpa kaum Muslim mengalah kepada tuntutan-tuntutan yang memberatkan. Kecia Ali dari Universitas Boston, mencatat perbedaan dramatis antara hukum formal dengan yang diterapkan dalam bukunya Marriage and Slavery in Early Islam (Perkawinan dan Perbudakan dalam Islam Perdana) dengan mengutip pendapat pakar lain sebagai berikut;
Satu cara penting yang dimajukan oleh berbagai kajian hukum Islam adalah upaya untuk "membandingkan doktrin dengan praktek nyata dari pengadilan." Seorang cendekiawan mendiskusikan teks-teks Al-Qur'an dan hukum sebagai berikut, "Pola-pola sosial benar-benar bebeda dari gambaran 'resmi' yang diajukan oleh 'sumber-sumber resmi" ini. Berbagai kajian kerapkali mensejajarkan hasil-hasil dari pengadilan yang lentur dan relatif wajar dengan tradisi tekstual jurisprudensi yang tidak berbeda dan kerapkali kasar. Dengan demikian, kita disodorkan bukti "fleksibilitas hukum Islam yang kerapkali digambarkan sebagai mandeg dan kejam."
Meski sintesis abad pertengahan berperan selama berabad-abad, dia tak pernah mengatasi sebuah kelemahannya yang mendasar: Dia tidak secara menyeluruh berakar atau berasal dari teks Islam yang fundamental serta konstitusional. Berbasiskan berbagai kompromi serta langkah-langkah setengah hati (half measures), dia tetap saja rawan terhadap tantangan kaum Puris, yang ingin menjalankan ajaran Islam secara murni. Memang sejarah Muslim pra-modern menggambarkan begitu banyak tantangan Gerakan Almohad di Afrika Utara pada abad ke-12 serta Gerakan Wahabi di Arab Saudi pada abad ke-18. Dalam masing-masing kasus, upaya kaum Puris akhirnya surut dan sintesis abad pertengahan menegaskan dirinya lagi, hanya untuk ditantang sejak awal oleh kaum Puris. Pergantian antara pragmatisme dan purisme memberikan ciri pada sejarah Muslim sehingga berkontribusi terhadap keadaannya yang tidak stabil.
Tantangan terhadap Modernisasi
Solusi de facto yang ditawarkan oleh sintesis abad pertengahan mandeg bersamaan dengan datangnya modernisasi yang Bangsa Eropa terapkan, yang biasanya bisa dilacak hingga serangan Napoleon atas Mesir pada 1798. Tantangan ini merenggut kaum Muslim menuju berbagai arah yang berlawanan selama dua abad selanjutnya, menuju Westernisasi atau Islamisasi.
Terkesan dengan prestasi Barat, kaum Muslim lalu berjuang meminimalisasi Sharia kemudian menggantikannya dengan cara-cara Barat seperti dalam bidang-bidang agama yang kurang penting serta persamaan hak bagi kaum wanita serta non-Muslim. Pendiri Turki modern, Kemal Atatürk (1881-1938) menyimbolkan upaya ini. Hingga sekitar tahun 1970, nasib kaum Muslim tampaknya tidak terhindarkan dengan sikap yang menolak terhadap Westernisasi, dengan menatapnya defensif dan sia-sia.
Pandangan mereka tentang Islam berbeda sama seperti penampilan mereka: Atatürk (left) and Khomeini. |
Tetapi perlawanan terbukti mendalam dan akhirnya menang. Atatürk punya beberapa penerus dan Republik Turki bentukannya tengah bergerak kembali menuju Hukum Sharia. Westernisasi, terbukti lebih kuat daripada yang sebenarnya karena cenderung menarik elit-elit vokal ketika masyakat umum berusaha menahannya kembali. Berawal dari sekitar tahun 1930, unsur-unsur yang enggan dengan Westernisasi mulai mengorganisasikan diri lalu mengembangkan program mereka yang positif, khususnya di Aljazair, Mesir, Iran dan India. Dengan menolak Westernisasi beserta seluruh karyanya, mereka mendesak agar Hukum Shariah dijalankan penuh walau masih kasar, sebagaimana mereka bayangkan terjadi pada masa-masa Islam yang lebih awal.
Walau menolak Barat, berbagai gerakan ini ---yang disebut kaum radikal Muslim--- memperagakan gelombang ideologi totaliter pada masa hidup mereka, Fasisme dan Komunisme. Mereka meminjam banyak asumsi dari ideologi-ideologi ini, seperti superioritas negara atas individu, menerima adanya kekuatan brutal serta perlunya konfrontasi kosmik dengan peradaban Barat. Mereka juga diam-diam meminjam teknologi, khususnya militer dan medis, dari Barat.
