APAKAH EROPA KEMBALI-- kepada masa penuh ketakutan tahun era 1930-an? Dalam penilaian yang khas seputar masa itu, Max Holleran menulis dalam New Republic bahwa "selama sepuluh tahun terakhir gerakan-gerakan politik sayap kanan baru justru telah berhasil menyatukan koalisi kaum Neo-Nazi dengan para konservatif arus utama pasar bebas, sehingga menormalisasi ideologi politik yang pada masa silam secara tepat sekali menjadi alarm tanda bahaya." Dia melihat kecenderungan ini memunculkan gelombang "populisme anti-orang asing ("xenophobic populism). Katy O'Donnell pun sepakat dengan Max. Karena itu, ketika menulis dalam Politic, Katy lantas mengatakan bahwa; "Partai-partai nasionalis kini punya posisi cukup penting di mana-mana, mulai dari Italia hingga Finlandia, sehingga menimbulkan perasaan takut bahwa benua itu mengingkari berbagai kebijakan yang mengarah kepada bencana pada paruh pertama abad ke-20." Para pemimpin Israel seperti Menachem Margolin, Ketua Asosiasi Yahudi Eropa, pun mencium "ancaman sangat nyata dari berbagai gerakan kaum populis di seluruh penjuru Eropa."
Yang paling memprihatinkankan secara alamiah, adalah Jerman dan Austria. Kedua negara menjadi tempat lahirnya Sosialisme Nasional (National Socialism), khususnya pascaPemilu 2017. Soalnya, Partai Alternative for Germany (AfD) memenangkan 13 persen suara pemilih dan Partai Kebebasan Austria (FPÖ) memenangkan 26 persen. Felix Klein, Komisioner Jerman untuk penanggulangan anti-Semitisme mengatakan bahwa AfD "membantu menyebabkan anti-Semitisme kembali bersih." Pernyataan itu justru diperdebatkan oleh Oskar Deutsch, Presiden Komunitas Yahudi Austria. Menurut dia, FPÖ justru "tidak pernah menjaga jarak dari masa lalunya sebagai partai Nazi."
Apakah ini benar? Atau apakah kekacauan ini merefleksikan adanya tanggapan yang sehat dari masyarakat Eropa untuk melindungi cara hidup mereka dari imigrasi dan Islamisasi terbuka?
Sebuah kartu pos bersejarah dari Hénin-Beaumont, Prancis. |
UNTUK MENGAWALINYA---apakah sebutan untuk fenomena yang sedang didiskusikan ini? Berbagai pihak yang dipersoalkan cenderung disebut kaum ekstrim kanan (far-right), tetapi itu tidak benar. Soalnya, mereka menawarkan perpaduan dari kebijakan kaum kanan (yang memusatkan perhatian pada budaya) dan kebijakan kaum kiri (yang memusatkan perhatian pada persoalan ekonomi). Partai Pawai National (The National Rally) di Prancis misalnya, menarik dukungan kaum kiri dengan menyerukan supaya bank-bank negara-negara dinasionalisasi. Memang para mantan komunis membentuk unsur dukungan yang penting. Hénin-Beaumont yang kini termasuk di antara kota-kota Prancis pro-Pawai Nasional yang paling bersemangat, sebelumnya ada di antara sebagian besar komunis.
Poster Pemilu AfD tahun 2017, "Burka? Kami suka bikini." |
Charles Hawley dari Der Speigel mengklaim bahwa semua partai, pada dasarnya, nasionalis. Secara historis, klaim ini tidak benar. Mereka memang patriotik, tetapi bukan nasionalis. Defensif tetapi tidak agresif. Mereka memang mendukung tim sepakbola, bukan kemenangan-kemenangan militer. Mereka benar-benar menghargai budaya Inggeris, tetapi bukan Kekaisaran Inggeris. Mereka mendukung bikini, bukan aliran daerah Jerman. Mereka tidak berminat pada kekaisaran atau klaim superioritas nasional. Secara klasik, nasionalisme berurusan dengan persoalan kekuasaan, kekayaan dan kemenangan. Mereka memusatkan perhatian pada adat-istiadat, tradisi serta budaya. Meskipun disebut neo-fasis atau neo-Nazi, partai-partai itu memberikan perhatian utama pada kebebasan pribadi dan budaya tradisional. Pernyataan-pernyatan seperti: "Satu Bangsa, Satu Negara, Satu Pemimpin" tidak banyak menarik mereka..
Lebih baik menyebut mereka kaum sivilasionis (para pecinta peradaban). Mereka "memusatkan perhatian pada prioritas budaya mereka, karena merasa sangat frustrasi ketika menyaksikan cara hidup mereka lenyap. Mereka menghargai budaya tradisional Eropa dan Barat serta ingin membelanya dari serangan kaum imigran dengan dukungan kaum kiri. (Istilah sivilasionis punya keuntungan tambahan karena mengeluarkan partai-partai yang justru benci peradaban Barat seperti Partai Fajar Keemasan (Golden Dawn) yang berhaluan Neo-Nazi di Yunani.
Seorang wanita yang dinasehati oleh Kanserlir Jerman Angela Merkel, untuk lebih sering lagi ikut ibadat gereja. |
Partai-partai pecinta peradaban itu populis, anti imigrasi sekaligus anti-Islamisasi. Populist berarti mengelola keluhan terhadap sistem serta curiga terhadap elit yang mengabaikan atau merendahkan adanya kekhawatiran-kekhawatiran ini. Elit itu adalah 6 P yaitu, polisi, pers, pemuka agama (priest), professor dan penuntut umum (jaksa). Pada puncak tsunami migran tahun 2015 lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel menanggapi kekhawatiran seorang pemilih soal migrasi yang tidak terkontrol dengan omelan khas seputar kesalahan sekaligus sikap rendah diri Eropa. Setelah itu, ia memberikan saran yang merendahkan penanya dengan menasehatinya untuk lebih sering menghadiri kebaktian gereja. Dimitris Avramopoulos, komisioner Eropa urusan migrasi, bahkan dengan tegas mengumumkan bahwa Eropa "tidak dapat dan tidak akan pernah bisa menghentikan migrasi". Setelah itu dia melanjutkan menceramahi sesama warga negaranya dengan mengatakan: "Naiflah untuk berpikir bahwa masyarakat kita akan terus homogen dan bebas dari migrasi jika orang membangun pagar... kita semua perlu bersiap diri untuk menerima migrasi, mobilitas, dan keberagaman sebagai norma baru." Mantan Perdana Menteri Swedia Fredrik Reinfeldt pun memberikan alasan soal (perlunya) lebih banyaknya migran: "Saya sering terbang di atas pedesaan Swedia. Dan saya akan sarankan orang lain untuk melakukannya. Ada ladang dan hutan tak terbatas. Ada lebih banyak ruang kosong daripada yang Anda bayangkan."
Banyak tempat kosong di Swedia! Biarkanlah seluruh dunia berimigrasi ke sana.. |
Dari tiga tokoh di atas, pantas dicatat, apa yang benar-benar berhasil bagi kaum konservatif di Eropa. Soalnya, tokoh lain, seperti Nicolas Sarkozy dari Prancis serta David Cameron dari Inggris, memang berbicara keras, tetapi memerintah secara lembut. Penolakan mereka yang menghina terhadap adanya perasaan anti-imigrasi yang bekembang dalam masyarakat justru menciptakan peluang bagi partai-partai pecinta peradaban di sebagian besar penjuru Eropa. Mulai dari FPÖ yang mulia (yang didikan tahun 1956) hingga Partai Forum Demokrasi di Belanda (yang didirikan tahun 2016), mengisi kesenjangan Pemilu dan kemasyarakatan.
Berbagai partai pecinta peradaban di bawah pimpinan Partai League di Italia itu anti-imigrasi. Mereka berupaya mengendalikan, mengurangi bahkan meninjau kembali imigrasi selama dekade akhir-akhir ini, khususnya yang berkaitan dengan kaum Muslim dan orang-orang Afrika. Kedua kelompok tersebut menonjol bukan saja karena adanya prasangka (fobia terhadap Islam atau rasisme) tetapi juga karena sangat sedikit dari mereka yang bisa berasimilasi dengan orang asing. Ada banyak persoalan berkaitan dengan mereka, seperti, tidak mau bekerja, terlibat aktivitas kriminal dan ketakutan bahwa mereka, bakal menerapkan cara hidup mereka atas Eropa.
Akhirnya, partai-partai itu pun anti-Islamisasi. Ketika masyarakat Eropa belajar tentang Hukum Islam (Shariah), mereka semakin memusatkan perhatian mereka pada perannya terkait dengan isu-isu wanita, seperti persoalan niqab dan burqa, poligami, serangan seksual (taharrush), pembunuhan demi kehormatan (honor killing) serta sunat perempuan. Keprihatinan lain terkait dengan perilaku kaum Muslim terhadap non-Muslim, termasuk fobia terhadap umat Kristen serta fobia terhadap orang Yahudi (Judeophobia), kekerasan jihad yang berbarengan dengan desakan agar Islam mendapatkan status istimewa ketika berhadapan dengan agama-agama lain.
Pantas dicatat bahwa kaum Muslim membentuk membran geografis seputar Eropa, dari Senegal hingga Maroko hingga Mesir hingga Turki dan Chechnya. Hal ini menyebabkan sejumlah besar migran potensial relatif mudah masuk secara illegal ke benua itu lewat darat dan laut. Membran itu ada 75 Km dari Albania hingga Italia, sepanjang 60 Km dari Tunisia hingga (pulau kecil Pantelleria di) Italia, 14 Km sepanjang Selat Gibraltar dari Maroko hingga Spanyol, 1,6 Km dari Anatolia menuju Pulau Samos (Yunani), kurang dari 100 meter seberang Sungai Evros dari Turki menuju Yunani dan 10 meter dari Maroko menuju enklaf Ceuta dan Melilla milik Spanyol.
Sebanyak 187 migran ilegal membanjiri pagar perbatasan yang memisahkan enklaf Ceuta milik Spantol dari kawasan Maroko, pada 7 Agustus 2017 silam. |
Jumlah calon migran yang kini berkeliaran sekitar titik-titik masuk semakin besar. Dalam beberapa kasus mereka pun menggunakan kekerasan untuk memaksakan diri masuk. Tahun 2015 lalu, Johannes Hahn, komisioner perluasan Uni Eropa memperkirakan bahwa "ada 20 juta pengungsi telah menunggu di ambang pintu Eropa." Pernyataan itu mungkin terdengar seperti angka yang besar, tetapi ketika orang menambahkan migran ekonomi dalam campur-baurnya migran itu, maka jumlahnya masih melonjak lebih jauh lagi, khususnya ketika kekurangan air mendorong masyarakat Timur Tengah dari tanah tumpah darah mereka, sehingga migran yang ingin bermigrasi mungkin saja mulai mendekati populasi Eropa yang mencapai 740 juta jiwa.
NYARIS TANPA PENGECUALIAN, partai-partai pecinta peradaban itu menderita persoalan yang mendalam. Banyak staf partai orang baru, berisi sejumlah orang yang justru mengganggu situasi: para ekstremis anti-Yahudi dan ekstremis anti-Muslim, rasis, orang-orang aneh yang lapar kekuasaan, para teoritisi konspirasi, para revisionis sejarah serta orang-orang yang bernostalgia dengan Nazi. Para otokrat menjalankan partai-partai mereka secara tidak demokratis sambil berupaya mendominasi parlemen, media, pengadilan, sekolah serta lembaga kunci lainnya. Mereka punya perasaan tidak puas anti-Amerika sehingga menerima uang dari Moskow.
Berbagai kekurangan ini biasanya diterjemahkan dalam Pemilu yang lemah, ketika masyarakat Eropa menolak memberikan suara untuk partai-partai yang memuntahkan pikiran yang pahit dan penuh bantahan. Sekitar 60 persen masyarakat pemberi suara Jerman memang mengkhawatirkan Islam dan Muslim, seperti yang diperlihatkan oleh polling, namun hanya seperlima dari mereka memberi suara untuk AfD. Supaya bisa maju dalam Pemilu sekaligus untuk mencapai potensi mereka, partai-partai pecinta peradaban harus meyakinkan pemilih bahwa mereka bisa dipercaya untuk memerintah. Partai-partai tua, khususnya seperti FPÖ, sedang berubah, seperti terlihat dari perjuangan pribadi dan pemisahan partai yang abadi terjadi serta drama lainnya. Bagaiamanapun, meskipun kacau balau tidak menyenangkan, proses ini sama-sama perlu sekaligus konstruktif.
Anti-Semitisme menjadi masalah yang paling mendelegitimasi partai-partai pecinta peradaban sehingga membangkitkan perdebatan sengit yang membutuhkan perhatian khusus. Asal-usul para pihak di dalamnya sering meragukan, ada yang mengandung unsur fasis sehingga mengeluarkan sinyal anti-Semit. Para pemimpin Yahudi di Eropa, karenanya, mengutuk pecinta peradaban. Akibatnya, mereka kemudian mendesak agar Negara Israel melakukan hal yang sama, bahkan jika mereka berada dalam lingkungan pemerintahan Israel harus berurusan dengan mereka. Ariel Muzicant, presiden kehormatan komunitas Yahudi Austria, benar-benar mengancam Yerusalem jika kelompok itu berniat berhenti memboikot FPÖ: "Saya pasti akan berbicara menentang Pemerintah Israel."
Marine (Kiri) dan Jean-Marie Le Pen: Masa-masa bahagia bagi ikatan ayah dan putrinya. |
Tetapi ada tiga poin pemikiran mengurangi kekhawatiran ini. Pertama, partai-partai peradaban secara umum menjaga jarak dari obsesinya dengan orang Yahudi ketika mereka dewasa. Karena sikap anti-Semitisme Jean-Marie Le Pen yang berkelanjutan, putrinya Marine Le Pen misalnya, benar-benar mengusirnya keluar dari partai Nasional Rally yang didirikanya tahun 1972. Di Hongaria, sejak Desember silam, sikap anti-Semitis Partai Jobbik yang terbuka mulai menolak cara-cara lama.
Kedua, para pemimpin partai pecinta peradaban berupaya membangun hubungan yang baik dengan Israel. Mereka berkunjung ke negeri itu, memberikan penghoramatan di Yad Vashem dan dalam beberapa kasus (seperti Presiden Cheko dan AWakil Kanselir Austria) mendukung perpindahan kedutaan besar negera mereka menuju Yerusalem. Dipimpin oleh partai pecinta peradaban, Partai Fidesz, Pemerintah Hongaria menjalin hubungan Eropa yang paling dekat dengan Israel. Pola ini diperhatikan di Israel. Sebagai contoh, Gideon Sa'ar dari Partai Likud mengatakan partai pecinta peradaban, "sahabat sejati Israel."
Corbyn dan Orbán, ambillah apa yang kau mau. |
Akhirnya, apapun kesulitan partai pecinta peradaban dengan Yahudi, kenyataan ini sama sekali tidak ada bandingannya dengan sikap anti-Semitisme dan anti-Zionisme yang acak yang diperlihatkan oleh kaum kiri, khususnya di Spanyol, Swedia dan Inggris. Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh menyimbolkan kecenderungan ini: dia menyebut para pembunuh orang Yahudi sebagai sahabat serta secara terbuka berhubungan dengan mereka. Ketika para pemimpin partai peradaban berjuang hendak meninggalkan sikap anti-Semitisme, banyak musuh politik mereka justru lebih dulu sedang berusaha memulai aksi cemar ini.
DALAM KURUN WAKTU DUA PULUH TAHUN---partai pecinta peradaban berkembang dari nyaris sebagai partai yang tidak relevan menjadi kekuatan penting di hampir separuh negara-negara Eropa. Barangkali ilustrasi paling dramatis peningkatan ini muncul dari Swedia. Padahal di sana, Partai Demokrat Swedia kasarnya meraih dua kali lipat jumlah suara setiap empat tahun: 0,4% tahun 1998, menjadi 1, 3% tahun 2002, meningkat lagi menjadi 2,9% tahun 2006, meningkat lagi jadi 5,7% pada tahun 2010 dan 12,9% pada tahun 2014. Partai itu tidak bisa mempertahankan pola ini pada tahun 2018, sehingga hanya mendapatkan 17,6% suara, tetapi sudah cukup membuatnya kekuatan yang substansial dalam politik Swedia.
Tidak ada partai pecinta peradaban yang berkembang begitu matematis. Tetapi berbagai pemungutan suara dan penelitian survei memperlihatkan bahwa mereka memang bakal meraih keuntungan. Sebagaimana dicatat oleh Geert Wilders, pemimpin sebuah partai peradaban Belanda; "Di Eropa bagian timur, berbagai partai anti-Islamifikasi dan anti-migrasi massal melihat sebuah gelombangkan dukungan yang luas. Penolakan semakin banyak terjadi di Barat juga." Mereka punya jalan untuk meraih kekuasaan.
(1) Bertindak sesuai kemauan mereka sendiri (On their own): Partai-partai pecinta peradaban memerintah Honggaria dan Polandia. Dua negara bekas Pakta Warsawa itu baru merdeka satu generasi silam. Penduduk kedua negeri ini cemas mengamati pembangunan di Eropa Barat sehingga memutuskan bergerak sesuai keinginan mereka sendiri. Perdana menteri mereka sama-sama secara tersurat menolak migran Muslim illegal (sambil tetap membuka pintu kepada kaum Muslim yang patuhi peraturan mereka). Negara-negara Eropa Timur lainnya secara lebih tentatif mengikuti langkah yang sama.
(2) Bergabung dengan warisan partai konservatif (Joining with legacy conservative parties): Ketika warisan partai-partai konservatif mengurbankan pemilihnya demi partai-partai pecinta peradaban, mereka menanggapinya dengan mengadopsi kebijakan anti-imigrasi dan -Islamisasi kemudian bergabung dengan pecinta peradaban. Sejauh ini, kenyataan ini hanya terjadi di Austria. Di sana, Partai Rakyat Austria dan FPO bersama-sama memenangkan 58 persen suara untuk membentuk pemerintahan koalisi Desember 2017. Bagaimanapun, lebih banyak kolaborasi seperti itu mungkin saja terjadi.
Kandidat presiden Partai Republican tahun 2017 di Perancis sudah bergerak menuju sivilasionisme dan penggantinya, Laurent Wauquiez melanjutkanya menuju arah yang sama. Partai yang berdasarkan namanya dinilai konservatif di Swedia, yaitu Partai kaum Moderat (Moderates) sudah memulai sekarang ini, arah yang tidak dibayangkan, yaitu bekerja sama dengan Demokrat Swedia. Partai Demokrat Bebas Jerman bergerak menuju sivilasionisme. Angela Merkel mungkin saja masih tetap sebagai Kanselir Jerman, tetapi beberapa orang dalam pemerintahannya sudah menolak kebijakan imigrannya yang ceroboh; khususnya, menteri dalam negeri dan ketua partai sekutu, Horst Seehofer sehingga menegaskan kebijakan imigrasi garis keras bahkan mengatakan bahwa Islam bukan milik Jerman.
Pasangan aneh Italia; tokoh "Bintang Lima" Luigi Di Maio (Kiri) dan tokoh Liga, Matteo Salvini. |
(3). Bergabung dengan partai lain: Gerakan Lima Bintang (Five Star Movement) Italia yang eksentrik, anarkis dan kurang lebih berhaluan kiri membentuk tim bersama partai peradaban, Partai Liga, Juni lalu supaya bisa membentuk sebuah pemerintahan. Untuk menghambat gerak maju kaum peradaban, sejumlah partai kiri, seperti Partai Sosial Demokrat Swedia dengan marah mengadopsi secara luas kebijakan anti-imigrasi. Lebih dramatis lagi, Partai Social Demokrat di Denmar memulai gebrakan ke arah ini ketika pemimpinnya Mette Frederiksen mengumumkan tujuan untuk membatasi "jumlah orang asing non-Barat yang boleh datang ke Denmark." Caranya adalah dengan mendirikan pusat-pusat penerimaan orang asing di luar Eropa. Di sana, pelamarnya bisa menetap sambil menunggu permohonan suaka mereka diteliti. Menariknya, jika diterima, maka pencari suaka tetap berada di luar Eropa, namun, pengeluaran mereka dibayar oleh para pembayar pajak Denmark. Lebih luas lagi, teoritisi politik berhaluan kiri Yascha Mounk berdalih bahwa "upaya untuk mengubah negara beridentitas satu etnis menjadi negara multietnis menjadi eksperimen unik yang bersejarah." Memang bisa dipahami, dia mencatat bahwa upaya ini "telah menghadapi sejumlah penolakan yang luar biasa."
KETIKA PARTAI-PARTAI PECINTA PERADABAN—mendapatkan dukungan beserta kekuasaan, mereka pun membuka mata terhadap partai-partai lain terhadap adanya tantangan berkaitan dengan imigrasi dan Islam. Para konservatif yang para pendukung bisnisnya mendapatkan keuntungan dari tenaga kerja murah, cenderung untuk menghindari diri dari isu-isu ini. Partai-partai berhaluan kiri biasanya mempromosikan imigrasi serta tidak terlalu jelas melihat persoalan yang berkaitan dengan Islam. Dibandingkan dengan Inggris dan Swedia, dua negara Eropa yang paling lemah berhadap dengan para migrant yang secara cultural agresif dan kejam secara criminal, jelas memperlihatkan peran dari partai-partai pecinta peradaban.
Yang pertama, dalam hal ini Inggeris, tidak punya partai seperti itu. Akibatnya, isu-isu ini tidak dibahas. Di Rotherham dan tempat lain, geng-geng grooming seks (sebenarnya geng-geng pemerkosa) dalam berbagai komunitas Muslim misalnya diijinkan beroperasi selama bertahun-tahun, bahkan selama beberapa dekade sementara 6 P memalingkan mata dari sana. Sebaliknya, Partai Democrats Sweden berhasil mengubah politik negeri itu sedemikian rupa sehingga blok parlementer kanan dan kirinya membentuk koalisi raksasa yang berusaha menghalangi mereka memanfaatkan pengaruh. Partai Sweden Democrats juga berhasil memperkenalkan perubahan-perubahan kebijakan, seperti memperketat akses migran illegal, ketika maneuver ini berhasil dilakukan dalam jangka pendek.
Dengan cara yang sama, negara-negara satelit bekas Soviet berusaha mengganggu warisan anggota NATO. Viktor Orbán, Perdana Menteri Hongaria, sangat menonjol dalam hal ini, dengan analisisnya yang mendalam terhadap persoalan Eropa sekaligus ambisinya untuk membentuk kembali Uni Eropa. Hongaria, khususnya dan Eropa tengah umumnya meraih pengaruh yang tidak pernah ada sebelumnya, karena sikap mereka terhadap imigrasi dan Islamisasi.
