ORANG TIDAK BISA--- terlampau banyak menekankan perbedaan antara Islam; antara Islam murni serta Islam versi fundamentalis. Islam adalah agama bagi sekitar satu miliar penganutnya. Ia juga agama yang berkembang pesat, khususnya di Afrika dan di tempat lain di dunia. Amerika Serikat misalnya membanggakan diri karena sekitar satu juta orang beralih menganut Islam (ditambah lagi dengan sejumlah besar kaum imigran Muslim).
Penganut Islam melihat agama mereka sangat menarik karena punya kekuatan internal yang sangat mengagumkan. Seorang tokoh kenamaan Republik Islam Iran mengatakan, "Orang Barat yang benar-benar memahami Islam bakal iri hati dengan kehidupan umat Muslim." Jauh dari perasaan malu karena untuk selama ini menjadi agama terakhir dari tiga agama monoteis penting Timur Tengah, kaum Muslim meyakini bahwa agama mereka lebih baik daripada agama-agama lain. Dalam wacana mereka, Yudaisme dan Kristianitas adalah varian Islam yang rusak. Sedangkan Islam adalah agama Allah terakhir yang sempurna.
Pendorong keyakinan diri internal adalah kenangan atas berbagai prestasi Islam selama selama abad pertama atau sekian. Pada masa itu, budayanya paling maju. Mereka menikmati kesehatan paling baik, hidup paling lama, mempunyai angka melek huruf paling tinggi, mendanai ilmu pengetahuan serta penelitian teknik paling canggih serta senantiasa menyebarkan angkatan bersenjata yang menang. Pola keberhasilan ini nyata semenjak awal. Pada 622 sesudah masehi, Nabi Muhamad meninggalkan Mekah sebagai pengungsi, hanya untuk kembali ke sana delapan tahun kemudian sebagai pemenang. Sejak awal 715, para penakluk Muslim berhasil membentuk kekaisaran yang membentang dari Spanyol hingga bagian barat India di timur. Menjadi Muslim dengan demikian berarti termasuk dalam peradaban yang menang. Tidaklah mengejutkan bahwa kaum Muslim muncul untuk memastikan adanya hubungan antara agama dan keberhasilan duniawi mereka serta mengganggap bahwa Allah menyukai mereka dalam perkara spiritual dan duniawi.
Meskipun demikian, pada masa modern, kemenangan medan tempur dan kemakmurannya justru merosot. Sejak abad ke tiga belas, Islam mengalami kemunduran namun sebaliknya, Kerajaan Kristen mengalami kemajuan. Tetapi selama lima ratus tahun lebih, Muslim tetap saja terlupakan dari berbagai perkembangan mengagumkan yang terjadi di kawasan utara mereka. Ibnu Khaldun, seorang intelektual Muslim kenamaan menulis sekitar tahun 1400 tentang Eropa, "Saya dengar ada banyak kemajuan terjadi di tanah Roma (Rum) tetapi hanya Allah yang tahu apa yang sedang terjadi di sana!"
Kebodohan yang dipertahankan dengan keras kepala itu menyebabkan kalangan Muslim rawan terhadap bahaya, ketika mereka tidak lagi bisa mengabaikan apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Sinyal paling dramatis barangkali muncul pada Juli 1798 kala Napoleon Bonaparten mendarat di Mesir ---pusat dunia Muslim--- dan menaklukannya dengan sangat mudah. Serangan-serangan lain berlanjut selama abad berikutnya dan selanjutnya sehingga tidak lama kemudian, sebagian besar Muslim sudah hidup di bawah kekuasaan Eropa. Tatkala kekuasaan dan pengaruhnya merosot, mereka pun secara luas mulai menyadari bahwa ada hal yang tidak bisa mereka pahami sedang terjadi pada mereka. Apakah yang salah? Mengapa Allah tampaknya meninggalkan mereka?