Berkat kerja keras yang kreatif, kekuatan kaum radikal Muslim diam-diam meraih kekuatan dalam kurun separuh abad selanjutnya, sehingga pada akhirnya mendadak memasuki kekuasaan dan tampil menonjol bersamaan dengan terjadi revolusi Iran pada 1978-1979 yang dipimpin oleh seorang tokoh anti-Atatürk, Ayatollah Khomeini (1902-89). Peristiwa dramatis ini yang berbarengan dengan tercapainya tujuan untuk menciptakan sebuah tata Islam secara luas menginspirasi kaum Muslim radikal yang dalam 35 tahun selanjutnya berhasil meraih kemajuan yang luar biasa, mengubah masyarakat serta menerapkan Hukum Shariah dengan cara-cara baru yang ekstrim. Sebagai contoh, di Iran, rejim Shiah menjatuhkan hukuman gantung atas para homo dengan crane dan memaksa warga Iran yang berpakaian ala Barat minum air dari jamban. Sementara itu, di Afghanistan, rejim Taliban membakar sekolah-sekolah bagi para gadis serta tokoh-tokoh musik. Pengaruh para Muslim radikal pun mencapai Barat, tempat orang bisa menemukan semakin banyak wanita mengenakan hijab, niqab serta burqa.
Walau ditelurkan sebagai model totaliter, ideologi Islam radikal secara taktis memperlihatkan kemampuan beradaptasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan Fasisme atau Komunisme. Kedua ideologi yang belakangan disebutkan jarang berupaya untuk keluar jauh di luar aksi kekerasan serta paksaan. Tetapi ideologi Islam radikal yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdoğan (1954-) beserta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpinnya mengeksplorasi bentuk-bentuk Islam radikal yang tidak revolusioner. Sejak secara sah memberikan suara resmi pada 2002 lalu, AKP secara bertahap dan sangat trampil menetapkan sekularisme Turki dengan bekerja dalam struktur-struktur demokrasi mapan dalam negeri, menjalankan pemerintahan yang bersih serta tidak memprovokasi kemarahan pihak militer yang lama menjadi penjaga sekularisme Turki.
Kaum Muslim radikal kini tampil menonjol. Tetapi mereka baru saja naik sehingga tidak memberikan garansi bahwa mereka bisa bertahan. Tentu saja, seperti ideologi-ideologi utopian lainnya, Islam radikal bakal kehilangan daya tariknya serta merosot kekuasaannya. Tentu saja, revolusi pada 2009 dan 2013 melawan rejim kaum Muslim radikal di Iran dan Mesir secara berturut-turut menunjuk ke arah sana.
Menuju sebuah Sintesis Modern
Jika hendak mengalahkan Islam radikal (Islamism), kaum Muslim anti-kaum radikal harus mengembangkan visi Islam alternatif berikut penjelasannya atas apa artinya menjadi seorang Muslim. Dengan melakukan hal ini, kita bisa mengambilnya dari masa lalu, khususnya dari upaya-upaya reformasi pada kurun 1850 hingga 1950, guna mengembangkan suatu "sintesis modern" yang dapat dapat dibandingkan dengan model abad pertengahan. Sintesis ini memilih antara berbagai persesi Shari yang menyebabkan Islam sesuai dengan nilai-nilai modern. Akan dia terima kesamaan derajat gender, hidup damai dengan orang kafir serta menolak aspirasi kekalifahan universal, di antara berbagai langkah lainnya.
Di sini, Islam secara menguntungkan dapat dibandingkan dengan dua agama monoteistik penting lainnya. Setengah millennium lalu, kaum Yahudi, Kristen dan Muslim secara luas menyepakati bahwa kerja paksa dapat diterima dan bahwa membayar bunga atas uang pinjaman, tidak bisa. Akhirnya, setelah berbagai perdebatan panjang dan lama, kaum Yahudi dan Kristen berubah pikiran soal dua isu ini. Kini, tidak ada suara dari kaum Yahudi atau Kristen yang mendukung perbudakan atau mengecam pembayaran atas bunga pinjaman yang memang masuk akal.
Bagaimanapun, di antara kaum Muslim, perdebatan itu baru saja dimulai. Bahkan walau resmi dilarang di Qatar pada 1952, di Arab Saudi pada 1962 dan Mauritania pada 1980, perbudakan manusia masih terjadi di negara-negara itu dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya (khususnya Sudan dan Pakistan). Sejumlah pihak berwenang Islam bahkan mengklaim bahwa seorang Muslim saleh harus mendukung perbudakan. Berbagai institusi financial besar dengan asset mungkin saja sebesar 1 triliun dolar AS berkembang selama 40 tahun terakhir sehingga kaum Muslim saleh mampu berpura-pura menghindari membayar atau mendapatkan bunga uang. ("pura-pura " karena bank-bank Islam hanya menyamarkan bunga uang dengan dalih seperti pembaran jasa.)
