Berikut ini transkrip ceramah yang disampaikan di David Horowitz Freedom Center, 19 Nopember 2017 lalu yang agak diedit.
Daniel Pipes: Saya ingin memulai presentasi ini dengan menceritakan kembali kisah Letnan Hiroo Onoda dari Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang. Letnan Onoda yakin untuk menyerahkan diri pada tahun 1974. Meskipun demikian, selama 29 tahun dia berdiam di sebuah pulau di Filipina dan serius terlibat dalam perang. Di sana, dia membunuh orang, memenggal mereka dan juga mencuri. Akhirnya, dia berhasil diyakinkan, tatkala perwira komandannya datang ke pulau itu, sehingga dia harus meletakan senjatanya, bahwa perang sudah selesai dan bahwa Jepang sudah kalah.
Letnan Hiroo Onoda, dengan pedang di tangan, berjalan keluar dari hutan belantara di Pulau Lubang, 11 Maret 1974 lalu, nyaris 29 tahun setelah Jepang menyerah kalah perang. |
Ingin saya kisahkan kepada anda bahwa pada tahun 1993 di halaman Gedung Putih, Yasser Arafat menyerah kalah dalam konflik dengan Israel kemudian mengakui hak Israel untuk "hidup (exist) dengan damai dan aman." Tentu saja, dia tidak benar-benar bermaksud demikian. Dan sebagian besar warga Palestina pun tidak bisa menerimanya. Meskipun demikian, Bangsa Palestina masih saja menyerah kalah bertahun-tahun silam, sehingga membuat mereka kini menjadi sebuah versi dari Hiroo Onoda yang lebih besar. Mereka terus saja mau berperang, memenggal orang, membunuh, tetapi tidak bergerak ke mana-mana alias tetap di tempat.
Yang disebut sebagai proses perdamaian tidak berjalan sebagai mestinya karena berbagai alasan seperti Khaled [Abu Toameh] baru saja perlihatkan: persoalan pendidikan dan kepemimpinan. Kita menyaksikan diri kita dalam sebuah situasi di mana semua orang skeptis terhadap berbagai peluangnya, tidak seorang pun meyakininya namun proses itu terus saja bergulir. Pemerintahan Trump sudah menghidupkan kembali proses tersebut dan kita berharap untuk bisa melihat rencana proses perdamaian baru dilaksanakan Maret 2018 mendatang.
Saya mau usulkan paradigma baru yang sepenuhnya menyisihkan persoalan negosiasi. Ini menolak pemikiran untuk membawa Israel dan Palestina bersama-sama ke meja perundingan. Pada dasarnya, Israel tengah mencoba, atau Amerika mendorong Israel untuk mengakomodasi Palestina, yang duduk mempertimbangkannya lalu mengatakan, "Baiklah, tidak, 99½ persen tidak cukup atau "100 persen tidak cukup."
Saya ingin melihat Israel menang dan Palestina kalah. Middle East Forum (Forum Timur Tengah) menyebut hal ini sebagai Proyek Kemenangan Israel.
Kini, kata-kata "menang" dan "kalah" tidak ditemukan dalam kosa kata Amerika modern. Lebih dari itu, kita dengar kata "kompromi", "konsesi yang menyakitkan," "mediasi," dan semacamnya. Tetapi seperti Khaled perlihatkan, proses perdamaian tidak berjalan lancar. Jika anda melihat sejarah (dan saya seorang sejarahwan), yang mengakhiri konflik-konflik adalah satu pihak mengalah. Kini, pikirkan soal ini. Sampai satu dari kita mengalah, konflik bisa saja kembali meledak. Korea bisa saja berperang sekarang ini karena tidak ada pihak yang mengalah. Dalam Perang Dunia I, Jerman kalah, tetapi tidak menyerah. Akibatnya, mencoba berperang lagi dan dalam Perang Dunia II, negara-negara Sekutu memaksa mereka untuk menyerah. Dan perhatikan berapa banyak mereka memperoleh keuntungan dari menyerah kalah. Jadi, kemenangan dirumuskan sebagai menerapkan keinginan seseorang atas musuhnya.
Kita butuh Israel menerapkan keinginan mereka atas musuh mereka, bangsa Palestina. Bangsa Palestina perlu menerima eksistensi permanen Negara Yahudi. Pemerintah AS harus mendorong Pemerintah Israel untuk melakukan apa saja dalam batas-batas praktis, moral dan legal guna memberikan dampak terhadap kemenangan itu. Ini tidak berarti membantai orang tetapi mengambil langkah-langkah untuk memaksa Palestina menyerah kalah, untuk mengatakan, "Sudah tidak ada harapan lagi. Kita tidak bisa teruskan ini lagi. Kita perlu untuk hidup bersama dengan tetangga kita." Pada titik ini, terbebas dari kejahatan mereka yang menjijikan, terbebas dari tujuan provokatif mereka untuk menghapuskan tetangga mereka, sehingga Palestina bisa memulai dengan membangun pemerintahan, ekonomi, masyarakat dan budaya mereka sendiri.
Ironisnya, Paletina akan lebih banyak menang jika mereka kalah dibandingkan Israel. Warga Israel tidak akan diledakan dalam perjalangan mereka menuju restoran pizza, tetapi, pada dasarnya, mereka punya kehidupan yang lebih baik secara ekonomi, hukum, kultural dan seterusnya. Bangsa Palestina justru sebaliknya hidup dalam penindasan dan kemiskinan. Mereka hanya bisa tinggalkan itu ketika mereka melepaskan tujuan mengerikan mereka untuk menghapuskan musuh mereka.
Pemikirannya sederhana. Bisa diulangi, Israel menang dan Palestina kalah.
Sudah matang saya pikirkan ide ini selama nyaris dua dekade. Sekitar satu tahun silam, saya dekati kolega saya di Middle East Forum lalu saya katakan, "Kita gulingkan masalah ini. Kita coba kampanyekan." Senang sekali saya laporkan bahwa kini kami punya 29 anggota DPR, sebuah kelompok yang mendapatkan dukungan dari dua partai (bipartisan) yang dipimpin oleh Ron DeSantis dari Florida (yang maaf saya katakan sudah meninggalkan ruangan ini), Bill Johnson dari Ohio serta Juan Vargas dari Kalifornia dan itu kami bangun setiap saat. Kami bangun dasar politiknya. Kini kami punya 16 anggota di Kaukus Kemenangan Israel di Knesset (Parlemen) yang berasal dari enam partai Zionis, dari pihak oposisi dan pemerintah, semua partai selain Partai Meretz, dari kalangan Arab Join List (Daftar warga Arab yang bergabung) serta kaum Haredim. Pada waktu bersamaan, kami juga membangun basis intelektual, bekerja sama dengan para mitra di berbagai lembaga kajian (think tank), mensponsori penelitian: (tentang) apa persisnya arti kemenangan itu? Bagaimana supaya usaha ini bisa efektif? Apakah dampaknya?
Kami berharap, kampanye kemenangan Israel suatu hari mencapai puncaknya dengan seorang Presiden Amerika mengatakan, "Staf, upaya tanpa henti untuk menyatukan Israel dan Palestina ini jelas memperlihatkan bahwa beberapa hasilnya tidak berjalan baik selama 30 atau 40 tahun. Apakah ada pendekatan lain di luar sana?" Kami ingin siap dengan pendekatan lain itu, sebuah pendekatan yang mendorong agar negosiasi diabaikan karena tidak ada gunanya serta kontraproduktif sehingga menangguhkan negosiasi hingga kalah. Dengan demikian, perundingan bakal produktif. Tetapi sampai sekarang, ini perang dan pihak kita perlu menang.
Saya berharap kalian mengadopsi pemikiran ini. Tolong tekan anggota Kongres serta senator kalian untuk menjadi bagian dari gerakan ini.
Peserta pertemuan: Kembali kepada masa-masa Perang Dingin, kebijakan kita adalah untuk menangkal komunisme. Bersamaan dengan itu, muncul seorang pria bernama Ronald Reagen yang mengumumkan bahwa kita tidak menangkal tetap menekannya. Apa yang anda katakan itu sangat searah dengan pemikiran ini, dan saya suka itu. Apakah kalian punya orang-orang di Gedung Putih yang bisa memperhatikan persoalan ini?
Daniel Pipes: Secara historis, cara perang Amerika adalah untuk menghancurkan musuh, membiarkan dia tidak punya harapan lagi. Dan model ini memang berhasil. Bagaimanapun, itu bukan kasusnya semenjak Perang Dunia II. Itulah yang bakal berhasil di sini ---tidak berbicara kepada Mahmoud Abbas, Saeb Erekat dan para badut ini. Ini waktunya untuk mengesampingkan mereka supaya bisa mendukung Israel menang.
Ya, saya senang untuk memberitahu anda bahwa Middle East Forum (Forum Timur Tengah) sudah berkali-kali ke Gedung Putih dan kami sudah melakukan acara dengar pendapat yang menyenangkan di sana.
Peserta Pertemuan: Dasar posisi Palestina sepenuhnya berakar dalam narasi tentang kemenangan dan superiotatas Islam. Adakah hal yang membuat kita bisa membantu mereka untuk mengkaitkannya dengan sejarah Islam yang mungkin saja mampu membantu proyek ini?
Daniel Pipes: Pertanyaan yang bagus. Ada beberapa alasan mengapa Palestina mempertahankan ilusi ini bahwa mereka masih bisa menang. Satu hal yang sangat penting adalah doktrin Islam bahwa kawasan apapun yang pernah dikuasai Muslim harus kembali kepada kekuasaan Muslim. Nah, nyatanya, bukan itu kasusnya. Jika anda perhatikan di seluruh dunia, Spanyol, Sisilia, kawasan Balkan dan India tidak lama berada di bawah kekuasaan Muslim. Memang mereka pernah berkuasa di sana, dan semua itu memberikan model bagi kaum Muslim untuk menerima bahwa Israe atau apa yang mereka sebutkan sebagai Palestina, itu tidak lama berada di bawah kekuasaan mereka.
Peserta Pertemuan: Sangatlah mengagumkan jika kita bisa meminta negara kita, Kongres kita dan mungkin pemerintahan kita untuk memahami perlunya Israel untuk menang, tetapi bagaimana dengan soal semua uang yang datang dari Eropa, PBB dan lembaga-lembaga lainnya yang mendukung mereka (baca: Palestina) secara secara financial?
Daniel Pipes: Ya, seperti baru saja saya katakan tadi, doktrin Islam menjadi penyebab penting ilusi Palestina, Penyebab penting kedua adalah apa yang saya sebut sebagai dukungan dunia internasional: dukungan diplomatik, uang, resolusi PBB dan seterusnya dan seterusnya yang memberikan harapan kepada Palestina bahwa suatu ketika mereka bakal menang. Tidak banyak yang dapat kita lakukan soal dukungan, tetapi ketika situasinya memburuk, maka jika anda orang Palestina, maka resolusi yang diveto di New York itu tidak terlampau penting lagi dibandingkan dengan apa yang sebenarnya anda hadapi di lingkungan anda sendiri. Jadi, dukungan internasional itu memang penting, namun ia tetap kurang penting dibandingkan dengan apa yang Israel lakukan di lapangan.
Duta Besar AS Samantha Power memveto Resolusi Dewan Keamaan PBB (DK-PBB) No. 2334: Setahun kemudian, apa hal baik yang dilakukan oleh Palestina? |
Proyek Kemenangan Israel sudah dimulai dengan Amerika Serikat dan Israel --- tempat yang mudah. Kami sudah mulai membuat rencana untuk pergi ke sejumlah negara penting Eropa, ke Brussels, dan barangkali ke Jepang dan sekitarnya. Itu awal dari sebuah dorongan atau langkah besar. Tetapi Amerika Serikat dan Israel menjadi tempat yang wajar untuk memulai aksi ini karena mereka itu penting dan terbuka terhadap pendekatan ini.
Peserta pertemuan: Baru saja bulan ini sejumlah serangan roket yang dilancarkan oleh Palestina diarahkan ke Israel. Sekarang, anda punya ide memenangkan perang tanpa pertumpahan darah di tengah serangan yang berulang kali, berulang kali, berulang kali, berulang kali selama bertahun-tahun ini oleh Palestina atas Israel (serta ketergantungan mereka yang tanpa daya kepada karya amal Israel untuk merawat orang-orang mereka yang terluka). Karena itu tolong katakan kepada saya bahwa mereka itu bermil-mil jauhnya dari Israel bahkan tidak mempertimbangkan ide untuk kalah tanpa perlu berperang yang membuat mereka kalah. Karena itu, saya tidak mengerti bahwa bisa ada konflik tanpa pertumpahan darah yang bisa menaklukan mereka..
Daniel Pipes: Saya tidak menggunakan kata, "tanpa pertumpahan darah." Yang ingin saya katakan adalah pendekatan ini pertama-tama tidak perlu militer. Untuk mempengaruhi musuh untuk mengalah, anda bisa memanfaatkan semua jenis sarana yang tidak langsung. Sebagai contoh, kekalahan terbesar negeri adalah pada tahun 1975 di Vietnam. Kita tidak karena kehabisan peluru atau tentara atau uang dolar. Kita kalah karena kehabisan niat (untuk perang). Dan kita kehabisan niat untuk perang karena ada begitu banyak warga Amerika yang gencar menentang perang yang terus berlangsung. Itu yang tidak langsung: Kita tidak kalah di medan tempur, tetapi dalam arena politik.
Sebuah helikopter AU Amerika mengevakuasi segelintir orang terakhir keluar dari Saigon, 29 April 1975, segera sebelum kota itu jatuh kepada pasukan Vietnam Utara. |
Demikian juga, tatkala Amerika Serikat dan barangkali pemerintahan lain, mengtatakan kepada Israel, "Lanjutkan, menangkanlah perang kalian," maka seluruh jajaran kebijakan sudah ada sehingga Israel bisa memanfaatkannya. Beberapa kebijakan itu bisa saja militer, untuk pastinya, tetapi jauh lebih daripada sekedar militer.
Ambil contoh, kebijakan Israel terhadap Gaza. Anda mungkin menanggapi, "Kebijakan apa yang diterapkan terhadap Gaza", nah itulah poin saya. Itu baru taraf pemulaan. Ia bergerak dari satu kebakaran hutan ke kebakaran hutan lainnya. Nasehat saya kepada Israel nantinya adalah, "Andaikan tujuan kalian adalah untuk meyakinkan Palestina untuk menyerah kalah, jabarkanlah strategi serta taktik untuk mencapai tujuan itu." Dalam sejumlah kasus pendekatan itu bisa saja melibatkan aksi militer, untuk memastikannya, tetapi ini bukan yang utama atau terbatas pada milier. Itu sebuah pendekatan yang luas tetapi tidak saya pikir itu tepat bagi saya, di sini, dan sekarang ini, untuk menjelaskan persoalannya.
Mungkin saja saya tambahkan bahwa kita tidak bahas soal apa yang terjadi setelah kalah, di mana saja batas-batas negaranya, berapa banyak atau jika ada, Negara Palestina harus berdiri; siapa menguasai apa di Yerusalem; dan seterusnya. Kita sekedar menyampaikan adanya sebuah pendekatan: bukan proses perdamaian atau apa yang saya sebutkan sebagai "proses perang" (war processing), tetapi mencapai kemenangan.
Palestina harus pahami bahwa perang 100 tahun mereka terhadap Zionisme sudah gagal. Israel benar-benar negara yang sangat berhasil. Saya bisa terus menerus dan terus menerus berbicara tentang keberhasilan ini; meningkatnya angka kelahiran, terobosan dalam teknologi pengolahan air, teknologi tinggi dan pengobatan, pemerintahan berdasarkan hukum, budaya politik yang stabil dan seterusnya. Itu sebuah negara yang bersemangat dan berhasil. Pemikiran bahwa Palestina bisa mengalalhkan Zionisme serta menghancurkan Israel itu khayalan belaka.
Mereka perlu memahami itu khayalan. Pemerintah kita perlu untuk menerapkan atas mereka atau membantu Israel untuk menetapkan atas mereka, pemahaman ini.
Dan omong-omong, dalam konteks ini kita bisa memindahkan kedutaan besar ke Yerusalem. Sekian lama itu sekedar persoalan upaya untuk menjaga kerapihan birokrasi saja, karena semua kedutaan besar berada di ibukota dan ini tidak, maka itu tidak bakal terjadi, tidak bakal terjadi. Tetapi ketika persoalan ini ditempatkan dalam konteks untuk mengirimkan sinyal kepada Palestina bahwa kita berdiri bersama Israel dan bahwa mereka seharusnya tidak lagi (forget) berjuang untuk merusak ikatan ini, maka pemindahan kedutaan besar ke Yerusalem bakal mengirimkan sebuah pesan, pesan yang akan sangat berarti, dan pantas menjadi masalah.