Saya berharap bisa membuat dua pemikiran mendasar di sini. Pertama, bahwa partai-partai pecinta peradaban itu amatir, kasar dan rawan salah, tetapi tidak berbahaya. Masuknya mereka dalam lingkungan kekuasaan tidak bakal mengembalikan Eropa kepada "dekade yang kurang jujur" (low dishonest decade) era 1930-an. Kedua, bahwa tidak dapat dielakkan mereka tumbuh kembang demikian, sehinggga dalam dua puluh tahun atau lebih, mereka bakal secara luas bekerja dalam dunia pemerintahan sehingga mempengaruhi kaum konservatif dan kaum kiri. Menolak, meminggirkan, mengasingkan serta mengabaikan mereka dengan harapan mereka menghilang, bakal gagal. Langkah-langkah itu tak bakal bisa menghentikan langkah mereka untuk meraih kekuasaan. Sebaliknya, ia justru kontraproduktif sehingga membuat mereka jauh lebih populis dan radikal.
Para pihak yang termasuk dalam 6 P harus bisa menerima kaum pecinta peradaban sebagai entitas sah, bekerja sama dengan mereka, mendorong mereka untuk membuang unsur-unsur ekstremis, membantu mereka mendapatkan pengalaman praktis sekaligus membimbing mereka mempersiapkan diri untuk pemerintah. Tetapi, ini bukanlah jalan satu arah. Soalnya, para pecinta peradaban memang punya sesuatu yang bisa diajarkan kepada para elit, memproses ketika mereka memperlihatkan (do) wawasan realistis seputar cara tradisional berkelanjutan sekaligus mempertahankan peradaban Barat.
Daniel Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes), president of the Middle East Forum, has researched immigration and Islam in ten European countries during the past year.
Apendiks: Nama-nama partai sivilisasionis (pecinta peradaban), berdasarkan negara. Dari negara-negara dengan migrasi Barat yang tidak signifikan, hanya Spanyol dan Inggeris yang tidak punya partai sivilisasionis dengan wakil di partlemen.
Austria: Freiheitliche Partei Österreichs (Partai Kebebasan Austria--- FPÖ,)
Belgia: Vlaamse Belang (Partai Kepentingan Bangsa Flamish ---VB). (Catatan: Bangsa Flamish adalah keturunan Belanda dan berbahasa Belanda sehingga terus berkonflik dengan suku lain yang berbahasa Prancis, J.L.)
Ceko: Partai Akce nespokojených občanů (, Partai Aksi Warganegara yang Tidak Puas ---ANO) serta Partai Svoboda a přímá demokracie - Tomio Okamura, (SPD, Partai Kebebasan dan Demokrasi Langsung--- Tomio Okamura)
Denmark: Dansk Folkeparti (Partai Rakyat Denmark-----DF)
Finlandia: Partai Perussuomalaiset (Partai Findlandia ---PS)
France: Rassemblement National (RN, National Rally)
Jerman: Partai Alternative für Deutschland (Partai Alternatif untuk Jerman--AfD).
Hongaria: Partai Fidesz (singkatan dari Fiatal Demokraták Szövetsége atau Alliansi Para Demokrat Muda) serta Jobbik Magyarországért Mozgalom (Jobbik, Gerakan demi Hongaria yang Lebih Baik)
Italia: Partai Lega (Partai Liga)
Latvia: Partai Nacionālā apvienība (Partai Aliansi Nasional ---NA)
Netherlands: Partai voor de Vrijheid (Partai untuk Kebebasan---PVV) serta Forum voor Democratie (Forum untuk Democrasi---FvD).
Norwegia: Partai Fremskrittspartiet (Partai Pembangunan---FrP).
Polandia: Partai Prawo i Sprawiedliwość (Partai Hukum dan Keadilan---PiS)
Swedia: Sverigedemokraterna (Partai Demokrat Swedia ---SD)
Swiss: Schweizerische Volkspartei (Partai Rakyat Swiss ---SVP)
Topik Terkait: Konservatif, Liberal, Muslim di Eropa
Artikel Terkait:
- Who Are Europe's Most Important Politicians?
- Did Swedes Just Decide for National Suicide?
- Anti-Islam & Anti-Islamism Trumps Islam in the West: Polls