Daniel Pipes turut mengambil bagian dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan 11 Januari lalu seputar konflik Palestina-Israel di Heritage Foundation (Yayasan Heritage) di Washington, DC. Dia tampil bersama anggota DPR Ron DeSantis, mantan Wakil Penasehat Keamanan Nasional Elliot Abrams serta anggota Peneliti Senior Heritage Foundation James Philips.
Pengantar untuk Daniel Pipes dimulai pada menit ke 52:27 dari video seluruh acara tersebut.
Transkrip berikut ini sudah sedikit diedit.
Menanggapi pertanyaan di atas, jawaban saya adalah ya. Tetapi untuk mencapainya, saya mengusulkan suatu pendekatan yang benar-benar berbeda dari pendekatan yang akhir-akhir ini dijalankan.
Pendekatan sekarang seputar "proses perdamaian" yang berasal dari 30 tahun silam, tidak berjalan baik. Pendekatan itu memang bisa diperbaiki, dan ini yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintahan Trump, tetapi akhirnya gagal total karena tergantung pada kesediaan Palestina untuk menerima Israel, yang belum juga terjadi, dan yang tidak akan terjadi.
Itulah persoalan yang perlu dibereskan, sebuah problem yang tidak bisa diselesaikan dengan diplomasi. Perlu dibereskan dengan cara yang sangat berbeda.
Saya ingin mengambil satu langkah menuju sejarah, menuju masa lampau sebelum mengusulkan pendekatan baru. Coba pertimbangkan dua perangkat dari tiga tanggal berikut ini. Tiga tanggal pertama adalah, 1865, 1945 dan 1975 --- yaitu berakhirnya Perang Saudara (AS), Perang Dunia II dan Perang Vietnam. Semuanya itu menghentikan perang secara meyakinkan. Menghentikan perang. Tidak ada lagi perang yang mengikutinya. Masyakarat Selatan (baca: Amerika Selatan, sebelum AS menjadi negara federasi, pen.) tidak bangkit lagi. Bangsa Jerman tidak berjuang untuk menaklukan Eropa lagi. Dan bangsa Amerika tidak kembali lagi ke Vietnam.
Kemudian, tiga tanggal lainnya: 1918, 1953 dan 1967 --- yaitu berakhirnya Perang Dunia I, Perang Korea serta Perang Enam Hari. Semuanya meyakinkan---Jerman memang pernah mencoba untuk berperang lagi. Kapan pun, Perang Korea bisa kembali mulai. Rasa permusuhan memang kembali pecah antara Bangsa Arab dan Israel.
Perbedaan antara dua perangkat tanggal itu terletak dalam kesadaran pihakyang kalah sebagai orang yang kalah. Dalam tiga tanggal sebelumnya, kesadaran terhadap kekalahan itu ada; yang belakangan, tidak. Kekalahan dalam sebuah perang bukanlah puncak untuk merasa dikalahkan. Kalah berarti pecundang melepaskan tujuan-tujuan perang yang dilancarkannya. Itulah apa yang kita Bangsa Amerika alami pada tahun 1975. Menang berarti menetapkan keinginan seseorang atas musuh. Musuh menyerah, pemenang bertahan.
Dengan menerapkan analisis ini pada konflik Palestina-Israel, orang pun temukan bahwa selama 45 tahun, mulai 1948 hingga 1993, Bangsa Israel memperjuangkan kemenangan. Setelah itu, berarti sejak Perjanjian Oslo (Oslo Accords) ditandatangani, mereka tidak lagi memperjuangkannya. Israel telah mengusahakan adanya pendekatan-pendekatan lain --- menenangkan hati pihak Palestina (appeasement), menarik diri secara sepihak, mencari waktu untuk menangani berbagai konflik skala kecil --- tetapi tidak berjuang untuk mendapatkan kemenangan.
Proses perdamaian mendominasi tahun-tahun ini, dengan memberikan tekanan pada diplomasi, dengan pengandaian bahwa apa yang Pemimpin PLO Yaser Arafat katakan di halaman Gedung Putih pada September 1993 lalu itu valid --- bahwa Palestina kini menerima Israel, bahwa perang usai. Tetapi kala itu perang tida selesai, dan tidak selesai sekarang. Ia berlanjut. Jadi, yang diperlukan adalah suatu pendekatan baru yang menghadapi problem penolakan Palestina yang tidak berkurang.
Penolakan Palestina sudah berlangsung selama satu abad. Itu berarti mengatakan tidak ada Zionisme kepada warga Yahudi, kepada Israel: tidak ada kontak politik, tidak ada relasi ekonomi, tidak ada hubungan pribadi. Penolakan (rejectionism), pastinya sudah hancur lebur. Ia sudah tidak lagi sama murninya seperti seabad silam, tetapi tetap sebagai kekuatan yang sangat kuat yang menjadi inti masalah itu sendiri. Jadi ia harus dihadapi.
Dan seperti sesama panelis saya Elliot Abrams perlihatkan, ada delusi, khayalan yang berkembang di antara warga Palestina---akibat kepemimpinan yang buruk, dukungan internasional, doktrin Islam, mentalitas dinas keamanan Israel---bahwa mereka bisa kalahkan Israel, bahwa mereka bisa menyebabkan Negara Yahudi Israel lenyap. Khayalan itu perlu dihancurkan.
Itulah apa yang Pemerintah AS, sebagai suatu kekuatan adidaya perlu tangani. Saya sarankan ia harus menggunakan kebijakan yang mendorong Israel supaya menang. Supaya menang seperti pada tahun 1865 – 1945 – 1975 sehingga bisa mengakhiri konlik dengan membuat warga Palestina paham bahwa harapan sudah tidak ada lagi dan mereka kalah. Ketika benar-benar bingung, mereka bisa menuliskan surat yang keras pedas kepada editor media. Cukup dengan resolusi PBB melawan Israel; cukup dengan membangun militer; cukup dengan aksi Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) di berbagai kampus. Cukup. Selesai. Sudah selesai.
Saya berharap bahwa beberapa presiden Amerika --- presiden ini atau yang akan datang --- tidak akan katakan kepada stafnya ---"Kau tahu, diplomasi tidak jalan. Kami sudah masuk di sama selama beberapa decade, namun tidak bakal bergerak ke mana-mana. Ada alternative?" Dan ya, bakal ada alternative lain, apa yang kami sebutkan Kemenangan Israel, Israel Victory.
Seperti sudah anda dengar dalam biografi wakil rakyat (Rep.) Ron DeSantis, dia adalah sesama ketua dari Kaukus Kemenangan Kongres Israel yang kini punya 32 anggota. Ada 26 anggota Kaukus Kemenangan Knesset (Parlemen) Israel. Kami baru memulai upaya ini setahun silam atas bantuan Gregg Roman, Direktur Middle East Forum (Forum Timur Tengah); EJ Kimball yang mengetuai upaya Kemenangan Israel kita di Washington; dan Ashley Perry, yang mengetuainya di Yerusalem. Tengah kami bangun suatu basis politis sekaligus intelektual, yang belakangan dengan memberikan berbagai ceramah seperti ceramah ini, memimpin berbagai studi, membangun pemikiran ini sebagai alternatif terhadap paradigma yang ada.
Ijinkan saya tekankan bahwa ini sebuah pendekatan bukan sebuah kebijakan. Tidak kami katakan ada dua negara atau bukan. Poinnya adalah, Israel perlu meyakinkan Palestina bahwa sudah selesai. Konflik sudah terselesaikan dengan fakta obyektif bahwa Israel adalah sebuah negara yang bertumbuh subur dan kuat sementara Palestina mempunyai pemerintahan yang opresif dan tidak berfungsi dengan baik.
Itu upaya jangka panjang. Tujuannya bukanlah untuk mengubah kebijakan dalam kurun waktu dua bulan mendatan. Tetapi, ia, seiring dengan jalannya waktu untuk menempatkan sesuatu di atas meja yang sesuai dengan pola sejarah. Anda tidak bisa mengakhiri perang melalui negosiasi. Pikirkan tentang Vietnam: negara itu tidak berakhir melalaui diplomasi tetapi oleh angkatan bersenjata Vietnam Utara masuk dan mengambil alih negeri itu. Perang berakhir ketika satu pihak menyerah kalah.
Kita punya hubungan yang dekat dengan Israel. Seperti wakil rakyat De Santis katakana tadi, kita punya minat dan dasar moral dengan negeri itu. Karena itu, kita membantunya untuk menang.
Ironisnya, ketika Palestina menyerah, mereka bisa terus membangun sesuatu yang bagus. Ketika mereka membuang jauh-jauh tujuan busuk dan provokatif mereka untuk menghapuskan Negara Yahudi, mereka bisa membangun negara, ekonomi, masyarakat dan budaya mereka sendiri. Untuk jangka panjang, Palestina akan mendapatkan lebih banyak daripada yang diperoleh Israel. Ya, warga Israel tidak bakal dibunuh lagi dalam perjalanan menuju restoran Pizza, tidak bakal menghadapi berondongan rasa permusuhan di PBB dan tempat-tempat lainnya. Tetapi warga Israel sudah punya kehidupan yang baik. Palestina belum. Mereka hidup di bawah penindasan, kemunduran. Mereka hanya akan mampu membangun bila mereka bersedia melupakan sikap untuk menolak (rejectionism) dan bergerak maju menuju sesuatu yang konstruktif.
Jadi, saya berharap kalian sudi bergabung bersama kami di Middle East Forum (Forum Timur Tengah) supaya bisa menganjurkan pendekatan ini dengan anggota Kongres kalian, secara inteletual dan dengan cara lain. Cara ini menawarkan paradigma baru yang mendorong kita keluar dari lumpur "pemprosesan" yang tidak bisa bergerak ke mana-mana dan nyatanya, kontraproduktif. Relasi Palestina – Israel itu lebih memburuk sekarang ini dibandingkan dengan 25 tahun silam ketika Kesepakatan Oslo ditandatangani. Jadi, kita perlukan pemikiran baru. Saya tawarkan hal ini kepada anda sebagai pemikiran baru, sebagai suatu cara untuk "urusan terakhir" supaya bisa tercapai.