[Judul yang diterbitkan NY Sun: The West Must Learn The Public Relations of War]
Tentara, pelaut dan pilot pesawat tempur pernah menentukan hasil sebuah perang, tetapi tidak lama lagi demikan keadannya. Kini, para produser televisi, kolomnis, pengkotbah serta politisi punya peran sangat penting dalam memutuskan seberapa baiknya Barat berperang. Pergeseran ini berdampak mendalam.
Dalam konflik konvensional seperti Perang Dunia II, perang punya dua premis yang sangat mendasar, yang nyaris tidak diperhatikan.
Pertama: angkatan bersenjata konvensional terlibat dalam perang mati-matian supaya bisa meraih kemenangan. Pihak-pihak yang berlawanan mengerahkan beragam barisan tentara, jalur tank, armada kapal perang serta skadron pesawat tempur. Jutaan kaum muda pergi ke perang justru ketika masyarakat sipil bertelut dalam kemiskinan. Strategi dan intelijen memang penting, tetapi populasi yang besar, ekonomi dan senjata sebuah negara bahkan jauh lebih diandalkan. Seorang pengamat bisa menilai perkembangan perang dengan terus mengikuti faktor-faktor obyektif itu seperti banyaknya produksi bajar (steel output), cadangan minyak, pembuatan kapal dan penguasaan wilayah.
Asumsi kedua, masing-masing pihak populasi setia mendukung kepemimpinan nasionalnya. Untuk memastikannya, para pengkhianat dan penentang perlu ditangkap, tetapi konsensus yang luar mendukung para penguasa. Kenyataan ini secara khusus pantas dicatat terjadi di Uni Soviet, di mana pembantaian massal oleh Stalin yang gila tidak menghentikan masyarakatnya untuk memberikan semua yang mereka miliki demi ""Mother Russia," "Ibu Rusia."
Kedua aspek paradigma ini kini lenyap mati di Barat.
Pertama-tama, perang mati-matian demi kemenangan melawan pasukan lawan konvensional sudah nyaris lenyap dan berganti dengan tantangan operasi perang gerilya, kerusuhan, intifadah dan terorisme yang semakin terjadi secara tidak langsung. Pola baru ini diterapkan oleh Prancis di Aljazair, Amerika di Vietnam dan Soviet di Afghanistan. Akhir-akhir ini, berlaku juga untuk Israel versus Palestina, pasukan koalisi di Irak serta dalam perang terhadap terror.
Perubahan ini berarti bahwa apa yang militer AS sebutkan sebagai "menghitung kacang" (baca: upaya untuk menghitung hal-hal remeh untuk menghemat biaya, pen), --- memperhitungkan jumlah tentara serta senjata --- kini nyaris tidak lagi berbentuk benda, sama seperti diagnose ekonomi atau pengendalian kawasan. Perang yang tidak seimbang sudah menyerupai operasi kepolisian dibandingkan dengan perang pada masa-masa awal. Seperti ketika berupaya memerangi kejahatan --- pihak yang merasa jauh lebih unggul kekuasaannya beroperasi dengan berbagai hambatan yang penuh pepak, sementara pihak yang lemah justru dengan bebas merusak hukum dan tabu apapun dalam upayanya yang kejam untuk mengejar kekuasaan.
Kedua, solidaritas dan konsensus kuno sudah terurai lepas. Proses ini sudah berlangsung selama tepatnya lebih dari satu abad kini (berawal dari pihak Inggris dalam Perang Boer pada tahun 1899-1902). Seperti saya tuliskan pada tahun 2005; "Anggapan tentang loyalitas sudah berubah secara fundamental. Secara tradisional, orang diandaikan setia kepada komunitas tempat dia dilahirkan. Orang Spanyol atau Swiss setia kepada monarkinya, orang Prancis setia kepada republiknya dan orang Amerika setia kepada konstitusinya. Asumsi itu kini usang berganti dengan kesetiaan kepada komunitas politiknya ---sosialisme, liberalism, konservatisme atau Islamisme untuk menyebutkan beberapa pilihan. Ikatan-ikatan geografis serta sosial tidak banyak menjadi masalah dibandingkan dengan kesetiaan masa lalu."
Seiring dengan berperannya kesetiaan kini, perang pun diputuskan lebih banyak dalam halaman-halaman opini media massa dan sedikit sekali yang ditentukan di medan perang. Berbagai argumen bagus, retorika yang cemerlang, jurubicara yang tidak kentara kerjanya serta jumlah polling yang kuat lebih diandalkan dibandingkan dengan pergi ke gunung atau menyeberangi sungai. Solidaritas, semangat, kesetiaan serta pemahaman menjadi besi baja, karet, minyak serta amunisi baru. Para pembuat opini menjadi bendera serta jenderal baru. Karena itu, seperti saya tuliskan Agustus lalu, pemerintah negara-negara Barat "perlu untuk melihat persoalan public relation sebagai bagian dari strategi mereka."
Sebuah karikatur (cartoon) sederhana bisa saja berdampak lebih besar, seperti karikatur ini yang mempertentangkan peran kereta bayi bagi para teroris Palestina serta para tentara Israel. |
Opini publik Barat adalah kunci, bahkan dalam kasus seperti rejim Iran mendapatkan senjata atom sekalipun, bukan senjata itu sendiri. Jika bersatu, masyarakat Eropa dan Amerika bakal meminta Iran untuk tidak melanjutkan senjata nuklirnya. Jika tidak bersatu, Iran bakal berani untuk maju .
Apa yang Carl von Clausewitz sebutkan sebagai "pusat daya tarik" perang sudah bergeser dari kekuatan senjata kepada hati dan pikiran masyarakatnya. Apakah Iran menerima akibat dari senjata nuklir? Apakah Iran menyambut baik pasukan koalisi sebagai pembebas negerinya? Apakah masyarakat Palestina secara sukarela mempersembahkan nyawa mereka dalam berbagai bom bunuh diri? Apakah masyarakat Eropa dan Kanada menginginkan kekuatan militer yang dapat dipercaya? Apakah masyarakat Amerika melihat Islamisme menghadirkan bahaya yang mematikan?
Para ahli strategi bukan Barat mengakui keunggulan politik sehingga memusatkan perhatian mereka pada persoalan tersebut. Rangkaian kemenangan --- seperti kemenangan Aljazair pada tahun 1962, Vietnam pada 1975 dan Afghanistan pada tahun 1989 --- semuanya mengandalkan diri pada lunturnya niat baik politik. Orang nomor dua Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri mengungkapkan pemikiran ini dalam sebuah suratnya pada Juli 2005. Ia perhatikan, bahwa lebih dari separuh pertempuran yang dilancarkan oleh kaum Islam radikal (Islamist) "sedang terjadi di medan perang media."
Barat beruntung karena menguasasi arena militer dan ekonomi, tetapi ini tidak cukup lagi. Seiring dengan keberadaan para musuhnya, ia perlu memberikan perhatian yang pantas kepada persoalan komunikasi timbal-balik yang baik dan efektif (public relation) dalam persoalan perang.***
Pemutakhiran 17 Oktober 2006: Untuk mengetahui latar belakang seputar bagaimana kita tiba pada titik ini, lihat artikel saya bertajuk, "The End of Treason" (Berakhirnya Pengkhianatan).
Pemutakhiran 19 Oktober 2006: Untuk memperbarui pemahaman seputar topik ini, lihat artikel, "Public Opinion, Now More Important in War than the Literal Battlefield" (Opini Publik, Kini Jauh Lebih Penting dalam Perang dibandingkan dengan Pertempuran yang Sebenarnya).
Topik Terkait: Media, Polling Opini Publik, Kebijakan AS
Related Articles: