Februari 2017. Duta Besar Turki untuk Israel meminta pengarang artikel ini untuk tidak campur tangan dalam urusan negerinya. Sedikitnya, sang duta besar melakukannya secara sangat diplomatis. Namun, Juni lalu, Duta Besar Turki untuk Bulgaria memperlakukan saya dengan cara sangat kasar dan tidak diplomatis.
Kesempatan itu terjadi ketika saya memberikan ceramah bertajuk "On Turkey and Erdoğan – a partner or a threat," ( Seputar Turki dan Erdoğan---mitra atau ancaman) untuk Lembaga Kajian Center for Balkan and Black Sea Studies) di Sofia, Bulgaria. Setelah menjelaskan hubungan dan perasaan saya terhadap Turki, saya menjelaskan bahwa ketidakmampuan orang kuat Presiden Recep Tayyip Erdoğan untuk berdamai dengan tiga hal prioritas yang saling bersaing ---yaitu dengan Islam, Turki dan Erdoğan --- serta berbagai kontradiksi yang ditimbulkannya yang agaknya bakal menghancurkan rejimnya. Pada akhir acaran, Duta Besar Süleyman Gökçe mengakui kebenaran prediksi tersebut.
Datang awal, dia pun duduk di bangku depan kemudian melompat bangkit ketika sesi tanya jawab dimulai. Dengan gaya mengancam, dia mengatakan tentang saya, "kami tahu baik tentang dia di Turki," dia melanjutkan menuduh saya memilih fakta yang menguntungkan serta menjadi seorang esensialis sekaligus Orientalis. Rekam jejak saya sebagai "pemutarbalik, suka mengelak dan delusi", urainya, mendorong dia untuk mengatakan, "Saya tidak setuju dengan satu pun pemikiran yang sudah anda kemukakan."
Ada dua bentuk ancaman Gökçe. Pertama, mengatakan bahwa tidak seorang pun dengan kwalifikasi doktor "seharusnya punya kebebasan" untuk menyampaikan pernyataan tanpa bukti seperti pernyataan saya. Kedua, menuduh saya mendukung pandangan dari "Organisasi Teror Fethullah Gülen". Padahal, Erdoğan berbicara untuk gerakan non-teror Hizmet ciptaan Fethullah Gülen, yang pernah menjadi sekutu erat Erdoğan, yang para anggotanya kini dia kejar, kucilkan, bersihkan serta penjarakan.
Jawaban saya kepada sang duta besar berakhir dengan mengajukan dua pertanyaan kepadanya apakah dia bisa menjamin keamanan saya untuk pergi ke Turki. Dua kali pula dia mengabaikan pertanyaan. Malah, dia menghentakan kaki lalu keluar ruangan pertemuan. Bagaimanapun, cara itu tidak benar-benar menghentikan kegusarannya---distress.
Dia kemudian berupaya memperbaiki keadaan lewat Twitter. Dia menanggapi delapan twit lama saya terkait dengan Turki, dengan menjawabnya secara patuh dan penuh hormat setiap twit saya. Dikatakannya bahwa saya "ekstremis," "marjinal", "menyedihkan" dan "bias." Ketika saya tanggapi bahwa "Erdoğan telah mengubah para diplomatnya menjadi badut," Gökçe masih menyerang saya dengan twit makian yang lebih banyak.
Insiden ini memberikan beberapa wawasan.
Intimidasi kecil-kecilan bukanlah hal wajar dalam praktek diplomatik. Dalam pengalaman saya sendiri, rejim-rejim yang jauh lebih parah dari Turki jauh lebih cerdas. Saddam Hussein pernah mengirim seorang duta besar ke Washington, Nizar Hamdoon, yang menyampaikan kepentingan pemimpinnya yang kejam lewat sikap sopan, kritis terhadap diri sendiri dan logis. Republik Islam Iran baru saja menerima pengamat politik ini pada tiga medianya dalam kurun waktu tiga pekan: pada sebuah stasiun televisinya yang berbahasa Inggris (Press TV), suratkabarnya yang berbahasa Inggris (Tehran Times), serta kantor berita berbahasa Arabnya (MehrNews). Ketidakmampuan Erdoğan dalam bidang ini membuatnya rugi besar sekali.
Sikap Gökçe yang aneh justru menolak orang-orang lain juga. Seorang rekan panelis dalam peristiwa Sofia, seorang wartawan sekaligus cendekiawan Steven Hayward menulis bahwa "penampilan yang sangat mengherankan dari seseorang dalam posisi diplomatik resmi." Ilian Vassilev, mantan Duta Besar Bulgaria untuk Moskow yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan perilaku Gökçe "benar-benar tidak beres." Eric Edelman, mantan Duta Besar AS untuk Turki menggolongkan pertunjukan ini sebagai "semuanya terlampau khas" diplomasi Erdoğan. Richard Pipes, seorang professor sejarah Rusia (dan ayah saya) ketika ditanya jika para diplomat Soviet pernah mengusik dia seperti ini selama Perang Dingin menjawab, "Tidak, tidak pernah. Mereka hanya mengabaikan penampilan publik saya di Barat. Dan di Uni Soviet, ketika saya berbicara, mereka memperlihatkan sikap tidak setuju dengan sopan."
Perilaku Gökçe di Sofia, Bulgaria membangkitkan kembali dalam benak, pernyataan dari Perdana Menteri Inggris William Gladstone ketika dia mengagung-agung pidato tentang "seseorang dengan barang miliknya (bag and baggage) pada 1876. Pada saat itu, dia merujuk apa yang dikenal sebagai ""Bulgarian horrors" (Situasi Bulgaria yang mengerikan) ketika mengatakan:
Biarkanlah masyarakat Turki membawa pergi perlakuan kasar mereka dengan cara yang mungkin ada, yaitu dengan melakukannya sendiri. Para polisi (Zaptiehs), Mudir, Bimbashe, Yuzbashi, Kaimakan dan Pasha mereka, semuanya, barang-barang pribadi mereka, akan, saya harapkan dibersihkan dari propinsi [Bulgaria] yang sudah mereka buat terisolasi dan jorok.
Pemikiran Gladstone yang diperbarui masa sekarang ini mungkin saja berbunyi:
Biarkan saja masyarakat Turki sekarang ini membawa pergi perlakuan kasar mereka dengan satu-satunya cara yang mungkin ada, yaitu, dengan melakukannya sendiri. Diyanet (lembaga yang menangani bidang keagamaan di Turki) dan TIKA, DOST serta mereka, Erdoğan dan para duta besar mereka, semuanya, barang milik pribadi mereka, bakal, saya harapkan dibersihkan dari negara tempat mereka bakal terpencil dan tercemar.
Mengirim seorang duta besar untuk menjatuhkan sekaligus mengancam seorang pengamat politik pada sebuah peristiwa pendidikan khusus adalah tindakan non-kekerasan yang sama dengan aksi pemukulan atas para pendemo damai di Washington yang dilakukan oleh para pengawal Erdoğan. Kedua-duanya menjadi bagian utuh dari upaya untuk menindas perbedaan pendapat yang menentang seorang pemimpin yang makin berubah megalomaniak. Para diplomat Erdoğan yang suka mencampuri urusan orang lain secara tidak hati-hati menciptakan musuh bagi rejim, membuat hari-harinya semakin dekat ketika barang-barang pribadi (bag and baggage) membuat tuan rumahnya bosan menerima mereka sehingga cekcok.
Daniel Pipes adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah).