Bayangkan, suatu hari Presiden AS memberitahu Perdana Menteri Israel: "ekstremisme Palestina sudah merusak keamanan masyarakat Amerika. Kami butuh anda untuk mengakhirinya dengan menang atas Palestina. Lakukan yang diperlukan dalam batas-batas hukum, moral dan praktis." Sang presiden kemudian melanjutkan: "Paksakanlah keinginan anda atas mereka, ciptakanlah kesadaran tentang kekalahan supaya mereka menghentikan impian lama mereka selama 70 tahun untuk membasmi Israel. Menangkanlah perang anda."
Para presiden Amerika sudah bertemu dengan para Perdana Menteri Israel sekian lama: berawal dengan Harry Truman dan David Ben Gurion (dengan Abba Eban di latar belakang), 8 Mei 1951. |
Seberapa kuatkah Perdana Menteri Israel menanggapinya? Akankah dia menangkap kesempatan itu lalu menjatuhkan hukuman atas aksi penghasutan dan kekerasan yang didanai oleh Otoritas Palestina (PA)? Akankah dia memberitahu Hamas bahwa setiap agresi bisa menghentikan semua pengiriman air, makanan, obat-obatan serta penyaluran listrik untuk sementara waktu?
Atau akankan dia menolak tawaran?
Prediksi saya: Setelah lakukan konsultasi yang intens dengan pihak dinas keamanan Israel dan pertemuan-pertemuan kabinet yang panas menegangkan, perdana menteri akan menjawab Presiden AS dengan, "Tidak, terimakasih. Kami lebih suka persoalan seperti apa adanya."
Benarkah? Itu bukanlah apa yang bisa orang harapkan, dilihat dari bagaimana PA dan Hamas berupaya melenyapkan Negara Yahudi, melancarkan kekerasan yang terus-menerus melawan masyarakat Israel dan bagaimana propaganda Palestina melukai sikap internasional Israel. Ya. Dan demi empat alasan: yaitu, tersebar luasnya keyakinan di lakangan Israel bahwa kemakmuran menentukan ideologi, kekaguman terhadap penyelesaian (ala) Palestina, perasaan bersalah Yahudi serta akhirnya ketakutan dinas keamanan Israel. Masing-masing pandangan ini tentu saja siap ditolak.
Kemakmuran Tidak Membuat Orang Berhenti Membenci
Shimon Peres punya mimpi lalu menulis buku, "The New Middle East" (Timur Tengah Baru) |
Banyak masyarakat Israel mengandaikan bahwa jika Palestina cukup mendapatkan keuntungan ekonomi, medis, hukum serta lainnya yang Zionisme berikan bagi mereka, maka mereka akan puas sehingga menerima kehadiran masyarakat Yahudi. Berbasiskan asumsi Marxis bahwa uang lebih penting dibandingkan dengan ide, pandangan ini meyakini bahwa sekolah, mobil model terbaru, apartemen mewah-meriah menjadi obat penawar bagi impian kaum Islam radikal atau kaum nasionalis Palestina. Seperti masyarakat Atlanta, masyarakat Palestina yang makmur akan terlampau sibuk untuk membenci orang.
Pemikiran ini berawal lebih dari seabad silam, memuncak sekitar Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan earat kaitannya dengan menteri luar negeri Israel masa itu, Shimon Peres sekaligus pengarang buku, The New Middle East (Timur Tengah Baru). Peres berniat mengubah Israel, Yordania dan Palestina menjadi sebuah versi Timur Tengahnya Benelux (Belgia, Nederland dan Luxemburg). Lebih agung lagi, visinya itu berharap untuk menyamai Perjanjian Prancis – Jerman pasca-Perang Dunia II, ketika ikatan ekonomi berhasil mengakhiri permusuhan historis kedua negara lalu membentuk ikatan politik yang positif.
Dalam semangat ini, para pemimpin Israel lama bekerja membangun ekonomi Tepi Barat dan Gaza. Mereka melobi pemerintah asing untuk mendanai PA. Membantu Gaza dengan memberi subsidi air dan listrik termasuk memfasilitasi pabrik penyulih air laut jadi air tawar. Mengusulkan dunia internasional untuk mendukung adanya pulau buatan di lepas pantai Gaza dengan pelabuhan, Bandara dan resort. Bahkan mereka berikan ladang gas bagi Gaza.
Satu dari rumah kaca Israel di Gaza yang dirusak oleh warga Palestina pada tahun 2005. |
Tetapi upaya itu gagal. Begitu spektakulernya kegagalan itu terjadi. Kemarahan Palestina terhadap Israel masih saja tidak berkurang. Lebih jauh lagi, isyarat niat baik berhadapan bukan dengan rasa syukur tetapi dengan penolakan. Sebagai contoh, setelah Israel menarik diri sepihak dari Gaza tahun 2005 lalu, berbagai rumah kaca mereka diserahkan kepada masyarakat Palestina sebagai tanda niat baik, namun hanya segera dijarah dan kemudian dihancurkan.
Barangkali yang paling terkenal adalah contoh warga Palestina yang dirawat di berbagai rumah sakit Israel. Untuk memperlihatkan tanda syukur terimakasih, mereka para pasien yang sudah dirawat itu berupaya membunuh para dermawan mereka. Pada tahun 2005, seorang wanita Gaza berusia 21 tahun berhasil dirawat di Bersheba menyusul kebakaran atas dirinya akibat ledakan tanki gas. Dia belakangan mengembalikan kebaikan hati itu dengan berupaya menyerang rumah sakit itu sebagai pelaku bom bunuh diri. Pada tahun 2011, seorang ibu Gaza yang anaknya menderita sistem kekebalan tubuh dan diselematkan di sebuah rumah sakit Israel mengumumkan di hadapan kamera bahwa dia ingin anaknya bertumbuh besar menjadi pelaku bom bunuh diri. Pada tahun 2017, dua gadis kakak beradik memasuki Israel dari Gaza supaya satu dari mereka dapat mendapat perawatan akibat sakit kanker yang dideritanya justru berupaya menyelundupkan bahan peledak bagi Hamas.
Mengapa gagal? (Dalam) model (perdamaian) Prancis – Jerman tidak ada faktor seperti yang ada pada teater Israel – Palestina. Faktor itu adalah kekalahan para anggota Nazi. Perdamaian terjadi bukan dengan Hitler yang masih berkuasa, tetapi setelah dan tujuan-tujuannya dihancurkan tuntas. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat Palestina masih yakin mereka bisa menang (misalnya, menghancurkan Negara Yahudi ). Mereka juga curiga melihat upaya pembangunan ekonomi mereka, ketika Israel diam-diam mendominasi kekuatan ekonomi.
Sejak 1923, pemimpin Zionis Vladimir Jabotinsky sudah meramalkan kegagalan ini. Dia katakan kekanak-kanakan "untuk berpikir bahwa Bangsa Arab akan sukarela menyutujui terwujudnya Zionisme sebagai imbal balik dari bagi keuntungan budaya dan ekonomi yang bisa kita berikan kepada mereka."
Yang lebih luas lagi, dana yang semakin besar bagi masyarakat Palestina tidak membuat mereka konsumeristis dan individualistis tetapi justru membuat mereka marah. Sebagaimana orang mungkin harapkan, membantu seorang musuh mengembangkan ekonominya ketika perang masih berlangsung antarmereka berarti memasoknya dengan sumberdaya untuk melanjutkan perang. Uang dengan demikian dihabiskan untuk melakukan aksi penghasutan, "menanamkan kesadaran untuk mati syahid," pengadaan senjata dan serangan lewat terowongan bawah tanah. Satu dekade silam, Steve Stotsky membuktikan sangat dekatnya hubungan antara pemberian dana kepada Otoritas Palestina dan serangan terhadap warga Israel. Terlihat bahwa ada tambahan dana bantuan $1,25 juta (sekitar 18, 7 miliar) yang dia gambarkan, jadi ditambahkan jika ada satu warga Israel dibunuh.
Bagan buatan Steven Stotsky tahun 2007 menghubungkan bantuan kepada Otoritas Palestina dengan jumlah aksi pembunuhan yang dilakukan oleh masyarakat Palestina terhadap masyarakat Israel |
Israel pada pihak lain yakin Palestina yang makmur bisa menyebabkan perdamaian bisa terjadi terlepas dari perasaan tidak puas yang abadi bercokol dalam batin mereka. Jelasnya, kemenangan tidak menjadi daya tarik bagi harapan masyarakat Israel, seberapa pun tidak mungkinnya, karena ajaibnya model mobil terbaru.
Pengalaman historis memperlihatkan bahwa perang berakhir bukan dengan memperkaya musuh tetapi sebaliknya merebut sumberdayanya, mengurangi kemampuan militernya, menjatuhkan semangat pendukungnya sekaligus mendorong terjadinya revolusi populer. Untuk menuju akhir ini, selama berabad-abad, tentara memutuskan rute-rute pasokan, membiarkan kota-kota kelaparan, membangun blokade dan menerapkan larangan perdagangan/embargo. Dalam semangat ini, jika Israel berniat terlibat dalam perang, maka dia bisa lakukan dengan menahan uang pajak, melarang buruh memasuki kawasannya, menghentikan penjualan air, makanan, obat-obatan dan listrik. Dengan demikian, tindakannya akan membuatnya menang.
Sedangkan berkaitan dengan argumentasi bahwa kehancuran ekonomi Palestina berdampak kepada semakin besarnya kekerasan; ini cerita kosong yang tidak berdasar. Bagaimanapun, hanya orang yang masih berharap untuk menang yang akan terus melancarkan kekerasan. Orang yang kalah, menyerah, menjilati sendiri luka mereka lalu mulai membangun di seputar kegagalan mereka. Coba pikirkan Amerika Selatan pada tahun 1865, Jepang tahun 1945 dan Amerika Serikat pada tahun 1975.
Penyelesaian ala Palestina
Sejumlah pengamat politik mengatakan bahwa sumud atau kesetiaan Palestina itu terlampau menggelorakan kemenangan Israel. Dalam sebuah surat kepada pengarang ini pada 2017 silam, sejarahwan Martin Kramer menjelaskan sudut pandang ini:
Pada tahun 1948, separuh populasi Palestina (700.000) orang pergi melarikan diri. Setiap centimeter tanah Palestina hilang pada tahun 1967 ketika 250.000 orang lainnya melarikan diri. Gerakan kebebasan mereka selanjutnya didorong dengan kekuatan pendobrak dari Yordania dan Libanon. Menurut masyarakat Palestina, masyarakat Israel membunuh pemimpin dan pahlawan mereka Arafat. Namun tidak satu dari kenyataan ini meyakinkan mereka bahwa kekalahan mereka sudah final. Dalam terang ini, saya tidak melihat betapa langkah-langkah Israel yang secara komparatif sederhana itu dijalankan pada masa damai bakal meyakinkan mereka bahwa mereka sudah kalah.
Alur pemikiran ini meyakini bahwa mereka bisa menyerap apa-apa saja yang Israel kini lemparkan kepada mereka, jika sudah mampu menghadapi persoalan yang seimbang selama satu abad. Apapun alasannya, kekuatan yang luar biasa itu memperlihatkan bahwa tekad Palestina memang tidak mudah patah. Alasan-alasan itu adalah iman Islam; pengaruh Haji Amin al-Husseini yang abadi bercokok dalam benak mereka serta jaringan dukungan global yang unik.
Jawaban atas situasi ini? Israel sudah benar-benar menang pada tahun 1948 dan tahun 1993, tetapi kemudian dirusak oleh Perjanjian Oslo yang mengerikan. Upaya penyelesaian dari pihak Palestina hancur pada tahun 1993, menyusul runtuhnya Soviet serta kekalahan Saddam Hussein, ketika Arafat berjabatan tangan dengan Perdana Menteri Israel serta mengakui eksistensi Israel.
Kemudian, bukannya mengembangkan kemenangan ini, masyarakat Israel justru menarik diri secara sepihak dari kawasan (Gaza-Yerikho tahun 1994, Kawasan A & B Tepi Barat pada tahun 1995, Libanon pada tahun 2000 dan Gaza pada tahun 2005). Langkah ini mengacaukan pemikiran masyarakat Palestina yang kemudian berpikir bahwa justru merekalah yang menang. Usai berbagai pengunduran diri ini, pada tahun 2007 Yerusalem melepaskan rencana jangka panjangnya lalu hanya memilih berusaha mematikan kobaran api masalah. Apakah kemudian, tujuan Israel akhir-akhir ini bagi Gaza? Israel tidak punya tujuan itu.
