Lieberman dan Bennett tidak jadi menerapkan paradigma baru seputar cara menangani Hamas, ketika semakin banyak masyarakat Israel mengakui bahwa berkompromi dan memberi konsesi kepada Palestina justru hanya mengarah kepada kekerasan yang jauh lebih besar lagi.
Avigdor Lieberman dan Naftali Bennet berpikir untuk menempuh langkah tegas atas Hamas. Dari sudut pandangan politik praktis ide keduanya, langkah tegas hanya akan mengarah kepada upaya untuk mengalahkan, jika bukan untuk menghina Palestina. Itu terjadi karena Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sekali lagi memperlihatkan ketrampilan politiknya: yang pertama, Avigdor Lieberman kini Mantan Menteri Pertahanan Israel, sedangkan orang kedua, yaitu Naftali Bennet adalah orang yang gagal menjadi menteri pertahanan negeri itu.
Bagaimanapun, dari sudut pandang lebih jauh, kedua tokoh memunculkan isu yang sekian lama tidak menjadi bagian wacana politik Israel. Namun, bagaimanapun, usaha mereka bisa menjadi janji sekaligus faktor penting masa mendatang. Bakal menjadi konsep kemenangan; tentang kemenangan Israel atas Hamas dan secara luas atas Otoritas Palestina serta Palestina secara umum.
Tiga pejuang: Bennett, Netanyahu, Lieberman. |
Memenangkan perang diartikan sebagai upaya menetapkan keinginan seseorang atas musuhnya sehingga musuh menghentikan tujuannya berperang. Sepanjang sejarah manusia, kemenangan menjadi sasaran analisa para filsuf, ahli strategis serta jenderal. Filsuf Aristoteles menulis bahwa "Kemenangan berarti ketrampilan seorang pemimpin perang (generalship) berakhir." Carl von Clausewitz, teoritisi kenamaan Prusia setuju dengan Aristoteles. Dia lantas mengatakan bahwa: "Tujuan perang seharusnya mengalahkan musuh." Jenderal James Mattis, Menteri Pertahanan AS melihat bahwa "Tidak ada perang yang usai sampai musuh mengatakan, sudah selesai."
Palestina rutin berbicara tentang memenangkan perang atas Israel. Bahkan ketika aksi mereka itu menjadi begitu fantastis. Untuk mengutip satu contoh, ambil saja sikap dari Pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. Setelah delapan hari Hamas melancarkan aksi kekerasan melawan Israel yang menyebabkan Gaza menderita banyak kerugian, Nopember 2012 silam, orang pertama Palestina itu memanggil mitranya dari Faksi Hamas, Ismail Haniyeh menemuinya. Ia lantas "memberikan ucapan selamat atasnya atas kemenangan Hamas sekaligus menyampaikan ucapan turut berdukacita kepada keluarga para syuhadah."
Sebaliknya, di Israel, gagasan untuk menang dikesampingkan, setidaknya sejak Kesepakatan Oslo tahun 1993. Pasca-perjanjian Oslo, para pemimpin negeri itu memusatkan perhatian pada berbagai konsep seperti kompromi, konsiliasi, pembangunan kepercayaan diri, fleksibilitas, niat baik, mediasi dan pengendalian diri. Perdana Menteri Israel masa itu, Ehud Olmert jauh-jauh hari mengartikulasikan sikap ini sejak tahun 2007 ketika menyatakan bahwa "Perdamaian dicapai melalui konsesi."
Pemahaman tentang akhir perang yang menyimpang ini mendorong Israel melakukan kesalahan yang sangat luar biasa selama lima belas tahun pasca-Perjanjian Oslo. Kesalahan ini menyebabkan dia dihukum dengan berbagai kampanye delegitimasi serta aksi kekerasan yang tidak pernah surut, yang secara berturut-turut disimbolkan oleh Konperensi Durban tahun 2001 serta pembantaian Paskah 2002.
Pemandangan khas pada Konperensi Dunia melawan Rasisme September 2001, dikenal sebagai Konperensi Durban. |
Omong kosong seperti itu berakhir selama hampir satu dekade pemerintahan Perdana Menteri Netanyahu. Meskipun demikian, idenya belum digantikan dengan visi tentang kemenangan yang tepat. Namun, bagaiamanapun, Netanyahu menindak tegas berbagai persoalan yang tidak diharapkan ketika meledak pecah di Sinai, Gaza, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, Suriah dan Libanon. Sayangnya, meskipun menyetujui konsep kemenangan Israel, dia tidak membicarakannya secara terbuka, ketika dia secara pribadi memberikan pengarahan.
Sementara itu, tokoh-tokoh terkemuka lain di Israel menerima pandangan ini. Mantan Wakil Kepala Staf Uzi Dayan meminta tentara "untuk kembali ke jalan kemenangan." Mantan Menteri Pendidikan dan Dalam Negeri Gideon Sa'ar menyatakan bahwa "'paradigma kemenangan,' seperti konsep 'Iron Wall' dari Jabotinsky, mengasumsikan bahwa kesepakatan mungkin dapat terjadi pada masa mendatang, tetapi dia hanya terjadi jika Israel jelas menang secara menentukan .Transisi menuju 'paradigma kemenangan' bergantung pada upaya untuk meninggalkan konsep Oslo. "
Dalam konteks ini, pernyataan Lieberman dan Bennett menunjukkan adanya perubahan pemikiran. Lieberman mundur dari jabatannya sebagai menteri pertahanan akibat frustrasi karena serangan 460 roket dan rudal Hamas terhadap Israel justru disambut dengan gencatan senjata. Padahal, dia sebaliknya menyerukan agar "situasi penuh putus asa" dijatuhkan atas para musuh Israel. Ketika mengeluh bahwa "Israel berhenti menang," Bennett menuntut IDF supaya "mulai menang lagi." Juga ditambahkannya bahwa "Ketika Israel ingin menang, kita bisa menang." Karena itu, ketika mencabut permintaannya tentang teori pertahanan diri, Bennett menekankan bahwa ia mendukung Netanyahu "dalam tugas yang monumental untuk memastikan bahwa Israel menang lagi."
Masyarakat Israel memprotes keputusan pemerintahnya untuk mengadakan gencatan senjata di Gaza, 13 Nopember 2018 lalu. |
Para penentang paradigma ini kemudian dengan penuh kekaguman memberi kesaksian tentang kekuatan pemikiran untuk menang ini. Kolomnis Harian Ma'ariv Revital Amiran menulis bahwa kemenangan yang sangat diinginkan oleh publik Israel terletak dalam berbagai bidang, seperti alokasi yang lebih besar bagi para Lansia serta kemacetan lalu lintas yang tidak tertahankan. Pemimpin Meret, Tamar Zandberg lantas menanggapi Bennett. Dikatakannya, bahwa baginya, Israel yang menang berarti memenangkan nominasi Emmy dan Oscar, sehingga menjamin pelayanan kesehatan yang setara dan menghabiskan lebih banyak uang untuk pendidikan.
Kemenangan dan kekalahan baru saja menjadi topik perdebatan di Israel. Da pun menjadi sebuah langkah maju yang besar. Tokoh media Ayalet Mitsch dengan tepat sekali mencatat kenyataan ini ketika mengatakan, "Orang Israel yang berhaluan kiri sekalipun bahkan berpikir sudah waktunya untuk menang lagi." Dengan demikian ia mendorong kemenangan Israel untuk bergerak maju.
*****
Daniel Pipes adalah Presiden Lembaga Kajian Middle East Forum (Forum Timur Tengah). Forum ini mempromorikan "Israel Victory", sebuah proyek yang mengarahkan kebijan AS untuk mendukung kemenangan Israel sehingga bisa menyelesaikan konflik dengan Palestina. Ikuti dia di Twitter @DanielPipes. © 2018 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Topik Terkait: Konflik dan diplomasi Arab-Israel