Gedung yang direncanakan untuk Bank Islam Abu Dhabi, sebuah institusi keuangan shariah terbesar dunia. |
Kaum Muslim reformis harus melakukan lebih baik daripada para pendahulu mereka pada abad pertengahan. Mereka harus membasiskan penafsiran mereka dalam Al-Quran dan berdasarkan kepekaaan terhadap jaman. Agar bisa memodernisasi agama mereka, kaum Muslim harus berusaha menyamai sesama mereka yang monoteis serta mengadaptasi agama mereka yang berkaitan dengan persoalan perbudakan, riba, perlakuan terhadap kaum wanita, hak untuk meninggalkan agama Islam, prosedur hukum serta banyak persoalan lainnya lagi. Tatkala Islam yang direformasi dan modern muncul maka tidak dia lagi mendukung perbedaan hak kaum wanita, status dhimmi (status kelas dua bagi kaum non-Muslim di negara Muslim, dengan membayar pajak khusus, jizyah, pen. JEL), jihad, terorisme bunuh diri atau tidak akan mempersyaratkan hukuman mati untuk perzinahan, pelanggaran terhadap kehormatan keluarga, penghinaan agama dan perpindahan agama (apostasy).
Bagaimanapun, dalam abad yang masih muda belia ini, sudah terjadi sejumlah tanda positif menuju arah ini yang dapat dipilah-pilah. Perhatikan sejumlah perkembangan berkaitan dengan kaum wanita:
Darul Uloom Deoband, benteng pemikiran kaum Muslim radikal di India. |
- Dewan Shura Arab Saudi menanggapi kemarahan publik yang semakin meningkat soal perkawinan anak-anak (child marriages) dengan menetapkan usia mayoritasnya 18 tahun. Walau penetapan ini tidak mengakhiri perkawinan anak-anak, dia begerak menuju upaya untuk menghapuskan praktek perkawinan semacam ini.
- Para ulama Turki sudah sepakat membiarkan para wanita yang sedang menstruasi untuk datang ke masjid dan sholat dekat dengan laki-laki.
- Pemerintah Iran nyaris melarang perajaman terhadap nrapidana pezina
- Para wanita Iran telah memenangkan hak yang lebih luas untuk smenuntut suami mereka supaya diceraikan.
- Sebuah konperensi kaum cendekiawan Muslim di Mesir menilai sunat klitoris (clitoridectomies) bertentangan dengan Islam dan kenyataannya dapat dijatuhi hukuman.
- Sebuah lembaga penting Muslim India, Darul Uloom Deoband, mengeluarkan fatwa menentang poligami.
Ada perkembangan khusus lain, tidak secara spesifik soal kaum wanita mencakup:
- Pemerintah Arab Saudi menghapus jizya (praktek yang memaksakan pemberian pajak khusus atas kaum non-Muslim).
- Sebuah pengadilan Iran memerintahkan keluarga Kristen terbunuh untuk memperoleh kompensasi yang sama seperti seorang korban Muslim.
- Para cendekiawan yang mengadakan pertemuan di Akademi Fiqh Islam di Sharjah mulai mempersoalkan sekaligus menantang seruan agar orang-orang Muslim yang berpindah agama (apostates) dieksekusi mati.
Nadin al-Badir serta pemikiran-pemikiran pertama seruannya pada tahun 2009 untuk berpoliandri |
Sementara itu, para pembaru perorangan memunculkan berbagai pemikiran jika tidak mendorong pemikiran maka dia merangsang pemikiran. Sebagai contoh, Nadin al-Badir, seorang wartawati Arab Saudi secara provokatif menyarankan agar wanita Muslim punya hak yang sama seperti para pria yang menikah sampai empat wanita. Dia dengan demikian, dia mendorong terjadinya badai perdebatan, termasuk ancaman gugatan hukum dan penolakan yang penuh kemarahan, tetapi dia menghimbau perlunya perdebatan, suatu hal yang tidak bisa dibayangkan pada masa-masa sebelumnya.