Jadi, kemenangan Israel terbagi dalam 45 tahun upaya mencapai kemenangan dan 25 tahun masa penuh kebingungan. Upaya untuk mengembalikan tujuan kemenangan bakal memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.
Perasaan Bersalah Yahudi
Sebagai bangsa paling teraniaya dalam sejarah---korban penyiksaan karena agama, rasisme, pembasmian etnis dan Holocaust --- masyarakat Israel pun mengembangkan kesadaran moral yang sangat tinggi. Itu menyebabkan, masyarakat Yahudi Israel serta pendukung diaspora mereka segan memaksa masyarakat Palestina untuk terus mengalami cobaan kekalahan yang lebih pahit lagi. Yang luar biasa lagi, masyarakat Yahudi lebih suka menggunakan pendekatan ganjaran dan hukuman serta penalaran mereka daripada paksaan.
Kenyataan ini membantu menjelaskan mengapa, selama Perang Hamas-Israel pada tahun 2014 perusahaan listrik Israel tetap mengirimkan para teknisinya untuk memperbaiki kabel listrik yang membentang memasuki kawasan Gaza dirusak oleh roket Hamas, bersedia menerima risiko karyawannya mati.
Demikian halnya terjadi, ketika situasi ekonomi di Gaza memburuk pada awal tahun 2018 lalu. Orang mungkin saja membayangkan bahwa masyarakat Israel Yahudi, yang menjadi sasaran niat kejam Hamas tidak peduli atau bahkan senang dengan persoalan yang menimpa musuh-musuh mereka. Tetapi tidak. Berita utama sebuah suratkabar menulis; "Ketika Gaza menghadapi bencana kelaparan, Israel, bukan dunia, tampaknya paling peduli dengan keadaan itu." Sikap peduli ini, sebagian, karena beberapa alasan praktis --- mengkhawatirkan harga yang Israel bakal bayar akibat keruntuhan di Gaza--- tetapi juga karena ada dimensi moral di sana. Yaitu bahwa masyarakat Yahudi Israel yang makmur sejahtera tidak bisa duduk dekat tetangga mereka, betapapun bermusuhannya dia, tenggelam dalam lumpur kelaparan.
Contoh lain muncul belakangan pada tahun 2018 ketika Hamas menjadikan layang-layang api sebagai senjata. Kala itu, militer Israel tidak bisa menghentikan serangan ini. Gadi Eizenkot, Panglima Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menjelaskan mengapa pasukannya tidak (membalas) serangan itu ketika berbicara dengan Menteri Pendidikan Israel Naftali Bennett dalam sebuah pertemuan kabinet tertutup.
Gadi Eizenkot (Kiri) dan Naftali Bennett. |
Bennett: Mengapa tidak tembak siapa saja yang menggunakan senjata udara [balon dan layang-layang termasuk] menghantam komunitas-komunitas kita? Tidak ada hambatan hukum di sini. Mengapa tidak tembak mereka ketimbang memberikan tembakan peringatan? Kita sedang berbicara tentang setiap hal yang berkaitan dengan para teroris.
Eizenkot: Tidak saya pikirkan bahwa menembak anak-anak dan orang muda yang kadangkala menerbangkan balon dan layang-layang merupakan hal benar yang perlu dilakukan.
Bennett: Dan bagaimana dengan yang jelas teridentifikasi sebagai orang-orang muda?
Eizenkot: Apakah kau sarankan untuk menjatuhkan bom atas orang-orang yang menerbangkan balon dan layang-layang?
Bennett: Ya.
Eizenkot: Langkah ini bertentangan dengan posisi operasi dan moral saya.
"Posisi moral" seperti ini jelas-jelas membuat kita sulit untuk menang.
Masyarakat Yahudi Israel sudah bertumbuh kuat, penuh tekad dan siap menghadapi masalah. Meskipun demikian, berbagai contoh dari voting dan data polling memperlihatkan bahwa pandangan itu masih sama kuatnya seperti sebelumnya di kalangan Yahudi diaspora, khususnya di Amerika Serikat. Ketika konsensi yang menyakitkan kepada masyarakat Palestina tidak mendapatkan penghargaan malah sebaliknya kekerasan, banyak warga Yahudi Israel putus asa dengan pendekatan yang lembut ramah ini sehingga mereka siap untuk memaksakan keinginan mereka atas warga Palestina lewat langkah-langkah yang keras ketat. Karena itu, pernyataan Eizenkot menyebabkan masyarakat marah. Sebuah polling baru-baru ini memperlihatkan 58 persen masyarakat Israel Yahudi sepakat bahwa "perjanjian damai dengan Palestina akan mungkin tercapai bila mereka akui bahwa mereka sudah kalah perang melawan Israel."
Dinas Keamanan yang Ketakutan
Dua lembaga keamanan Israel hadir berdampingan. Yang satu untuk memenangkan perang yang berurusan dengan Iran dan musuh-musuh yang jauh, dan satunya, yang defensif, gaya polisi, berurusan dengan masyarakat Palestina. Yang pertama berupaya meraih kemenangan sementara yang belakangan berupaya menjaga situasi untuk tenang. Jadi Entebbe vs. Jenin. Yang mencuri arsip nuklir Iran versus membiarkan layang-layang api memperlihatkan aksi trampil mereka.
Lembaga keamanan yang defensif benar-benar menjadi persoalan karena kerapkali menjadi otoritas yang berwenang atas kebijakan Palestina, seperti diperlihatkan oleh insiden Bait Bukit (Allah), Juli 2017 lalu. Setelah para pejihad Palestina membunuh dua polisi Israel dengan senjata yang disembunyikan dalam lapangan terbuka yang suci, Pemerintah Israel memasang alat pendeteksi logam di pintu masuk kawasan itu. Tampaknya itu bukanlah langkah kontroversial. Tetapi Faksi Fatah kemudian menuntut supaya peralatan itu dibongkar. Dan meskipun penduduk dan polisi Israel benar-benar menginginkan alat pendeteksi logam itu tetap ada, alat-alat itu pun segera lenyap. Itu terjadi karena lembaga keamanan---termasuk polisi, polisi perbatasan, Shabak, Mossad dan IDF --- memperingatkan bahwa membiarkan barang-barang itu tetap ada tempatnya justru membuat warga Palestina marah dan bakal memancing munculnya kekerasan, keributan bahkan keruntuhan.
Kini anda lihat mereka, sekarng tidak: Metal detector Israel di Bait Bukit (Allah). |
Pihak lembaga keamanan Israel ingin menghindari peristiwa penikaman dengan pisau, bom bunuh diri, lontaran peluru kendali dari Gaza dan intifada. Yang terpenting dari semuanya itu, mereka takut Otoritas Palestina dan Hamas bakal runtuh akibat aksi itu, sehingga menuntut pemerintahan Israel langsung memerintah atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Karena itu, Einat Wilf mengatakan,
Jika lembaga pertahanan berpikir bahwa ...pemberian dana untuk Gaza sama dengan membayarnya supaya diam, maka dia akan melakukan apa saja yang mungkin untuk memastikan bahwa dana akan terus mengalir masuk, bahkan jika itu berarti bahwa situasi tenang dibeli dengan biaya perang yang bakal terus berlangsung selama beberapa dekade.
Dan memang, ketika memprioritaskan suasana aman tenang, pihak keamanan Israel menolak langkah-langkah keras sehingga melihat bahwa kemenangkan menjadi suatu hal yang tidak bisa tercapai.
Ketakutan ini sebaliknya menjelaskan banyak fakta mengejutkan seputar Pemerintah Israel, khususnya mengapa dia;
- Mengijinkan pembangunan ilegal
- Memalingkan mata buta terhadap pencurian air dan listrik
- Menghindari langkah-langkah yang mungkin membuat para pemimpin Palestina marah, seperti melarang pendapatan dari buku-buku mereka, penerapan hukum, mengurangi hak prerogatif mereka atau menghukum mereka.
- Menentang Pemerintah AS memangkas bantuan secara besar-besaran kepada Palestina.
- Tidak menghentikan perusakan kekayaan arkeologis dari Temple Mount.
- Membebaskan narapidana pembunuh dan jenasah para pembunuh yang meninggal dunia.
- Membiarkan Hizbullah mendapatkan lebih 100.000 roket dan peluru kendali kemudian berencana untuk mengevakuasi seperempat juta masyarakat Israel.
- Selama beberapa dekade mendorong pemberian dana bagi Badan Pemulihan dan Kerja PBB (UNRWA).
Sikap hati-hati ini punya beberapa sebab:
Pertama, Pemerintah Israel yang dibangun berdasarkan koalisi multi-mitra, dalam penjelasan Jonathan Spyer, cenderung "menghindari diri untuk memusatkan perhatian pada isu strategis jangka panjang. Ia lebih suka menyelesaikan ancaman langsung." Mengapa menyelesaikan sebuah persoalan ketika anda justru bisa menyepaknya ke jalan raya?
Kedua, dinas keamanan Israel bangga karena mampu menangani persoalan di sini sekarang ini, bukan memisahkannya. Leah Rabin, istyri Yitzhak Rabin (mantan PM Israel), suatu ketika pernah menjelaskan mentalitas suaminya: "Dia sangat pragmatis, benci berurusan dengan hal yang bakal terjadi bertahun-tahun di jalan-jalan. Dia hanya pikirkan apa yang akan terjadi sekarang, dalam waktu mendatang yang sangat dekat." Atau, dalam komando tetap seorang letnan kepada pasukannya, "Amankan daerah ini sampai akhir giliran jagamu."
Ketiga, sama seperti polisi melihat penjahat itu sebagai pembuat masalah yang tidak bisa diperbaiki, demikian juga para pimpinan keamanan Israel yang sudah keriput kelelahan melihat warga Palestina sebagai musuh yang menyerupai binatang. Karena tidak mampu membayangkan warga Palestina tidak bisa melakukan apapun selain menyerang warga Israel, mereka lalu menolak tujuan untuk menang. Dapatkah singa terus menang atas anjing liar. Kelompok-kelompok keamanan memang kerap bersuara seperti Kaum Kiri, tetapi jelas tidak. Pengalaman panjang yang penuh pahit getir, bukan idealisme yang kabur, mendefenisikan perilaku mereka. Itu sebabnya, mengapa para panglima Keamanan Israel, sekelompok hampir 300 perwira pensiunan IDF yang berhasil menjadi jenderal mewakili 80 persen orang dalam kategori tersebut, mengusulkan solusi dua negara, nyaris dua kali lebih banyak dibandingkan dengan populasi Yahudi Israel umumnya
Keempat, kelompok keamanan Israel umumnya melihat suasana sekarang sebagai bisa diterima sehingga tidak ingin mengubahnya. Otoritas Palestina di bawah Mahmud Abbad, dengan semua cacat celahnya (dan berbeda dari era Arafat) adalah mitra. Ya, ia menghasut agar warga Israel dibunuh sekaligus mendeligitimasi Negara Israel, tetapi lebih baik ada agresi ini daripada berisiko menghukum Abbas, mengurangi pendiriannya dan membentuk intifada. Sikap ini menyebabkan ada sikap hati-hati terhadap perubahan, skeptisme terhadap pendekatan yang lebih ambisius dan enggan melakukan berbagai inisiatif yang mungkin memancing kemarahan Palestina.
Kelima, karena orang Palestina tidak memiliki kekuatan militer, mereka dipandang sebagai penjahat lebih dari sekadar tentara. Dengan demikian, IDF berubah dari kekuatan militer menjadi kekuatan polisi, lengkap dengan mentalitasnya untuk mempertahankan diri. Para jenderal berupaya meraih kemenangan, tetapi para kepala polisi bertugas melindungi nyawa manusia. Keinginan untuk menyelamatkan nyawa berarti melihat stabilitas sebagai tujuan itu sendiri. Para jenderal tidak memasuki pertempuran dengan tujuan menyelamatkan nyawa prajurit mereka. Tetapi begitulah cara para pemimpin kepolisian melihat pertemuan dengan penjahat.
Keenam, Gerakan Empat Ibu (Four Mothers Movement ) selama tahun 1997-2000 menyebabkan IDF trauma karena berusaha memantik reaksi balasan yang emosional terhadap pendudukan Lebanon selatan, sehingga Israel menarik diri dari kawasan itu secara memalukan. Tekanan pada upaya penyelamatan nyawa tentara dan bukannya pada upaya untuk mencapai tujuan strategis tetap menjadi kekuatiran yang terus bercokol dalam diri kepemimpinan IDF.
