Diterbitkan dalam Our Brave New World: Essays on the Impact of September 11
Editor: Wladyslaw Pleszczynski. Stanford: Hoover Institution Press, 2002, hal. 41-61.
"Dunia sudah berubah" masyarakat Barat kerap mengatakannya ketika mengomentari rangkaian peristiwa tragis 11 September 2001. Segelintir Muslim pun menggemakan pernyataan senada. Dalam pernyataan saling menyerang yang dikeluarkan 7 Oktober, Presiden George W. Bush dan Osama bin Laden memberikan contoh dari pertentangan ini karena itulah hari ketika perang meledak pecah di Afghanistan. Yang pertama merujuk kepada "teror mendadak" yang baru saja melanda Amerika Serikat 27 hari sebelumnya. Sementara, yang belakangan justru melaporkan bahwa dunia Muslim sudah mengalami lebih dari 8 tahun "penghinaan dan aib" di tangan orang-orang Amerika dan selama ini pula anak-anak Muslim dibunuh dan tempat-tempat sucinya dinajiskan. Dua puluh tujuh hari versus delapan tahun dengan demikian merangkum perbedaam kesadaran bangsa Amerika yang membingungkan terkait hilang sikap lugu serta perasaan militan Islam yang jeli melihat pengkhianatan dan trauma zaman yang penting. Karena ini dan berbagai alasan lainnya, dunia Muslim nyaris tidak terlampau terguncang oleh kematian tiga ribu warga Amerika. Demikian juga dengan masyarakat Barat lainnya.
Lebih jauh lagi, upaya untuk memahami dampak tragedi 11 September atas dunia Muslim mempersyaratkan adanya upaya untuk mengabaikan tanggapan di Barat dan sebaliknya berupaya membenamkan diri dalam kesadaran masyarakat Muslim. Tempat terbaik untuk memulainya adalah dengan memahami perasaan tidak puas mereka yang mendalam terhadap Barat yang ditegaskan oleh bin Laden yang juga diyakini oleh begitu banyak kalangan Muslim.
Sejarah dan Permusuhan Islam terhadap Barat
Kemarahan ini berakar dalam. Semenjak agama Islam muncul pada abad ketujuh dan kasarnya selama millennium selanjutnya, kaum Muslim menganggap keberhasilan dunia yang konsisten adalah puncak karir mereka. Dengan standar apapun orang menilai --- kekuasaan, kekayaan, kesehatan atau pendidikan, kaum Muslim berada pada puncak prestasi global. Hubungan antara menerima pesan Islam dan ganjaran nyata dari Allah ini terus bertahan sekian lama dalam begitu banyak aspek kehidupan di begitu banyak tempat menyebabkan kaum Muslim siap untuk berasumsi bahwa kesejahteraan duniawi adalah hak mereka sebagai tanda kemurahan Allah. Menjadi Muslim dengan demikian berarti berada dalam tim pemenang.
Tetapi kemudian, sejak tahun 1800, masalahnya menjadi serbasalah. Kekuasaan, kekayaan, kesehatan dan pendidikan bergerak entah ke mana, khususnya ke Eropa, sebuah tempat yang lama dicibir sebagai terbelakang. Selama dua abad panjang, kaum Muslim menyaksikan bangsa lain, khususnya Kristen melesat maju. Bukan cuma Prancis, Inggris dan Amerika Serikat yang maju dalam skala yang sangat mengagumkan, Asia Timur pun sudah jauh lebih maju melebihi dunia Muslim akhir-akhir ini, Akibatnya, ada kesadaran terhadap kegagalan yang melanda hidup kaum Muslim. Jika Islam membawa berkat Allah, banyak kaum Muslim bertanya diri, mengapa sekarang kaum Muslim menjadi begitu miskin? Sejarah traumatis manusia yang serbasalah ini menjadi kunci untuk memahami Islam modern.
Kenyataan ini memunculkan pertanyaan mendalam soal apa yang perlu dilakukan supaya bisa menemukan arah yang tepat, meskipun hanya ada beberapa jawaban yang memuaskan. Meski melakukan pencarian mendalam, kaum Muslim belum juga menemukan jawaban atas pertanyaan "apakah yang salah?" Justru sebaliknya, mereka terpental dari satu skema ke skema lain, tidak menemukan kepuasan dalam satu dari berbagai jawaban itu. Kesalahan awal yang silih berganti menyebabkan kaum Muslim sangat bingung dengan penderitaan mereka dan tidak sedikit pula yang frustrasi. Secara keseluruhan, kaum Muslim merasa bahwa ketidakberhasilan mereka yang menyolok menyulitkan mereka untuk keluar dari perasaan terhina situasi mereka masa kini.
Kesadaran terhadap kegagalan ini bergerak jauh sehingga bisa menjelaskan dalamnya rasa benci terhadap Barat yang berkembang di nyaris semua masyarakat Muslim. Umumnya, mereka menyadari bahwa seribuan tahun silam, seperti dikatakan oleh Martin Kramer, "Timur Tengah adalah tempat peradaban dunia" sebaliknya sekarang "dia justru berdiri merajuk di pinggiran peradaban dunia yang ditempa di Barat." Kedongkolan itu lantas berubah menjadi rasa marah, iri hati, benci, ketakutan irasional, teori konspirasi serta ekstremisme politik. Berbagai emosi ini bergerak jauh sehingga berdampak pada adanya seruan terhadap serombongan besar ideologi radikal, yang sama-sama diimpor (seperti Fasisme dan Lenisme) dan ideologi yang tumbuh di kawasan Muslim sendiri (seperti Pan-Arabisme, Pan-Surianisme). Masing-masing dari berbagai gerakan ini, pada gilirannya mengukuhkan kesadaran bahwa Barat adalah musuh.
Sekarang ini, kendaraan terkuat untuk emosi-emosi semacam ini adalah Islam militan (juga dikenal sebagai Islamisme), sebuah gerakan politik yang memanfaatkan Agama Islam kemudian mengubahnya menjadi dasar ideologi totaliter yang punya banyak kesamaan dengan versi-versi ideologi sebelumnya, misalnya Fasisme dan Marxisme-Leninisme. Seperti mereka misalnya, Islamisme juga berupaya untuk menggantikan kapitalisme dan liberalisme sebagai sistem yang menguasai dunia. Seruan terhadap Islam militan bergerak jauh sehingga berdampak terhadap kebencian anti-Barat yang muncul dari kaum Muslim di banyak tempat di seluruh dunia, termasuk kaum Muslim yang berdiam di Barat sendiri.