Anwar Ibrahim, seorang pemimpin radikal Muslim yang cerdas. |
Perbedaan antara keberhasilan yang dialami pada abad pertengahan dengan penderitaan masa kini yang lebih besar menimbulkan trauma bagi Islam modern. Sederhananya, kaum Muslim mengalami masa-masa sulit yang luar biasa untuk bisa menjelaskan apakah yang salah dengan mereka. Perjalanan waktu pun tidak membuat tugasnya lebih mudah, karena situasi-situasi yang sama yang tidak membahagiakan pada dasarnya masih ada. Indeks apapun orang terapkan, kaum Muslim dapat ditemukan mengelompok mendekati dasar indeks --- apakah pengukuran itu berkaitan dengan keunggulan militer, stabilitas politik, kemajuan ekonomi, korupsi, hak asasi manusia, kesehatan, panjang umur serta melek huruf. Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia yang kini hidup merana di penjara, memperkirakan dalam tulisannya The Asian Renaissance (1997) bahwa meski kaum Muslim hanya membentuk seperlima dari seluruh populasi dunia, namun mereka membentuk lebih dari separuh dari 1,2 miliar orang yang hidup merana dalam kemiskinan. Dengan demikian, ada kesadaran yang sangat mendalam yang melemahkan sekaligus menganggu dalam dunia Islam masa kini. Atau dalam bahasa seorang imam di sebuah masjid di Yerusalem belum lama ini, "Sebelumnya, kami adalah tuan dari dunia. Kini kami bahkan tidak bisa menjadi tuan bagi masjid kami sendiri."
Ketika mencari penjelasan atas penderitaan mereka, kaum Muslim merumuskan tiga respon politis terhadap modernisasi --- sekularisme, reformisme dan Islamisme. Yang pertama dari semua ini (baca: sekularisme) meyakini bahwa kaum Muslim hanya bisa maju jika mampu bersaing dengan Barat. Ya, kaum sekularis mengakui, Islam merupakan warisan berharga dan terhormat, tetapi dimensi publiknya harus disisihkan lebih dulu. Secara khusus, hukum suci Islam (bernama Shariah)--- yang memerintah persoalan-persoalan seperti sistem peradilan, cara negara Muslim berangkat ke perang dan hakikat interaksi sosial pria dan wanita harus dibuang sepenuhnya. Negara sekular kenamaan adalah Turki, di mana Kemal Atatürk pada periode 1923 – 38 membentuk kembali sekaligus memodernisasi masyarakat Muslim yang sangat besar. Meskipun demikian, secara keseluruhan, sekularisme merupakan posisi minoritas di antara kalangan Muslim. Bahkan di Turki pun sekularisme berada dalam bahaya (under siege).
Reformisme berada antara dua ujung ekstrim yang suram. Namun, ia menawarkan respon yang lebih popular terhadap modernisasi. Sementara itu, sekularisme tanpa tedeng aling-aling menyerukan supaya belajar dari Barat, reformisme secara selektif menghindarinya. Kalangan reformis mengatakan, "Lihat, Islam pada dasarnya cocok dengan cara Barat. Hanya saja kita kehilangan jejak prestasi-prestasi kita sendiri, dan itu yang dieksploitasi Barat. Kita kini harus kembali kepada cara kita dengan mengadopsi cara Barat." Untuk tiba pada kesimpulan ini, para pembaru membaca kembali kitab suci-kitab suci Islam dengan cara berpikir Barat. Sebagai contoh, Al-Qur'an mengijinkan seorang pria memiliki empat istri---dengan syarat dia memperlakukan mereka setara. Secara tradisional dan sangat logis, kaum Muslim memahami ayat ini sebagai ijin bagi seorang pria untuk mempunyai empat istri. Tetapi karena seorang pria diijinkan hanya punya seorang istri di Barat, kaum reformis lalu "menyulap" ayat itu serta menginterpretasinya dengan cara baru: Al-Qur'an, mereka mengklaim mempersyaratkan seorang pria harus memperlakukan istri-isterinya secara sama. Hal ini jelas-jelas tidak bisa dilakukan seorang pria jika ada lebih dari satu isteri bagi mereka. Maka, mereka menyimpulkan, Islam melarang lebih dari satu isteri.
Para reformis menerapkan penalaran semacam ini dalam seluruh bidang kehidupan. Dalam dunia ilmu, misalnya, mereka berpendapat, kaum Muslim seharusnya tidak berkeberatan, karena ilmu itu kenyataannya (milik) Muslim. Mereka ingat bahwa kata aljabar itu berasal dari kata Arab, al-jabr. Aljabar menjadi dasar matematika dan matematika menjadi dasar ilmu pengetahuan, semua ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan demikian muncul dari pekerjaan yang sudah dilakukan oleh kaum Muslim. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak ilmu pengetahuan Barat; ia lebih sebagai persoalan mengklaim kembali apa yang sudah diambil oleh Barat (atau dicuri) sebelumnya. Dalam kasus demi kasus, dengan berbagai derajat kredibilitasnya, kaum reformis menyesuaikan cara Barat secara tersamar karena mendasarinya pada warisan budaya mereka. Tujuan kaum reformis, dengan demikian, adalah untuk meniru Barat tanpa mengakuinya. Walau secara intelektual bangkrut, reformisme berperan sangat baik sebagai sebuah strategi politik.
Respons Ideologis
Respon ketiga terhadap trauma masa modern adalah Islam, yang menjadi topik bahasan lanjutan artikel ini. Islamisme punya tiga ciri; taat kepada hukum suci, menolak pengaruh Barat serta transformasi iman menjadi ideologi.
Islamisme meyakini bahwa kaum Muslim ketinggalan di belakang Barat karena mereka bukan kaum Muslim sejati. Untuk mendapatkan kembali kemuliaan yang hilang mempersyaratkan kembalinya kepada cara-cara lama dan itu tercapai dengan hidup sepenuhnya berlandaskan Shariah. Jika kaum Muslim melakukannya, maka mereka sekali kelak akan sekali lagi berada di puncak dunia, seperi yang mereka lakukan seribu tahun silam. Ini, bagaimanapun, bukan tugas mudah, karena hukum suci berisi struktur regulasi yang luas, menyinggung setiap aspek hidup, banyak dari mereka yang bertentangan dengan praktek modern. Hukum Shariah bagaimanapun mirip dengan hukum Yahudi, tetapi bisa diperbandingkan dengan hukum dalam agama Kristen). Jadi, ia melarang riba atau pengambilan bunga yang berimplikasi jauh dan sangat nyata bagi kehidupan ekonomi. Ia menyerukan tangan pencuri dipotong, yang sangat bertentangan dengan semua perasaan masyarakat modern, memerintahkan wanita untuk menutup kepala serta adanya pemisahan manusia berdasarkan jenis kelamin. Islamisme bukan saja menyerukan hukum-hukum ini diterapkan tetapi juga menerapkannya lebih ketat dibandingkan dengan masa sebelumnya yang menjadi kasusnya. Sebelum tahun 1800-an, para penafsir Sharia bagaimanapun memperlembutnya. Sebagai contoh, mereka metemukan metode guna menghindari larangan atas bunga uang. Kaum fundamentalis menolak modifikasi ini, sebaliknya menuntut bahwa kaum Muslim menerapkan Sharia secara ketat dan total.
Dalam upaya membangun cara hidup yang murni berbasiskan hukum Shariah, kaum radikal Muslim berusaha menolak semua aspek pengaruh Barat---adat istiadatnya, filsafat, lembaga dan nilai-nilai politiknya, Terlepas dari berbagai upaya ini mereka tanpa henti-hentinya masih menyerap banyak hal dari Barat. Satu contoh, mereka membutuhkan teknologi modern, khususnya dalam bidang kemiliteran dan penerapan medis. Lainnya lagi, mereka cenderung menjadi orang-orang modern dan sampai sebegitu jauh begitu dirasuki oleh cara-cara Barat dibandingkan dengan yang mereka dambakan atau pernah akui. Karena itu, ketika Ayatollah Khomeini berupaya membentuk pemerintah berdasarkan prinsip-prinsiap Shiah Islam yang murni, dia justru membentuk sebuah republik yang berbasis konstitusi yang merepresentasikan sebuah bangsa via keputusan parlemen, yang selanjutnya memilih lewat pemilu-pemilu popular---yang masing-masing dari semua ini adalah konsep Barat. Padahal, Khomeini adalah orang yang jauh lebih tradisional dibandingkan dengan sebagian besar kaum Islamis atau kaum Muslim radikal. Contoh lain pengaruh Barat adalah Hari Jumad. Dalam Islam, Jumad bukan hari istirahat, tetapi sebuah hari bagi umat. Kini, kaum Muslim menyamakannya dengan Sabath. Sama halnya dengan hukum Islam tidak diterapkan atas semua orang yang berdiam di dalam kawasan geografis tetapi hanya bagi kaum Muslim. Kaum Islamis, bagaimanapun memahami pernyataan itu sebagai kawasan pada hakikatnya (sebagaimana ditemukan seorang iman Italia yang berdiam di Sudan, ketika dia dihukum cambuk karena memiliki alkohol). Islamisme dengan demikian, diam-diam menyesuaikan diri dengan Barat tetapi tetap saja menyangkal bahwa dia memang melakukannya demikian.
Hal yang barangkali paling penting dari berbagai pinjaman ini adalah persaingan dengan ideologi Barat. Kata "Islamisme" itu berguna dan akurat , karena mengindikasikan bahwa fenomena ini adalah sebuah "isme" yang dapat dibandingkan dengan ideologi lain abad dua puluh. Nyatanya, Islamisme merepresentasikan versi Islam dari pemikiran-pemikiran utopia radikal masa kita kini, menyusul Marxisme-Leninisme dan Fasisme. Ia memasukan banyak sekali pemikiran politik dan ekonomi Barat dalam agama Islam. Karena itu, seorang Islamis, seorang Saudara Muslim (Muslim Brother) dari Mesir mengatakan, "Kita bukan sosialis atau kapitalis Muslim"; seorang Muslim tua bakal mengatakan, "Kami bukan Yahudi atau Kristen, tetapi Muslim."
Kaum Islamis melihat kepatuhan kepada Islam pertama-tama sebagai sebentuk kesetiaan politik dan karena itu, meski mereka biasanya Muslim yang suci, mereka tidak perlu harus demikian. Banyak Islamis kenyataannya agak kurang suci. Dalang pemboman Gedung Pusat Perdagangan Dunia di New York pada 1993 lalu, Ramzi Yousef, misalnya. Ia punya pacar ketika berdiam di Filipina dan "berpetualang di sekitar bar, klub-klub tari telanjang dan karaoke menggoda para wanita." Dari sini dan kisah lain tentang kehidupannya yang longgar, penulis biografinya, Simon Reeve menemukan, "tidak cukup bukti untuk mendukung penjelasan apapun tentang Yousef sebagai seorang pejuang relijius." Agen FBI yang bertugas menyidik Yousef menyimpulkan bahwa, "Dia bersembunyi di balik jubah Islam."
Pada tingkat yang lebih tinggi, Ayatollah Khomeini mengisyaratkan tidak ada relevansinya iman bagi kaum Islamis. Hal itu diperlihatkannya dalam sebuah surat kepada Mikhail Gorbachev pada awal 1989 ketika, Uni Soveit tengah merosot. Pemimpin Iran itu menawarkan pemerintahannya sebagai sebuah model: "Secara terbuka saya mengumumkan bahwa Republik Islam Iran, sebagai basis terbesar dan terkuat dunia Islam, bisa dengan mudah membantu mengisi kekosongan ideologis dalam sistem anda." Khomeini di sini tampaknya hendak menyarankan bahwa masyarakat Soviet seharusnya beralih kepada ideologi Islamis --- beralih menganut Islam tampaknya nyaris bakal menjadi renungan.
Berbeda dari reputasinya, Islamisme sudah lama ada. Sebagai sebuah ideologi masa kini dia tidak menawarkan semacam cara untuk kembali kepada semacam cara hidup gaya lama, tetapi cara untuk mengemudikan diri di antara beting-beting lumpur modernisasi. Dengan beberapa pengecualian (khususnya Taliban di Afghanistan), kaum Islamis adalah penghuni kota yang berjuang menyelesaikan persoalan kehidupan perkotaan modern--- bukan masyarakat pedesaan. Jadi, tantangan yang dihadapi tokoh wanita karir sangat menonjol dalam diskusi kaum Islamis, Apakah, sebagai contoh, bisa seorang wanita harus bepergian dengan transportasi umum yang penuh pepak untuk melindungi dirinya sendiri sehingga tidak diraba-raba tubuhnya? Kaum Islamis pun punya jawaban yang sudah siap: dia harus menutup dirinya, badan dan wajah dan dengan demikian memberikan sinyal melalui pemakaian pakaian Islaminya bahwa dia tidak boleh didekati. Lebih luas lagi, mereka menawarkan cara hidup inklusif sekaligus aternatif bagi orang-orang modern, sebuah tawaran agar menolak seluruh budaya popular, konsumerisme dan individualism yang rumit guna mendukung sebuah totalitarianism berbasis agama.
Penyimpangan Tradisi
Islamisme kerapkali dilihat sebagai suatu bentuk Islam tradisional. Namun kenyataannya, sangat berbeda. Islam tradisional berupaya mengajari manusia cara untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan sementara Islamisme mendambakan diri untuk menciptakan tatasosial baru. Yang pertama adalah keyakinan pada diri sendiri, kedua sangat defensif. Yang satu menekankan persoalan individual, yang belakangan menekankan persoalan komunitas. Yang pertama menjadi kredo pribadi, yang belakangan merupakan sebuah ideologi politik.
Perbedaan menjadi sangat tajam ketika orang membandingkan dua perangkat pemimpinnya. Kaum Islam tradisionalis menggeluti wacana statis namun panjang untuk belajar. Mereka mempelajari banyak informasi serta mengharapkan Islam benar-benar murni sama seperti yang dilakukan oleh nenek moyang mereka berabad-abad sebelumnya. Agama mereka merefleksikan lebih dari perdebatan selama seribu tahun antara para cendekiawan, ahli fikih dan teolog. Para pemimpin Islamis, sebaliknya, cenderung sangat terpelajar dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi tidak dalam bidang agama Islam itu sendiri. Pada awal masa muda, mereka menghadapi berbagai persoalan yang gagal diselesaikan dengan pendidikan modern mereka supaya bisa mempersiapkan mereka sehingga beralih kepada Islam. Dengan melakukannya demikian, mereka sebetulnya mengabaikan nyaris seluruh korpus pembelajaran Islami kemudian menafsirkan Al-Qur'an sesuai kemauan mereka. Sebagai orang otodidak atau yang belajar sendiri, mereka mengabaikan tradisi kemudian menggunakan perasaan mereka (yang modern) pada teks-teks kuno, sehingga mengarah kepada Islam versi Protestan yang aneh.
Dunia modern membuat para tokoh tradisional merasa frustrasi dan terhambat geraknya. Mereka dididik mempelajari bidang-bidang kajian kuno, tetapi tidak belajar bahasa-bahasa Eropa, atau menghabiskan waktu di Eropa atau menguasai rahasia-rahasianya. Sebagai contoh, mereka jarang mengetahui bagaimana memanfaatkan radio, televisi dan internet guna menyebarluaskan pesan mereka. Sebaliknya, para pemimpin Islamis biasanya bisa berbicara bahasa-bahasa Barat, kerapkali pernah tinggal di luar negeri dan sangat paham teknologi. Ada ratusan situs mereka di Internet. François Burgat dan William Dowell mencatat adanya perbedaan ini dalam buku mereka, The Islamist Movement in North Africa (1993) (Gerakan Kaum Islamis di Afrika Utara) sebagai berikut:
Penatua desa, yang dekat dengan lembaga agama dan tahu sedikit tentang budaya Barat (sehingga dia menolak teknologi secara apriori) tidak bisa dibuat bingung oleh para mahasiswa muda yang lebih daripada sekedar mampu menyampaikan kritik terhadap nilai-nilai Barat, yang sudah dketahui dengan baik oleh sang penatua yang mebuatnya mampu menyesuaikannya dengan dimensi-dimensi tertentu. Kaum tradisionalis menolak adanya televisi karena takut dengan modernisme yang menghancurkan yang ditimbulkannya; sebaliknya para Islamis meminta jumlah televisi diperbanyak...ketika dia sudah bisa mengendalikan siaran-siaran televisi
Yang paling penting dari perspektif kami, adalah bahwa kaum tradisional takut terhadap Barat, sementara kaum Islamis dengan penuh semangat berusaha menantangnya. Almarhum mufti Arab Saudi, 'Abd al-'Aziz Bin-Baz, memberikan contoh tentang kurangnya kepercayaan diri kalangan tua ketika menjaga nilai-nilai agama. Pada musim panas 1995, dia memperingatkan kaum muda Saudi supaya tidak bepergian ke Barat untuk berlibur karena, "ada racun mematikan ketika bepergian ke tanah-tanah kaum kafir. Para musuh Islam sudah merancangkan skema-skema untuk membujuk kaum Muslim meninggalkan agama mereka, untuk membuat kaum muda ragu terhadap agama mereka serta untuk menyebarluaskan sikap durhaka antarmereka." Dia karena itu mendesak kaum muda untuk menghabiskan musim panas di "tempat-tempat aman" resor musim panas di negara mereka sendiri.