Seperti para pendahulunya pada abad pertengahan, sintesis modern tetap saja rawan diserang oleh orang-orang yang mempertahankan ajaran murni Islam (purists) yang mampu menunjuk kepada contoh yang diberikan oleh Nabi Muhamad kemudian mendesak agar tidak boleh ada penyimpangan dari sana. Tetapi setelah menyaksikan, apa itu Islam radikal (Islamism), terlepas dari soal kejam atau tidak, yang sudah ditempa, maka tidak ada alasan untuk berharap bahwa Muslim bakal menolak impian untuk membangun kembali sebuah tata (sosial) abad pertengahan sekaligus terbuka untuk berkompromi dengan cara-cara modern. Islam tidak perlu menjadi mentalitas abad pertengahan yang difosilkan, tetapi adalah apa yang kaum Muslim masa kini perbuat.
Implikasi Kebijakan
Apakah berbagai pihak, Muslim serta non-Muslim yang menentang Hukum Shariah, kekalifahan dan horror jihad lakukan untuk mempercepat tujuan-tujuan mereka?
Bagi kaum Muslim anti-kaum Islam radikal, beban terbesar mereka adalah mengembangkan bukan sekedar visi alternatif bagi Muslim radikal tetapi gerakan alternatif Islam radikal (Islamisme). Kaum Muslim radikal meraih kekuasaan dan pengaruh berkat dedikasi dan kerja keras, berkat sikap murah hati dan sikap tidak mementingkan diri sendiri. Kaum anti-kaum Muslim radikal juga harus bekerja keras, mungkin selama beberapa dekade, supaya bisa mengembangkan sebuah ideologi yang padu satu serta menantang sama seperti ideologi kaum Muslim radikal kemudian menyebarluaskannya. Para cendekiawan menterjemahkan kitab-kitab suci dan para pemimpin memobilisasi para pengikutinya berperan penting dalam proses ini.
Kalangan non-Muslim bisa membantu gerakan Islam modern maju dengan dua cara. Pertama, dengan menolak semua bentuk Islam radikal (Islamism) --- bukan sekedar ekstremisme brutal dari seorang Osama bin Laden tetapi juga berbagai gerakan politik yang dilakukan diam-diam, sesuai dengan hukum seperti Partai AKP di Turki. Erdoğan memang tidak segalak Bin Laden, tetapi dia jauh lebih efektif serta tidak kurang bahayanya. Siapa pun yang menghargai kebebasan berbicara, kesamaan derajat di depan hukum serta hak-hak asasi manusia lainnya menolak atau dikurangi haknya karena Hukum Shariah harus konsisten menentang isyarat apapun dari Islam radikal.
Kedua, kaum non-Muslim harus mendukung kaum moderat serta kaum anti-Muslim radikal yang menetap di Barat (Westernizing). Sekarang ini, tokoh-tokoh seperti ini lemah dan rawan dikalahkan menghadapi tugas yang menakutkan, tetapi mereka ada sekaligus merepresentasikan satu-satunya harapan untuk mengalahkan ancaman jihad global serta supremasisme Islam, kemudian menggantikannya dengan sebuah Islam yang tidak mengancam peradaban manusia.***
Daniel Pipes adalah Presiden dari Middle East Forum (Forum Timur Tengah).
Pemutakhiran 7 Juli 2013: Jeff Jacoby melakukan pekerjaan yang sangat mengagum dengan merangkum artikel ini dalam kolomnya yang dimuat dalam Boston Globe dengan judul, "What Is Islam?" (Apa itu Islam?)
Pemutakhiran 1 Oktober 2013: Ada enam komentar tanggapan dari pembaca terhadap artikel ini. Saya menanggapi mereka dengan tulisan berjudul, "Islam's Future" (Masa Depan Islam).
Pemutakhiran 10 April 2014: Terlepas dari pernyataannya pada 2007 yang dikutip dalam paragraph kedua artikel ini di atas, Ayaan Hirsi Ali hari menulis bahwa, "Kekristenan dan Yudaisme punya masa untuk reformasi mereka sendiri. Saya akan memperlihatkan bahwa waktunya sudah tiba bagi adanya sebuah Reformasi Muslim." Jadi, barangkali dia sudah sadar untuk bagaimanapun sepakat dengan saya.
Pemutakhiran 4 Februari 2016: Saya menuliskan tweet hari ini yang isinya "Ketika berkaitan dengan #Islam, amatir bicara tentang ayat, profesional bicara tentang sejarah."
Pemutakhiran 24 Februari 2016: Mungkin simbol dari sistem perbankan Islam hanya janji palsu, kantor pusat Bank Islam Abu Dhabi kenyataannya tampak seperti ini (dalam foto yang saya ambil). Tampak pucat dan berbeda jauh dari versi rencana yang ditunjukkan diatas.
Kantor pusat ADIB yang sebenarnya di Abu Dhabi. |