Peristiwa "Empat Ibu "dekat perbatasan Israel-Libanon. |
Secara keseluruhan, tentangan utama bagi kemenangan Israel bukannya berasal dari Kaum Kiri yang tidak bahagia, tetapi justru dari dinas keamanannya sendiri. Untungnya lembaga pertahanan itu punya para penentang yang sama-sama berjuang untuk bisa meraih kepemimpinan politik dan Kemenangan Israel. Gershon Hacohen, yang menyerukan supaya pemimpin politik menjalankan keputusan yang mandiri, adalah contoh yang bagus sementara Yossi Kuperwasser adalah contoh lainnya.
Semua pihak berharap resolusi persoalan Palestina harus mendesak Pemerintah Israel untuk bisa menekan PA dan Hamas. Pemikiran ini juga sesuai dengan kepentingan Palestina sendiri. Yaitu untuk membebaskan mereka dari obsesi mereka dengan Israel sehingga mereka bisa membangun pemerintahan, ekonomi, masyarakat dan budaya sendiri. Jadi, semua orang mendapatkan sesuatu dari kemenangan Israel sekaligus kekalahan Palestina.
Dengan demikian, ketika seorang Presiden AS memberikan lampu hijau, Perdana Menteri Israel perlu bertindak sesuai dengannya.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) serta penerbit Majalah Empat Bulanan Middle East Quarterly. © 2018 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Pemutakhiran 13 Agustus 2018: Banyak informasi seputar sikap tidak bersedia yang aman dan mapan untuk melihat perubahan mendasar dalam UNRWA yang keluar tepat ketika tulisan ini hendak diterbitkan sehingga artikel ini menjadi lebih menggigit. Berikut ini sejumlah sorotan: Ariel Kahana dan Staff Israel Hayom melaporkan bahwa Pemerintah Israel sudah meminta Pemerintah AS "untuk tidak menahan dana" bagi UNRWA karena pemangkasan anggaran "bakal sangat problematik." Alasannya, karena tidak ada organisasi lain yang bisa mengisi kekosongan di Gaza dan "krisis kesehatan dan sanitasi di sana bakal langsung mempengaruhi Israel."
Pemutakhiran 27 Agustus 2018: Dalam tulisan bertajuk "Israel, US seek to redefine Palestinian refugees," (Israel dan AS Berupaya Rumuskan Kembali Pengungsi Palestina), "sumber keamanan Israel" yang tidak mau disebutkan namanya menjelaskan kepada Ben Caspit mengapa dia menentang pemangkasan dana kepada UNRWA: "Dana itu bukan saja digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat tetapi juga memberi makan kepada puluhan ribu keluarga pegungsi yang tidak mandiri secara ekonomi kecuali dari bantuan ini. Jika semua ini akan dikurangi, kami agaknya bakal menemukan diri terjebak dalam krisis yang sebenarnya."
Caspit juga mengutip seseorang yang dikatakannya, "melakukan kampanye publik" melawan UNRWA: Ron Prosor, Mantan Duta Besar Israel untuk London dan PBB.
Sistem keamanan Israel sudah otomatis mendukung UNRWA selama bertahun-tahun ini karena visi jangka pendeknya. Tidak seorang pun menginginkan perubahan terjadi dalam amatannya. Semua orang takut dengan banyaknya konsekwensi (ramifications). Juga tidak ada orang memikirkan sudut pandang yang strategis. Jika saya Koordinator Aktivitas Pemerintah di Kawasan, saya juga tidak ingin menggoyang-goyang perahu yang sudah bocor. Saya lebih senang orang lain terus saja memberi makan merawat gajah raksasa yang tengah duduk di tengah ruang keluarga kami.
Caspit dengan demikian menjelaskan mengapa Perdana Menteri Netanyahu tetap berdiam diri dalam isu ini. "Dia tahu bahwa peringatan dari angkatan bersenjata bisa terwujud sehingga dia bakal dilihat sebagai orang yang mengipasi kebakaran sekaligus mendorong masyarakat Amerika untuk mengambil permainan tersebut."