Kalangan Islamis juga tidak imun terhadap skema dan bujukan Barat. Tetapi mereka berambisi untuk menjinakan Barat. Sikap ini tidak membuat mereka malu untuk mengumumkan kepada seluruh dunia supaya didengar. Seruan yang paling brutal bisa saja keinginan untuk membunuh masyarakat Barat. Contohnya adalah pernyataan yang sangat mengerikan dari seorang warga Tunisia pelaku peledakan bom di Prancis pada 1985-1986. Ketika terbukti meledakan bom yang membunuh 13 orang, kepada hakim yang menangani kasusnya, dia pun mengatakan, "Saya tidak mundur dari perjuangan saya melawan Barat yang telah membunuh Nabi Muhammad.... Kami kaum Muslim harus membunuh kalian semua [masyarakat Barat]." Islamis lain berencana menyebarluaskan Islam ke Eropa dan Amerika dengan menggunakan kekerasan jika diperlukan. Seorang imam masjid berbasis Amsterdam mengumumkan lewat program televisi Turki bahwa, " Kalian harus membunuh orang-orang yang menenentang Islam, itu perintah Islam atau Allah, dan NabiNya. Gantung dan bunuh mereka setelah mengikat tangan dan kaki mereka secara menyilang... sebagaimana diterangkan oleh Hukum Shariah." Sebuah kelompok teroris Aljazair, GIA mengeluarkan sebuah komunike pada 1995 lalu yang memperlihatkan video Menara Eiffel yang tengah meledak runtuh serta menakut-nakuti masyarakat dengan ancaman-ancaman yang berbunyi:
Kami melanjutkan perjuangan kami dengan seluruh kekuatan langkah jihad dan serangan militer kami. Inilah waktunya di pusat Prancis dan kota-kota terbesarnya...Ini sumpah bahwa [Prancis] tidak akan bisa tidur lagi dan tidak punya waktu lagi untuk bersantai dan Islam akan memasuki Prancis, entah mereka suka atau tidak.
Semakin banyak kaum Islamis moderat berencana menggunakan sarana-sarana tanpa kekerasan untuk mengubah berbagai negara yang menerima mereka menjadi negara-negara Islam. Bagi mereka, berpindah agama menjadi kuncinya. Seorang pemikir Muslim kenamaan Amerika Isma'il R. Al-Faruqi mengungkapkan perasaan ini dengan agak puitis: "Tidak ada yang lebih agung dibandingkan benua yang masih muda, penuh semangat serta kaya-raya ini [Amerika Utara] untuk meninggalkan kejahatan masa lalunya kemudian berbaris maju di bawah spanduk Allahu Akbar."
Pertentangan ini bukan saja secara implisit mengatakan bahwa Islamisme mengancam Barat dengan cara yang tidak dilakukan oleh iman tradisional tetapi juga memperlihatkan mengapa Muslim tradisional yang kerapkali menjadi korban pertama Islamisme mengecam ideologi mereka. Tidak heran bahwa, setelah ditikam lehernya oleh seorang Islamis, Naguib Mahfouz, pemenang Hadiah Nobel sastera dari Mesir mengatakan: "Saya berdoa kepada Allah supaya polisi menang dari terorisme sekaligus untuk memurnikan Mesir dari kejahatan ini, untuk membela masyarakat, kebebasan dan Islam." Tujan Faysal, seorang anggota parlemen wanita Yordania menyebut Islamisme sebagai "satu dari bahaya terbesar yang sedang masyarakat kita hadapi" lalu membandingkannya dengan "kanker" yang "harus dibuang dengan operasi." Çevik Bir salah seorang tokoh kunci dalam perjuangan menjatuhkan Pemerintahan Islamis Turki pada 1997 dengan suara datar mengatakan bahwa di negaranya, "fundamentalisme Muslim tetap menjadi musuh nomor satu masyarakat." Jika kaum Muslim merasa seperti ini, kaum non-Muslim juga bisa berpikir demikian. Menjadi anti-Islamisme tidak bisa diartikan secara implisit berarti anti-Islam."
Islamisme dalam Praktek
Seperti ideologi radikal lain, kaum Islamis melihat negara sebagai kendaraan utama untuk mempromosikan program mereka. Memang, dilihat dari hakikat skema mereka yang tak praktis, para pendukung (levers) negara lalu bersikap kritis terhadap perwujudan tujuan-tujuan mereka. Menuju tujuan ini, kaum Islamis kerapkali memimpin partai-partai politik oposisi (seperti yang terjadi di Mesir, Turki, Arab Saudi, Indonesia) atau berhasil meraih kekuasaan yang signifikan (Libanon, Pakistan, Malaysia). Kerapkali, taktik mereka itu kejam. Di Aljazair, pemberontakan kaum Islamis mengarah kepada tewasnya 70.000 orang sejak tahun 1992.
Dan tatkala kaum Islamis berhasil mendapatkan kekuasaan, seperti di Iran, Sudan dan Afghanistan, hasilnya biasanya bencana. Ekonomi langsung merosot. Iran yang selama dua dekade standar hidupnya nyaris benar-benar merosot, memberikan contoh paling menarik dari ini. Hak pribadi warganya diabaikan, sebagaimana secara spektakuler diperlihatkan dari terbentuknya kembali perdagangan budak (chattel slavery) di Sudan. Penindasan terhadap wanita menjadi persyaratan mutlak, sebuah praktek yang secara dramatis diperlihatkan di Afghanistan, di mana mereka dikeluarkan dari sekolah dan tempat kerja.
Negara Islamis, hampir pasti adalah negara jahat (rogue state). Tidak bermain sesuai dengan hukum kecuali karena manfaat dan kekuasannya. Ia menjadi lembaga kejam yang menyebabkan orang menderita di dalam negeri dan di luar negeri. Kaum Islamis yang berkuasa berarti konflik pun berkembang biak, masyarakat dimiliterisasi, gudang persenjataan meningkat dan terorisme menjadi instrumen negara. Bukanlah kebetulan bahwa Iran terlibat dalam perang konvensional paling lama pada abad kedua puluh (tahun 1980–1988 melawan Irak) dan bahwa Sudan dan Afghanistan terjebak dalam beberapa dekade sekarat akibat perang saudara yang panjang tanpa ada tanda-tanda bakal berakhir. Kaum Islamis menindas kaum Muslim moderat dan mengancam memperlakukan kaum non-Muslim sebagai bahan percobaan yang kurang bermutu. Para apologetnya senang melihat dalam Islamisme ada kekuatan untuk demokrasi, tetapi justru mengabaikan pola penting yang seperti Martin Kramer perlihatkan, "Kaum Islamis agaknya tidak terlampau militan karena keluar dari kekuasan...Kelemahan membuat kaum Islamis menjadi moderat." Sedangkan kekuasaan berdampak sebaliknya.
Islamisme kini berkuasa selama lebih dari seperempat. Banyak keberhasilannya bagaimanapun seharusnya tak bisa dipahami, sebagai bukti bahwa dia meraih dukungan yang luas. Perkiraan yang masuk akal menemukan 10 persen Muslim mengikuti pendekatan mereka. Sebaliknya, kekuasaan yang mereka miliki dan gunakan merefleksikan status mereka sebagai kelompok minoritas yang sangat berdedikasi, mampu serta terorganisasi sangat baik. Agak mirip para kader Partai Komunis, mereka menambah jumlah kelompok mereka dengan aktivivisme serta maksud mereka.
Kaum Islamisme mendukung antagonisme yang mendalam terhadap kaum non-Muslim umumnya dan kaum Yahudi serta Kristen khususnya. Mereka meremehkan Barat karena pengaruh budayanya yang sangat besar serta karena ia merupakan musuh tradisional atau lama --- saingan lama Kekristenan, dalam samara baru. Beberapa dari mereka sudah belajar untuk membuat pemikiran mereka menjadi moderat dengan demikian, tidak membingungkan khalayak Barat. Tetapi, penyamaran ini tipis dan seharusnya tidak bisa menipu orang.
Surat kepada Editor seputar "Islam dan Islamisme"
Dengan penuh hormat kepada Daniel Pipes dan bertahun-tahun karyanya dalam bidang kajian Timur Tengah, saya ingin mendesak anda untuk membuang istilah "fundamentalis" ketika berbicara tentang siapa pun selain kalangan Kristen yang menggunakannya ketika berbicara tentang mereka sendiri. Departemen Luar Negeri AS (mantan majikan saya), USIS dan pihak-pihak lain senantiasa menggunakan istilah yang bagi kalangan Muslim, "kami" (biasanya kaum liberal) tidak sukai, dengan sedikit atau tanpa upaya untuk membedakan bagaimana Islam politik Front Islamique du Salut (FIS) atau Hamas berbeda dari Islam politik yang berkaitan dengan para penguasa Sau'di atau almarhum Turgut Ozal. Istilah itu lebih jauh memperlihatkan adanya kesatuan transnasional atau tingkat koordinasi di mana radikalisme Islam tidak perlu miliki. Saya khawatir penggunaaan kata fundamentalis yang sangat umum secara gegabah bukan saja menyingkirkan bagian dunia Muslim yang mungkin bersedia menyambut baik kerja sama Barat, tetapi juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bisa saja melumpuhkan masukan-masukan Kristen akhir-akhir ini ke dalam dialog politik dalam negeri Amerika.
Mengapa Necmettin Erbakan menjadi "fundamentalis" namun bekas anak didiknya, almarhum Turgut Özal, tidak. Yang terakhir menerima agama dan praktek beragama Muslim tradisional, menganjurkan peran publik yang lebih besar bagi Islam di Turki dan menjalani pendidikan dan karir sama dengan anak-anak muda Aljazair yang marah. Tetapi itulah perbedaannya. Erbakan mendambakan supaya bisa melihat Turki menjadi pemimpin Asia Barat dan Afrika Utara, Özal sebaliknya malah pendukung NATO untuk bergabung dengan Eropa dan anti-koalisi Irak.
Konon, kaum fundamentalis Muslim itu berdampak buruk bagi kaum minoritas dan wanita di dunia Muslim. Adakah yang memperhatikan bahwa Rumah Saud (baca: Dinasti Saud yang memerintah Arab Saudi) tidak akan membiarkan pekerja dan diplomat pendatang menjalankan ibadat Kristen di negara mereka sendiri? Ataukah bahwa tidak satu pun Negara Teluk yang bertoleransi terhadap perpindahan agama dari Islam untuk menganut agama lain? Atau bahwa mengguncangkan iman seorang Muslim itu melawan hukum di Maroko? Tetapi mengapa bukan pemerintah negara-negara itu yang disebut "fundamentalis?"
Islamisme radikal lebih sering merepresentasikan dibanding tidak, tagihan yang tidak dibayar oleh berbagai kaum sosialis, militaris, nasionalis radikal bahkan Komunis serta negara-negara pasca-komunis jatuh, yang semuanya menjamin bahwa hanya penentang paling keras kepala yang paling tidak mau berkompromi yang cenderung untuk bertahan hidup. Apakah kita benar-benar berutang sesuatu kepada mantan teroris yang menyembunyikan diri dan kaum militaris serta pro-Komunis dari Aljazair atau kepada Partai Ba'ath Suriah? Akankah kita memaafkan perlakuan Cina kepada para penenang karena kaum Muslim di Barat dan kaum Kristen di timur serta di tengah mungkin saja disebut "fundamentalis?" Atau apakah saya melihat ada perbedaan nyata antara fanatisme Hamas dan semacam fanatisme sebelumnya yang terlihat dalam faksi-faksi Palestina yang agaknya "sekular" dari peride 1967 – 1980. Bagi saya tampaknya jika kita bisa memperbaiki hubungan dengan Komunis Cina, maka kita mungkin saja melakukan hal yang sama dengan kaum Islamis, yang mungkin saja menang di sejumlah negara Afrika, Timur Tengah serta Asia.
Islam tidak punya doktrin dosa asal. Ini mungkin saja menjadi penyebab mengapa dunia Muslim begitu rawan terhadap teori-teori konspirasi aneh sehingga mengejar kambing hitam untuk dikecam atas apapun yang salah. Barangkali hal terbaik yang dapat kita lakukan bagi negara Muslim yang diserang oleh kaum neo-tradisionalis yang bersemangat adalah dengan membiarkannya mereka menjalankan solusi internalnya yang mungkin bisa digunakan daripada memberikan Setan yang nyaman bagi generasi para penghasut selanjutnya, khususnya karena ilmu pengetahuan sosial kita atau mesin kebijakan kita semakin tancap gas untuk berurusan dengan berbagai macam pertanyaan yang diajukan oleh neo-tradisional yang bersemangat di Midwest, untuk tidak mengatakan apa-apa tentang Timur Tengah.
Peter J. Herz
Carbondale, IL
Tanggapan Daniel Pipes
Pak Herz bukanlah orang yang suka dengan istilah "fundamentalis" ketika diterapkan kepada Islam. Saya pun tidak. Itu sebabnya saya hanya menggunakannya dua kali untuk memberikan dasar kepada pembaca (termasuk satu dalam sebuah kutipan); dan saya mengunakan istilah pengganti, "Islamis" atau "Islamisme" sebanyak 52 kali, termasuk judulnya. Mengapa memberikan kuliah itu, Pak Herz? Lain kali, bagaimana kalau bacalah artikel jauh melewati baris pertama artikel sebelum menuliskan surat pembaca kepada editor?
Pemutakhiran 13 Mei 2013: Untuk memperoleh ringkasan artikel ini yang sudah dimutakhirkan, lihat tulisan berjudul, "Islam vs. Islamism" hari ini, dalam Harian The Washington Times.