Buku diedit oleh John Eibner
Lanham, Md.: Rowman & Littlefield, 2018, hal. 13-20.
Untuk mengetahui hal-hal rinci tentang buku itu dan untuk memesanya dari penerbit, klik di sini. Untuk pemesan dari Amazon.com, klik di sini.Transkrip yang diedit dan diperbarui atas sebuah ceramah yang disampaikan kepada Christian Solidarity International (Solidaritas Kristen Internasional) di Zurich, Swiss, 7 Maret, 2012.
Kontribusi lain diberikan oleh: Taner Akçam; Cengiz Aktar; Madawi Al-Rasheed; Fabrice Balanche; Patrick Cockburn; Marius Deeb; John Eibner; Amine Gemayel; Joshua Landis; Habib Malik; Michael Nazir-Ali; Franck Salameh; Mariz Tadros; Bassam Tibi; Hannibal Travis; Bat Ye'or; William Warda dan Daniel Williams.
Untuk menonton ceramah mereka, klik di sini.
Sebuah aliran baru pemikiran berkembang dalam pemikiran kalangan Muslim Sunni: pemikiran tentang Pembersihan etnis (ethnic cleansing). Bukan genosida. Meskipun demikian, ide itu mencakup upaya untuk mengusir keluar populasi kaum bukan Sunni. Penyebarluasan ide itu berarti bahwa minoritas non-Muslim bakal mengalami masa depan suram di berbagai negara mayoritas Muslim. Beberapa kalangan mungkin saja tidak punya masa depan sama sekali di sana.
Untuk tujuan itu, saya hendak melacak asal usul pembersihan etnis di Timur Tengah, memperhatikan berbagai dampaknya yang khusus terhadap umat Kristen kemudian mempertimbangkan responsnya terhadap persoalan ini.
Untuk memulai pembahasan ini, mari kita tinjau kedudukan kaum non-Muslim di negara-negara mayoritas Muslim sebelum tahun 1800.
Muslim melihat kaum non-Muslim dalam dua kategori: kaum monoteis yang diakui oleh Islam sebagai memeluk agama yang sah (ini sebagian besar kaum Yahudi dan Kristen) sementara kaum politeis (khususnya umat Hindu) tidak mendapatkan pengakuan itu. Kategori sebelumnya, yang menjadi topik bahasan kita di sini, dikenal sebagai kaum Ahlul Kitab.
Kaum Muslim relatif toleran terhadap kaum Ahlul Kitab, tetapi hanya jika mereka bersedia menjadi dzimmi (orang-orang yang terlindungi), yang mengakui kekuasaan kaum Muslim dan superioritas Islam. Dengan kata lain, jika mereka menerima status yang lebih renah. Mereka dengan demikian harus membayar pajak khusus (namanya jizya), tidak boleh bekerja dalam dunia militer atau polisi atau lebih umum lagi memperlihatkan otoritasnya atas kaum Muslim.
Undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kemewahan, kenyamanan serta kenikmatan (Sumptuary Laws) juga banyak.: seperti misalnya warga Kristen atau Yahudi harus berjalan atau bepergian dengan menunggang keledai, bukan kuda dan harus mengalah kepada seorang Muslim di jalan. (Tentu saja, praktek nyatanya berbeda dari satu negara ke negara lainnya dan dari era ke era lainnya.)
Tempat yang diakui diberikan kepada kaum minoritas agama menyebabkan negara-negara yang diperintahi Muslim jauh berbeda dari Kekaisaran Kristen pra-moderen. Umat Kristen di bawah kekuasaan Muslim menikmati kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan umat Muslim di bawah kekuasaan Kristen. Pada tahun 1200 atau sekian, orang lebih suka menjadi umat Kristen yang berdiam di Spanyol yang Muslim dibandingkan menjadi Muslim yang berdiam di Spanyol Kristen. Demikian yang terjadi pada masyarakat Yahudi. Mark R. Cohen mengamati bahwa "kaum Yahudi Islam, khususnya selama abad-abad pembentukan dan klasik (hingga abad ketiga belas) tidak terlalu banyak mengalami penganiayaan dibandingkan yang dialami kaum Yahudi yang berdiam di bawah kekuasaan Kekaisaran Kristen."
Tetapi kita tidak boleh meromantisasi status dzimmi. Ya, ia memang menawarkan adanya satu derajat toleransi dan kesempatan hidup bersama yang penuh semangat saling menghormati --- tetapi kisah ini dibangun berdasarkan asumsi superioritas Muslim dan sebaliknya inferioritas non-Muslim. Ia juga disalahgunakan oleh kaum Muslim. Karena bagaimanapun, tidak ada warga negara modern yang bakal menerima hal-hal yang membuat mereka tidak mampu (disabilities) yang menyertai hidup mereka sebagai dzimmi.
Memang status dzimmi runtuh dan hancur pada masa modern. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa status itu sudah hilang setelah tahun 1800, ketika kekuasaan Eropa (Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, Italia, Rusia dan lain-lainnya) menekan nyaris seluruh dunia Muslim. Bahkan termasuk beberapa negara seperti Yaman, Arab, Turki, Iran --- yang mampu melepaskan diri dari kekuasaan Eropa secara langsung pun merasakan dominasi Eropa.
Para imperialis Kristen membuang status dzimmi yang menekan di atas kepala mereka dan lebih menyukai kaum Kristen serta Yahudi, yang sama-sama memperlihatkan diri lebih bersedia untuk menerima para penguasa baru, mempelajari bahasa dan ketrampilan mereka serta bekerja bagi mereka dan berperan sebagai perantara bagi populasi mayoritas Muslim. Wajarlah, populasi mayoritas Muslim marah terhadap status umat Kristen dan Yahudi yang semakin meningkat ini.
Tatkala kekuasaan Eropa. tidak terelakan lagi berakhir, kaum Muslim ketika kembali berkuasa lagi-lagi menempatkan kaum minoritas di tempat mereka--- dan celakanya, karena status dzimmi sudah dibuang sebelumnya dan tidak bakal dihidupkan kembali. Karena tidak yakin pada diri sendiri, para penguasa baru itu umumnya menatap marah kepada para Ahlul Kitab, marah karena mereka diminta melayani kaum imperialis dan mencurigai hubungan mereka yang abadi dengan Eropa (dan dalam kasus Bangsa Yahudi, ini kasus baru bagi Bangsa Israel).
Orang bisa saja mengatakan bahwa status kelas dua dzimmi kini justru menjadi status ketiga atau keempat pasca-status dzimmi dijalankan. Kekaisaran Ottoman yang pecah belah menyaksikan penyiksaan atas umat Kristen dan Yahudi yang semakin banyak dibanding sebelumnya, yang berawal dengan penyiksaan atas warga Armenia di Turki pada era 1910-an lalu memuncak dengan trauma kalangan Kristen baru-baru ini di Irak dan Suriah.
Sebelum melanjutkannya dengan pembahasan seputar pengalaman umat Kristen, ada beberapa patah kata tambahan seputar Kaum Yahudi. Komunitas-komunitas Yahudi kuno lenyap menyusul runtuhnya status dzimmi dan terbentuknya Israel pada tahun 1948. Kaum Yahudi pun dilepaskan dari kamp-kamp tahanan atau secara khusus didorong keluar dalam kurun waktu 20 tahun setelah Perang Dunia II. Komunitas kecil Yahudi yang bersemangat di Aljazair barangkali memberikan ilustrasi paling dramatis seputar perubahan pasca-penjajahan. Kaum Yahudi begitu terkait dengan kekuasaan Prancis sehingga seluruh komunitasnya pun meninggalkan negeri itu bersamaan dengan kepergian para pengugasa Prancis, Juli 1962. [i] Pada tahun 1945, populasi Yahudi di berbagai negara mayoritas Muslim berjumlah sekitar satu juta jiwa. Sekarang, jumlah mereka berkisar antara 30.000 dan 40.000, nyaris mereka semua hidup di Iran, Turki dan Maroko. Tidak lebih dari segelintir orang Yahudi hidup di tempat lain: mungkin ada 60 orang Yahudi di Mesir, 9 di Irak dan bahkan jauh lebih sedikit lagi di Afghanistan. Komunitas orang Yahudi tua yang nyaris lenyap itu tidak lama lagi bertahan dalam kurun beberapa tahun.
Adaungkapan berbunyi, "Pertama-tama, bangsa yang merayakan Hari Sabath, kemudian orang-orang yang merayakan Hari Minggu" (First the Saturday people, then the Sunday people). Dan kini giliran umat Kristen. Umat Kristen kini memberikan ikhtisar tentang eksodus atau keluarnya Bangsa Yahudi. Mulai tahun 1500 hingga 1900, umat Kristen membentuk 15 persen populasi Timur Tengah yang tetap, menurut David B. Barrett dan Todd M. Johnson. Pada tahun 1910, jumlah itu merosot menjadi 13,6 persen menurut Todd M. Johnson and Gina A. Zurlo; Dan pada tahun 2010, umat Kristen berkurang menjadi kurang dari 4,2 persen atau kurang dari sepertiga dari banyaknya pada abad sebelumnya. Kecenderungan merosot ini, tentu saja, dengan sangat menyakitkan bakal berlanjut.
Wartawan Lee Smith menuliskan gejala ini sebagai berikut; "Tidak pernah mudah menjadi umat Kristen di Timur Tengah. Gelombang kerusuhan yang melanda kawasan itu selama tahun-tahun terakhir membuat situasi minoritas Kristen kawasan itu nyaris tidak tertahankan."[ii] Contoh-contohnya pun mengkhawatirkan dan dalam banyak cara, tidak pernah terjadi dalam sejarah panjang relasi Muslim–Kristen. Berikut ini beberapa kasusnya (dengan ucapan terimakasih kepada Raymond Ibrahim):
- Di Nigeria, kelompok Islam radikal Boko Haram pada tahun 2011 membunuh sedikitnya 510 orang, terutama umat Kristen, serta membakar tuntas serta menghancurkan lebih dari 350 gereja di sepuluh negara (bagian) di utara negeri itu.
- Di Uganda pada Hari Raya Natal 2011, umat Muslim melempatkan air keras kepada seorang pemimpin gereja, lalu membiarkan dia begitu saja menderita luka-luka bakar yang parah mengerikan.
- Di Iran, sebuah gereja yang tengah merayakan Natal dirazia oleh pihak keamanan dan semua yang datang ke gereja, termasuk anak-anak Sekolah Minggu, ditangkap dan diinterogasi.
- Di Tajikistan, seorang laki-laki muda berpakaian ala Pastor Frost (yaitu Santa Claus), tewas tertikam ketika tengah mengunjungi sanak keluarganya sambil membawa hadiah.
- Di Malaysia, pastor paroki dan pemimpin kaum muda harus mendapat ijin untuk ngamen khas Natal (caroling permits). Ijin itu mempersyaratkan mereka menyerahkan nama lengkap serta nomor identitas kepada sektor kepolisian setempat.
- Di Indonesia, "para brandalan" memenggal patung Santa Perawan Maria.
Pesannya jelas: "Umat Kristen tidak disambut baik. Pergilah."
Umat Kristen pun menanggapinya dengan segera meninggalkan Timur Tengah, sampai pada titik bahwa agama itu sekarat di tempat kelahirannya sendiri. Di Turki, populasi Kristen berjumlah 2 juta pada 1920, tetapi kini jumlahnya hanya beberapa ribu. Di Irak, kelompok Solidaritas Kristen Internasional (CSI) pada 2007 menemukan bahwa nyaris separuh dari kasarnya satu juta umat Kristen yang berdiam di sana, meninggalkan negeri itu pada 2013. Dewan Pemulihan Kristen Irak (Iraqi Christian Relief Council) pun meratap, "Kami berada di ambang kepunahan." [iii] . Di Suriah, umat Kristen menghadirkan sekitar sepertiga populasi negeri itu pada awal abad silam, kini mereka terhitung kurang dari 10 persen. Di Libanon, jumlahnya merosot dari sekitar 55 persen 70 tahun silam hingga di bawah 30 persen sekarang ini. Umat Koptik pun meninggalkan negeri mereka, padahal tidak pernah melakukannya sebelumnya dalam sejarah panjang mereka.
Di Tanah Suci, umat Kristen membentuk lebih dari 10 persen populasi pada masa kekuasaan Kekaisaran Ottoman; angka itu kini merosot menjadi sekitar 2 persen. Betlehem dan Nazareth, kota-kota yang paling bisa diidentifikasi sebagai kota Kristen, menikmati status mayoritas Kristen nyaris selama dua ribu tahun, tetapi kini tidak lagi: mereka (baca dua kota itu) mayoritas kota-kota Muslim. Di Yerusalem, umat Kristen jauh lebih banyak dari umat Muslim pada tahun 1922. Sekarang, populasi umat Kristen Yerusalem hanya 2 persen. Terlepas dari emigrasi ini, Khaled Abu Toameh, seorang wartawan Palestina Muslim mencatat bahwa "Israel tetap satu-satunya tempat di Timur Tengah tempat umat Kristen Arab merasa terlindungi dan aman."[iv]
Harian Wall Street Journal melaporkan bahwa sekarang ini, "semakin banyak umat Kristen Arab berdiam di luar Timur Tengah dibandingkan di kawasan tersebut. Sekitar 20 juta orang menetap di luar negeri, bandingkan dengan 15 juta umat Kristen Arab yang masih bertahan hidup di Timur Tengah, menurut sebuah laporan tahun silam oleh tiga lembaga amal Kristen dan University of East London." Mengutip Samuel Tadros dari lembaga kajian Hudson Institute, terlihat bahwa jumlah Gereja Koptik di Amerika tengah melonjak dari dua buah pada 1971 menjadi 252 gereja pada 2017.
Umat Kristen Timur berhadapan dengan krisis dalam banyak cara. Akan saya bahas tiga krisis.
Gereja Katolik Melkit (yang berdiam pertama-tama di Libanon dan Suriah) telah berupaya menghindari masalah dengan memberi tahu kaum Muslim apa persisnya apa yang ingin mereka dengarkan. Patriark Gregory III Laham dari Antiokhia, membuat pengumuman yang tidak mudah dilupakan pada 2005:
Kami adalah Gereja Islam...Islam menjadi lingkungan pergaulan kami, konteks tempat kami berdiam dan yang bersamanya kami bergaul secara historis...Kami memahami Islam dari dalam. Mendengar satu ayat Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang asing bagi saya. Itu ungkapan peradaban tempat saya menjadi anggotanya. [v]
Gregory menyalahkan ideologi Islam radikal sepenuhnya pada Barat. "Fundamentalisme adalah penyakit yang berupaya melepaskan diri yang bisa berakar karena ada yang hampa pada modernisasi Barat." [vi] Dalam semangat yang sama, Gregory pada 2010 menyalahkan Israel karena ada serangan yang dilancarkan oleh para pejihad terhadap umat Kristen ritus Timur;:
kekerasan tidak ada hubungannya dengan Islam...Ia sebetulnya adalah sebuah konspirasi yang direncanakan oleh Zionisme dan sejumlah kaum Kristen berorientasi Zionis yang bermaksud merusak sekaligus memberikan citra buruk pada Islam...Ia juga sebuah konspirasi melawan Bangsa Arab...untuk menolak hak-hak mereka khususnya hak-hak warga Palestina. [vii]
Pada tahun 2011 ditambahkannya lagi bahwa konflik Palestina-Israel menjadi "satu-satunya" alasan migrasi umat Kristen ritus Timur dari Timur Tengah dan ini menyebabkan mereka tengah menghadapi "kepunahan demografis." [viii]
Pendekatan Gregory sama dengan (mengatakan): kaum Muslim, tolong, jangan sakiti kami. Kami akan katakan apapun yang kalian inginkan. Identitas tidak kami punyai. Kami ini, nyatanya, semacam umat Muslim. Ini permohonan dzimmi yang sebenarnya pada masa pasca-dzimmi.
Gereja Katolik Maronit secara historis memperlihatkan situasi kontras paling dramatis seputar upaya untuk mencemarkan citra diri. Karena alasan teologis (Gereja Katolik) dan alasan geografis (kawasan bergunung-gunung), mereka pun merepresentasikan sikap paling asertif dan menjadi komunitas Kristen yang paling bebas di Timur Tengah. Dengan senjata dan sikap mereka otonom, mereka menjaga jarak terhadap para tuan besar Muslim mereka.
Pada tahun 1926, mereka secara khusus membujuk Prancis supaya membangun sebuah negara, dalam hal ini Libanon, bagi mereka. Tetapi mereka rakus: bukannya menerima "Petit Liban", di mana mereka terdiri lebih dari 80 persen populasi, mereka malah menuntut dan memenangkan "Grand Liban" di mana mereka membentuk lebih dari 40 persen populasi. Lima tahun kemudian, pada tahun 1976, umat Maronit pun membayar harganya karena kekuasaannya yang kelewatan tatkala kaum Muslim melancarkan 15 tahun perang saudara yang menghancurkan kekuatan mereka.
Kaum Maronit menanggapi perang saudara itu dengan bergantung satu sama lain. Ketika beberapa orang dari kalangan mereka tetap menolak, faksinya yang paling penting justru sudah berhubungan akrab dengan kaum Melkit. Mantan Jenderal Michel Aoun pada tahun 1991 menentang Suriah pada tahun 1991. Kini, dia menjilat kepada Faksi Hizbulah dan melayani para pejihad. Karena itu, Lee Smith sekali lagi menulis:
Kaum Maronit senantiasa membuat diri mereka berbeda sebagai sekte agama mandiri yang paling keras kepala di kawasan tersebut. Tetapi rasa takut, rasa tidak puas serta kalkukasi politik jarak pendek membuat hari ini mereka berjuang untuk mencari perlindungan dan patronase dari unsur-unsur yang paling berbahaya sekaligus memburuk seperti: Suriah, Iran dan Hizbullah. .[ix]
Ringkasnya, kaum Maronit bergerak dari menjadi umat Kristen yang bebas merdeka menjadi para dzimmi untuk beberapa aspek kehidupan (partial dhimmis).
Semenjak Islam menaklukan Mesir nyaris empat belas abad silam, Gereja Koptik Mesir berjuang mengambil langkah yang nyaris bertentangan dengan langkah Gereja Maronit. Geografi mereka (flat), sejarah (pemerintah pusat yang kuat), dan masyarakat (pergaulan dengan kalangan Muslim) semuanya tidak mendukung kekuasaan yang independen, sehingga memaksa umat Koptik untuk menundukan kepala mereka. Dengan menerima status dzimmi, Gereja Koptik bisa bertahan dan menghadapi Islamisasi jauh lebih berhasil dibandingkan dengan umat Kristen Timur Tengah lainnya, sebagaimana terbukti dari jumlah mereka yang relative besar.
Masa penjajahan memberikan peran yang lebih besar kepada mereka dan mereka pun siap menjalankan sebagaimana disimbolkan oleh kakek dari mantan Sekretaris Jenderal PBB, Boutros-Boutros Ghali yang pmenjadi Perdana Menteri Mesir pada tahun 1908-1910. Selingan kekuasan itu berguncang mencapai akhir seiring dengan perginya Inggris pada era 1950-an.
Berawal sekitar tahun 1980, dua perkembangan parallel terjadi. Pada satu pihak kaum Islam radikal secara sistematis menyasar umat Koptik, terlibat dalam berbagai bentuk paksaan dan kekerasan melawan mereka, dengan dukungan Pemerintah Mesir, yang umumnya menempatkan prioritas yang lebih tinggi untuk menjaga hubungan yang baik dengan kaum Islam radikal dibandingkan dengan melindungi kaum minoritas Kristennya. Umat Kristen menjadi bola politik. Sebagai contoh, Husni Mubarak memainkan permainan ganda, dengan berpura-pura menjadi pelindung umat Gereja Koptik ketika dia sama sekali tidak melakukannya.
Pada pihak lain, setelah berabad-abad nyaris diam, umat Koptik pun menemukan suara kolektif mereka. Mereka lalu mengorganisasikan diri supaya bisa membela diri, menjadi vokal seputar penderitaan mereka dan memimpin protes ketika Presiden Mesir yang terhormat mengunjungi Washington. Terlepas dari tradisi sikap pasifnya yang sangat panjang, umat Koptik pun menjadi (seolah-olah) umat Gereja Maronit baru.
Meski demikian, perbedaan metode mengatasi masalah ---dengan benar-benar menjadi dzimmi (super-dhimmi), dengan menjadi dzimmi yang asertif --- masa depan umat Kristen di Timur Tengah umumnya terlihat suram. Tempat dzimmi yang mereka terima membuka jalan menuju perbaikan hidup yang singkat cepat kemudian disusul dengan mentalitas yang mau melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Orang mendengar banyak sekali soal rasa benci dan takut terhadap Islam, dan kini disebut "Islamofobia". Tetapi Ayaan Hirsi Ali, mantan Muslim dan mantan anggota Parlemen Belanda, menemukan persoalan yang sebenarnya itu sesuatu yang sangat berbeda: Adanya Kristofobia (ketakutan terhadap umat Kristen).
Penilaian yang adil terhadap berbagai peristiwa dan kecenderungan akhir-akhir ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa skala dan parahnya Islamofobia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Kristofobia yang berdarah-darah akhir-akhir yang bergerak di segala penjuru negara mayoritas Muslim, dari satu ujung globe menuju ujung lainnya. Konspirasi sikap diam yang melingkupi ungkapan sikap yang tidak toleran dalam beragama yang kejam harus dihentikan. Tidak kurang dari nasib umat Kristen --- dan akhirnya semua minoritas agama [di antara kalangan Muslim] ---dipertaruhkan.[x]
Bersama-sama, pembersihan etnis terhadap warga Yahudi dan Kristen menandai berakhirnya sebuah era. Serbaragam kehidupan Timur yang menarik direduksi menjadi motono dari sebuah agama dan segelintir minoritas yang terkepung. Seluruh kawasan ini, bukan sekedar kaum minoritas, dimiskinkan oleh kecenderungan ini.
Apakah yang bisa masyarakat Barat lakukan seputar persoalan ini--- khususnya Solidritas Kristen Internasional (Christian Solidarity International)?
Hanya dua pilihan yang ada: melindungi kaum non-Muslim ---umat Kristen dan lain-lainnya supaya bisa terus hidup di negara-negara mayoritas Muslim atau untuk membantu mereka meninggalkan negara-negara itu, meninggalkan kampung halangan mereka yang bersejarah.
Pilihan pertama jelas-jelas lebih disukai. Umat Kristen punya yang tidak dicabut untuk tetap bertahan. Tetapi bagaimanakah masyarakat Barat membantu mereka mencapai ini? Ini mempersyaratkan adanya aksi dari kehendak pada pihak mereka dan kesediaan pada pihak kaum Muslim untuk berubah. Tetapi tidak satu pun dari pendekatan ini terlihat sebagai prospek yang realistis. Khususnya ketika hak asasi pihak lain dipertaruhkan, pemerintahan demokratis sendiri tidak bisa sekedar membuat keputusan. Mereka butuh dukungan masyarakat umum. Sekarang ini, masyarakat Barat terlihat tidak bersedia untuk mengambil langkah-langkah yang dipersyaratkan --- seperti melakukan tekanan ekonomi dan militer --- guna menjamin kelangsungan umat Kristen di Timur Tengah tetap terjaga.
Apakah alternatifnya yang kurang menarik? Membantu umat Kristen untuk meninggalkan negara mereka lalu membuka pintu supaya mereka masuk. Imigrasi adalah pengalaman yan sangat menyakitkan dan negara-negara demokratis bakal kesulitan untuk merumuskan kebijakan untuk memberikan prioritas kepada penganut agama-agama tertentu. Meskipun ada alternatif ini dan lainnya, migrasi adalah pilihan nyata dan itulah kebijakan yang setiap hari ditangani.
Dan demikianlah, umat Kristen Timur Tengah, secara tragis, tengah menghilang di depan mata kita, dari rumah purbakala mereka.
Karya-karya ilmiah yang dikutip
Ali, Ayaan Hirsi. "The Global War on Christians in the Muslim World." Newsweek. 6 Februari 2012. http://europe.newsweek.com/ayaan-hirsi-alithe-global-war-christians-muslim-world-65817?rm=eu.
Berger, Judson. "Mob Attacks on Iraqi Christian Businesses Raise Security Concerns." Fox News. 9 Desember 2011. http://www.foxnews.com/politics/2011/12/09/mob-attacks-on-christian-businesses-raise-security-concerns-as-iraq-enters-new.html.
Cohen, Mark. Under Crescent and Cross – The Jews of the Middle Ages (Princeton: Princeton University Press, 1994).
Fowler, Jack. "Melkite Patriarch Absolves Islam, Blames 'Zionist Conspiracy.'" National Review. 13 Desember 2010. http://www.nationalreview.com/corner/255224/melkite-patriarch-absolves-islam-blames-zionist-conspiracy-jack-fowler.
The Free Library. "Catholic patriarch warns Christians face 'extinction.'" The Free Library. Tanpa tanggal. https://www.thefreelibrary.com/Catholic+patriarch+warns+Christians+face+%27extinction%27.-a0250613492.
Toameh, Khaled Abu. "Arab Spring Sending Shudders Through Christians in the Middle East" Gatestone Institute. 20 Desember 2011. https://www.gatestoneinstitute.org/2685/arab-spring-christians.
Valente, Gianni. "We are the Church of Islam. Interview with the patriarch of Antioch Grégoire III Laham." Sinode Para Uskup no. 10 (2005), http://www.30giorni.it/articoli_id_9596_l3.htm.
[i] Lloyd C. Briggs dan Norina Lami Guède, No More For Ever: A Saharan Jewish Town, (Cambridge, Mass: Papers of the Peabody Museum of Archaeology and Ethnology, 1964).
[ii] Lee Smith, "Agents of Influence," Tablet, 4 Januari 2012, http://www.tabletmag.com/ jewish-news-and-politics/87240/minority-interest (diakses 17 Februari 2017).
[iii] Dikutip mengikuti Judson Berger, "Mob Attacks on Iraqi Christian Businesses Raise Security Concerns," Fox News, 9 Desember 2011, http://www.foxnews.com/politics/2011/12/09/mob-attacks-on-christian-businesses-raise-security-concerns-as-iraq-enters-new.html (diakses 17 Februari 2017).
[iv] Lihat Khaled Abu Toameh, "Arab Spring Sending Shudders Through Christians in the Middle East," Gatestone Institute, 20 Desember 2011, https://www.gatestoneinstitute.org/2685/arab-spring-christians (diakses 17 Februari 2017).
[v] Dikutip mengikuti Gianni Valente, "We are the Church of Islam. Wawancara dengan Patriarkh Antiokia, Grégoire III Laham," Sinode Para Uskup no. 10 (2005), http://www.30giorni.it/articoli_id_9596_l3.htm (diakses 17 Februari 2017).
[vi] Ibid.
[vii] Dikutip mengikuti Jack Fowler, "Melkite Patriarch Absolves Islam, Blames 'Zionist Conspiracy,'" National Review, 13 Desember 2010, http://www.nationalreview.com/ corner/255224/melkite-patriarch-absolves-islam-blames-zionist-conspiracy-jack-fowler (diakses 17 Februari 2017).
[viii] Dikutip mengikuti The Free Library, "Catholic patriarch warns Christians face 'extinction,'" The Free Library, tanpa tanggal, https://www.thefreelibrary.com/Catholic+patriarch+warns+Christians+ face+%27extinction%27.-a0250613492 (diakses 17 Februari 2017).
[ix] Lee Smith, "Agents of Influence," Tablet, 4 Januari 2012, http://www.tabletmag.com/ jewish-news-and-politics/87240/minority-interest (diakses 17 Februari 2017).