Kaum Islam radikal melihat daftar panjang negara-negara---Aljazair, Turki, Mesir dan Malaysia sebagai contoh-contoh yang menakjubkan ---tempat mereka yakini, para penguasa Muslim lokal melakukan bisnis kotor Barat yang berusaha menindas gerakan mereka. Mereka juga punya daftar lain --- seperti Kashmir, Afghanistan, Chechnya serta Sudan yang menduduki posisi tinggi di sini --- tempat mereka melitat Barat aktif menindas upaya-upaya mulia kaum Islam radikal untuk membangun suatu komunitas yang adil. Kapanpun kaum Muslim bergerak menuju lahirnya Negara Islam, seorang anggota Islam radikal menjelaskan, "tangan-tangan pengkhianat Barat yang sekular senantiasa terlibat di dalam dunia Muslim sehingga pasukan-pasukan Islam kalah. "2 Kaum Islam radikal melihat diri mereka sendiri dikelilingi dikepung oleh Barat. Di seluruh dunia, mereka rasakan, dihalangi oleh Barat yang arogan sekaligus Imperialis.
Kebencian terhadap Amerika Serikat
Secara khusus, kaum radikal Islam melihat Amerika Serikat sebagai kekuatan agresif yang berupaya mencuri sumberdaya Muslim, mengeksploitasi tenaga kerja mereka sekaligus merusak agama mereka. Ada sebuah konsensus berkembang di kalangan Muslim yaitu bahwa Washington dan Hollywood bersama-sama memadukan kekuatan untuk membangun hegemoni atas dunia ("sebuah tatadunia baru"). Dalam kata-kata Ayatollah Khomeini, yang barangkali menjadi penafsir Islam paling berpengaruh: "Bahaya yang Amerika tampilkan itu begitu dahsyat sehingga jika anda lakukan kekeliruan kecil, anda akan dihancurkan...Amerika berencana untuk menghancurkan kita, kita semua ."3 Dalam kata-kata seorang Mesir, orang-orang Amerika itu "mencengkram leher kita
Pandangan ini berdampak sangat besar. Kekerasan terhadap warga Amerika pun lantas dilihat sebagai sebentuk pertahanan diri. Dengan demikian, aksi itu membenarkan upaya kaum Muslim untuk merugikan warga Amerika bahkan menghancurkan Amerika Serikat. Ikrama Sabri, orang kepercayaan Yasser Arafat, pengelola hirarki atau lembaga agama dalam Pemerintahan Otoritas Palestina di Yerusalem, sebuah posisi prestisius dan paling berpengaruh, kerapkali mengecam Amerika Serikat dalam kotbah-kotbah Jumadnya di Masjid Al-Aqsa, ketika mengatakan, "Oh Allah, hancurkan Amerika, para agen serta sekutunya!"4
Untuk merendahkan martabat masyarakat Amerika, para fundamentalis menggambarkan mereka dengan istilah-istilah mirip bangsat ---seperti hina-dina, anjing serta bakteri. Dengan demikian musuh-musuh itu pantas dimusnahkan. Masyarakat Barat dalam pandangan 'Adil Husayn, seorang penulis Mesir kenamaan "tidak ada apa-apanya selain binatang yang kepentingan utamanya adalah makan untuk mengisi perutnya."5 Tidak bermoral, konsumeris serta suka mengancam sehingga pantas mati. Berbagai teori konspirasi dengan dukungan begitu banyak lembaga agama Timur Tengah juga merendahkan martabat masyarakat Amerika, mengubah mereka menjadi seolah-olah komplotan-komplotan orang licik yang menggenggam sekaligus menyerap tanah, kekayaan serta wanita Muslim
Satu akibatnya adalah ungkapan kegembiraan ketika mendengar berita atau kisah kematian orang Amerika. Ahmad Jibril, seorang pemimpin Palestina secara terbuka mengungkapkan perasaan gembiranya ketika mendengar kisah kematian akibat gempa bumi San Fransisko pada 1989. Ia lalu menambahkan: "Saya tidak tahu cara melakukan balas dendam kepada Amerika Serikat, tetap tampaknya Allah melakukannya bagi saya."6 Orang juga menemukan pandangan jahat itu pun diungkapkan oleh kaum Muslim yang berdiam di Amerika Serikat sendiri. Ketika menanggapi berita tentang kecelakaan pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat, belum lama ini, Islam Report, sebuah terbitan berbasis San Diego, menerbitkan berita utama yang berbunyi, "O ALLAH, LOCK THEIR THROATS IN THEIR OWN TRAPS! (Oh Allah, Sembunyikan Leher Mereka Dalam Jebakan Mereka Sendiri) "7
Litani pernyataan itu merujuk kepada dua fakta: Obama bin Laden bukan tokoh unik tetapi menggemakan pandangan-pandangan yang dipromosikan oleh sejumlah pihak yang paling berwenang dan berpengaruh. Pandangan itu bergaung di kalangan Muslim di seluruh penjuru dunia, bahkan termasuk di kalangan beberapa dari mereka yang sedang berdiam di Barat.
Konteks ini membantu menjelaskan mengapa dunia Muslim menanggapinya seperti yang terjadi pada aksi kejam 11 September 2001 lalu bahkan sebelum persoalannya jelas siapa pelaku aksi tersebut. Di sebagian besar dunia, reaksi awal terhadap berbagai berita itu adalah dukacita. Berbagai bangsa dan pemerintah menanggapinya dengan kesedihan yang mendalam dan dengan kesadaran terhadap perikemanusian yang umum. Tetapi di kalangan Muslim, pembunuhan ribuan warga Amerika justru mendorong sedikit sekali perasaan sedih dibandingkan perasaan gembira.
"Mata sapi" komentar para sopir taksi Mesir ketika menonton siaran ulang runtuhnya Menara Pusat Perdagangan Dunia (WTO). "Ini waktunya untuk balas dendam," kata seorang warga Kairo. Warga Mesir lainnya mengungkapkan harapannya semoga George W. Bush terkubur dalam bangunan-bangun itu atau bersukaria bahwa inilah masa paling membahagiakan mereka dalam beberapa dekade ini. Demikianlah suasana itu menjalari seluruh penjuru Timur Tengah. Di Libanon dan Tepi Barat, warga Palestina menembakan senapan ke udara, sebuah cara yang umum untuk memperlihatkan kegembiraan. "Kami bergembira ria," urai seorang warga Libanon. Di Yordania, warga Palestina membagi-bagikan manisan sebagai sebentuk ungkapan kegembiraan lainnya.
Di luar kawasan Timur Tengah, cukup banyak kaum Muslim menyampaikan pandangan mereka bahwa masyarakat Amerika sudah mendapatkan apa yang pantas mereka terima. Berbagai suratkabar Nigeria melaporkan bahwa Organisasi Kaum Muda Islam negeri itu di Propinsi Zamfara mengorganisasi sebuah kegiatan untuk merayakan serangan-serangan tersebut. "Sebagai Muslim, saya bahagia menyaksikan kerusakan apa pun yang sedang Amerika hadapi," muncul sebuah kutipan yang khas Afghanistan. Seorang tokoh Pakistan menimpali bahwa Washington membayar akibat dari berbagai kebijakannya terhadap Palestina, Irak, Bosnia serta Muslim lainnya, kemudian mengingatkan bahwa "peristiwa yang paling mengerikan bakal terjadi."
Di seluruh penjuru dunia Muslim, slogan anti-Amerika nyaris identik terdengar selama pekan-pekan selanjutnya: "Masuk Nerakalah AS" (Indonesia), "Masuk Nerakalah Amerika" (Malaysia), "Mampuslah Amerika" (Bangladesh), "Mampuslah Amerika" (India), "Amerika adalah musuh Allah" (Oman). "Amerika adalah Setan Paling Mengerikan (Yaman), "AS, masuklah neraka" (Mesir). "Hancur, Hancurlah AS!" (Sudan).
Sebagian besar Pemerintah Muslim memperlihatkan perilaku terbaik mereka pasca-tragedi 11 September 2001. Pasca-kejadian mereka mencela hilangnya nyawa bangsa Amerika. Tetapi di sini pun, ada celahnya. Pemerintah Iran, misalnya, melihatnya sangat sulit untuk bersimpati kepada warga Amerika sehingga mendesak supaya konflik Arab-Israel didiskusikan. Sejumlah pengamat politik menghubungkan terorisme dengan "dukungan buta Amerika kepada rejim Zionis" dan pihak-pihak lainnya, sebenarnya justru menuduh Israel mengorganisasi serangan-serangan itu dalam upaya yang seolah-olah benar guna membelokan pendapat dunia dari konfliknya sendiri dengan Palestina. (Ini selanjutnya menjadi kebenaran yang diterima di banyak negara Muslim dengan dukungan teori konspirasi yang rumit seputar peran Mossad). Tidaklah mengherankan, di Irak, berbagai media yang dikontrol negara mengakui adanya aksi kejam itu berkomentar bahwa "para koboi Amerika tengah menuai buah dari kejahatan mereka terhadap kemanusiaan." Juga diumumkan bahwa "mitos tentang Amerika hancur bersama hancurnya Menara Kembar Pusat Perdagangan Dunia."
Cinta Terhadap bin Laden
Osama bin Laden menikmati reputasi yang sangat tinggi berkat kebenciannya yang tanpa henti-hentinya kepada Amerika Serikat, bahkan sebelum tragedi 11 September 2001 meledak. Penulis biografinya, Simon Reeve, pada tahun 1999 menulis bahwa "Banyak orang yang tidak pernah bertemu dengannya, yang satu-satunya penghubungnya hanya lewat satu dari wawancara atau satu dari siaran radio atau homepage Internet, mengatakan mereka siap mati bagi cita-citanya."8 Hasan at-Turabi, seorang tokoh Sudanese paling berkuasa, melihat bahwa Osama bin Laden telah berkembang "sebagai penantang, simbol Islam untuk semua orang muda, di seluruh penjuru dunia Muslim. "9
Ketika muncul sebagai orang di balik serangan 11 September, reputasi bin Laden membumbung luar biasa tingginya di seluruh penjuru dunia Muslim. "Panjang umur bin Laden" teriak lima ribuan demonstran di Filipina selatan. Di Pakistan, barang dagangan bergambar wajah bin Laden dijual dan pawai besar-besaran di jalanan menyebabkan dua orang tewas. Puluhan ribu orang berpawai di ibukota Bangladesh dan Indonesia. Di Nigeria utara, Bin Lden (menurut Kantor Berita Reuters) "menjadi ikon." Pendukungnya mulai melancarkan kerusuhan agama yang menyebabkan dua ratus orang tewas. Berbagai demonstrasi pro-bin Laden bahkan terjadi di Mekkah, tempat aktivisme politik tidak pernah terdengar sebelumnya.
Di manapun, Harian Washington Post melaporkan, kaum Muslim menyambut gembira bin Laden, "nyaris satu suara. "12 Internet ramai dengan berbagai ode, pujian baginya sebagai orang "dengan iman yang kokoh dan niat yang kuat."13 Seorang warga Saudi menjelaskan bahwa "Osama adalah Muslim yang sangat, sangat, sangat, sangat baik."14 Seorang warga Kenya pun menambahkan: "Semua Muslim adalah Osama bin Laden."15 Osama dengan demikian bukanlah individu, tetapi nama perang suci," tulis sebuah baner di Kashmir.16 Dalam pernyataan yang barangkali berlebih-lebihan, seorang warga Pakistan memaklumkan bahwa "Bin Ladein adalah Islam. Ia merepresentasikan Islam."17 Di Prancis kaum Muslim berteriak menyebut nama bin Laden ketika mereka melemparkan batu-batuan kepada kalangan non-Muslim.
Masyarakat Palestina benar-benar sangat terpikat. Menurut Hussam Khadir, seorang anggota Partai Fatah, pimpinan Yasser Arafat, "Sekarang Bin Laden adalah tokoh paling popular di Tepi Barat dan Gaza, yang hanya bisa diungguli oleh Arafat."18 Seorang gadis kecil berusia 10 tahun mengaku mencintai Osama bin Laden seperti seorang ayah. 19 Dan dia tidak sendiri. "Semua orang mencintai Osama bin Laden kali ini. Dia orang paling beriman di seluruh dunia," seorang wanita Palestina memaklumkan. 20 Para polisi Otoritas Palestina pun menyebutnya sebagai "orang teragung di dunia...Mesias kami" bahkan ketika dia (dengan perasaan enggan) membubarkan mahasiswa yang berpawai mengungkapkan solidaritas mereka dengan Saudi. 21
Penelitian survei membantu orang memahami perasaan-perasaan ini. Di Otoritas Palestina, sebuah polling yang dilakukan oleh Bir Zeit menemukan bahwa 26 persen warga Palestina menganggap serangan 11 September itu sesuai dengan hukum Islam. 22 Di Pakistan, Gallup menemukan nyaris identik 24% mencapai kesimpulan ini. 23 Bahkan orang-orang yang menganggap serangan 11 September sebagai aksi terorisme pun (64 persen warga Palestina maupun Pakistan) memperlihatkan rasa hormat mereka terhadap aksi itu sebagai penolakan politik sekaligus keunggulan teknis. "Tentu saja kami heran bahwa begitu banyak orang tewas di New York. Tetapi pada saat yang sama, kami kagum dengan apa yang terjadi," urai seorang wanita muda dari Kairo (Mesir).24 Sebuah survei daring terhadap masyarakat Indonesia memperlihatkan 50 persen sample melihat bin Laden sebagai "pejuang nan adil" dan 35 persen melihatnya sebagai teroris. 25 Lebih luas lagi, saya memperkirakan bahwa selama beberapa pekan pertama, bin Laden menikmati dukungan emosional dari separuh dunia Muslim
Kecuali sebuah demonstrasi anti-bin Laden yang dilancarkan oleh pemerintah di Pakistan serta sedikit sekali cendekiawan Islam kenamaan, nyaris tidak seorang pun mengecam bin Laden di depan publik pada September atau Oktober 2001. Satu-satunya cendekiawan Islam di Mesir yang tanpa tedeng aling mengecam operasi bunuh diri 11 September 2001 mengaku dia benar-benar tersisih. 26 Lebih jauh lagi, tidak satu pun pemerintahan Muslim tampil terbuka mendukung pemboman yang Amerika lancarkan untuk menentangnya. Para pejabat Amerika sia-sia menunggu politisi Muslim untuk berbicara. "Bakal menyenangkan jika sejumlah pemimpin tampil mengatakan ide bahwa AS menyasar Islam itu absurd," urai seorang diplomat AS. Mereka tidak melakukan demikian karena itu berarti menentang puja-puji terhadap bin Laden yang luas tersebar.
Tetapi kemudian perubahan mengagumkan pun terjadi.
Kecewa dengan bin Laden
Pada tanggal 7 Oktober, Pemerintah AS mulai melancarkan kampanye militer di Afghanistan. Selama sebulan beraksi, tidak ada hasil yang jelas terlihat. Hingga 9 Nopember, rejim Taliban masih menguasai kawasan yang sudah dikendalikannya selama beberapa tahun—atau nyaris sekitar 95 persen negeri itu. Belakangan, kekuasaan Taliban pun tumbang. Berhari-hari belakangan, dia hanya menguasai 15 persen negeri itu dan pada 7 Desember, dia pun kehilangan kendali atas Kandahar, kota terakhirnya lalu melarikan diri ke bukit dan gua-gua Aghanistan. Kekuatannya pun habis dan pada saat bersamaan, para warga Afghanistan menolaknya dengan penuh sorakan.
Perubahan cepat ini sebagian besar terjadi karena Amerika Serikat mengerahkan kekuatan udaranya besar-besaran pada satu pihak serta kurangnya tekad untuk mempertahankan diri di kalangan pasukan Taliban sendiri pada pihak lain. Terpesona oleh kekuatan Amerika, banyak dari mereka pun beralih mendukung Aliansi Utara dukungan AS. Menurut seorang analis politik, "Peralihan dukungan, bahkan di tengah peperangan pun menjadi bukti kunci cepatnya milisi Taliban yang sebelumnya berkuasa di seluruh penjuru Afghanistan, jatuh." "28 Otot dan niat masyarakat Amerika membuat Islam militan kehilangan dalih. Kekuatan yang menguasai negeri mereka pecah berantakan di depan mata mereka dan pasukan-pasukan Taliban pun sadar bahwa mereka berada pada pihak yang kalah, dan tidak ingin jatuh bersamanya sehingga memutuskan untuk melakukan sesuatu.
Kesediaan untuk mengalihkan keberpihakan ini sesuai dengan pola yang lebih besar yang menjadi jelas dalam hitungan hari setelah 11 Nopember. Karena pada saat bersamaan, kaum Muslim di seluruh dunia merasakan pergeseran kekuataan yang sama, yang menjauh dari Islam militan sehingga merasa perlu untuk menanggapinya secara sama.
Gejala ini sangat jelas terlihat di Pakistan, di mana antusiasme terhadap cita-cita Taliban sangat tinggi selama September dan Oktober 2001. Berikut ini sebuah laporan dalam Harian Los Angeles Times yang berawal dengan kisah sebuah peristiwa di Quetta, sebuah kota dekat perbatasan Afghanistan, pada 8 Oktober, atau satu hari setelah peperangan-peperangan kecil meledak pecah. Setelah para demonstran "membakar patung Presiden Amerika dan Pakistan, membakar mobil, melempari kantor-kantor polisi serta menghancurkan jendela-jendela toko," para pemimpin agama penghasut pun memberikan pidato kepada 10.000 orang di Stadium Ayub, tiap hari Jumad.
Ada dendam dalam perut mereka, ada keberanian dalam hati mereka. Kemarahan mereka meledak keluar bagai banjir kata-kata yang membuat suara beberapa dari mereka terserak parau. "Waktunya akan tiba ketika kepala-kepala orang Amerika berada pada satu pihak dan senjata-senjata kita berada pada pihak lain!" seseorang berteriak. "Siaplah berjihad. Saya jamin, sukses akan jadi milik kalian!"
Belakangan. ketika militer Amerika benar-benar berhasil, orang-orang fanatik anti-Amerika pun kehilangan nyali. Stadium yang sama yang sebulan sebelumnya menghimpun 10 ribu orang hanya dihadiri kurang dari 500 orang dua bulan kemudian. "Satu-satunya poster Osama bin Laden yang sangat berkeriput terpotong-potong di baris depan. Usai pawai, para pemimpin agama pun mengomel lewat mikrofon soal jihad atau perang suci. Bukannya bersemangat mendengarkan,, massa yang duduk nyaris diam membisu selama dua jam pidato hampir-hampir tidak bisa menyuarakan koor Allahu Akbar pada akhir pertemuan" Penyebabnya, karena sekitar 20 persen dari 10 hingga 15 ribu laki-laki di Swat Valley yang terinspirasi oleh seruan jihad untuk pergi memerangi Amerika Serikat di Afghanistan tidak kembali ke negerinya. Dalam sejumlah kasus, kekalahan mereka jauh lebih besar. Seorang warga Pakistan melaporkan bahwa 41 dari 43 temannya tewas di Afghanistan. 29 Kekalahan ini memunculkan perasaan tidak puas yang sangat mendalam terhadap para pemimpin Islam militan yang mendorong mereka pergi ke perang, tanpa persiapan bahkan tidak disambut baik bahkan ketika mereka sendiri tidak turut maju dalam perang, malah sebaliknya tinggal diam di desa-desa kelahiran mereka yang nyaman.
Pakistan lantas berubah menyerang kelompok Islam militan, khususnya yang mendorong umat Muslim saleh untuk bepergian ke Afghanistan dan membantu Taliban. Sebagai contoh, Tehrik Nifaz Shariat-e-Mohammedi mengakui bahwa dua hingga tiga ribu relawan negeri itu hilang dan ditakutkan tewas. Pemimpin organisasi, Sufi Muhammad, menemukan dirinya dipenjara oleh pihak berwenang ketika dia kembali dari Afghanistan pada Bulan Nopember. Banyak orang juga marah kepadanya. "Kami mengutuk Sufi Muhamad karena mengorbankan begitu banyak jiwa orang-orang yang lugu," teriak seorang penatua suku. "Karena dia, begitu banyak anak menjadi yatim dan wanita menjadi janda." 30 Lebih luas lagi,
Semangat perang yang melanda kawasan itu pada awal perang mulai pelahan lenyap bagai embun, ketika ribuan pejuang relawan asing --- banyak dari mereka warga Pakistan--- dibiarkan berhadapan dengan moncong senjata. Dalam komunitas garis depan ini, para mullah senantiasa lebih berkuasa dibanding pemerintah. Perasaan tidak puas pun berkecamuk terhadap para pemimpin agama yang memanggil begitu banyak orang muda keluar menuju medan perang menuju kematian yang pasti." 31
Secara sederhana dapat dikatakan, agaknya bukan itulah reaksi yang diharapkan dari kampanye udara Amerika di Afghanistan yang diramalkan oleh banyak analis politik justru hanya membuat masyarakat Pakistan tertawa-tawa sehingga mungkin saja menyebabkan berbagai pihak yang bersimpati kepada Islam militan justru berupaya menggulingkan pemerintah. Justru sebaliknya, demonstrasi kekuatan yang meyakinkan pimpinan AS membuat militan Islam ketakutan lalu memilih mundur dari medan perang.
Rangkaian situasi yang sama juga dapat dilihat di negara-negara berbahasa Arab. Martin Indyk, Mantan Duta Besar AS untuk Israel mencatat bahwa pada pekan pertama setelah serangan udara AS dimulai pada 7 Oktober, sembilan demonstrasi anti-Amerika terjadi. Pada pekan kedua kita menyaksikan tiga demonstrasi, pekan ketiga satu demonstrasi dan pada pekan keempat terjadi dua. "Lalu ---tidak ada lagi," urai Indyk. "Jalanan-jalanan Arab jadi sepi." 32 Semua ini jauh lebih mengagumkan mengingat konflik Arab- Israel, barangkali merupakan batu ujian paling emosional bagi kehidupan Bangsa Arab, pada waktu yang bersamaan, benar-benar memanas. Seorang wartawan yang biasa bepergian pun tiba pada kesimpulan yang sama:
Hampir dua bulan menjelang kampanye militer besar-besaran dan pertengahan bulan suci Ramadan, "jalanan" Arab atau opini publik tampaknya hendak menanggapi seruan bin Laden untuk melakukan aksi rusuh anti-Amerika dengan cara yang sama seperti reaksi terhadap seruan yang sama pada masa lalu dari militan Islam, Presiden Irak Saddam Hussein, dan pihak-pihak lainnya ---dengan mengubah saluran lalu maju dengan urusan bisnis. 33
Nyatanya, suasana hati sangat cepat berubah menuju arah sebaliknya. Di Kuwait, misalnya, yang sebelum tragedi 11 September, undang-undangnya nyaris dibuat sesuai persyaratan dan hukuman Islam, kekuatan AS yang nyata terlihat menyebabkan suasana hati masyarakat negeri itu berubah sangat cepat. "Reaksi cepat Amerika terhadap serangan teror 11 September dan suasana gembira masyarakat Afghanistan ketika menghapus batasan agama yang persis sama segera meredam antusiasme" terhadap perubahan-perubahan ini, Harian Wall Street Journal melaporkan. 34 Seorang pemimpin Partai Islam Kuwait yang militan secara terbuka mengakui adanya hubungan ini: "Orang-orang sekular, sekarang mereka menang, merasa mendapatkan kekuasaan...Kini, orang-orang sekular itu ingin menghapus semua aturan Islam yang diterapkan di Kuwait atau Arab Saudi. Bahkan ada sejumlah suara yang mau mengijinkan alkohol beredar."
Dengan cara yang sama, media Arab pun menyerang bin Laden ketika dia mulai terlihat sebagai pecundang. Ketika menggeneralisasi kecenderungan ini, Harian Washington Post menemukan bahwa "ada upaya nyata untuk mendiskreditkan bin Laden lewat istilah-istilah relijius yang mengarah kepada kecenderungan kriminal, aspirasi politis serta sikapnya yang pura-pura suci. "35 Memang, sejumlah pengamat politik bergerak jauh sampai mencurigai bahwa kehancuran yang ditimbulkan oleh bin Laden menyebabkan Islam menjadi gerombolan penjahat Israel! "Jika dunia Zionisme menghabiskan miliaran dolar untuk menodai citra Islam, maka ia tidak bisa menyelesaikan apa yang sudah dilakukan para teroris dengan aksi serta kata-kata mereka."36 Sampai sebegitu jauh, jika bin Laden gagal, maka dia kini tidak lebih baik daripada sekedar alat yang diduga konspirasi Israel.
Pola yang sama dapat ditemukan di seluruh dunia Muslim, di negera-negera seperti Indonesia, India dan Nigeria, di mana semangat September yang terlanjur menjadi gangguan segera menjadi kenangan yang tidak menyenangkan.
Keberhasilan militer Amerika begitu mendorong pihak berwenang sehingga mereka, akhirnya, mulai melakukan tindakan tegas. Sekali lagi, ini pula sangat nyata di Pakistan. "Ada pergeseran yang sangat mendalam dalam politik ekstremisme agama di Pakistan selama beberapa pekan terakhir," lapor Harian Los Angeles Time yang melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun, pemerintah negeri itu membiarkan berbagai kelompok militan Islam beroperasi nyaris benar-benar bebas, melihat ke mana angin kini berhembus, sehingga mulai "mengendalikan berbagai organisasi jihad kemudian meneliti pengaruh mereka yang luas pada sistem pendidikan, politik serta kesejahteraan sosial." Semua khatib Swat Valley, misalnya, menemukan diri mereka sendiri masuk penjara. Langkah paling penting muncul pada 12 Januari 2002, tatkala Presiden Pervez Musharraf menyerang militan Islam dalam sebuah pidatonya yang penting ketika mengatakan, ("Hari untuk membuat perhitungan sudah tiba. Apakah kita ingin Pakistan menjadi sebuah negara teokratis?") yang diungkapkan oleh seorang pengamat politik, "berpotensi, berpotensi, untuk menjadi semacam jalan pintas yang menghancurkan cara berpikir (mind-set shattering breakthrough) bagi dunia Muslim yang tidak pernah disaksikan sejak Anwar Sadat berkunjung ke Israel pada tahun 1977. Untuk membuktikan kata-katanya, maka tepat pada pekan pertama setelah pidato bersejarahnya itu, Musharraf memerintahkan pasukan pemerintah menutup ratusan kantor agama serta menahan lebih dari dua ribu orang. Kelompok-kelompok militan Islam mengungkapkan banyak sikap tidak puas mereka terhadap langkah ini tetapi nyaris tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghalanginya ("Kami tidak bisa berperang melawan negara kami sendiri. Kami hanya bisa menunggu waktu yang terbaik").38
Pola ini terulang di negara-negara lain. Penguasa Arab Saudi menasehati para pemimpin agama supaya berhati-hati dan bertanggung jawab saat menyampaikan pendapat ("pertimbangkan setiap kata sebelum mengatakannya), 39 setelah melihat bahwa Washington berarti bisnis. Pemerintah Mesir juga melakukan hal yang sama, dengan bergerak lebih agresif lagi menentang unsur-unsur militan Islam. Di Yaman, pemerintah mengambil tindakan keras tegas terhadap orang-orang Islam radikal asing yang datang ke negeri itu. Demikian juga di Cina, pemerintah melarang penjualan lencana yang memuja-muja Osama bin Laden ("Saya bin Laden. Siapakah yang harus saya takuti?") hanya setelah AS mulai memenangkan pertempuran. Ironisnya, upaya pemecahan masalah yang semakin menguat bahkan terlihat di Amerika Serikat sendiri. Setelah mengawasi Yayasan Holy Land, sebuah "yayasan amal Islam, sejak 1993, pihak berwenang federal hanya menutupnya pada Desember 2001 tatkala merasa yakin. Keyakinan itu tentu saja diperolehnya dari kampanye militernya yang berhasil.
9/11 vs. 11/9
Peristiwa yang terjadi selama masa singkat tiga bulan setelah tragedi berdarah 11 September mengirimkan pesan yang sangat kuat dan jelas seputar nasib penganut Islam militant berikut penerapan kekuasaannya.
Jika penganut Islam militan mencapai puncak prestasinya pada 11 September 2001 maka 9 Nopember menjadi hari ketika gerakan itu pelahan merosot. Tanggal pertama menandai puncak (keberhasilan) Islam militan, hari-hari sukses terbesarnya untuk mempermalukan Barat, yang menyebabkan kematian dan rasa panik. Tanggal kedua terjadi ketika Taliban kehilangan kota penting pertama mereka yang menandai titik balik yang nyata ketika Barat menemukan upaya pemulihannya berhasil dan punya kekuatan untuk menangani musuh utamanya yang baru.
Perbedaan tanda antara dua tanggal ini punya beberapa implikasi untuk memahami dunia Muslim. Pertama, opini publik dunia Muslim itu mudah berubah, sesuai perkembangan peristiwa secara emosional, semu dan mudah berubah. Kedua, seperti dituliskan oleh Harian Los Angeles Times, "dukungan luas terhadap Islam militan tidaklah sebegitu luas seperti yang pernah orang yakini ."41 Gerakannya memang keras dan hiruk pikuk, tetapi dia hanya bisa mendorong tidak lebih dari sekelompok kecil minoritas dukungan aktif dari dunia Muslim. Ketiga, bahwa Islam militan sedikitnya seperti macan kertas --- buas kejam bila tidak ditentang tetapi mudah diam jika diintimidasi. Keempat, yang disebut jalan itu berdampak kecil terhadap perkembangan. Muncul dengan banyak ribut-ribut, tetapi tanpa banyak akibatnya, tidak mampu memaksa pemerintah untuk menempuh tindakan-tindakan yang disukainya. Ia layu mati kala cita-cita favoritnya tidak berhasil baik.
Pernyataan ini tidak berniat menyangkal bahwa ada banyak rasa marah yang terus diarahkan melawan Amerika Serikat (seperti terlihat dalam pernyataan seperti, "Jihad berlanjut hingga kiamat, atau sampai Amerika kalah atau salah satunya") 42 atau bahwa di sejumlah lingkaran masyarakat, bin Laden tetap menyampaikan seruannya (seorang warga Afghanistan mengatakan: "bagi saya, dia itu dewa"). 43 Itu hanya mau mengatakan bahwa kekuatan serta upaya pemulihan yang Amerika lancarkan menyebabkan perasaan-perasaan itu sangat sulit untuk bisa berfungsi baik.
Implikasi Kebijakan AS
Selama dua dekade, sejak masa Ayatollah Khomeini mencapai puncak kekuasaan di Iran pada 1979, dengan "Matilah Amerika" sebagai slogannya --- Kedutaan Besar, pesawat, kapal laut dan barak-barak AS pun diserang dan menewaskan ratusan warga Amerika. Berbagai serangan terjadi di seluruh dunia, khususnya Timur Tengah dan Eropa juga Amerika Serikat sendiri. Menghadapi serangan yang terus menerus ini, Washington nyaris tidak menanggapinya. Kebijakan selama tahun-tahun itu justru melihat serangan sebagai tidak lebih dari serangkaian insiden kriminal yang punya ciri sendiri, bukan sebagai bagian dari serangan militer yang berkelanjutan atas negeri itu. Pendekatan itu punya beberapa konsekwensi. Itu artinya:
- Memusatkan perhatian pada penangkapan serta pengajuan ke pengadilan oang-orang tidak penting yang sebenarnya melancarkan berbagai aksi kejam, sehingga membiarkan para pemberi dana, perencana aksi, orang-orang yang mengorganisasikan dan komandan terorismenya untuk melanjutkan pekerjaan mereka tanpa terganggu, dan justru sebaliknya bersiap diri untuk melancarkan lebih banyak serangan lagi.
- Pertama-tama mengandalkan langkah-langkah defensif seperti pendeteksi logam, penjaga keamanan, bunker, penangkapan oleh polisi serta proses penuntutan dengan bahasa yang fasih---bukan pada alat-alat yang bersifat menyerang seperti tentara, pesawat tempur serta kapal-kapal laut.
- Melihat motivasi para teroris sebagai penjahat, mengabaikan ideologi kaum ekstemis yang terlibat di dalamnya.
- Mengabaikan fakta bahwa berbagai kelompok teroris ( serta negara-negara pendukung mereka) telah mendeklarasikan perang kepada Amerika Serikat (kadangkala dilakukan secara terbuka).
- Mempersyaratkan supaya Pemerintah AS sudah mempunyai tingkat bukti yang mampu menghadapi pengadilan yang adil di AS sebelum menyebarluaskan kekuatan militer, menjamin bahwa di sebagian besar kasus, bakal ada tanggapan untuk takluk terhadap pembunuhan warga Amerika.
Tatkala kaum Muslim menyaksikan Islam militan menghancurleburkan warga Amerika dan semua kepentingannya, mereka tidak bisa tidak menyimpulkan bahwa Amerika Serikat, karena semua sumberdayanya, sudah kelelahan dan tidak berdaya (soft). Tanpa menyadari hakikat dari demokrasi --- sehingga pelahan dibangkitkan tetapi keras hati ketika marah --- mereka pun terheran-heran dengan keberanian kaum Islam militan serta kemampuannya untuk membebaskan diri dari berbagai serangan itu. Titik kulminasi yang mengagumkan yang terjadi menyusul Tragedi 11 September 2001 itu, adalah tatkala Osama bin Laden beserta Pemimpin Taliban secara terbuka menyerukan tidak kurang dari "pemusnahan Amerika. 44" Pada saat itu, seruan ini tampaknya tidak berada di luar jangkauan.
Berbagai klaim ambisius ini menjelaskan tujuan serangan 11 September 2001. Walau orang tidak bisa memastikan tujuan mereka, masuk akal bahwa mereka berniat sungguh-sungguh untuk melemahkan Amerika. Mempertimbangkan kerberhasilan penganut Islam militan sebelumnya, Al-Qaeda seharusnya berpikir bahwa dia berhasil meloloskan diri dari serangan ini, sehingga ( (aksinya) tak lebih daripada sekedar kriminal biasa (usual criminal probe). Lebih lagi, setelah melihat sikap Amerika yang enggan menampung para korban serta kehancuran yang diakibatkan oleh para penganut Islam radikal berbasis Afghanistan terhadap Uni Soviet satu dekade serta satu dekade sebelumnya, Al-Qaeda mungkin berpikir bahwa serangan-serangannya menghancurkan semangat warga Amerika sehingga masyarakat jadi rusuh, bahkan barangkali memulai serangkaian peristiwa yang akhirnya menyebabkan Pemerintahan AS runtuh. Jika itu pemikiran mereka, maka mereka mungkin saja memperhitungkan polici Amerika melindungi bangunan-bangunan pemerintah, sehingga tidak melacak keberadaan para mata-mata Al-Qaeda.
Bagaimana bin Laden dan koleganya tahu bahwa tindakan mereka menyebabkan permintaan senjata semakin meningkat? Mengapa kematian 240 orang di barak-barak militer Beirut tidak diikuti pembalasan tetapi kematian tiga ribu orang di pantai timur bisa memobilisasi negeri itu sedemikian rupa, sesuatu yang tidak pernah terlihat sejak Peristiwa Pearl Harbor terjadi? Orang nyaris tidak bisa menyalahkan mereka karena tidak membayangkan pergeseran ini. Itu berkaitan dengan kekuatan misterius demokrasi dan pendapat umum, yang benar-benar mereka abaikan.
Terorisme, dengan demikian, meninggalkan domain kriminalitas lalu memasuki dunia perang, meskipun sedikit sekali mereka pahami bahwa paradigmanya sudah bergeser pada 11 September 2001. Perubahan ini berdampak banyak. Itu artinya, tidak lagi sekedar menyasar tentara darat yang benar-benar melakukan aksi kejam tetapi juga berbagai organisasi serta pemerintahan yang berdiri di belakang mereka. Artinya mengandalkan angkatan bersenjata, bukan polisi. Artinya pertahanan luar negeri dan bukan lagi ruang-ruang pengadilan Amerika. Artinya, organisasi serta pemerintah yang mendanai terorisme membayar harga, bukan sekedar tentara darat yang melaksanakannya. Artinya, menyebarluaskan harapan-harapan tinggi yang terkait dengan bukti yang tidak realistis sehingga bukti yang masuk akal justru mengarah kepada rejim atau organisasi yang merugikan bangsa Amerika, sehingga kekuatan militer AS disebarluaskan. Artinya memanfaakan kekuatan sehingga hukumannya menjadi tidak proporsional dan lebih besar dibanding serangan. Juga berarti, seperti dalam sebuah perang konvensional, militer Amerika tidak perlu tahu nama serta tindakan spesifik tentara musuh sebelum memerangi mereka. Tidak perlu lagi untuk mengetahui identitas pelaku yang tepat. Karena memang, dalam perang, ada masa-masa ketika orang lebih dulu memukul kemudian baru bertanya.
Mungkin terlihat misterius bahwa model militer tidak digunakan sebelumnya, padahal, jelas-jelas lebih tepat dibanding model kriminal. Tetapi kenyataannya, ia pun jauh lebih banyak menuntut dari masyarakat Amerika. Menuntut kesediaan untuk menghabiskan uang dan nyawa dalam kurun waktu lama. Paksaan berhasil hanya jika menunjang kebijakan, bukan untuk sekedar sebuah peristiwa sekali jadi. Melemparkan beberapa bom (seperti dilakukan terhadap rejim Libya pada tahun 1986 dan atas tempat-tempat di Afghanistan dan Sudan pada 1998) tidak berdampak terhadap suatu kebijakan penting. Menempuh jalur militer mempersyaratkan komitmen jangka panjang yang banyak menuntut dari masyarakat Amerika selama bertahun-tahun.
Polanya jelas: Sejauh masyarakat Amerika secara pasif mengalah kepada serangan kejam dan berdarah dari Islam militan, gerakan ini memperoleh dukungan dari kalangan Muslim. Tatkala masyarakat Amerika akhirnya memanggul senjata guna memeranginya, pasukan-pasukan Islam militant pun sangat banyak dan seruan-seruannya pun segera berkurang. Kemenangan medan perang, dengan kata-kata lain, bukan saja keuntungan nyata untuk melindungi Amerika Serikat, tetapi juga dampak sampingan penting yang terjadi tatkala membuka sikap anti-Amerika yang luar biasa mendidih, yang awalnya menelurkan serangan-serangan ini.
Implikasinya jelas. Tidak ada yang lebih baik dari kemenangan itu sendiri. Jika Pemerintah AS mendambakan diir untuk bisa memperlemahkan musuh strategisnya, yaitu Islam, maka ia harus menempuh dua langkah. Pertama, melanjutkan perang atas teror secara global, dengan memanfaatkan sarana-sarana yang tepat. Upaya itu bisa dimulai dengan Afghanistan berlanjut hingga di manapun penganut Islam militan memunculkan persoalan di berbagai negara mayoritas Muslim (seperti Arab Saudi), di negara-negara minoritas Muslim (seperti Filipina) bahkan di Amerika Serikat sendiri. Ketika upaya ini berhasil dijalankan, langkah kedua adalah, Washington harus mempromosikan Muslim moderat, bukan saja karena mereka merepresentasikan perubahan totalitarianism Islam militant yang bermanfaat, tetapi juga karena mereka, dan hanya mereka, yang bisa memulihkan trauma terhadap Islam kemudian mengusulkan pemikiran-pemikiran yang bakal mendorong cara seperenam manusia di dunia supaya benar-benar memodernisasi diri.
Ironisnya, ketika kalangan Muslim tidak merasakan dampak tragedi 11 September, sehebat seperti yang dialami masyarakat Barat, maka untuk jangka panjang, merekalah yang mungkin saja lebih serius terpengaruh olehnya.***
1 Martin Kramer, "Islam's Sober Millennium," 31 Desember 1999.
2 Shamim A. Siddiqi, Methodology of Dawah Ilallah in American Perspective (Brooklyn, N.Y.: The Forum for Islamic Work, 1989), hal. ix-x.
3 Imam Khomeini, Islam and Revolution trans. Hamid Algar, (Berkeley, Calif.: Mizan Press, 1981), hal. 286, 306.
4 Voice of Palestine, disiarkan pada 12 September 1997.#1e
5 Ash-Sha'b (Cairo), 22 Juli 1994. #101
6 The Sunday Independent, 26 Nopember 1989. #37
7 Dikutip dalam Steven Emerson, "The Other Fundamentalists," The New Republic, 12 Juni 1995, hal. 30.
8 Simon Reeve,The New Jackals: Ramzi Yousef, Osama bin Laden, and the Future of Terrorism (Boston: Northeastern University Press, 1999), hal. 203.
9 Quoted in Reeve, The New Jackals, hal. 213.
10 Reuters, 19 Oktober 2001.
11 Reuters, 14 Oktober 2001,
12 The Washington Post, 9 Oktober 2001.
13 Reuters, 8 Oktober 2001.
14 Time, 15 Oktober 2001.
15 The New York Times, 13 Oktober 2001.
16 Reuters, 11 Oktober 2001.
17 The New York Times, 30 September 2001
18 The Boston Globe, 10 Oktober 2001.
19 The Independent, 11 Oktober 2001.
20 The Guardian, 9 Oktober 2001.
21 The Independent, 11 Oktober 2001.
22 IRI, 11 Oktober 2001.
23 Newsweek, 14 Oktober 2001.
24 The Washington Post, 9 Oktober 2001.
25 Reuters, 17 Oktober 2001. http://straitstimes.asia1.com.sg/asia/story/0,1870,77031,00.html
26 Newsweek, 15 Oktober 2001.
27 The Washington Post, 9 Oktober 2001.
28 Associated Press, 17 Nopember 2001.
29 The New York Times, 27 Januari 2002.
30 Associated Press, 11 Desember 2001.
31 Los Angeles Times, 3, 10 Desember 2001.
32 Newhouse News Service, 16 Nopember 2001.
33 Howard Schneider, "Arab 'Street' Unmoved by News," The Washington Post, 30 Nopember 2001.
34 31 Desember 2001.
35 The Washington Post, 23 Nopember 2001.
36 Nabil Luka Bibawi in Al-Ahram, cited in The Washington Post, 23 Nopember 2001.
37 Thomas L. Friedman, "Pakistan's Constitution Avenue," The New York Times, 20 Januari 2002.
38 Reuters, 18 Januari 2002.
39 Arab News, 15 Nopember 2001.
40 Associated Press, 17 Nopember 2001, mengutip Beijing Youth Daily.
41 Los Angeles Times, 3, 10 Desember 2001.
42 The New York Times, 27 Januari 2002.
43 The Times (London),, 19 Januari 2002.
44 Associated Press, 15 Nopember 2001.
Topik Terkait: Islam, Terrorisme, Kebiajakn AS
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.