Pemutakhiran 30 Agustus 2018: Caroline Glick menguatkan argumentasi #4 saya dalam sebuah analisisnya yang pedas terhadap dua dari empat kandidat yang hendak diangkat sebagai Panglima IDF selanjutnya. Yair Golan melihat Israel justru sedang dianggap sebagai Nazi (Nazified) sementara Nitzan Alon menutup-tutupi kesalahan para pembunuh Palestina, dengan mengecamnya sebagai akibat provokasi Israel.
Pemutakhiran 31 Agustus 2018: Dalam artikelnya "The UNRWA Lobbyists" (Para Jurulobi UNRWA), Nadav Shragai menulis dalam Harian Israel Hayom tentang peranan Kantor Koordinator Aktivitas Pemerintah di Kawasan (COGAT), sebuah unit Kementerian Pertahanan Israel. Dalam tulisannya dia menyatakan lembaga itu sebagai, "penentang utama dalam lingkungan Israel sendiri terhadap langkah hukuman terhadap" Badan Pemulihan dan Kerja PBB (UNRWA).
COGAT menentang upaya untuk memangkas bantuan kepada UNRWA karena alasan-alasan praktis...lembaga pertahanan itu memang benci ada perubahan-perubahan yang mendadak. Ia inginkan keadaan yang diam tenang dan takut bahwa jika UNRWA tidak mampu membantu ratusan ribu warga Palestina yang kekurangan, akibat pemangkasan anggaran, maka Israel bakal melihat kerusuhan dan kekerasan semakin meningkat serta teroris melancarkan serangan atas Israel.
Pada masa awal tahun 2000-an, Panglima COGAT, Mayjen Amos Gilad memang bekerja melindungi UNRWA. Satu dekade kemudian sebagai kepala Cabang Keamanan Diplomatik Kementerian Pertahanan, dia berkoordinasi dengan Duta Besar Israel untuk Amerika kala itu, Michael Oren untuk membatalkan inisiatif Kongres AS terhadap organisasi tersebut. UNRWA mungkin jahat, urai Gilad kepada Oren, tetapi Hamas lebih jahat lagi. Pengganti Gilad pun terus mempertahankan alur pemikiran itu. Dan seperti IDF, mereka melihat UNRWA sebagai yang kurang berbahaya dari dua penjahat.
Mereka...peringatkan bahwa Tepi Barat khususnya Gaza dan kamp-kamp pengungsinya bergantung pada uang dari UNRWA serta bantuan asing. Juga mereka peringatkan bahwa kerusakan apapun atas UNRWA bisa menyebabkan koordinasi keamanan antara Israel dan Otoritas Palestina berakhir sehingga mengarah kepada lahirnya gelombang baru terorisme.
Pemutakhiran 3 September 2018: Mantan Duta Besar AS untuk Israel, Dan Shapiro mencatat bahwa lembaga keamanan Israel memang tidak berusaha menghentikan bantuan finansial masyarakat Amerika bagi UNRWA. Kapanpun, organisasi itu muncul,
itu soal perlunya reformasi UNRWA. Keluhan- keluhan itu---beberapa memang kuat (legitimate)---tentang struktur organisasi UNRWA, tentang beberapa hal yang terjadi di berbagai sekolah dan cara dia membantu mengekalkan mitos tentang jutaan pengungsi kembali ke Israel.Tetapi persoalan tentang pemangkasan dana US yang sebenarnya untuk lembaga itu tidak pernah diajukan oleh pejabat Israel.
Raphael Ahren kemudian menimpali menegaskan pernyataan Shapiro:
Para pejabat senior di lingkungan Kantor Perdana Menteri serta petinggi keamanan, termasuk para pejabat senior IDF, COGAT dan lembaga-lembaga keamanan lain gigih menentang pemangkasan dana secara mendadak...Dia mengatakan itu bahkan saat langsung menanyakannya kepada para pejabat Israel jika menginginkan AS memangkas dananya, mereka pun menjelaskan bahwa itu bukan rekomendasi mereka.
Kemudian dia mengutip Shapiro lagi:
Yang diminta adalah upaya untuk mereformasi sekaligus memperbaiki UNRWA, jelas dengan memanfaatkan dana AS sebagai pengungkit untuk mengubah misinya, untuk mengubah perilaku dan struktur organisasinya, tetapi bukan mengurangi dananya.
Topik Terkait: Konflik dan diplomasi Arab-Israel
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.